Kamis, 27 Februari 2014

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ



اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6)
Tunjukilah kami jalan yang lurus,
Pada ayat sebelumya, ayat 5 surat Al-Fatihah ini terjadi komunikasi langsung antara hamba (pihak pertama) dengan Allah (pihak ke-ll). Hal ini dipertegas dalam sebuah hadits yang cukup panjang pada bahasan sebelumnya, yaitu : Apabila hamba mengucapkan : “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan”,  maka Allah berfirman :  Ini adalah antara Aku dengan hamba-Ku. Dan hamba-Ku mendapatkan sesuatu apa yang dia minta.[1] Maka pada ayat 6 Allah mengajari hamba-Nya supaya meminta (berdo’a) memohon hidayah (bimbingan) kepada-Nya agar selalu berada pada jalan yang lurus, yaitu agama Islam.[2]
Ayat 6 di atas dimulai dengan kata  "Ihdi" اِهْدِ (kata kerja perintah) yang artinya menurut bahasa : Tunjukilah, pimpinlah, bimbinglah, berilah hidayah. ketika kata kerja perintah itu ditujukan kepada Allah, maka berarti do’a, sehingga kalimat "Ihdinaa"  اِهْدِنَاmempunyai arti sebagai berikut : Ya Allah, tunjukilah kami, pimpinlah kami, bimbinglah kami, atau berilah kami hidayah.
Dengan ringkas yang dimaksud “hidayah” dalam ayat اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ini berarti "taufik" (bimbingan), dan taufik itulah yang dimohon kepada Allah.
Taufik ini dimohon kepada Allah sesudah kita berusaha dengan sepenuh tenaga dan pikiran, karena berusaha adalah kewajiban kita; tetapi sampai berhasil sesuatu usaha itu adalah termasuk kekuasaan Allah. Adapun pertalian surat Al-Fatihah ayat 6 dengan ayat 5 adalah sebagai berikut : Pada ayat 5 Allah mengajari hamba-Nya supaya menyembah dan memohon pertolongan hanya kepada-Nya; sedangkan pada ayat ini (ayat 6) Allah menerangkan apa yang akan dimohonkan kepada-Nya, yaitu jalan yang lurus.
Rasulullah saw ditugaskan untuk memberikan  petunjuk (hidayah) kepada jalan yang lurus; namun meraih sukses dalam menempuh jalan itu berada di tangan Allah, karena Dialah yang berhak menentukannya. Oleh karenanya kita diperintah untuk berdo’a memohon kepada-Nya. Hal ini dapat dipahami dari dua ayat yang ditujukan kepada Nabi saw yang antara keduanya sama sekali tidak ada pertentangan, yaitu (ayat ke-1) Al-Qur’an  surat Asy-Syuraa ayat 52 :  
وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi hidayah (petunjuk) kepada jalan yang lurus. (Q.S Asy-Syuraa : 52)
Petunjuk (hidayah) pada ayat 52 surat Asy-Syura ini maksudnya adalah menunjukkan ke jalan yang harus ditempuh, yaitu jalan yang lurus; inilah yang memang menjadi tugas Nabi saw sebagai Rasulullah. Dan (ayat ke-2) Al-Qur’an surat Al-Qashash ayat 56  :
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi hidayah  (bimbingan) kepada orang yang kamu kasihi tetapi Allahlah yang dapat memberi hidayah kepada orang yang dikehendaki-Nya. (Q.S Al-Qashash : 56)
Sedangkan yang dimaksud dengan “hidayah” pada ayat 56 surat Al-Qashash adalah membimbing manusia dalam menempuh jalan itu dan memberikan taufik agar sukses dan berbahagia dalam perjalanannya; ini adalah hak Allah semata,  tidaklah masuk dalam kekuasaan Nabi saw.
