Kamis, 23 Januari 2014

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ



إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ  
Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.
Di dalam ayat-ayat sebelumya telah disebutkan empat macam sifat-sifat Allah, yaitu : Tuhan semesta alam, Maha Pemurah, Maha Penyayang  dan Yang menguasai hari pembalasan. Sifat-sifat yang disebutkan itu adalah sifat-sifat kesempurnaan yang hanya Allah-lah yang menjadi pemilikinya. Sebab itu pada ayat ini Allah mengajarkan kepada hamba-Nya bahwa hanya Allah-lah yang patut disembah, dan hanya kepada-Nya seharusnya manusia memohon  pertolongan.
Berkaitan dengan ayat 5 surat Al-Fatihah yang artinya : “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” Qatadah berkata :  “Allah memerintahkan agar mengikhlaskan ibadah hanya kepada-Nya dan meminta pertolongan hanya kepada-Nya”.[1]
 حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ الصَّبَّاحِ، ثنا عَبْدُ الْوَهَّابِ عَنْ سَعِيدٍ عَنْ قَتَادَةَ فِي قَوْلِهِ : إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ- قَالَ : يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُخْلِصُوا لَهُ الْعِبَادَةَ، وَأَنْ تَسْتَعِينُوهُ عَلَى أَمْرِكُمْ.(تفسير ابن ابي حاتم)
Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Muhammad bin Ash-Shabah, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, dari Said, dari Qatadah tentang firman Allah yang artinya : “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.”Ia (Qatadah) berkata : “Dia (Allah) memerintahkan kalian agar mengikhlaskan ibadah hanya kepada-Nya dan meminta pertolongan hanya kepada-Nya dalam urusan kalian”.(Tafsir Ibnu Abi Hatim)[2]
Dan meminta pertolongan dalam ayat ini maksudnya adalah bersandar kepada Allah dalam mendapatkan kebaikan dan menahan bahaya. Syeikh Abdurrahman bin Nashir As-Su’adiy berkata :  
 والاستعانة هي الاعتماد على الله تعالى في جلب المنافع ودفع المضار مع الثقة به في تحصيل ذلك.(تفسير السعدي)
 Dan “Isti’anah (mohon pertolongan) adalah bersandar kepada Allah Ta’ala dalam mendapatkan kebaikan-kebaikan dan menahan (menolak) bahaya yang disertai dengan keyakinan kepada-Nya dalam mendapatkan hal tersebut.” (Tafsir As-Su’ady).[3] 
Rasulullah saw,   berwasiat  kepada Abdullah bin Abbas agar tidak meminta kecuali kepada Allah dan tidak memohon pertolongan kecuali kepada-Nya : “Jika engkau meminta maka mintalah kepada Allah, dan jika engkau memohon pertolongan maka mohonlah pertolongan kepada Allah”  
 حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ إِسْحَاقَ حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ عَنْ نَافِعِ بْنِ يَزِيدَ أَنَّ قَيْسَ بْنَ الْحَجَّاجِ حَدَّثَهُ أَنَّ حَنَشًا حَدَّثَهُ أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ حَدَّثَهُ قَالَ كُنْتُ رِدْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لِي يَا غُلَامُ إِنِّي مُحَدِّثُكَ حَدِيثًا احْفَظْ اللَّهَ يَحْفَظْكَ احْفَظْ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ إِذَا سَأَلْتَ فَاسْأَلْ اللَّهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ فَقَدْ رُفِعَتْ الْأَقْلَامُ وَجَفَّتْ الْكُتُبُ فَلَوْ جَاءَتْ الْأُمَّةُ يَنْفَعُونَكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَكْتُبْهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَكَ لَمَا اسْتَطَاعَتْ وَلَوْ أَرَادَتْ أَنْ تَضُرَّكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَكْتُبْهُ اللَّهُ لَكَ مَا اسْتَطَاعَتْ. (رواه احمد :2627 -مسند احمد - المكتبة الشاملة – باب مسند عبد الله بن العباس– الجزء : 6– صفحة : 159)  
