Jumat, 04 Agustus 2017

MACAAM-MACAM TALAK



MACAM-MACAM TALAK
Sengketa dalam rumah tangga sering kali menjadi penyebab bagi pasangan suami istri untuk memilih jalan talak (cerai). Akan tetapi, setelah perceraian itu terjadi banyak pasangan yang akhirnya menyesal dan ingin kembali membina rumah tangga seperti sedia kala. Talak dalam  agama Islam ada yang masih bisa membuat pasangan suami istri itu kembali kepada pernikahan yang ada sebelum perceraian atau dikenal dengan rujuk,  dan ada pula yang tidak boleh kembali lagi, sehingga talak itu dibagi menjadi dua macam, dengan penjelasan sebagai berikut :
1.    Talak Raj’iy
Talak Raj’iy, yaitu talak yang masih memungkinkan bagi suami yang menalak isterinya untuk kembali (rujuk) selama masih dalam ‘iddah. (‘Iddah adalah waktu atau masa tertentu bagi seorang wanita yang ditalak atau ditinggal mati oleh suami untuk menangguhkan perkawinan dengan laki-laki lain). Bila seorang suami telah menalak istrinya, maka ia boleh, bahkan dianjurkan untuk  kembali (rujuk). Dengan syarat keduanya sudah betul-betul hendak mengadakan perbaikan. Talak Raj’iy terdiri dari :
a.  Talak Satu, yaitu suami telah menjatuhkan talak satu pada istrinya. Talak yang pertama ini suami masih boleh kembali  (rujuk) kepada istrinya.
b.  Talak Dua, yaitu suami telah menjatuhkan talak lagi untuk yang kedua kalinya kepada istrinya. Talak yang kedua ini suami masih boleh kembali (rujuk) kepada istrinya.
Rujuk menurut syara’ adalah ungkapan tentang kembali kepada pernikahan sesudah terjadi talak (cerai) yang bukan talak baain (talak tiga) dengan cara tertentu.[1] Dasar atau landasan tentang rujuk adalah Al-Qur’an dan hadits Nabi sebagai berikut :
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَلَا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ..... الآية
Apabila kalian menalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). Dan janganlah kalian rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kalian menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. (QS. Al-Baqarah : 231)
Kata “Imsak” dalam kalimat فَأَمْسِكُوهُنَّ  (Fa-amsikuu Hunna), dan تُمْسِكُوهُنَّ  وَلَا (walaa Tumsikuu hunna), bermakna “Rujuk” (kembali).[2]
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا
Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. (QS. Al-Baqarah : 228)
Kata “Radd” dalam kalimat بِرَدِّهِنَّ (Biraddihinna), bermakna “Rujuk” (kembali), dengan kesepakatan para ahli tafsir. [3]
Rasulullah saw pernah menalak Hafshah putri Umar bin Khathab, kemudian beliau saw merujukinya, sebagaimana dalam hadits dari Umar berikut ini :
حَدَّثَنَا سَهْلُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ الزُّبَيْرِ الْعَسْكَرِيُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ زَكَرِيَّا بْنِ أَبِي زَائِدَةَ عَنْ صَالِحِ بْنِ صَالِحٍ عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَلَّقَ حَفْصَةَ ثُمَّ رَاجَعَهَا. (رواه  ابو داود : 1943- سنن ابو داود – المكتبة الشاملة –  باب فى المراجعة - الجز ء : 6- صفحة :  206)
Telah menceritakan kepada kami Sahl bin Muhammad bin Al-Zubair Al-‘Askariy, telah menceritakan kepada kami Yahya bin Zakariya bin Abi Zaidah, dari Shalih bin Shalih, dari Salamah bin Kuhail, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas, dari Umar, sesungguhnya Rasulullah saw menceraikan Hafshah kemudian merujuknya. (HR. Abu Dawud : 1943, Sunan Abu Dawud, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Fil-Muraja’ah, juz 6, hal. 206)
Dalam kisah tentang Ibnu Umar, Rasulullah saw bersabda kepada Umar agar putranya (Abdullah bin Umar) disuruh rujuk (kembali) kepada isterinya, sebagaiman yang termaktub dalam hadits berikut :
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا. (رواه البخاري:  4850 – صحيح البخاري– المكتبة الشاملة – باب قول الله تعالى يايها النبي اذا طلقتم- الجز ء : 16- صفحة :     292)