Sebab turunnya surat Al-Qashash ayat 56 adalah berkaitan dengan ajakan Rasulullah saw kepada pamannya (Abu Thalib) agar mengucapkan kalimat tauhid : “Laa Ilaaha Illallaah” (Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain  Allah), namun dia menolaknya, dia tetap tidak mau mengucapkannya. Imam Muslim mengetengahkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبَّادٍ وَابْنُ أَبِي عُمَرَ قَالَا حَدَّثَنَا مَرْوَانُ عَنْ يَزِيدَ وَهُوَ ابْنُ كَيْسَانَ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعَمِّهِ عِنْدَ الْمَوْتِ قُلْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ لَكَ بِهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَأَبَى فَأَنْزَلَ اللَّهُ {إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ} الْآيَةَ.(رواه مسلم : 36 - صحيح مسلم – المكتبة الشاملة – باب الدليل على صحة اسلام من حضره الموت – الجزء : 1 – صفحة : 122)
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abbad dan Ibnu Abu Umar keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Marwan, dari Yazid -yaitu Ibnu Kaisan- dari Abu Hazim, dari Abu Hurairah dia berkata : Rasulullah saw  bersabda kepada pamannya ketika dia menjelang wafat : Katakanlah : “Laa Ilaaha Illallaah” (Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain  Allah),  niscaya aku akan bersaksi untukmu dengan kalimat tersebut pada hari kiamat." Namun dia menolaknya, lalu Allah menurunkan: '(Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi hidayah (bimbingan) kepada orang yang kamu kasihi)' (Qs. Al Qashash: 56). (HR.Muslim : 36, Shahih Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Ad-dalil ‘alaa shihhati islaami man haqharahul maut, juz : 1, hal. 122)
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمِ بْنِ مَيْمُونٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ كَيْسَانَ عَنْ أَبِي حَازِمٍ الْأَشْجَعِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعَمِّهِ قُلْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ أَشْهَدُ لَكَ بِهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ لَوْلَا أَنْ تُعَيِّرَنِي قُرَيْشٌ يَقُولُونَ إِنَّمَا حَمَلَهُ عَلَى ذَلِكَ الْجَزَعُ لَأَقْرَرْتُ بِهَا عَيْنَكَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ {إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ}. (رواه مسلم : 37 – صحيح مسلم – المكتبة الشاملة – باب الدليل على صحة اسلام من حضره الموت – الجزء : 1 – صفحة : 123)
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Hatim bin Maimun, telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id, telah menceritakan kepada kami Yazid bin Kaisan, dari Abu Hazim Al-Asyja'i, dari Abu Hurairah dia berkata : Rasulullah saw bersabda kepada pamannya ketika dia menjelang wafat : Katakanlah : “Laa Ilaaha Illallaah” (Tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain  Allah), niscaya aku akan bersaksi untukmu dengan kalimat tersebut pada hari kiamat. Dia menjawab : Kalau seandainya bukan karena kaum Quraisy mencelaku dengan perkataan mereka : 'Dia melakukan hal tersebut karena cemas', niscaya aku menyetujui kalimat tersebut di hadapanmu. Lalu Allah menurunkan : (Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi hidayah (bimbingan) kepada orang yang kamu kasihi akan tetapi Allah memberi hidayah kepada orang yang Dia kehendaki) (Qs. Al Qashash: 56). (HR.Muslim : 37, Shahih Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Ad-dalil ‘alaa shihhati islaami man haqharahul maut, juz : 1, hal. 123)
Nabi Muhammad saw tidak dapat menjadikan kaumnya sampai mereka taat dan menganut agama yang dibawanya sekalipun ia berusaha sekuat tenaga dan kemampuannya. la hanya berkewajiban menyampaikan petunjuk atau arahan; dan Allah-lah yang akan memberi hidayah, membimbing dan menggiring hamba yang  dikehendaki-Nya sampai ke arah tujuan. Hal ini ditegaskan di dalam Al-Quran :
لَيْسَ عَلَيْكَ هُدَاهُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
Bukanlah kewajibanmu (Muhammad) menjadikan mereka mendapat hidayah,  akan tetapi Allah-lah yang memberi hidayah (memberi taufik) siapa yang dikehendaki-Nya. (Q.S. Al Baqarah: 272)
وَمَا أَكْثَرُ النَّاسِ وَلَوْ حَرَصْتَ بِمُؤْمِنِينَ
Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman walaupun kamu sangat menginginkannya. (Q.S. Yusuf: 103)
 Al-Qur’an adalah petunjuk atau pedoman hidup bagi umat manusia هُدًى لِلنَّاسِ “Hudan Linnaasi”, ditegaskan oleh Allah dalam ayat 185 surat Al-Baqarah. Sementara dalam surat Al-Baqarah ayat 2, Allah menyebutkan secara lebih khusus bahwa di dalam kitab suci Al-Quran terdapat hidayah (petunjuk)  bagi orang-orang yang bertakwa :  
ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa. (QS. Al-Baqarah : 2)
Hidayah dalam arti petunjuk sebagai pedoman hidup yang terdapat dalam kitab suci Al-Qur’an sudah ada dihadapan kita, kita tinggal saja mengambil, membuka, membaca, memahami dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, tidak perlu kita memohon (berdo’a) agar mendapatkannya, karena ia sudah diturukan oleh Allah kepada Nabi Muhammad saw dan telah disampaikan kepada kita sebagai umatnya. Adapun hidayah dalam arti “bimbingan langsung dari Allah” agar meraih sukses, kita diperintah berdo’a memohon kepada-Nya, karena Dialah yang dapat menentukan seorang hamba itu sampai ke tempat tujuan atau tidak.    
