Kamis, 18 Agustus 2016

WALI NIKAH



WALI
Kedudukan wali dalam pernikahan adalah sebagai rukun sebagaimana telah dibahas terdahulu dalam rukun nikah. Artinya tidak sah pernikahan tanpa wali.  Untuk itu, wali harus ada dalam setiap pernikahan/perkawinan, paling tidak, harus ada wakil yang telah mendapatkan wewenang untuk menikahkan, apabila wali yang sebenarnya tidak bisa hadir karena beberapa sebab. Hadits Nabi saw :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ قُدَامَةَ بْنِ أَعْيَنَ حَدَّثَنَا أَبُو عُبَيْدَةَ الْحَدَّادُ عَنْ يُونُسَ وَإِسْرَائِيلَ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي مُوسَى أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ. (رواه ابو داود : 1785 – سنن ابو داود – المكتبة الشاملة – باب فى الولي – الجزء 5 – صفحة : 478)
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Qudamah bin A'yan, telah menceritakan kepada kami Abu 'Ubaidah Al Haddad, dari Yunus, dan Israil, dari Abu Ishaq, dari Abu Burdah, dari Abu Musa, bahwa Nabi saw  bersabda : "Tidak ada (tidak sah) pernikahan kecuali dengan wali." (HR.Abu Daud : 1785, Sunan Abu Daud, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Filwaliyyi, juz : 5, hal. 478).
Apabila mempelai wanita itu tidak mempunyai wali, maka ia dinikahkan oleh wali hakim. Rasulullah saw bersabda:
حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مُوسَى عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا فَإِنْ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ. (رواه الترمذي : 1021- سنن الترمذي – المكتبة الشاملة- باب ما جاء لا نكاح الا بولي- الجزء 4 – صفحة : 288)
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Umar, telah menceritakan kepada kami Sufyan bin 'Uyainah, dari Ibnu Juraij, dari Sulaiman bin Musa, dari Az Zuhri, dari 'Urwah, dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah saw  bersabda : "Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal. Jika dia telah digauli maka dia berhak mendapatkan mahar, karena suami telah menghalalkan kemaluannya. Jika terjadi pertengkaran di antara mereka, maka penguasalah (sultan) yang menjadi wali atas orang yang tidak punya wali." (HR.Tirmidzi : 1021, Sunan Tirmidzi, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab maa jaa-a Laa nikaaha illa biwaliyyin, juz 4, hal. 288)
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ مُعَاذٍ حَدَّثَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مُوسَى عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَيُّمَا امْرَأَةٍ لَمْ يُنْكِحْهَا الْوَلِيُّ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَإِنْ أَصَابَهَا فَلَهَا مَهْرُهَا بِمَا أَصَابَ مِنْهَا فَإِنْ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ. (رواه ابن ماجه : 1869   - سنن ابن ماجه - المكتبة الشاملة- باب لا نكاح الا بولي- الجزء  5– صفحة :  486)
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah berkata, telah menceritakan kepada kami Mu'adz bin Mu'adz, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, dari Sulaiman bin Musa, dari Az Zuhri, dari Urwah, dari 'Aisyah, ia berkata : "Rasulullah saw  bersabda : "Wanita mana saja yang tidak dinikahkan oleh walinya, maka nikahnya adalah batil. Nikahnya adalah batil. Jika suaminya telah menyetubuhinya, ia berhak mendapatkan maharnya karena persetubuhan tersebut. Jika mereka berselisih, maka penguasa (Sultan) adalah wali bagi yang tidak mempunyai wali." (HR. Ibnu Majah : 1869, Sunan Ibnu Majah, Al Maktabah Asy-Syamilah, bab Laa nikaaha illaa biwaliyyin, juz : 5, hal. 486)
Susunan Wali
Yang dapat menjadi wali nikah adalah dari mempelai wanita dari pihak ayah. Tidak ada perwalian dari pihak ibu atau saudara perempuan, seperti kakek dari ibu, paman dari ibu, saudara seibu, sepupu dari keluarga ibu, atau keponakan dari saudara perempuan. Susunan Wali sebagai secara tertib berikut: 
1.     Ayah/bapak kandung
2.     Datuk/kakek dari  pihak bapak, yaitu ayahnya ayah ke atas
3.     Saudara laki-laki sekandung yang seayah-seibu 
4.     Saudara laki-laki yang seayah
5.     Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seiayah-seibu 
6.     Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seayah
7.     Paman dari pihak  bapak
8.     Anak laki-laki dari paman yang dari pihak bapak
9.     Jika semua wali di atas tidak ada, maka yang menjadi wali ialah  penguasa (sultan) menjadi Wali Hakim, sebagaimana sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan Ibnu Majah di atas.
Daftar urutan wali di atas tidak boleh dilangkahi atau diacak-acak, sehingga bila ayah kandung masih hidup, maka tidak boleh hak kewaliannya itu diambil alih oleh wali pada nomor urut berikutnya. Apabila wali pertama tidak ada, hendaklah diambil wali yang kedua dan jika wali kedua tidak ada hendaklah diambil wali ketiga dan begitulah seterusnya secara tertib. Pernikahan yang diwalikan oleh wali yang lebih jauh hubungannya dengan mempelai wanita, sedangkan Wali yang paling dekat hubungannya dengan mempelai wanita masih ada, maka pernikahan  itu tidak sah.[1] 
Penting diketahui bahwa seorang wali berhak mewakilkan hak perwaliannya itu kepada orang lain, meski tidak termasuk dalam daftar para wali. Hal itu biasa sering dilakukan di tengah masyarakat dengan meminta kepada tokoh ‘ulama setempat untuk menjadi wakil dari wali yang syah. Dan untuk itu harus ada akad antara wali dan orang yang mewakilkan. Hak perwalian itu tidak boleh dirampas atau diambil begitu saja tanpa izin dari wali yang sesungguhnya. Bila hal itu dilakukan, maka pernikahan itu tidak sah. 





