Kamis, 26 Februari 2015

HAJI DAN UMRAH (BAGIAN KE-4)


Wajib Haji Dan Umrah
Wajib dan rukun biasanya mempunyai arti yang sama, tetapi di dalam ibadah haji/umrah ada perbedaannya, yaitu : Rukun haji/umrah adalah sesuatu yang mesti dilakukan, jika ditinggalkan, maka hajinya tidak sah dan tidak boleh diganti dengan membayar dam (kaffarat).  Sedangkan wajib haji/umrah adalah sesuatu yang mesti dilakukan, jika ditinggalkan, maka hajinya tetap sah, tetapi harus diganti dengan membayar dam (kaffarat).
A. Wajib Haji Ada
1.    Ihram dari miqat
2.    Mabit di muzdalifah
3.    Mabit di mina
4.    Melontar jamrah
5.    Menghindari perbuatan yang dilarang selama ihram
6.    Thawaf wada'
B. Wajib Umrah
1.       Ihram umrah dari miqat (tempat dimulainya pelaksanaan ihram)
2.       Tidak melakukan perbuatan- perbuatan yang dilarang selama umrah.
Penjelasan Wajib Haji/Umrah
1.    Ihram Dari Miqat
Ketika hendak melakukan Ihram (Niat untuk mengerjakan haji atau umrah) terlebih dahulu memakai pakaian ihram. Pakaian ihram bagi laki-laki adalah dua lembar kain yang tidak berjahit yang dipakai untuk bagian bawah menutup aurat, dan kain satunya lagi diselendangkan. Sedangkan pakaian ihram bagi wanita adalah menutup semua badannya kecuali muka dan telapak tangan (seperti pakaian ketika shalat). Warna pakaian ihram disunatkan putih.
 Miqat (bahasa Arab : ميقات) adalah batas yang ditentukan berdasarkan waktu dan tempat bagi dimulainya ibadah haji/umrah. Ihram bagi yang hendak menunaikan Ibadah Haji/Umrah dimulai dari miqat (tempat dan waktu yang telah ditentukan). Miqat terdiri dari dua bagian :
1.    Miqat Zamani (ﻣﻴﻘﺎﺕ ﺯﻣﺎﻧﻲ) - batas yang ditentukan berdasarkan waktu, yaitu :
a)     Bagi haji, miqat dimulai dari bulan Syawal sampai terbit fajar tanggal 10 bulan Dzulhijah yaitu ketika ibadah haji dilaksanakan.
b)    Bagi umrah, miqat zamani belaku sepanjang tahun dapat dilakukan umrah.
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ
(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. (QS.Al-Baqarah : 197)
وَقَالَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَشْهُرُ الْحَجِّ شَوَّالٌ وَذُو الْقَعْدَةِ وَعَشْرٌ مِنْ ذِي الْحَجَّةِ. (رواه البحاري– صحيح البخاري- المكتبة الشاملة-بَاب قَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ– الجزء : 5-صفحة : 461)
Dan Ibnu Umar ra, berkata : Bulan haji adalah bulan syawal, dzulqa’dah dan sepuluh hari dari bulan dzulhijjah. (HR.Bukhari, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab qaulilllaahi ta’aalaa : Alhajju Asyurum ma’luumaat, juz : 5, hal. 461)
2.    Miqat Makani (ﻣﻴﻘﺎﺕ ﻣﻛﺎﻧﻲ) - batas yang ditentukan berdasarkan tempat, yaitu :
a)     Bagi mereka yang tinggal di Makkah, miqatnya (tempat untuk memulai ihram haji) di Makkah itu sendiri (rumah sendiri). Untuk umrah ialah keluar dari tanah haram Makkah yaitu sebaiknya di Ji'ranah, Tan'eim atau Hudaibiyah.
b)    Bagi mereka yang datang dari sebelah timur seperti, Yaman, India,  Indonesia, Malaysia, Singapura dan negeri-negeri yang sejajar, miqatnya (tempat untuk memulai ihram haji) di Yalamlam (ﻳﻠﻣﻠﻢ) (nama suatu bukit dari beberapa bukit Thuhamah) atau sudah sejajar dengan bukit Yalamlam, atau Jeddah (ﺟﺪﻩ).