Ibnu jarir At-Thabari dalam menafsirkan Ihdinas shiratal mustaqim, (Tunjukilah kami jalan yang lurus), lalu beliau berdo’a :  Ya Allah, berilah kami taufiq (bimbingan) agar teguh  mengerjakan apa  yang Engkau ridlai sebagimana  Engkau telah memberi taufiq kepada hamba-hamba-Mu yang telah Engkau beri nikmat dari ucapan serta perbuatannya. Karena orang-orang yang telah mendapatkan taufiq (bimbingan) sebagaimana taufiq yang telah diberikan Allah kepada orang-orang yang telah diberi nikmat dari kalangan para nabi, shiddiqin, syuhada’ dan shaalihin,  maka berarti mereka telah mendapat taufiq untuk menjalankan ajaran Islam, membenarkan para Rasul, berpegang teguh kepada Kitabullah, mengerjakan yang diperintahkan Allah, menjauhi larangan-larangan-Nya, mengikuti jejak Nabi saw dan jejak Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali, serta jejak setiap hamba yang shaleh, dan semua itu termasuk shiratal mustaqim, (jalan yang lurus). [3]
 Kita dianjurkan berdo’a memohon hidayah kepada Allah dalam semua keadaan kita, bahkan diwajibkan pada setiap rakaat dalam shalat, karena  Dia-lah yang akan memberi hidayah (bimbingan) itu kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Sungguh seorang hamba selalu memerlukan Allah pada setiap saat dan setiap keadaannya agar dimantapkan hatinya dalam menjalankan hidayah (petunjuk) yang terkandung dalam kitab suci Al-Qur’an, sehingga tidak tergelincir dalam kesesatan. Allah  mengajarkan do’a kepada kita :
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau memberi petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi (karunia). (QS. Ali ‘Imran : 8)
Renungkan perkataan penghuni surga :
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ   
Segala puji bagi Allah yang telah memberikan hidayah (membimbing) kami kepada (surga) ini. Dan kami sekali-kali tidak akan mendapat hidayah kalau Allah tidak memberi kami hidayah. Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Tuhan kami, membawa kebenaran. Dan diserukan kepada mereka : Itulah surga yang diwariskan kepadamu, disebabkan apa yang dahulu kamu kerjakan. `(QS.Al-A’raaf : 43)
Dalam Al-Qur’an juga disinggung bahwa Allah menunjukkan dua jalan,  yaitu jalan yang baik dan jalan yang buruk. Untuk itu kita harus pandai memilih jalan agar selalu berada dalam jalan yang lurus, jalan yang diridhai-Nya. Firman Allah :
وَهَدَيْنَاهُ النَّجْدَيْنِ
Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. (QS.Al-Balad : 10)
Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa Ia telah menunjukkan manusia kepada dua jalan, yaitu jalan kebaikan dan jalan kejahatan. Dan kepadanya pula telah diberikan-Nya akal untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk; sehingga ia dapat memilih yang baik untuk dikerjakannya, dan yang buruk untuk ditinggalkan. Allah telah memilih Agama Islam yang kitab sucinya Al-Qur’an sebagai  jalan yang lurus, yaitu jalan kebaikan yang menjadi pedoman untuk meraih  kebahagiaan dunia akhirat. Firman Allah :
