Selasa, 24 Agustus 2010

RENUNGAN RAMADHAN (11) ليلة القدر (LAILATUL QADAR)


Lailatul Qadar, yaitu suatu malam yang penuh kemuliaan, karena pada malam itu terjadi permulaan turunnya Al-Quran, yang dalam Al-Qur'an itu sendiri digambarkan sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan. Renungkan firman Allah yang artinya : Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) Kesejahteraan sampai terbit fajar. (QS. Al-Qadar 1-5)
Kiranya perlu terlebih dahulu menelusuri makna Al-Qadar dari segi bahasa untuk dapat memahaminya, antar lain adalah :
1. Al-Qadar berarti "kemuliaan". Dan kemuliaannya karena malam tersebut terpilih sebagai malam turunnya Al-Quran.
2. Al-Qadar berarti "ketetapan", yaitu penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia, karena sejak malam itu ditetapkan garis pemisah antara kufur dan iman, syirik dengan tauhid, hak dan bathil, jahiliyah dan Islam..
3. Al-Qadar berarti "sempit”. Disebut sempit, karena banyaknya malaikat yang turun ke bumi, seperti tergambar dalam surat Al-Qadar ayat 4 di atas.
Pada malam Al-Qadar dianjurkan memperbanyak ibadah, seperti tilawatil Qur’an, Qiyamul Lail dan amalan-amalan sunnah lainnya. Renungkan sabda Nabi :
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى اللّه عليه وسلم : مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ اِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ (رواه البخاري)
Dari Abu Hurairah ra, ia berkata : Rasulullah saw, bersabda : Barangsiapa yang beribadah pada malam Lailatul qadar dengan keimanan dan perhitungan semata-mata mengharap keridhaan Allah (ikhlas), maka diampuni dosanya yang telah lalu. (HR. Bukhari)[1]
Diantara kemungkinan terjadinya malam Al-Qadar adalah malam ganjil pada sepeuluh malam yang terakhir dari bulan ramadhan. Sabda Nabi :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى اللّه عليه وسلم قَالَ : تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنَ الْعَشْرِ اْلأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ (رواه البخاري)
Dari 'Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw, bersabda : Jaga-jagalah Lailatul qadar pada malam-malam ganjil diantara sepuluh malam yang terakhir dari bulan ramadhan. (HR. Bukhari)[2]
Berkenaan dengan malam Al-Qadar, terjadi peristiwa turunnya Al-Qur'an (Nuzulul Qur'an). Turunnya Al-Qur'an pada tanggal 17 Ramadhan dan dikaitkan dengan turunnya surah pertama __ surah Al-'Alaq ayat 1-5 __ kepada Nabi Muhammad saw, saat beliau melakukan khalwat di Gua Hira, (masih diperdebatkan oleh para ulama'). Namun suatu hal yang pasti, pada hari jum'at tahun ke dua Hijriyah tanggal 17 Ramadhan telah terjadi perang Badar. Perang tersebut merupakan perang pertama kali yang terjadi dalam sejarah awal perkembangan agama Islam. Oleh karena itu, begitu sungguh sangat bermaknanya perang tersebut dalam kelangsungan agama Islam di kemudian hari, maka oleh Al-Qur'an dinamakan dengan hari Al-Furqan yaitu hari yang membedakan antara dua kekuatan, yaitu haqq dan bathil. Atau dengan kata lain, hari jelasnya kemenangan orang Islam dan kekalahan orang kafir.
Dan Al-Furqan sendiri adalah salah satu nama dari kitab suci Al-Qur'an sesuai fungsinya sebagai pembeda antara yang haqq dan bathil. Hari tersebut juga disebut sebagai hari bertemunya dua pasukan, yaitu pasukan kaum muslimin dan pasukan kaum musyrikin atau kafir. Sebagian mufassir berpendapat bahwa ayat ini mengisyaratkan kepada permulaan hari turunnya Al-Qur'an pada malam tanggal 17 ramadhan. Renungkan firman Allah :
...اِنْ كُنْتُمْ آمَنْتُمْ بِاللهِ وَمَآ اَنْزَلْنَا عَلَى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ. (الأنفال : 41)
..... jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami di hari Al-Furqan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan.(QS.Al-Anfal [7] : 41)
Rasulullah saw mengajarkan sebuah do'a kepada 'Aisyah yang baik untuk kita amalkan, yaitu : :
قُوْلِيْ : اَللَّهُمَّ اِنَّكَ عَفْوٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّيْ (رواه الترمذي)
Katakanlah olehmu : Ya Allah, sesungguhnya Engkau sangat pema'af dan Engkau suka kepada ma'af, oleh karena itu, ma'afkanlah kesalahanku. (HR. Tirmidzi)