[1]. Baca Kifayatul Akhyar,  oleh Imam Taqiyuddin, Darul ‘Ilmi, Surbaya Indonesia, tanpa tahun,  juz 2, bab Nikah, halaman : 43

SURAT AL-BAQARAH AYAT 36





Al-Baqarah  Ayat 36
فَأَزَلَّهُمَا الشَّيْطَانُ عَنْهَا فَأَخْرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا فِيهِ وَقُلْنَا اهْبِطُوا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ وَلَكُمْ فِي الْأَرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ إِلَى حِينٍ
Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu dan dikeluarkan dari Keadaan semula dan Kami berfirman : "Turunlah kamu sekalian! sebagian kamu sekalian menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu sekalian ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan."
Awal ayat 36 :  فَأَزَلَّهُمَا الشَّيْطَانُ عَنْهَا “Lalu keduanya digelincirkan oleh syaitan dari surga itu”. Maksudnya adalah Adam dan Hawa dengan tipu daya syaitan memakan buah pohon yang dilarang itu, mengakibatkan keduanya keluar dari surga, dan Allah menyuruh mereka turun ke dunia.
Artinya masuklah syaitan ke tempat Adam dan Hawa,  lalu merayu dan memperdayakan mereka, supaya mereka makan buah pohon yang terlarang itu, sampai syaitan mengatakan bahwa itulah pohon kekekalan   Syajaratulkhuldi (شَجَرَةِ الْخُلْدِ), siapa yang memakan buahnya akan kekal, tidak akan binasa, tidak akan mati-mati, seperti firman Allah :
فَوَسْوَسَ إِلَيْهِ الشَّيْطَانُ قَالَ يَا آَدَمُ هَلْ أَدُلُّكَ عَلَى شَجَرَةِ الْخُلْدِ وَمُلْكٍ لَا يَبْلَى
Kemudian syaitan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata: "Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi (kekal) dan kerajaan yang tidak akan binasa?" (QS. Thaahaa : 120)
Karena pandainya syaitan merayu, sampai-sampai keduanya tergelincir, termakan juga akhirnya buah pohon terlarang itu. Setelah mereka makan buah pohon itu, keadaan mereka menjadi berubah, ternyata terbukalah aurat mereka. Perhatikan firman Allah surat Al-A'raaf  ayat 22 :
فَدَلَّاهُمَا بِغُرُورٍ فَلَمَّا ذَاقَا الشَّجَرَةَ بَدَتْ لَهُمَا سَوْآَتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفَانِ عَلَيْهِمَا مِنْ وَرَقِ الْجَنَّةِ وَنَادَاهُمَا رَبُّهُمَا أَلَمْ أَنْهَكُمَا عَنْ تِلْكُمَا الشَّجَرَةِ وَأَقُلْ لَكُمَا إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمَا عَدُوٌّ مُبِينٌ
Maka syaitan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. kemudian Tuhan mereka menyeru mereka : "Bukankah aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan aku katakan kepadamu : "Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?"
Dlamir (kata ganti) عَنْهَا "Anhaa," dapat kembali pada kata الْجَنَّةَ “Al-Jannah” (Surga). Atas dasar ini, maka makna ayat adalah 'keduanya dijauhkan oleh setan dari Surga', demikianlah menurut bacaan Hamzah dan Ashim bin Bahdalah. Dan dapat juga dlamir (kata ganti)  عَنْهَا "Anhaa," kembali pada kata yang paling dekat dengannya, yaitu الشَّجَرَةَAsy-syajarah” (pohon). Dengan demikian, maka makna ayat seperti yang dikatakan oleh Al-Hasan dan Qatadah adalah 'maka setan menggelincirkan keduanya disebabkan pohon tersebut'.[1]