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abdillah, ia berkata : Telah menceritakan kepada ku Maik, dari Nafi’, dari ‘Abdullah bin ‘Umar ra, bahwasanya ia (Abdullah bin Umar)  pernah menalak isterinya dan isterinya dalam keadaan haidh, itu dilakukan di masa Rasulullah saw. Lalu ‘Umar bin Al-Khathab menanyakan masalah ini kepada Rasulullah saw. Beliau saw lantas bersabda : Suruhlah dia (Abdullah bin Umar),  hendaklah ia merujuki isterinya. (HR. Bukhari :  4850, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab Qaulu Allaahu : Yaa Ayyuhan Nabiyyu Idzaa Thallaqtum,  juz : 16, hal. 292)
Dalam melakukan rujuk hendaklah memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1.  Istri  yang dapat dirujuk selama ia masih dalam keadaan ‘Iddah.
2.  Istri yang dapat dirujuk adalah istri yang sudah dicampuri, karena yang belum dicampuri tidak mempunyai ‘iddah.
3.   Istri yang dirujuk itu harus jelas (ditentukan). Jika suami menalak beberapa orang istrinya, kemudian ia rujuk kepada salah seorang dari mereka dengan tidak ditentukan siapa yang dirujukinya, maka rujuknya itu tidaak sah.
4.   Suami melakukan rujuk atas kehendaknya sendiri, bukan dipaksa oleh siapapun.
5.   Rujuk tidak disyaratkan ada saksi menurut qaul yang shahih. Namun ada pendapat sebagian ulama, bahwa adanya saksi adalah sunat, bahkan ada yang berpendapat wajib.
6.   Lafaz atau rangkaian kata (kalimat) yang digunakan untuk rujuk harus jelas/terang (Sharikh), bagi yang mampu. Contoh :  “Saya kembali kepada istri saya” atau “Saya kembali kepada istri saya sebagai seorang suami” atau “Saya rujuk (kembali) kepadamu” dll.
7.   Rujuk tidak dapat menerima ta’liq (digantungkan); umapama : Seorang laki-laki berkata kepada istri yang telah dithalaq : Aku rujuk (kembali) kepadamu, “Kalau Engkau Mau” atau “Kalau Si Anu Datang”, lalu si wanita berkata :  “Iya Aku Mau” atau “Iya Aku Terima”. Rujuk yang digantungkan (ta’liq) seperti itu tidak sah.
2.    Talak Baain
Talak baain adalah talak yang dijatuhkan suami, dan bekas suami tidak boleh merujuk (kembali), kecuali dengan jalan akad nikah baru, dengan memenuhi seluruh syarat dan rukunnya. Talak baain ada 2 macam :
a.   Talak Baain Shughra (kecil) adalah talak yang dijatuhkan oleh seorang suami, tetapi suami tidak melakukan rujuk hingga habis masa 'iddah. Dengan demikian, suami tidak boleh rujuk (kembali), tetapi boleh melakukan akad nikah baru. Demikian pula dalam talak tebus (Khulu’), suami tidak boleh rujuk, tetapi boleh menikah lagi dengan akad nikah baru, baik dalam ‘iddah ataupun sesudah habis masa ‘iddahnya.
b.   Talak Baain Kubra (besar) adalah Talak yang sudah jatuh tiga kali. Jika talak sudah jatuh tiga kali, maka suami tidak boleh rujuk (kembali) kepada istrinya, bahkan tidak sah nikah lagi dengan mantan istrinya itu, kecuali istrinya sudah dinikahi oleh laki-laki lain, sudah bercampur, sudah diceraikan dan sudah habis pula masa ‘iddahnya. [4]
Catatan penting : Kalau seorang suami berkata kepada istrinya yang sudah dicampurinya : ‘Engkau tertalak, Engkau tertalak, Engkau tertalak’. Apakah dengan kalimat itu jatuh thalaq tiga? Kita perhatikan uraian berikut ini :
1.   Kalau suami diam sejenak lebih dari sekedar bernafas diantara dua kalimat talak, maka jatuh thalaq tiga.
2.   Kalau suami tidak diam dan bermaksud untuk menguatkan kalimat talak sebelumnya, maka jatuh thalaq satu.
3.   Kalau suami bermaksud menyambung ucapannya, maka jatuh talak tiga.
4.   Kalau suami berkata : Engkau tertalak tiga, maka jatuh talak tiga.
5.   Kalau suami berniat talak dan berkata  : Engkau tertalak, maka jatuh talak sesuai niatnya. [5] 


[1]. Baca kitab Kifayatul Akhyar oleh Imam Taqiyuddin, Darul Ilmi, Surabaya, tanpa tahun,  juz 2, hal. 86
[2]. Baca tafsir Ath-Thabary, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz 5, hal. 7
[3]. Baca tafsir Ath-Thabary, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz 4, hal. 529. Dan Baca pula kitab Kifayatul Akhyar oleh Imam Taqiyuddin, Darul Ilmi, Surabaya, tanpa tahun,  juz 2, hal. 86
[4]. Baca kitab Kifayatul Akhyar oleh Imam Taqiyuddin, Darul Ilmi, Surabaya, tanpa tahun,  juz 2, hal. 87 – Dan baca juga Fiqih Islam, oleh H. Sulaiman Rasjid, cetakan ke 32, PT.Sinar baru Algensindo, Bandung, 1998, hal. 418 - 420.
[5]. Baca kitab Kifayatul Akhyar oleh Imam Taqiyuddin, Darul Ilmi, Surabaya, tanpa tahun,  juz 2, hal. 86