 .... اجْتَبَاهُ وَهَدَاهُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus.(QS.An-Nahl : 121)
Apakah yang dimaksud dengan الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ “shiraathal mustaqiim”  (jalan yang lurus) itu?  Ada beberapa pendapat, Imam Abu Ja’far bin Jarir mengatakan : Telah terdapat kesepakatan semua ahli tafsir bahwa yang dimaksud dengan “shiraathal mustaqiim” adalah : jalan yang jelas, lurus dan tidak ada bengkok padanya.[4] Menurut sebagian sahabat,  shiraathal mustaqiim” adalah kitabullah (Al-Qur'an), berdasarkan hadits yang diriwayatkan  Ali bin Abi Thalib ra :
 حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَرَفَةَ، حدثني يَحْيَى بْنَ الْيَمَانِ، عَنْ حَمْزَةَ الزَّيَّاتِ، عَنْ سَعْدٍ الطَّائِيِّ، عَنْ ابْنِ أَخِي الْحَارِثِ الْأَعْوَرِ عَنْ الْحَارِثِ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى عَلِيَّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ فَقَالَ :  سَمِعْتُ رسولَ اللهِ صلى اللهُ عليه وسلم يقول : الصِرَاطُ الْمُسْتَقِيْمُ كِتَابُ اللهِ. (تفسير ابن ابي حاتم : 32 – المكتبة الشاملة- باب قوله الصراط المستقيم – الجزء : 1 – صفحة : 55)
Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin ‘Arafah, telah menceritakan kepadaku Yahya bin Al-Yaman, dari Hamzah Azzayyat, dari Sa’aed Ath-Thaiy, dari Ibnu Akhi Al-Harits Al-A’war, dari Harits, ia berkata : Aku menemui ‘Ali bin Abi Thalib, ia berkata : Saya pernah mendengar Rasulullah saw bersabda : shiraathal mustaqiim (jalan yang lurus) adalah kitabullah (Al-Qur'an). (Tafsir Ibnu Abi Hatim : 32, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Qauluhu shirathal mustaqim, juz : 1, hal. 55)
Menurut pendapat lain, “shiraatal mustaqiim” adalah agama Islam, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh sahabat  Jabir bin Abdillah :
أَخْبَرَنِيْ  عَلِيُّ بْنٍ مُحَمَّدِ بنِ عُقْبَةَ  الشَّيْبَانِي بِالْكُوفَةِ، حَدَّثَنَا الْهَيْثَمُ بْنُ خَالِدٍ، حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ صَالِحٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَقِيلٍ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ  رضي الله عنهما، قال : الصِرَاطُ الْمُسْتَقِيْمُ هُوَ الإِسْلاَمُ، وَهُوَ أَوْسَعُ مَا بَيْنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ.(رواه الحاكم : 2978 -المستدرك على الصحيحين للحاكم- المكتبة الشاملة- باب تفسير سورة الفاتحة– الجزء :7– صفحة : 151)
Telah mengabarkan kepadaku ‘Ali bin Muhammad bin ‘Uqbah Asy-Syaibaniy di Kufah, telah menceritakan kepada kami Al-Haitsam bin Khalid, telah menceritakan kepada kami Abu Nua’m, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Shalih, dari Abdulah bin Muhammad bin ‘Aqil, dari Jabir bin Abdillah ra, ia berkata :  shiraathal mustaqiim (jalan yang lurus) adalah  agama Islam. Ia  meliputi  apa yang ada di langit dan di bumi. (HR. Hakim : 2978,  Al-Mustadrak alas Shahihain Lil-Hakim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab tafsir Suratul Fatihah,  juz : 7, hal.151)
Menurut imam Mujahid seorang tabi'in yang menjadi panutan para ahli tafsir, “shiraathal mustaqiim  (jalan yang lurus) adalah perkara yang hak.