c)     Bagi yang datang dari barat seperti Mesir, Syam, Maghribi dan negeri-negeri yang sejajar dengan neger-negeri tersebut, miqatnya (tempat untuk memulai ihram haji) di Juhfah (ﺟﺤﻔﻪ) (suatu kampung antara Makkah dan Madinh). Dan kampung yang dekat dengan Juhfah adalah Rabigh (رابغ), dan orang-orang sekarang mulai ihram apabila telah melalui atau sejajar dengan Rabigh, karena Juhfah sekarang sudah rusak.
d)    Bagi yang datang dari selatan seperti Najdil-Yaman dan Najdil-Hijaz serta orang-orang yang datang dari negeri-negeri yang sejajar, miqatnya (tempat untuk memulai ihram haji)  di Qarnul Manazil (ﻗﺮﻦﺍﻠﻣﻨﺎﺯﻝ) (Qarnul Manazil adalah bukit yang jaraknya dari Makkah kira-kira 80, 640 km).
e)     Bagi yang datang dari arah Madinah dan neger-negeri yang sejajar dengan Madinah, miqatnya (tempat untuk memulai ihram haji) di Dzulhulaifah  (ﺫﻭﺍﻟﺣﻠﻴﻔﻪ) atau dikenal dengan Bir Ali (Abyar 'Ali) ((ﺍﺑﻳﺎﺭ ﻋﻠﻲ.
f)     Bagi yang datang dari bahagian arah Iraq dan neger-negeri yang sejajar dengan Iraq, miqatnya (tempat untuk memulai ihram haji) di Dzatu 'Irq (ﺫﺍﺕ ﻋﺮﻕ).[1](Dzatu ‘Irq adalah nama kampung yang jaraknya dari Makkah kira-kira 80, 640 km).
g)    Bagi penduduk negeri yang ada diantara Makkah dan miqat-miqat tersebut, miqatnya (tempat untuk memulai ihram haji) di negeri masing-masing.[2]
Sabda Nabi Saw Ketika Beliau Menetapkan Miqat :
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ حَدَّثَنَا ابْنُ طَاوُسٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَّتَ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ ذَا الْحُلَيْفَةِ وَلِأَهْلِ الشَّأْمِ الْجُحْفَةَ وَلِأَهْلِ نَجْدٍ قَرْنَ الْمَنَازِلِ وَلِأَهْلِ الْيَمَنِ يَلَمْلَمَ هُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِهِنَّ مِمَّنْ أَرَادَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ وَمَنْ كَانَ دُونَ ذَلِكَ فَمِنْ حَيْثُ أَنْشَأَ حَتَّى أَهْلُ مَكَّةَ مِنْ مَكَّةَ.(رواه البحاري :  1427 -صحيح البخاري- المكتبة الشاملة-بَاب مهل اهل مكة للحج والعمرة– الجزء : 5-صفحة :   406)
Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma'il, telah menceritakan kepada kami Wuhaib, telah menceritakan kepada kami Ibnu Thowus, dari bapaknya, dari Ibnu 'Abbas ra, ia berkata : "Nabi saw,  menetapkan miqat bagi penduduk Madinah di Dzul Hulaifah, bagi penduduk Syam di Al Juhfah, bagi penduduk Najed di Qarnul Manazil dan bagi penduduk Yaman di Yalamlam. Itulah ketentuan masing-masing bagi setiap penduduk negeri-negeri tersebut dan juga bagi mereka yang bukan penduduk negeri-negeri tersebut bila melewati tempat-tempat tersebut dan berniat untuk hajji dan 'umrah. Sedangkan bagi orang-orang selain itu (yang tinggal lebih dekat ke Makkah dari pada tempat-tempat itu), maka dia memulai dari kediamannya, dan bagi penduduk Makkah, mereka memulainya dari (rumah mereka) di Makkah". (HR.Bukhari : 1427, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Muhalli ahli Makkata Lilhajji wal-‘umrati,  juz : 5, hal. 406)
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ طَاوُسٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ وَقَّتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ ذَا الْحُلَيْفَةِ وَلِأَهْلِ الشَّأْمِ الْجُحْفَةَ وَلِأَهْلِ نَجْدٍ قَرْنَ الْمَنَازِلِ وَلِأَهْلِ الْيَمَنِ يَلَمْلَمَ فَهُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِ أَهْلِهِنَّ لِمَنْ كَانَ يُرِيدُ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ فَمَنْ كَانَ دُونَهُنَّ فَمُهَلُّهُ مِنْ أَهْلِهِ وَكَذَاكَ حَتَّى أَهْلُ مَكَّةَ يُهِلُّونَ مِنْهَا.(رواه البحاري : 1429 -صحيح البخاري- المكتبة الشاملة-بَاب مهل اهل الشام– الجزء : 5-صفحة :  410)
Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Hammad, dari 'Amru bin Dinar, dari Thowus, dari Ibnu 'Abbas ra,  ia berkata : "Nabi saw,  telah menetapkan miqat bagi penduduk Madinah di Dzul Hulaifah, bagi penduduk Syam di Al Juhfah, bagi penduduk Najed di Qarnul Manazil dan bagi penduduk Yaman di Yalamlam. Itulah ketentuan masing-masing bagi setiap penduduk negeri-negeri tersebut dan juga bagi yang bukan penduduk negeri-negeri tersebut bila datang melewati tempat-tempat tersebut dan berniat untuk hajji dan 'umrah. Sedangkan bagi orang-orang selain itu, maka mereka memulai dari tempat tinggalnya (keluarga) dan begitulah ketentuannya sehingga bagi penduduk Makkah, mereka memulainya dari (rumah mereka) di Makkah". (HR.Bukhari : 1429, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Muhalli ahlisy-Syam,   juz : 5, hal. 410)
حَدَّثَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَخْبَرَنَا رَوْحُ بْنُ عُبَادَةَ حَدَّثَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنِي أَبُو الزُّبَيْرِ أَنَّهُ سَمِعَ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يُسْأَلُ عَنْ الْمُهَلِّ فَقَالَ سَمِعْتُ ثُمَّ انْتَهَى فَقَالَ أُرَاهُ يَعْنِي النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ح و حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمٍ وَعَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ كِلَاهُمَا عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ بَكْرٍ قَالَ عَبْدٌ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدٌ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنِي أَبُو الزُّبَيْرِ أَنَّهُ سَمِعَ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يُسْأَلُ عَنْ الْمُهَلِّ فَقَالَ سَمِعْتُ أَحْسَبُهُ رَفَعَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مُهَلُّ أَهْلِ الْمَدِينَةِ مِنْ ذِي الْحُلَيْفَةِ وَالطَّرِيقُ الْآخَرُ الْجُحْفَةُ وَمُهَلُّ أَهْلِ الْعِرَاقِ مِنْ ذَاتِ عِرْقٍ وَمُهَلُّ أَهْلِ نَجْدٍ مِنْ قَرْنٍ وَمُهَلُّ أَهْلِ الْيَمَنِ مِنْ يَلَمْلَمَ.(رواه مسلم : 2028-صحيح مسلم- المكتبة الشاملة- مواقيت الحج والعمرة– الجزء :  6-صفحة :   119)
Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim, telah mengabarkan kepada kami Rauh bin Ubadah. Telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, telah mengabarkan kepadaku Az-Zubair, bahwa ia mendengar Jabir bin Abdillah ra,  pernah ditanya mengenai Al-Muhalli (tempat memulai Ihram), maka ia menjawab ; Aku pernah mendengar Nabi saw. -dalam riwayat lain- Dan telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Hatim dan Abdu bin Humaid keduanya dari Muhammad bin Bakr - Abdu berkata- telah mengabarkan kepada kami Muhammad, telah mengabarkan kepada kami Ibnu Juraij, telah mengabarkan kepadaku Abu Zubair, bahwa ia mendengar Jabir bin Abdullah ra,  ketika ia ditanya tentang Al-Muhallu (tempat memulai Ihram), maka ia menjawab -menurut dugaanku, ia memarfu'kannya kepada Nabi saw,  :  "Muhallu (tempat memulai Ihram) bagi penduduk Madinah adalah dari Dzulhulaifah atau jalur yang lain yakni dari Juhfah, dan bagi penduduk Irak adalah dari Dzatu 'Irq, dan bagi penduduk Najed adalah dari Qarnulmanazil, dan bagi penduduk Yaman adalah dari Yalamlam." (HR.Muslim :  2028, Shahih Muslim,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab  Mawaaqiitul hajji wal’umrati, juz : 6, hal. 119)
2.    Mabit Di Muzdalifah
Setelah wuquf di 'Arafah, jama’ah haji menuju ke Muzdalifah, dan dari  Muzdalifah menuju  ke Mina, berdasarkan hadits Nabi :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا وَهْبُ بْنُ جَرِيرٍ حَدَّثَنَا أَبِي عَنْ يُونُسَ الْأَيْلِيِّ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ أُسَامَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ رِدْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ عَرَفَةَ إِلَى الْمُزْدَلِفَةِ ثُمَّ أَرْدَفَ الْفَضْلَ مِنَ الْمزْدَلِفَةِ إِلَى مِنًى قَالَ فَكِلَاهُمَا قَالَ لَمْ يَزَلْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُلَبِّي حَتَّى رَمَى جَمْرَةَ الْعَقَبَةِ.(رواه البحاري : 1443-صحيح البخاري- المكتبة الشاملة-بَاب  الركوب والارتداف فى الحج– الجزء : 5-صفحة :   436)
Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Muhammad, telah menceritakan kepada kami Wahab bin Jarir, telah menceritakan kepada kami bapakku, dari Yunus Al-Ailiyya, dari Az-Zuhriy, dari 'Ubaidullah bin 'Abdullah, dari Ibnu 'Abbas ra,  bahwa Usamah ra,  pernah berboncengan dengan Nabi saw,  dari 'Arafah hingga ke Al Muzdalifah, kemudian beliau membonceng Al-Fadhal dari Al-Muzdalifah hingga ke Mina. Dia berkata; Pada kedua perjalanan itu senantiasa Nabi saw, bertalbiyyah hingga beliau melempar jumrah Al 'Aqabah. (HR.Bukhari : 1443, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Arrukuub war-irtidaf filhajji,   juz : 5, hal. 436)
Alasan wajibnya mabit di Muzdalifah adalah karena Nabi saw melakukannya. Begitu pula Allah swt,  memerintahkan berdzikir di Masy’aril haram (Muzdalifah), seperti dalam ayat 198 surat Al-Baqarah : 
فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ
Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy’aril haram (Muzdalifah)” (QS. Al-Baqarah: 198).
Muzdalifah (bahasa Arab : مزدلفة) adalah daerah terbuka di antara Mekkah dan Mina di Arab Saudi yang merupakan tempat jamaah haji diperintahkan untuk singgah dan bermalam setelah bertolak dari Arafah. Jamaah haji setelah melaksanakan wukuf di Arafah bergerak menuju Muzdalifah saat setelah terbenamnya matahari (waktu Maghrib). Di Muzdalifah jamaah haji melaksanakan shalat Maghrib dan Isya dengan cara jamak dan qashar  dan bermalam di sana hingga waktu fajar. Di Muzdalifah jamaah haji mengumpulkan batu kerikil yang akan digunakan untuk melempar jumrah di Mina.  Bermalam di Muzdalifah hukumnya wajib dalam haji. Maka siapa saja yang meninggalkannya diharuskan untuk membayar dam.
Dianjurkan untuk mengikuti jejak Nabi Muhammad saw, bermalam hingga memasuki waktu shalat Subuh, Setelah shalat Subuh, jamaah haji berangkat menuju ke Mina.[3]  Namun bagi orang-orang yang lemah, seperti kaum wanita, orang-orang tua dan yang seperti mereka, boleh meninggalkan Muzdalifah setelah lewat tengah malam, dan shalat shubuh di Mina. Hadits Nabi :
حَدَّثَنِي يَحْيَى عَنْ مَالِك عَنْ نَافِعٍ عَنْ سَالِمٍ وَعُبَيْدِ اللَّهِ ابْنَيْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ أَبَاهُمَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يُقَدِّمُ أَهْلَهُ وَصِبْيَانَهُ مِنْ الْمُزْدَلِفَةِ إِلَى مِنًى حَتَّى يُصَلُّوا الصُّبْحَ بِمِنًى وَيَرْمُوا قَبْلَ أَنْ يَأْتِيَ النَّاسُ. (رواه مالك : 775 – موطأ مالك- المكتبة الشاملة-بَاب تقديم النساء والصبيان– الجزء : 3-صفحة  194)
Telah menceritakan kepadaku Yahya, dari Malik, dari Nafi', dari Salim dan 'Ubaidullah -keduanya adalah anak Abdullah bin 'Umar- bahwa bapak keduanya Abdullah bin 'Umar mendahulukan (mempercepat) isteri dan dan anak-anaknya dari Muzdalifah menuju Mina agar mereka dapat melaksanakan shalat subuh di Mina dan melempar sebelum orang-orang sampai." (HR. Malik : 775,  Muwatha’ Malik,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab  taqdimun nisa’ wash-Shibyan,  juz : 3, hal. 194)
Dan juga boleh bagi orang-orang yang lemah didahulukan berangkat menuju Muzdalifah, berdasarkan hadits Nabi :
حَدَّثَنَا عَلِيٌّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ أَخْبَرَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي يَزِيدَ سَمِعَ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ أَنَا مِمَّنْ قَدَّمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةَ الْمُزْدَلِفَةِ فِي ضَعَفَةِ أَهْلِهِ. (رواه البحاري :  1566-صحيح البخاري- المكتبة الشاملة-بَاب من قدم ضعفة أهله بليل فيقفون– الجزء :  6-صفحة  136)