Berapa lama Nabi Adam berada di surga?
-     Menurut Al-Hakim (dengan sanadnya) dari Ibnu Abbas, ia menceritakan : "Tidaklah Adam tinggal di dalam Surga melainkan hanya antara shalat Ashar sampai dengan terbenamnya matahari".
-     Menurut Abd bin Humaid mengatakan di dalam kitab tafsirnya, (dengan sanadnya) dari Al-Hasan bahwa, “Adam tinggal di dalam Surga hanya sesaat di siang hari”. “Satu saat tersebut lamanya sama dengan 130 tahun hari-hari dunia”. [2]
Tengah ayat 36 :  فَأَخْرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا فِيهِ  “dan dikeluarkan dari Keadaan semula”. Maksud keadaan semula ialah kenikmatan, kemewahan dan kemuliaan hidup dalam surga, seperti pakaian, tempat tinggal yang luas, rezeki yang berlimpah, dan kehidupan yang enak. [3] 
Tengah ayat 36 : وَقُلْنَا اهْبِطُوا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ dan Kami berfirman : "Turunlah kamu sekalian! sebagian kamu sekalian menjadi musuh bagi yang lain”. Maka Allah mengetahui bahwa larangan-Nya telah dilanggar, sehingga Dia memerintahkan, “Turunlah kamu sekalian!". Ada tiga pribadi yang dimaksud oleh ayat ini, yaitu Adam dan Hawa dan Syaitan yang menggelincirkan keduanya itu. Semua disuruh turun dari tempat yang mulia itu, tidak boleh tinggal di sana lagi; yang berdua karena melanggar larangan, yang satu lagi karena tipu daya yang dilakukan untuk memperdayakan orangi. Pihak yang melakukan pelanggaran dan pihak yang menjadi sebab terjadinya pelanggaran, semuanya mendapatkan sanksi atau hukuman.   
Dan selanjutnya Allah menegaskan : بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ (sebagian kamu sekalian menjadi musuh bagi yang lain). Karena dasar permusuhan sudah nampak sejak dahulu kala, si Iblis atau syaitan tidak mau melakukan sujud penghormatan karena sombongnya, merasa diri lebih, tetapi menanam dendam dalam batin untuk mencelakakan manusia. Rupanya sudah ditakdirkan Allah-lah bahwa permusuhan ini akan terus menerus dibawa kemuka bumi.
Dimana Nabi Adam diturunkan?
Terdapat beberapa pendapat, yaitu :
-     As-Saddi mengatakan, bahwasanya Adam turun di India dengan membawa Hajar Aswad dan segenggam dedaunan Surga, lalu ia menaburkannya di India, maka tumbuhlah pepohonan yang wangi baunya. Itulah asal mula wewangian India itu adalah dari segenggam dedaunan Surga yang ikut dibawa turun oleh Adam. Dan Adam menggenggamnya hanya terdorong oleh rasa penyesalannya karena dikeluarkan dari Surga.
-     ‘Imran bin ‘Uyaynah (dengan sanadnya) dari Ibnu Abbas, ia berkata : Adam diturunkan di Dahna, salah satu wilayah di India.
-     Ibnu Abu Hatim (dengan sanadnya) dari Abbas, ia berkata : Adam  Adam diturunkan di suatu daerah yang dikenal dengan nama Dahna, terletak di antara Mekah dan Thaif.