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ عَبدِكَ الْقَزْوِينِيُّ، حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْمَخْزُومِيِّ، حَدَّثَنَا عُمَرُ  يَعْنِي ابْنُ ذَرٍّ، عَنْ مُجَاهِدٍ، في قوله : الصِرَاطُ الْمُسْتَقِيْمُ قال : اَلْحَقُّ .(تفسير ابن ابي حاتم – المكتبة الشاملة- باب قوله ولهديناهم صراطا مستقيما – الجزء :  19 – صفحة :  374)
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Abdik Al-Qazwiny, telah menceritakan kepada kami Khalid bin Abdirrahman Al-Makhzumy, telah enceritakan kepada kami Umar, yaitu Ibnu Dzar, dari Mujahid tentang kalimat : shiraathal mustaqiim  (jalan yang lurus). Ia berkata : Perkara yang hak. (Tafsir Ibnu Abi Hatim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab qauluhuu wa lahadainahum shiratham mustaqiimaa, juz : 19, hal. 374)
Makna ini (Perkara yang hak) lebih mencakup semuanya (yakni kitabullah dan agama Islam) dan tidak ada pertentangan antara pendapat ini dengan pendapat-pendapat lain sebelumnya.
Bahkan hadits yang diriwayatkan Abu Al-‘Aliyah, bahwa yang dimaksud dengan “shiraathal mustaqiim (jalan yang lurus) adalah Nabi Muhammad saw dan kedua sahabat yang menjadi khalifah sesudahnya (yaitu Abu Bakar dan Umar ra).
حَدَّثَنَا سَعْدَانُ بْنُ نَصْرٍ، حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ، حَدَّثَنَا حَمْزَةُ بْنُ الْمُغِيرَةِ، عَنْ عَاصِمٍ الْأَحْوَلِ، عَنْ أَبِي الْعَالِيَةِ : الصِرَاطُ الْمُسْتَقِيْمُ قال : هُوَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَصَاحِبَاهُ بَعْدَهُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا. (تفسير ابن ابي حاتم : 3953 - المكتبة الشاملة- باب قوله  الى صراط مستقيم – الجزء : 14– صفحة : 130)   
Telah menceritakan kepada kami Sa’dan bin Nashr, telah menceritakan kepada kami Abu An-Nadhr yaitu Hasyim bin Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Hamzah bin Al-Mughirah, dari ‘Ashim Al-Ahwal, dari Abu Al-‘Aliyah, ia berkata :Ash-shiraathal mustaqiim (jalan yang lurus) adalah Nabi Muhammad saw dan kedua orang sahabat (yang menjadi khalifah) sesudahnya (yaitu Abu Bakar dan Umar ra). (Tafsir Ibnu Abi Hatim : 3953, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab qauluhu ilaa shiraathin Mustaqiim, juz : 14, hal. 130)
             Menurut Al-Hafidz Ibnu Katsir bahwa semua pendapat diatas adalah benar, satu sama lainnya saling memperkuat, karena barang siapa yang mengikuti Nabi Muhammad saw dan kedua sahabatnya (yakni Abu Bakar dan Umar r.a), berarti ia mengikuti jalan yang hak (benar); dan barang siapa yang mengikuti jalan yang benar, berarti ia mengikuti jalan Islam. Barangsiapa mengikuti jalan Islam, berarti mengikuti Al-Qur'an, yaitu Kitabullah atau tali Allah yang kuat dan jalan yang lurus. Semua pendapat benar dan masing-masing saling membenarkan.[5]
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya,  Rasulullah saw bersabda :