Berdasarkan keyakinan bahwa beribadah pada malam Al-Qadar mempunyai nilai yang lebih baik dari 1000 bulan, lalu kaum muslimin berlomba-lomba untuk memperoleh banjir pahala pada malam itu, berjaga malam, apa pun yang harus dikorbankan. Bahkan tidak sedikit yang menghitung secara matematis, bahwa pahala malam Al-Qadar sama, bahkan lebih baik dari melakukan amal kebaikan selama 83 tahun 4 bulan.
Kalau kita cermati, lailatur qadar yang termaktub dalam kitab suci Al-Qur'an surat Al-Qadar, diinformasikan oleh Allah sebagai "malam kemuliaan". Dan kemuliaannya karena terkait dengan turunnya Al-Qur'an. Sedangkan derajat 1000 bulan hanyalah ungkapan simbolik untuk menggambarkan dan mengekspresikan kemuliaan Al-Qur'an, bukan kemuliaan malam turunnya atau pergantian masa. Penggunaan bahasa kiasan "lebih baik dari seribu bulan" adalah suatu hal yang tak dapat dihindari oleh Al-Qur'an untuk mengekspresikan hal-hal yang agung dan sangat tinggi, sebagaimana bahasa kitab agama samawi lainnya.
Pemahaman ini akan lebih jelas kalau kita mau mencermati latar belakang turunnnya surat Al-Qadar berikut ini :
اَخْرَجَ ابْنُ اَبِيْ حَاتِم وَالْوَاحِدِيْ عَنْ مُجَاهِدٍ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى اللّه عليه وسلم ذَكَرَ رَجُلاً مِنْ بَنِيْ اِسْرَآئِيْلَ لَبِسَ السِّلاَحَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ اَلْفَ شَهْرٍ، فَعَجِبَ الْمُسْلِمُوْنَ مَنْ ذَالِكَ، فَاَنْزَلَ اللهُ ( اِنَّآ اَنْزَلْنَاهُ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدْرِ - وَمَآ اَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ - لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ شَهْرٍ) اَلَّتِيْ لَبِسَ ذَالِكَ الرَّجُلُ السِّلاَحَ فِيْهَا فِيْ سَبِيْلِ اللهِ.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dan Al-Wahidi dari Mujahid, bahwa Rasulullah saw, menuturkan dengan menyebut seorang laki-laki dari golongan Bani Israil yang memanggul senjata dalam perjuangan di jalan Allah (fi sabilillah) selama seribu bulan (terus menerus). Kemudian kaum muslimin mengagumi perjuangan tersebut. Lalu Allah menurunkan surat Al-Qadar dari ayat 1-3 bahwa malam Al-Qadar itu lebih baik dari 1000 bulan perjuangan laki-laki golongan Bani Israel yang memanggul senjata di jalan Allah (fi sabilillah).
Dari riwayat di atas, jelaslah bahwa Rasulullah saw, menyebutkan seorang Bani Israel yang berjuang di jalan Allah selama dalam kurun waktu 1000 bulan secara terus menerus. Kemudian kaum muslimin saat itu disamping kagum terhadap tokoh yang dikisahkan Rasulullah, juga menyimpan seberkas keresahan karena mereka tidak akan dapat menandinginya, sebab usia mereka relatif lebih pendek dari kaum Bani Israel di masa lalu.
Allah dengan kemahabijaksanaan-Nya menurunkan surat Al-Qadar diantaranya berfungsi sebagai kabar gembira untuk meredam kegelisahan kaum muslimin pada masa itu. Dan ungkapan dengan bahasa simbolik dari Lailatur qadar ini mengacu pada bentuk pemikiran dan ekspresi kebenaran mutlak dari kitab suci Al-Qur'an, bukan pada malam-malam ganjil di akhir Ramadhan. Meski demikian, bahasa simbolik dari Lailatur qadar bukanlah sesuatu yang harus ditinggalkan, melainkan harus dihargai sebagai sesuatu yang positif bagi kehidupan kaum muslimin, bila diisi dengan perjuangan membumikan nilai-nilai Al-Qur'an, yaitu mengkaji, menghayati dan mengamalkan nilai-nilai Al-Qur'an dalam kehidupan. Ungkapan bahasa simbolik dari Lailatur qadar mesti disikapi dengan memantapkan aqidah tauhid, sehingga tidak mendatangkan penyimpangan dan penyelewengan dari fungsi dan makna yang sebenarnya sebagaimana yang dikehendaki oleh Al-Qur'an. Penyelewengan dan penyimpangan itu akan menimbulkan pemitosan negatif bagi kaum muslimin yang dapat menyeret pada tindakan-tindakan penyembahan terhadap simbol-simbol dan pengkultusan terhadap hari-hari ganjil di akhir malam Ramadhan.
Maha benar Allah Yang Maha kuasa atas segala sesuatu. Semoga kita senantiasa dalam keadaan sehat wal ‘afiat serta mendapatkan rahmah, maghfirah dan rido-Nya. Wasslm



[1]. Shahih Bukhar, Dar Al-Fikr, Beirut, kitab puasa, fasal Lailatu qadar, jld, 2, tanpa tahun, hal. 253
[2]. Ibid, hal. 254

Tidak ada komentar:

Posting Komentar