Telah menceritakan kepada kami 'Ali, telah menceritakan kepada kami Sufyan, ia berkata, telah menceritakan kepada saya 'Ubaidullah bin Abu Yazid, bahwa dia mendengar Ibnu 'Abbas ra,  berkata : "Aku termasuk orang yang didahulukan berangkat menuju Muzdalifah diantara keluarga beliau yang lemah".(HR.Bukhari : 1566,  Shahih Bukhari,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab  Man qaddama Dla’aafata ahlihii,  juz : 6, hal. 136)
3.    Mabit Di Mina
Jamaah haji melakukan mabit (bermalam) di Mina pada hari-hari Tasyriq (tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijah), berdasarkan pada praktek yang telah dicontohkan Rasulullah saw. Hadits Nabi :
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ بَحْرٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ الْمَعْنَى قَالَا حَدَّثَنَا أَبُو خَالِدٍ الْأَحْمَرُ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَقَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ أَفَاضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ آخِرِ يَوْمِهِ حِينَ صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ رَجَعَ إِلَى مِنًى فَمَكَثَ بِهَا لَيَالِيَ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ.(رواه ابو داود :  1683 –سنن ابو داود- المكتبة الشاملة-  باب في رمي الجمار– الجزء :5-صفحة : 334)
Telah menceritakan kepada Kami Ali bin Bahr dan Abdullah bin Sa'id, secara makna, mereka berkata; telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al Ahmar, dari Muhammad bin Ishaq, dari Abdurrahman bin Al Qasim, dari ayahnya, dari Aisyah, ia berkata;  Rasulullah saw  melakukan thawaf ifadhah pada hari terakhirnya ketika telah melakukan Shalat Zhuhur, kemudian beliau kembali ke Mina dan tinggal di sana beberapa malam, pada Hari-hari Tasyriq (tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijah). (HR. Abu Daud : 1683, Sunan Abu Daud,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab  Fii ramyil jimaari,  juz : 5, hal. 334)
حدثنا أحمد بن علي الأبار، ثنا علي بن حجر المروزي، ثنا الهيثم بن حميد، ثنا المطعم بن المقدام، عن أبي الزبير، عن جابر قال : رَأَيتُ رسولَ اللهِ صلى اللهُ عليه وسلم عَلَى رَاحِلَتِهِ  يَوْمَ النَّحْرِ يَقُولُ : لِتَأْخُذُوْا عَنِّي   مَنَاسِكَكُمْ، فَإِنِيْ لاَ أَدْرِيْ لَعَلِّيْ لاَ أَحُجَّ حَجَّةً أُخْرَى. (رواه الطبرني : 881 – مسند الشاميين للطبرني – المكتبة الشاملة – الجزء : 3 – صفحة : 238)
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Ali Al-Abar, Telah menceritakan kepada kami Ali bin Hajar Al-Maruzi, Telah menceritakan kepada kami Hauitsam bin Humaid, Telah menceritakan kepada kami Al-Math’am bin Al-Miqdam, Telah menceritakan kepada kami, dari Abu Az-Zubair, dari Jabir, ia berkata : Aku pernah melihat Rasulullah saw di atas kendaraannya pada hari penyembeliha (nahar), beliau bersabda : Ambillah dariku tata cara ibadah haji kalian, karena aku tidak mengetahui, bisa jadi aku tidak melakukan ibadah haji yang lain (sesudah hajiku ini). (HR. Thabrani : 881, Musnad Asy-Syamiyyin Lith-Thabrani, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz : 3, hal. 238)
Menurut Jumhur Ulama, (Madzhab Maliki, Hanbali dan Syafi’i), mabit   di Mina pada hari tasyriq hukumnya adalah wajib, kecuali ada udzur syar’I, seperti menunggu orang yang sakit yang sangat membutuhkannya. Oleh karena mabit di Mina itu wajib,  jamaah haji yang tidak melakukannya wajib membayar Dam (denda). Menurut Madzhab Hanafi, mabit   di Mina pada hari tasyriq hukumnya adalah sunnah. Oleh karena itu, jamaah haji yang tidak melakukannya, tidak wajib membayar Dam, hanya dinilai kurang utama.  Hal ini didasarkan pada sikap Rasulullah saw yang memberikan dispensasi kepada Al-'Abbas untuk tinggal di Makkah karena bertugas mengurusi air minum jama'ah haji. Hadits Nabi :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ وَأَبُو أُسَامَةَ قَالَا حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ ح و حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ وَاللَّفْظُ لَهُ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ حَدَّثَنِي نَافِعٌ عَنْ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ الْعَبَّاسَ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ اسْتَأْذَنَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيتَ بِمَكَّةَ لَيَالِي مِنًى مِنْ أَجْلِ سِقَايَتِهِ فَأَذِنَ لَهُ.(رواه مسلم: 2318-صحيح مسلم- المكتبة الشاملة- باب وجوب المبيت بمنى ليالي ايام–الجزء :6-صفحة : 467)
