Senin, 16 Agustus 2010

RENUNGAN RAMADHAN (7) (LATIHAN IKHLAS)

Assww. Saudaraku, ibadah puasa yang memiliki dimensi yang sangat pribadi antara seorang hamba dengan Allah merupakan sarana “LATIHAN IKHLAS” dalam menjalankan ajaran-Nya. Suatu ketika Rsulullah saw. bersama para sahabat-sahabatnya berkumpul di beranda mesjid. Tiba-tiba beliau bersabda : Wahai sahabat-sahabatku, maukah kalian kuberi tahu ahli surga? Kontan para sahabat mengiyakannya. Rasulullah kemudian bersabda, sebentar lagi orangnya akan lewat disini. Sesaat setelah itu lewatlah seorang sahabat yang tidak banyak dikenal. Ia bukan seorang yang terkemuka, bahkan ibadahnya-pun biasa-biasa saja. Para sahabat tentu heran, kenapa orang ini disebut sebagai ahli surga oleh Rasulullah. Kemudian sepakatlah para sahabat Nabi untuk mengorek keterangan dari seorang yang disebut sebagai ahli surga tadi, kiranya amalan apakah yang menyebabkannya. Dari keterangan yang didapat, disimpulkan bahwa kiat untuk masuk deretan ahli surga adalah ikhlas.[1]

Makna essensial dari konsepsi ikhlas adalah perjuangan yang semata-mata di dorong oleh keinginan hati nurani untuk membebaskan diri dari peyembahan kepada sesama makhluk atau materi, agar menghambakan dirinya dan menyembah hanya kepada Allah. Renungkan firman Allah :

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ

Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan (mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus. (QS.Al-Bayyinah [98] : 5)

Ikhlas dalam ibadah berarti tidak mempersekutukan Allah dalam ibadah itu kepada sesuatu apapun, seperti firman Allah :

....فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدً

Barangsiapa yang mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam ibadah kepada Tuhannya.(QS.Al-Kahfi [18] : 110)

Pengertian ikhlas diilustrasikan pula dengan sikap tidak meminta balasan atau ucapan terima kasih. Renungkan firman Allah :

إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا

Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.(QS.Al-Insan [76] : 9)

Ayat tersebut menegaskan, ketika seorang hamba memberi kepada orang lain, ia tidak perlu mengharapkan imbalan atau bahkan sekedar ucapan terima kasih, karena apa yang ia lakukan adalah menyangkut kepentingan dirinya sendiri dengan Allah, yaitu agar mendapat rido-Nya. Namun, sejalan dengan ajaran islam pula, bahwa seorang hamba yang menerima pemberian, berkewajiban mengucapkan terima kasih, seperti yang ditegaskan dalam sebuah hadits Nabi :

عَنْ ابْنِ أَبِي لَيْلَى عَنْ عَطِيَّةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ لَمْ يَشْكُر النَّاسَ لَمْ يَشْكُر اللَّهَ. (رواه الترمذي : 1878 - بَاب مَا جَاءَ فِي الشُّكْرِ لِمَنْ أَحْسَنَ إِلَيْكَ- الجزء : 7- صفحة :211)

Dari Ibnu Abi Laila, diterima dari ‘Athiyyah, bersumber dari Abi Sa’id, ia berkata : Rasulullah saw berabda : Barangsiapa yang tidak berterima kasih kepada manusia, maka ia tidak dapat dikatakan berterima kasih kepada Allah. (HR.Tirmidzi : 1878, Bab Maa Jaa-a fisysyukri Liman ahsana Ilaik, juz : 7, hal. 211)

Dalam era teknologi informasi yang sudah maju, seringkali kita menyaksikan pemberitaan atau publikasi orang yang bersedakah, berinfak atau beramal ibadah lainnya. Peristiwa tersebut, tentu tidak mengurangi nilai keikhlasan dalam bersedekah atau beramal, apalagi kalau hal tersebut diniatkan untuk memberikan sugesti atau rangsangan kepada orang lain agar senang bersedekah, atau agar terjadi proses imitasi atau penularan, maka hal itu baik-baik saja, tidak akan menghilangkan nilai keikhlasan dalam bersedekah. Renungkan firman Allah :

إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَيُكَفِّرُ عَنْكُمْ مِنْ سَيِّئَاتِكُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS.Al-Baqarah [2] : 271)

Orang yang ikhlas (mukhlis) adalah orang yang telah diberi hidayah oleh Allah untuk mentaati segala hukum ketentuan-Nya, dan Dia pula yang menjaganya, sehingga Iblis-pun tidak sanggup untuk menggodanya. Renungkan friman Allah :

قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي الْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ (39) إِلَّا عِبَادَكَ مِنْهُمُ الْمُخْلَصِينَ (40)

“Iblis berkata : Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang ikhlas (mukhlis) di antara mereka. (QS.Al-Hijr [15] : 39-40)

Ikhlas dalam arti batiniah ini dipokuskan kepada satu cita-cita hanya untuk meraih rido Allah. Karena bersifat batiniah, maka ikhlas hanya dapat diketahui oleh dirinya sendiri dan Allah. Orang lain tidak dapat mengetahui, apalagi menilainya. Hak penilaian ikhlas seorang hamba sepenuhnya berada di tangan Allah.

Namun demikian, ikhlas yang bersifat batiniah seharusnya memancarkan ikhlas yang bersifat lahiriah yang dapat dilihat dan dinilai oleh orang lain dengan cara memurnikan ketaatan kepada hukum ketentuan Allah. Renungkan Firman Allah :

قُلْ إِنِّي أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ (11) وَأُمِرْتُ لِأَنْ أَكُونَ أَوَّلَ الْمُسْلِمِينَ (12) قُلْ إِنِّي أَخَافُ إِنْ عَصَيْتُ رَبِّي عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ (13) قُلِ اللَّهَ أَعْبُدُ مُخْلِصًا لَهُ دِينِي (14)

Katakanlah : Aku diperintahkan supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya. Dan aku diperintahkan supaya menjadi orang yang pertama-tama berserah diri. Katakanlah : Sesungguhnya aku takut akan siksaan hari yang besar jika aku durhaka kepada Tuhanku. Katakanlah : Hanya kepada Allah-lah aku beribadah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam menjalankan agamaku. (QS.Azzumar [39] : 11-14)

ikhlas dalam arti memurnikan ketaatan kepada Allah dapat kita lihat dalam hubungan antara majikan dengan buruh. Masing-masing mempunyai hak dan kewajiban. Apabila hak dan kewajiban itu dapat dilaksanakan dengan baik dan bertanggung jawab sesuai hukum ketentuan Allah, maka itu-pun merupakan perbuatan ikhlas sebagai pancaran ikhlas yang bersifat batiniah. Seorang buruh atau karyawan yang telah melaksanakan kewajibannya dengan baik, akibat selanjutnya adalah datangnya kewajiban bagi majikan atau pemilik perusahaan untuk memberikan hak-hak karyawan dengan baik pula. Renungkan sabda Nabi :

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَعْطُوا الْأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ. (رواه ابن ماجه : 2434 - بَاب أَجْرِ الْأُجَرَاءِ – الجزء :7 - صفحة : 294)

Dari Abdullah bin Umar, ia berkata : Rasulullah saw bersabda : Berikanlah upah seorang buruh itu sebelum kering keringatnya. (HR.Ibnu Majah : 2434, Bab Ajril Ujara’, juz : 7, hal. 294)

Dengan demikian, menjadi jelaslah bahwa ikhlas yang bersifat batiniah harus dapat memancarkan ikhlas lahiriah yang diwujudkan dalam bentuk kepatuhan dan ketaatan terhadap hukum ketentuan Allah dalam kehidupan, sehingga tidak ada pihak-pihak lain yang dirugikan.

Maha benar Allah dengan segala firman-Nya. Semoga kita senantiasa mendapatkan hidayah-Nya. Aamiin Ya Rabbal ‘Aalamiin. Wasslm



[1] . Majalah Hidayatullah, Edisi 08/th.IV//Desember 1991, hal. 52-53

Tidak ada komentar:

Posting Komentar