-     Juga menurut Ibnu Abu Hatim (dengan sanadnya) dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : Adam  diturunkan di Shafa, dan Hawa diturunkan di Marwah.
-     Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa Adam diturunkan di India, sedangkan Siti Hawa di Jeddah, dan iblis di Dustamisan yang terletak beberapa mil dari kota Bashrah.
Bagaimana keadaan Nabi Adam saat diturunkan?
-     Raja bin Salamah mengatakan bahwa Nabi Adam diturunkan, sedangkan kedua tangannya diletakkan pada kedua lututnya seraya menundukkan kepalanya. Sedangkan Iblis diturunkan,  jari jemari tangannya ia satukan dengan yang lainnya seraya mengangkat kepalanya ke langit.
-     Dari Abu Musa, ia berkata : Sesungguhnya Allah ketika menurunkan Adam dari Surga ke bumi, terlebih dahulu Dia mengajarkan kepadanya membuat segala sesuatu dan membekalinya dengan buah-buahan Surga. Maka buah-buahan kalian ini berasal dari buah-buahan Surga, hanya bedanya buah-buahan yang ini berubah, sedangkan buah-buahan Surga tidak berubah.
Kapan Nabi Adam diturunkan?
-     Az-Zuhri (dengan sanadnya) dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda : Sebaik-baik hari yang terbit matahari padanya adalah hari Jumat. Pada hari Jum’at Adam diciptakan, pada hari Jum’at pula ia dimasukkan ke dalam Surga, dan pada hari Jum’at pula ia dikeluarkan darinya." (HR. Muslim dan  An-Nasai)
Akhir ayat 36 : وَلَكُمْ فِي الْأَرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ إِلَى حِينٍ  “dan bagi kalian ada tempat kediaman di bumi dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan" . Disuruhnya mereka, semuanya, ketiganya, meninggalkan tempat itu, surga yang penuh kenikmatan, pindah ke bumi. Di bumilah ditentukan tempat kediaman mereka,  rezeki mereka, dan ajal mereka; tetapi hanya buat sementara, tidak akan kekal disana. Di bumi itulah mereka menyediakan bekal yang akan mereka bawa kembali menghadap Allah apabila waktu yang tertentu, waktu yang terbatas dan yang telah ditentukan bagi hidup itu sudah habis, kemudian terjadilah kiamat. 
Faedah yang terkadung dalam ayat
-     Fakhruddin berkata : Sepengetahuanku di dalam ayat ini terkandung makna peringatan dan ancaman yang besar terhadap semua perbuatan maksiat bila ditinjau dari berbagai segi. Antara lain ialah penggambaran kejadian yang dialami oleh Nabi Adam hingga ia dikeluarkan dari Surga, hanya disebabkan kekeliruan yang kecil, yang ini membuatnya menjadi sangat malu terhadap perbuatan maksiat yang dilakukannya. [4]





[1]. Baca tafsir Ibnu Katsir, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz 1, hal. 235 - 236
[2]. Baca tafsir Ibnu Katsir, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz 1, hal. 236 - 237
[3]. Baca tafsir Ibnu Katsir, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz 1, hal. 236

[4]. Baca tafsir Ibnu Katsir, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz 1, hal. 237 - 238