Minggu, 22 Agustus 2010

RENUNGAN RAMADHAN (10) (HATI-HATILAH DENGAN PUJIAN)

Assww. Saudaraku, Rasulullah saw memberikan perhatian khusus dalam hal “pujian”, karena dapat menyebabkan munculnya riya'. Hamba yang beribadah untuk meraih ridha Allah, kemudian ikhlasnya hilang karena datang pujian. Itulah awal kematia amal, karena ruhnya telah hilang, yaitu ikhlas.

Pujian biasanya diberikan kepada seorang hamba yang dinilai mempunyai kehebatan. Kehebatan atau kelebihan, semuanya datang dari Allah yang harus disyukuri dan disadari dengan penuh keyakinan, bahwa nanti akan dimintai pertanggungan jawab. Sikap demikian adalah salah satu bentuk perjuangan memelihara ikhlas sebagai ruhnya amal. Seorang hamba yang pada mulanya tulus dan ikhlas dalam beramal, apabila terus menerus mendapatkan sanjungan secara berlebihan, boleh jadi dia akan jatuh dalam kebanggaan diri, yang akhirnya berujung pada riya’ dan takabbur.

Berjuang untuk ikhlas, tidaklah mudah, dan menjaga ikhlas-pun tidak lebih mudah. Akan tetapi, kita harus selalu berjuang untuk meraihnya dengan penuh keyakinan, bahwa Allah akan membimbing kita. Renungkan firman Allah yang artinya : “Dan orang-orang yang berjuang dalam (urusan) Kami, niscaya akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang berbuat kebaikan. (QS.Al-Ankabut [29] : 69)

Segala macam pujian dan sanjungan itu kepunyaan Allah semata (arti : Alhamdulillah). Akan tetapi, kenyataan dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak sulit menemukan orang yang mencaari-cari pujian di samping Allah, atau mungkin penyakit ini menerpa diri kita. Oleh karena itu, Rasulullah saw mengingatkan kita, sebagaimana dalam sabdanya yang bersumber dari Abdur Rahman bin Abi Bakrah dari ayahnya, ia berkata : Suatu ketika ada seseorang memuji orang lain di hadapan Rasulullah saw, lalu beliau bersabda kepadanya : “Engkau telah memotong leher sahabatmu”. Kalimat taushiah ini diulangi hingga tiga kali yang menunjukkan betapa pentingnya kalimat tersebut.[i]

Perhatian Rasulullah saw, yang sungguh-sungguh dalam hal pujian, karena dikhawatirkan bagi orang yang dipuji lupa akan kemahaan Allah. Ketika orang yang dipuji itu tergolong salih, dikhawatirkan merusak keikhlasannya. Dan ketika ikhlas sudah sirna, maka posisinya akan digantikan oleh riya’ yang oleh Allah disebut sebagai salah satu ciri orang yang mendustakan agama.[ii]

Seorang hamba yang telah mampu melaksanakan shalat malam hingga meneteskan air mata dengan penuh keikhlasan, boleh jadi setelah waktu berlalu, muncul rasa berbangga diri. Dalam hatinya sedikit demi sedikit berdetak kekaguman, bahwa dirinya telah mampu melakukan ibadah yang sejajar atau bahkan lebih tinggi dari ahli ibadah lainnya. Secara perlahan, tumbuh dan terus membesar perasaan bahwa dirinya hebat. Keesokan harinya, timbul keinginan untuk bercerita pengalaman ruhaniahnya. Tanpa disadari, pada hari berikutnya, dia bercerita kepada para sahabatnya dengan rasa bangga, tanpa diminta.

Dari illustrasi tersebut, menjadi jelaslah, bahwa Iblis telah sukses melancarkan serangan tepat mengenai sasarannya. Si hamba disuruh bercerita pengalamannya, lalu dia bercerita dengan bahasa indah mempesona dengan tambahan bumbu bervariasi, sehingga mampu menarik perhatian pendengarnya. Karena adanya daya tarik yang mempesona, banyak orang datang berkonsultasi dan memberikan pujian dan sanjungan. Sejak saat itulah petaka mulai muncul, yaitu tumbuhnya sifat riya’ dan berbangga diri. Salah satunya disebabkan adanya pujian dan penghormatan yang berlebihan. Iblis mulai menari riang gembira, karena telah sukses memotong urat leher si hamba, yaitu ikhlas yang menjadi kunci meraih ridha Allah telah putus. Predikat sebagai orang yang ikhlas (mukhlish) menjadi hilang, sehingga bertambah muluslah bagi Iblis untuk melancarkan serangan berikutnya agar si hamba menjadi tersesat dan bergelimang dosa.