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair dan Abu Usamah, keduanya berkata : Telah menceritakan kepada kami Ubaidullah, dari Nafi', dari Ibnu Umar -dalam riwayat lain- Dan telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair -lafazh juga miliknya- Telah menceritakan kepada kami bapakku, telah menceritakan kepada kami Ubaidullah, telah menceritakan kepadaku Nafi', dari Ibnu Umar, bahwa Al-Abbas bin Abdul Muthalib meminta izin kepada Rasulullah saw,  untuk bermalam di Makkah pada malam-malam di Mina, dengan tujuan agar ia dapat memberi minum jama'ah haji, maka beliau pun mengizinkannya. (HR.Muslim :  2318, Shahih Muslim,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab  wajubul mabit bi Mina Layaaliya ayyaam,  juz : 6, hal.467)
Jama’ah haji agar berusaha semaksimal mungkin  untuk dapat mabit di Mina pada malam hari-hari Tasyriq. Namun, jika hal itu menimbulkan kesulitan, mereka diperbolehkan tidak mabit di Mina. Hal ini didasarkan pada sikap Rasulullah saw yang selalu memilih sesuatu yang paling mudah selama tidak menimbulkan dosa : 
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلَّا أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ. (رواه البحاري : 3296-صحيح البخاري- المكتبة الشاملة-بَاب  صفة النبي صلى الله عليه وسلم– الجزء : 11-صفحة : 395)
Telah bercerita kepada kami 'Abdullah bin Yusuf, telah mengabarkan kepada kami Malik, dari Ibnu Syihab, dari 'Urwah bin Az Zubair, dari 'Aisyah ra,  bahwa dia berkata : "Tidaklah Rasulullah saw,  diberi pilihan dari dua perkara yang dihadapinya, melainkan beliau mengambil yang paling ringan selama bukan perkara dosa. Seandainya perkara dosa, beliau adalah orang yang paling jauh darinya".(HR.Bukhari : 3296,  Shahih Bukhari,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab  Sifatun Nabiyyi saw,  juz : 11, hal.395)
4.        Melontar Jumrah
Jama’ah haji datang ke Mina bukan sekedar untuk mabit (bermalam), tetapi ada kewajiban lain, yaitu melontar jumrah yang merupakan salah satu dari wajib haji. Terdapat tiga jumrah yang wajib dilontar, yaitu Jumrah Ula, Jumrah Wustha dan Jumrah ‘Aqabah. Tiap-tipa Jumrah dilontar dengan tujuh batu kecil (kerikil).  Hadits Nabi :
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ بَحْرٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ الْمَعْنَى قَالَا حَدَّثَنَا أَبُو خَالِدٍ الْأَحْمَرُ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَقَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: أَفَاضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ آخِرِ يَوْمِهِ حِينَ صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ رَجَعَ إِلَى مِنًى فَمَكَثَ بِهَا لَيَالِيَ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ يَرْمِي الْجَمْرَةَ إِذَا زَالَتْ الشَّمْسُ كُلُّ جَمْرَةٍ بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ يُكَبِّرُ مَعَ كُلِّ حَصَاةٍ وَيَقِفُ عِنْدَ الْأُولَى وَالثَّانِيَةِ فَيُطِيلُ الْقِيَامَ وَيَتَضَرَّعُ وَيَرْمِي الثَّالِثَةَ وَلَا يَقِفُ عِنْدَهَا. (رواه ابو داود :  1683 –سنن ابو داود- المكتبة الشاملة-  باب في رمي الجمار– الجزء :5-صفحة : 334)