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ishaq, telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi'ah, dari Nafi' bin Yazid, bahwa Qais bin Al Hajjaj telah menceritakan kepadanya; bahwa Hanasy telah menceritakan kepadanya; bahwa Ibnu Abbas telah menceritakan kepadanya, ia berkata : Aku dibonceng Nabi saw,  lalu beliau bersabda kepadaku : "Wahai anakku, aku akan menceritakan kepadamu satu hadits; Jagalah Allah niscaya Dia akan menjagamu, Jagalah Allah niscaya engkau mendapati-Nya di hadapanmu. Jika engkau meminta maka mintalah kepada Allah, dan jika engkau memohon pertolongan maka mohonlah pertolongan kepada Allah. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah mengering. Maka, seandainya umat ini hendak memberi manfaat kepadamu dengan sesuatu yang tidak Allah 'azza wajalla tetapkan padamu, niscaya mereka tidak akan bisa. Dan seandainya mereka hendak mencelakakan dirimu, dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan padamu, niscaya mereka tidak akan bisa." (HR.Ahmad :  2627, Musnad Ahmad,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab musnad Abdullah bin Abbas,  juz : 6, hal. 159)
Adapun mendahulukan dhamir (kata ganti) "Iyyaka" إِيَّاكَ terhadap dua kata kerja, yaitu  "Na'budu" نَعْبُدُ  dan "nasta`iinu"نَسْتَعِينُ ,   Syihabuddin Mahmud bin Abdillah Al-Husaini Al-Alusi dalam ktab tafsirnya mengatakan, bahwa hal tersebut memiliki makna “Hashr” حصر (hanya) dan “Ikhtishash” اختصاص (pengkhususan),[4] yaitu menetapkan hukum “hanya” dan pengkhususan bagi yang disebutkan dan meniadakan dari yang selainnya, sehingga lafazh iyyaaka na’budu bermakna : “hanya kepada-Mu secara khusus kami menyembah”, dan lafazh iyyaaka nasta’iin bermakna : “hanya kepada-Mu secara khusus kami meminta pertolongan”.
 Nashiruddin Abul Khair Abdullah bin Umar bin Muhammad Al-Baidhawi, dalam kitab tafsinya (Tafsir Baidhawi) mengatakan, bahwa mendahulukan kata "Iyyaka" إِيَّاكَ (sebagai maf’ul bih) atas kata "Na'budu" نَعْبُدُ  dan "nasta`iinu"نَسْتَعِينُ dan diulangi dua kali dimaksudkan untuk menguatkan dan menegaskan bahwa ibadah dan isti`anah (mohon pertolongan) itu khusus dihadapkan kepada Allah. Artinya, Kata "Iyyaka" إِيَّاكَ mengandung makna "pengkhususan".[5] Kata "Iyyaka" إِيَّاكَ yang pertama yaitu pengkhususan "ibadah" hanya kepada Allah, yaitu tidak ada sesembahan selain Allah[6] dengan mentauhidkan-Nya, serta berharap hanya kepada-Nya dan tidak kepada yang lain.[7] Artinya, hendaklah tulus ikhlas dalam beribadah yang dikerjakannya semata-mata untuk mencapai keridaan-Nya dan tidak mengadakan syirik baik yang terang-terangan maupun yang tersembunyi seperti riya’, karena  riya' yang paling ringan pun sudah terhitung syirik. Hadits Nabi:
حَدَّثَنَا حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي ابْنُ لَهِيعَةَ عَنْ عِيسَى بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَنَّهُ خَرَجَ يَوْمًا إِلَى مَسْجِدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَجَدَ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ قَاعِدًا عِنْدَ قَبْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَبْكِي فَقَالَ مَا يُبْكِيكَ قَالَ يُبْكِينِي شَيْءٌ سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ يَسِيرَ الرِّيَاءِ شِرْكٌ. (رواه ابن ماجه : 3979 – سنن ابن ماجه – المكتبة الشاملة – باب من ترجى له السلامة من الفتن – الجزء  : 11 – صفحة : 489)
Telah menceritakan kepada kami Harmalah bin Yahya, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Wahb, telah mengabarkan kepadaku Ibnu Lahi'ah, dari Isa bin Abdurrahman, dari Zaid bin Aslam, dari Aslam, dari Umar bin Khattab, bahwa suatu ketika dia keluar menuju masjid Nabi saw,  lalu berjumpa dengan Mu'adz bin Jabal yang sedang duduk di sisi Kuburan Nabi saw,  sambil menangis. Maka ia pun bertanya, "Apa yang membuatmu manangis?" Mu'adz menjawab, "Aku menangis karena sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah saw,  aku mendengar Rasulullah saw, bersabda : "Sesungguhnya riya' yang paling ringan pun sudah terhitung syirik. (HR.Ibnu Majah : 3979, Sunan Ibnu Majah, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab man turja lahus salaamatu minal fitani, juz : 11, hal.489)
Renungkan firman Allah :
.....فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا.(الكهف : 110)
.....Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya. (QS.Al-Kahfi : 110)
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا..... الآية (النساء: 36).