Iblas telah bertekad untuk terus berjuang menyesatkan manusia, seperti yang diabadikan oleh Allah dalam firman-Nya : Iblis berkata : Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas (mukhlis) di antara mereka. [iii]

Apabila hamba yang dipuji itu orang zalim, dikhawatirkan tindakannya semakin bertambah zalim, karena pujian yang diterimanya dijadikan dasar untuk melegitimasi kezalimannya. Apalagi jika yang memuji itu seorang tokoh, bisa jadi pujian itu dimanfaatkan untuk kepentingan melanggengkan kezalimannya, sehingga hatinya bertambah gelap dan areal kejahatannya bertambah luas.

Kita bukan tidak boleh memuji, bahkan akan termasuk ibadah, apabila pujian itu dapat mendorong seseorang untuk berbuat lebih baik. Akan tetapi dalam islam ada tata cara yang harus dipenuhi, antara lain adalah :

1. Pujian diyakini tidak akan menimbulkan sikap riya dan sombong.

2. Pujian diyakini akan mendorong yang dipuji untuk berbuat lebih baik.

3. Pujian hanya untuk perbuatan baik, bukan perbuatan maksiat.

Banyak sahabat Rasulullah saw yang diberi gelar sebagai penghormatan atau pujian. Namun mereka semakin tawadu’ (rendah hati), antara lain adalah :

1. Abdullah bin Abi Quhafah dengan gelar “Abu Bakar Ash-Shiddiq” (Ayah yang sejak muda sangat benar dan jujur),

2. Umar bin Khttab dengan gelar “Umar Al-Faruq” (Umar yang mampu membedakan yang hak dan yang batil),

3. Ali bin Abi Thalib dengan gelar “babul ilmi” (pintunya ilmu),

4. Khalid bin Walid dengan gelar “ Saifullah” (Pedang Allah).

Hanya Allah Yang Mahaterpuji. Semua yang ada di langit dan di bumi memuji kepada-Nya. Dia berada di atas segala yang hebat. Dan Dia pula yang berada di atas segala sanjungan dan pujian. Kata-kata tidak cukup untuk memuji-Nya. Karena karunia-Nya meliputi segala sesuatu yang ada di alam raya ini. Hendaklah kita selalu merenungkan kehebatan, keagungan dan kemulian-Nya di balik segala kejadian. Pujilah Dia, dan bersyukurlah, karena kita masih diberi kesempatan untuk memuji-Nya. Jangan membuang-buang waktu satu detik pun, tanpa bersyukur kepada-Nya dan tanpa memuji-Nya. Larutkan diri kita dalam lautan-Nya. Sadarlah, bahwa tidak ada sesuatu yang pantas di puji selain Dia Yang Mahatinggi dan Mahaterpuji

Maha benar Allah Yang Maha kaya dan Maha terpuji. Semoga kita senantiasa menjadi hamba yang selalu ikhlas dalam menjalankan ajaran-Nya. Aamiin. Wasslm



[i] Op cit, hadis ke-4805, hal. 444.

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ اَبِيْ بَكْرَةَ عَنْ اَبِيْهِ : ( اَنَ رَجُلاً اَثْنَى عَلَى رَجُلٍ عِنْدَ النَّبِـّيِ r فَقَالَ لَهُ : قَطَعْتَ عُنُقَ صَاحِبِكَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ قَالَ : اِذَا مَدَحَ اَحَدُكُمْ صَاحِبَهُ لاَ مَحَالَةَ فَليَقُلْ اِنّـِيْ اَحْسِبُهُ كَمَا يُرِيْدُ اَنْ يَقُوْلَ وَلاَ اُزَ كّـِيْهِ عَلَى اللهِ تَعالَى). ابو داود داود المجلد الثاني صحيفة 444

[ii] Baca Al-Qur’an surat Al-Maa’un [107] ayat 1 -7

[iii] QS. Al-Hjr [15] : 39 40. Lihat pula QS. Shad [38] : 82 - 83

Tidak ada komentar:

Posting Komentar