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ سَوَّارٍ أَبُو الْعَلَاءِ حَدَّثَنَا لَيْثٌ يَعْنِي ابْنَ سَعْدٍ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ صَالِحٍ أَنَّ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ جُبَيْرٍ حَدَّثَهُ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّوَّاسِ بْنِ سَمْعَانَ الْأَنْصَارِيِّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا وَعَلَى جَنْبَتَيْ الصِّرَاطِ سُورَانِ فِيهِمَا أَبْوَابٌ مُفَتَّحَةٌ وَعَلَى الْأَبْوَابِ سُتُورٌ مُرْخَاةٌ وَعَلَى بَابِ الصِّرَاطِ دَاعٍ يَقُولُ أَيُّهَا النَّاسُ ادْخُلُوا الصِّرَاطَ جَمِيعًا وَلَا تَتَفَرَّجُوا وَدَاعٍ يَدْعُو مِنْ جَوْفِ الصِّرَاطِ فَإِذَا أَرَادَ يَفْتَحُ شَيْئًا مِنْ تِلْكَ الْأَبْوَابِ قَالَ وَيْحَكَ لَا تَفْتَحْهُ فَإِنَّكَ إِنْ تَفْتَحْهُ تَلِجْهُ وَالصِّرَاطُ الْإِسْلَامُ وَالسُّورَانِ حُدُودُ اللَّهِ تَعَالَى وَالْأَبْوَابُ الْمُفَتَّحَةُ مَحَارِمُ اللَّهِ تَعَالَى وَذَلِكَ الدَّاعِي عَلَى رَأْسِ الصِّرَاطِ كِتَابُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَالدَّاعِي فَوْقَ الصِّرَاطِ وَاعِظُ اللَّهِ فِي قَلْبِ كُلِّ مُسْلِمٍ. (رواه احمد : 16976 – مسند احمد - المكتبة الشاملة – باب حديث النواس بن سمعان الكلابي الأنصاري – الجزء : 36– صفحة :  32)
Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Sawwar, yaitu Abu Al-‘Ala’, telah menceritakan kepada kami Laits, ya’ni Ibnu Sa’ad, dari Mu’awiyah bin Shalih, bahwa Abdurrahman bin Jubair telah menceritakannya, dari bapaknya, dari Nawwas bin Sam’an Al-Anshari, dari Rasulullah saw  : Allah telah membuat suatu perumpamaan, yaitu sebuah jembatan yang lurus; pada kedua sisi jembatan itu terdapat dua pagar yang mempunyai pintu-pintu terbuka, pada pintu-pintu itu terdapat tirai yang menutupinya, sedangkan pada pintu masuk ke jembatan itu terdapat penyeru yang menyerukan : "Hai manusia, masuklah kalian semua ke jembatan ini dan janganlah kalian menyimpang darinya." Dan diatas jembatan terdapat pula seorang penyeru; apabila ada seorang yang hendak membuka salah satu dari pintu-pintu (yang berada di kedua jembatan) itu, maka penyeru itu berkata : "Celakalah kamu, janganlah kamu buka pintu itu, karena sesungguhnya jika kamu buka niscaya kamu masuk ke dalamny." Jembatan itu adalah agama Islam, kedua pagar itu adalah batasan-batasan (hukum-hukum) Allah, pintu-pintu yang terbuka itu adalah hal-hal yang diharamkan oleh Allah, sedangkan juru penyeru yang berada di depan pintu jembatan adalah kitabullah, dan juru penyeru yang berada diatas jembatan itu adalah nasehat Allah yang berada dalam hati setiap orang muslim. (HR. Ahmad : 16976, Musnad Ahmad, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab hadits Nawwas bin Sam’an, juz : 36, hal.32)


[1]. Baca hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim, hadits no : 598, dalam kitab shahih Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab wujuubi qiraa-atil fatihah fii kulli rakatin, juz : 2, hal. 352
[2]. Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib Al-Amaly, Abu Ja’far Ath-Thabary,  Tafsir Ath-Thabariy, Al-Maktabah Asy-Syamilah, cetakan ke 1, tahun 2000 M/1420 H,  bab 6,  juz : 1, hal. 173)
[3]. Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib Al-Amaly, Abu Ja’far Ath-Thabary,  Tafsir Ath-Thabariy, Al-Maktabah Asy-Syamilah, cetakan ke 1, tahun 2000 M/1420 H,  bab 6,  juz : 1, hal. 171)  
[4].  Abul Fida’ Isma’il bin Umar bin Katsir Al-Qurasyi Ad-Damisyqy (700-774 H),Tafsir Ibnu Katsir,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, cetakan ke 3, tahun 1999 M /1420 H, bab 6, juz 1, hal.137
[5]. Ibid. hal. 139