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak..... (QS.An-Nisa’ : 36)
Larangan mempersekutukan Allah dengan sesuatupun dalam ayat ini menunjukkan adanya perintah tulus dan ikhls dalam beribadah, seolah-olah   dikatakan : “Sembahlah Allah dengan tulus ikhlas dalam beribadah kepada-Nya”. [8]  Firman Allah :
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ..... الآية (البينة : 5)
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah (menyembah) Allah dengan ikhlas (memurnikan) ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus,....(QS.Al-Bayyinah : 5)
Kata ibadah  diambil dari kata  ‘abada,  ya’budu, ‘abdan, fahuwa ‘aabidun(عبد – يعبد – عبدا فهو عابد) . ‘Abid (عابد), berarti hamba atau budak, yakni seseorang yang tidak memiliki apa-apa, bahkan dirinya sendiri-pun menjadi milik tuannya, sehingga karenanya seluruh aktifitas hidup hamba atau budak hanya untuk memperoleh keridhaan tuannya dan menghindarkan murkanya. Manusia adalah hamba Allah “‘Ibaadullaah” (عباد الله) yang jiwa raganya hanya milik Allah, hidup matinya di tangan Allah, miskin kayanya sesuai ketentuan Allah, dan diciptakan hanya untuk  ibadah atau menghambakan dirinya kepada-Nya :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ (الذريات : 56)
Tidak Aku ciptakan Jin dan Manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku
(QS.Adz-Dzariyat : 56)
Ibadah merupakan suatu usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah yang hakikatnya adalah melaksanakan apa yang dicintai dan diridhai-Nya dengan penuh keikhlasan dan ketundukan kepada Allah.  Ibadah  ada dua macam yaitu Mahdhah (murni hanya berhubungan  dengan  Allah) dan Ghairu Mahdhah (tidak murni  hubungan dengan Allah, karena juga ada hubungan antara hamba)[9] : 
1, Ibadah Mahdhah adalah ibadah yang murni hanya merupakan hubungan antara hamba dengan Allah secara langsung yang tata cara dan perincian-perinciannya telah ditetpkan, seperti : shalat, puasa, zakat, membaca Al-Quran, istighfar, dzikir, do’a dan lain sebagainya;[10]  dengan Rumus :  “KA + SS” (Karena Allah + Sesuai Syariat)
2. Ibadah Ghairu Mahdhah, adalah ibadah umum yang tidak murni semata hubungan dengan Allah, tetapi juga merupakan hubungan atau interaksi antara hamba dengan makhluk lainnya, misalnya tolong menolong, menyantuni kaum dhu’afa’, menjaga kebersihan dan keamanan lingkungan dan lain sebagainya; dengan Rumus : “BB + KA” (Berbuat Baik +  Karena Allah)
Ada sebuah ibadah, bahkan disebutkan sebagai sumsum (inti) daripada ibadah, yaitu do’a, karena di dalamnya terdapat usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah  (taqarrub ilaa Allah), juga terdapat permohonan dari seorang hamba yang tawadhu’ (rendah hati), merasa lemah dan tidak mampu menghadapi masalah, kecuali atas pertolongan Allah swt.  Hadits Nabi :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ مَنْصُورٍ وَالْأَعْمَشِ عَنْ ذَرٍّ عَنْ يُسَيْعٍ الْحَضْرَمِيِّ عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ  : الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ ثُمَّ قَرَأَ {وَقَالَ رَبُّكُمْ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ}, (رواه الترمذي : 3170 – سنن الترمذي – المكتبة الشاملة – باب ومن سورة المؤمن – الجزء : 11- صفحة : 42)