Telah menceritakan kepada Kami Ali bin Bahr dan Abdullah bin Sa'id, secara makna, mereka berkata; telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al Ahmar, dari Muhammad bin Ishaq, dari Abdurrahman bin Al Qasim, dari ayahnya, dari Aisyah, ia berkata;  Rasulullah saw  melakukan thawaf ifadhah pada hari terakhirnya ketika telah melakukan Shalat Zhuhur, kemudian beliau kembali ke Mina dan tinggal di sana beberapa malam, pada hari-hari Tasyriq (tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijah). Beliau melempar jumrah apabila matahari telah tergelincir. Setiap jumrah dengan tujuh kerikil, beliau bertakbir bersama setiap lemparan kerikil, beliau berdiri pada jumrah pertama dan kedua, kemudian berdiri lama dan merendah diri, serta melempar ketiga dan tidak berdiri pada jumrah ketiga. (HR. Abu Daud : 1683, Sunan Abu Daud,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab  Fii ramyil jimaari,  juz : 5, hal. 334)
Syarat Melontar Jumrah [4]
1.    Melontar dengan tujuh batu dan dilontarkan satu persatu. (berlaku untuk semua lontaran)
2.    Menertibkan tiga Jumrah, dimulai dari Jumrah yang pertama (Jumrah Ula), kemudian yang di tengah (Jumrah Wustha), dan yang terakhir (Jumrah ‘Aqabah). (berlaku pada lontaran hari-hari tasyriq)
3.    Alat melontar adalah batu (kerikil), tidak sah melontar dengan selain batu. (berlaku untuk semua lontaran)
Pelaksanaan Melontar Jumrah[5] 
1.    Tanggal 10 Dzulhijjah dilaksanakan melontar Jumrah ‘Aqabah dan waktunya sejak terbit matahari sekiktar waktu dhuha.
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَزِيدَ الْمُقْرِئُ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ عَنْ الْحَسَنِ الْعُرَنِيِّ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ بَعَثَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُغَيْلِمَةَ بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ عَلَى حُمُرَاتٍ يَلْطَحُ أَفْخَاذَنَا وَيَقُولُ أُبَيْنِيَّ لَا تَرْمُوا جَمْرَةَ الْعَقَبَةِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ. (رواه ا لنسائي : 3014سنن ا لنسائي- المكتبة الشاملة-  باب النهي عن رمي جمرة العقبة قبل طلوع الشمس– الجزء :  10-صفحة :  95)
Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Abdullah bin Yazid Al Muqri`, ia berkata; telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Sufyan Ats-Tsauri, dari Salamah bin Kuhail, dari Al Hasan Al-'Urani, dari Ibnu Abbas, ia berkata : Rasulullah saw, mengutus kami yaitu anak-anak Bani Abdul Muththalib diatas beberapa ekor keledai, beliau memukul pelan paha kami dan bersabda : "Wahai anak-anakku, jangan melempar jumrah ‘Aqabah hingga matahari terbit." (HR. Nasa’I :  3014, Sunan Nasa’I, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab An-Nahyu ‘an ramyi jamratil ‘aqabati qabla thulu’isy syamsi,  juz : 10, hal. 95)
حَدَّثَنَا حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى الْمِصْرِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ حَدَّثَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَمَى جَمْرَةَ الْعَقَبَةِ ضُحًى وَأَمَّا بَعْدَ ذَلِكَ فَبَعْدَ زَوَالِ الشَّمْسِ. (رواه ا بن ماجه : 3044سنن ا بن ماجه- المكتبة الشاملة-  باب رمي الجمار أيام التشريق– الجزء :   9-صفحة :   107)
Telah menceritakan kepada kami Harmalah bin Yahya Al Mishri; telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Wahab; telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, dari Abu Az Zubair, dari Jabir ra,  ia berkata; "Aku melihat Rasulullah saw,  melontar jumrah Aqabah pada waktu Dluha. Sedangkan melontar selanjutnya (beliau lakukan) setelah tergelincirnya matahari." (HR. Ibnu Majah :  3044, Sunan Ibnu Majah,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab  ramyil jimaar Ayya,mat tasyriq,  juz : 9, hal. 107)
2.    Tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah dilaksanakan melontar tiga Jumrah, dengan urutan : Jumrah Ula, Jumrah Wasatha dan Jumrah ‘Aqaqbah masing-masing 7 kali lontaran dan waktunya yang utama setelah tiba waktu Zhuhur (ba’da zawal).
حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ يَعْنِي ابْنَ سَلَمَةَ أَخْبَرَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَمَى جَمْرَةَ الْعَقَبَةِ يَوْمَ النَّحْرِ ضُحًى وَرَمَى فِي سَائِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ بَعْدَمَا زَالَتْ الشَّمْسُ. (رواه احمد : 14753مسند احمد- المكتبة الشاملة-  باب مسند جابر بن عبد الله– الجزء :   30-صفحة : 303)   
Telah menceritakan kepada kami 'Affan, telah menceritakan kepada kami Hammad yaitu Ibnu Salamah telah mengabarkan kepada kami Ibnu Juraij, dari Abu Az-Zubair, dari Jabir, Rasulullah saw,  melempar jumrah ‘Aqobah pada hari Nahr waktu dluha dan melempar pada seluruh hari Tasyriq setelah matahari condong. (HR. Ibnu Majah :  3044, Sunan Ibnu Majah,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab  ramyil jimaar Ayya,mat tasyriq,  juz : 9, hal. 107)
Meninggalkan Mina terdiri dari Nafar Awal dan Nafar Tsani. Menurut bahasa, nafar  berarti rombongan. Sedangkan menurut istilah, nafar  adalah keberangkatan jama’ah haji meninggalkan Mina pada hari Tasyrik, yaitu :
1. Nafar Awal (rombongan pertama) adalah keberangkatan jama’ah haji meninggalkan Mina lebih awal yaitu pada tanggal 12 Dzulhijjah sesudah melontar jumrah dan sesudah tengah hari sebelum matahari terbenam. Kalau mereka sampai waktu terbenamnya matahari belum juga meninggalkan Mina karena sesuatu sebab, maka nafar awwal menjadi batal dan mereka harus bermalam lagi dan baru bisa meninggalkan Mina sesudah melontar jumrah pada hari ketiga tasyriq sesudah tengah hari.
2. Nafar Tsani (rombongan kedua) adalah keberangkatan jama’ah haji meninggalkan Mina pada tanggal 13 Dzulhijjah, sesudah melontar jumrah dan sesudah tengah hari.
Mana saja dari dua hal tersebut, baik nafar awal atau nafar Tsani yang dipilih dan dikerjakan oleh jamaah haji, mereka tidak berdosa, namun meninggalkan Mina pada tanggal 13 Dzulhijjah  (Nafar Tsani) itu lebih afdal. Firman Allah :
.....فَمَنْ تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَنْ تَأَخَّرَ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ لِمَنِ اتَّقَى..... (البقرة : 203)
Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. dan barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), maka tidak ada dosa pula baginya, bagi orang yang bertakwa. (QS.Al-Baqarah : 203)
                                                       

[1].  http://id.wikipedia.org/wiki/Miqat
[2]. Baca Fiqih Islam, oleh Sulaiman Rasjid, PT. Sinar Baru Algensindo, Bandung, tahun 1998, cetakan ke -32,  hal. 258
[3]. http://id.wikipedia.org/wiki/Muzdalifah
[4]. Baca Fiqih Islam oleh H. Sulaiman Rasjid, PT. Sinar Baru Algensindo, Bandung, tahun 1998, cetakan ke -32,  hal. 261 - 262
[5]. Baca Petunjuk Ibadah Haji, Umrah Dan Ziarah oleh DR. Miftah Faridl, penerbit Pustaka, Bandung, 1427 H – 2006 M, hal. 30