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar, telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Mahdi, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Manshur dan Al A'masy, dari Dzarr, dari Yusai' Al Hadlrami, dari An Nu'man bin Basyir berkata : Aku mendengar Nabi saw, bersabda : "Doa adalah ibadah" kemudian beliau membaca : "Dan Tuhanmu berfirman : 'Berdoalah kepadaKu, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembahKu akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina." (Al Mu`min: 60) - Abu Isa berkata: Hadits ini hasan shahih. (HR.Tirmidzi : 3170, Sunan Tirmidzi, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab wa min suratil mu’min,  juz : 11, hal.42)
  حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ أَخْبَرَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ عَنْ ابْنِ لَهِيعَةَ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي جَعْفَرٍ عَنْ أَبَانَ بْنِ صَالِحٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الدُّعَاءُ مُخُّ الْعِبَادَةِ. (رواه الترمذي :   3293 -سنن الترمذي – المكتبة الشاملة – الجزء : 11- صفحة :  220)
Telah menceritakan kepada kami Ali bin Hujr, telah mengabarkan kepada kami Al Walid bin Muslim, dari Ibnu Lahi'ah, dari 'Ubaidullah bin Abu Ja'far, dari Aban bin Shalih, dari Anas bin Malik, dari Nabi saw,  beliau bersabda: "Doa adalah sumsum (inti) ibadah." (HR.Tirmidzi :  3293, Sunan Tirmidzi, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz : 11, hal.220)
Adapun kata "Iyyaka" إِيَّاكَ yang kedua yaitu pengkhususan "minta pertolongan" hanya kepada Allah, dengan arti bahwa tidak ada yang berhak dimohonkan pertolongannya kecuali Allah. Memohon pertolongan kepada Allah diperintahkan oleh-Nya sebagaimana yang termaktub dalam Al-Qur’an :    
قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ اسْتَعِينُوا بِاللَّهِ وَاصْبِرُوا إِنَّ الْأَرْضَ لِلَّهِ يُورِثُهَا مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ. (الأعراف :128)  
Musa berkata kepada kaumnya :  Mohonlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah; sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa . (QS.Al-A’raaf : 128)  
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ (البقرة :45)
Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’ (QS.Al-Baqarah : 45)
Pada ayat 5 surat Al-Fatihah ini juga, terdapat perubahan dhamir (kata ganti) dari pihak ke-III (DIA) pada ayat-ayat sebelumnya, kemudian menjadi pihak ke-II (ENGKAU), karena bila seseorang telah memuji dan menyanjung Allah, maka hijab (tabir) yang menghalangi menjadi terbuka, sehingga Allah menjadi dekat seperti hadir di hadapannya. Untuk itu, dhamir (kata ganti) yang cocok  dipergunakan adalah kata ganti pihak ke-II, yaitu “ENGKAU”, sehingga terjadi komunikasi langsung antara pihak pertama dengan pihak ke-ll.[11] Allah akan menjawab panggilan seorang hamba yang memanggil-Nya.   Firman Allah :
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ (البقرة :152)
Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku. (QS.Al-Baqarah : 152)
Pada ayat 5 surat Al-Fatihah ini juga, kata "Na'budu" نَعْبُدُ (kami menyembah) didahulukan menyebutkannya dari kata "nasta`iinu"نَسْتَعِينُ  (kami minta tolong), karena ibadah  kepada Allah itu adalah suatu kewajiban manusia yang harus dilaksanakan dengan penuh perhatian dan sungguh-sungguh terhadap sang Maha Pencipta, Allah swt, yang wajib disembah; sedangkan memohon pertolongan kepada Allah merupakan pengakuan bahwa dirinya adalah lemah, hina yang harus selalu kembali kepada-Nya.[12] Mendapatkan pertolongan Allah adalah hak seorang hamba, sebagaiman telah difirmankan dalam hadits Qudsi :  “dan hamba-Ku mendapatkan sesuatu yang dia minta”.[13] Hadits Nabi :
حَدَّثَنَاه إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْحَنْظَلِيُّ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ الْعَلَاءِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : قَالَ اللَّهُ تَعَالَى قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ {الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ} قَالَ اللَّهُ تَعَالَى حَمِدَنِي عَبْدِي وَإِذَا قَالَ {الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} قَالَ اللَّهُ تَعَالَى أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي وَإِذَا قَالَ {مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ} قَالَ مَجَّدَنِي عَبْدِي وَقَالَ مَرَّةً فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي فَإِذَا قَالَ {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ} قَالَ هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ فَإِذَا قَالَ {اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ} قَالَ هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ. (رواه مسلم : 598 - صحيح مسلم- المكتبة الشاملة-بَاب وُجُوبِ قِرَاءَةِ الْفَاتِحَةِ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ- الجزء : 2 – صفحة : 352)
Telah menceritakan kepada kami [Ishaq bin Ibrahim Al-Hanzhali], telah mengabarkan kepada kami [Sufyan bin ‘Uyaynah] dari [Al-‘Ala’] dari ayahnya, dari [Abu Hurairah], dari Nabi saw, beliau bersabda : Allah berfirman : Aku membagi shalat (surat Al-Fatihah) antara Aku dengan hamba-Ku menjadi dua bagian, dan hamba-Ku mendapatkan sesuatu yang dia minta. Apabila seorang hamba berkata : Segala puji bagi Allah Tuhan  semesta alam. Maka Allah berfirman :  Hamba-Ku memuji-Ku. Apabila hamba tersebut mengucapkan :  Yang Maha pengasih lagi Maha Penyayang. Maka Allah berfirman : Hamba-Ku memuji-Ku. Apabila hamba tersebut mengucapkan : Pemilik hari kiamat. Maka Allah berfirman :  Hamba-Ku memuji-Ku. Selanjutnya Dia berfirman : Hamba-Ku menyerahkan urusannya kepada-Ku. Apabila hamba tersebut mengucapkan :  Hanya kepada-Mulah aku menyembah dan hanya kepada-Mulah aku memohon pertolongan. Maka Allah berfirman :  Ini adalah antara Aku dengan hamba-Ku. Dan hamba-Ku mendapatkan sesuatu yang dia minta. Apabila hamba tersebut mengucapkan : Berilah kami petunjuk jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat atas mereka, bukan jalan orang-orang yang Engkau murkai dan bukan pula orang-orang yang sesat. Maka Allah berfirman : Ini untuk hamba-Ku, dan hamba-Ku mendapatkan sesuatu yang dia minta. (HR. Muslim : 598, shahih Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab wujuubi qiraa-atil fatihah fii kulli rakatin, juz : 2, hal. 352)
Dari susunan kata-kata tersebut, yaitu mendahulukan kata "Na'budu" نَعْبُدُ  daripada kata "nasta`iinu"نَسْتَعِينُ , adalah mengandung pendidikan bahwa Allah mengajarkan kepada hamba-Nya supaya menunaikan kewajibannya lebih dahulu, sebelum ia menuntut haknya.
  Allah swt menggunakan kata ganti orang pertama jamak (ضمير متكلم مع الغير)  dalam lafadh "na`budu"  نَعْبُدُ dan "nasta`iinu" نَسْتَعِينُ  (kami menyembah, kami minta tolong), bukan menggunakan kata ganti orang pertama tunggal (ضمير متكلم وحده) a`budu" اَعْبُدُ dan "asta`iinu"  اَسْتَعِيْنُ (saya menyembah dan saya minta tolong) adalah untuk memperlihatkan bahwa manusia dalam melakukan suatu ibadah seperti ibdah shalat adalah lebih utama dilaksanakan dengan berjama’ah.[14] Hal ini semakna dengan Hadits Nabi :
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ حَدَّثَنَا ابْنُ عَيَّاشٍ عَنْ الْبَخْتَرِيِّ بْنِ عُبَيْدِ بْنِ سَلْمَانَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي ذَرٍّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ اثْنَانِ خَيْرٌ مِنْ وَاحِدٍ وَثَلَاثٌ خَيْرٌ مِنْ اثْنَيْنِ وَأَرْبَعَةٌ خَيْرٌ مِنْ ثَلَاثَةٍ فَعَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَنْ يَجْمَعَ أُمَّتِي إِلَّا عَلَى هُدًى. (رواه احمد : 20331 -مسند احمد - المكتبة الشاملة – باب حديث ابي ذر الغفاري– الجزء : 43– صفحة : 297)  
Telah menceritakan kepada kami Abul Yaman, telah menceritakan kepada kami Ibnu 'Ayyasy, dari Al Bakhtari bin Ubaid bin Salman. dari Ayahnya, dari Abu Dzar, dari Nabi saw,  beliau bersabda : "Dua orang itu lebih baik ketimbang satu, tiga orang itu lebih baik ketimbang dua dan empat itu lebih baik ketimbang tiga, maka hendaklah kalian berjama'ah, karena sesungguhnya Allah 'azza wajalla tidak mengumpulkan ummatku kecuali di atas petunjuk." (HR.Ahmad : 20331, Musnad Ahmad,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab  hadits Abu Dzar Al-Ghifari,  juz : 43, hal. 297)
Dalam sebuah pepatah “Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh”. Kalau kita melakukan suatu pekerjaan atau berjuangg bersama-sama akan memiliki kekuatan yang lebih besar daripada melakukan sesuatu secara sendiri-sendiri, atau dengan kata lain, bersatu lebih kuat daripada terpecah belah yang akan membuat kita tercerai-berai. Ibarat sapu lidi, jika hanya terdiri dari satu lidi, maka ia tidak akan mampu menyapu sampah, dan baru dapat digunakan untuk menyapu ketika terdiri dari gabungan banyak lidi yang diikat dalam satu ikatan.


[1]. Abu Al-Fida’ Isma’il bin Umar bin Katsir Al-Qurasyi Ad-Damisyqi, Tafsir Ibnu Katsir,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab 5, juz 1, hal. 135
[2].  Tafsir Ibnu Abi Hatim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab 1, juz 1, hal. 8
[3]. Abdurrahman bin Nashir bin As-Su’ady, Tafsir As-Su’ady, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab 1, juz 1, hal. 39
[4]. Syihabuddin Mahmud bin Abdillah Al-Husaini Al-Alusi, Tafsir Al-Alusi, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab : 1,  juz : 1, hal. 64
[5]. Nashiruddin Abul Khair Abdullah bin Umar bin Muhammad Al-Bajdhawi, Tafsir Baidhawi, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab 1, juz 1, hal.1 – dan lihat pula bab 40, juz 1, hal. 77.
[6]. An-Naisaburi , Tafsir An-Naisaburi, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab 1, juz 1, hal.42
[7]. Tafsir Ibnu Abi Hatim,  bab 1, juz 1, Op Cit, hal. 7
[8].  Tafsir Al-Alusi,  bab : 35,  juz : 4, Op Cit, hal. 47
[9]. Al-Futuhat Al-Makkiyyah, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab filhadhrir rabbiyyah...., juz 6, hal. 36
[10]. Fatawa Al-Azhar, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab hukmu Iqamah ma’tsamil arba’in, juz 5, hal. 471; bab qadhaul wajibat ‘anil amwaat, juz 8, hal, 314; bab Azzakatu fii maalish shabiyyi, juz 9, hal. 209-  dan lihat pula Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab ma-alatun qaumun qad khashshashuu biss’aadah wa qad khashshashuu..., juz 2, hal. 221
[11].  Haqi, tafsir Haqi, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab 5, juz 1, hal. 16
[12]. Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin Hasan bin Husain At-Taimi Ar-Razi, Tafsir Ar-Razi, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab 7, juz 1, hal. 157  
[13].  Tafsir Ibnu Katsir, bab 1, juz 1, Op Cit, hal. 106 – 108
[14]. Ibnu ‘Adil, Tafsir Al-Lubab Libni ‘Adil, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab 5, juz 1, hal. 20