Kamis, 26 Maret 2015

SURAT AL-BAQARAH AYAT 17 - 20


Surat Al-Baqarah ayat 17 - 20
مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِي اسْتَوْقَدَ نَارًا فَلَمَّا أَضَاءَتْ مَا حَوْلَهُ ذَهَبَ اللَّهُ بِنُورِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُمَاتٍ لَا يُبْصِرُونَ  (البقرة : 17)
Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya, Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. (QS.Al-Baqarah : 17)
Awal ayat 17 berbunyi :  “Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api”. Manurut Abu Jakfar Ar-Razi, dari Rabi’ bin Anas, dari Abu Al-Aliyah adalah cahaya api itu muncul setelah dinyalakan, dan cahaya api itu hilang setelah padam.  Demikian pula orang munafik, ketika ia bicara dengan kalimat tauhid  لا إله إلا الله  muncullah “cahaya”   نورyang dapat meneranginya, dan bila ia ragu-ragu, maka jatuhlah ia ke dalam “kegelapan” ظلمة. Imam Ibnu Katsir menyinggung perkataan Al-Aufi dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud dengan “cahaya”  نور  adalah keimanan; sedangkan “kegelapan” ظلمة adalah kesesatan dan kekafiran mereka. [1]
 Orang-orang munafik itu diumpamakan dengan orang yang membuat api unggun, mereka mengharapkan nyala api dan cahayanya. Artinya bahwa mereka sebenarnya punya keinginan mendapatkan cahaya yang dapat menerangi.  Sebelum Nabi Muhammad saw menyatakan Risalahnya, dalam kalangan orang-orang Yahudi ada pengharapan, menunggu kedatangan Nabi akhir zaman, karena kedatangan Nabi Muhammad saw sebagai penutup para Nabi itu telah disebutkan dalam kitab-kitab suci mereka terdahulu. Setelah Nabi Muhammad saw itu datang (atau api unggun itu telah menyala) dan di sekelilingnya telah mendapatkan cahaya yang menerangi, namun mereka kehilangan cahaya (keimanan) itu dan mereka berada dalam kegelapan (kekafiran).  Firman Allah :
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ آَمَنُوا ثُمَّ كَفَرُوا فَطُبِعَ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَهُمْ لَا يَفْقَهُونَ
Yang demikian itu adalah karena bahwa sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi) lalu hati mereka dikunci mati; karena itu mereka tidak dapat mengerti. (QS.Al-Munafiqun : 3)
Mengapa setelah api unggun menyala,  keadaan mereka jadi gelap-gulita dan mata mereka menjadi silau? Jawabnya adalah surat Al-Baqarah  ayat 18  berikut :
صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَرْجِعُونَ.(البقرة : 18)
Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar).
Walaupun telinga mampu mendengar, mulut dapat bicara dan mata bisa melihat, namun bila panca indera yang lahir berupa jasnami itu telah putus hubungan dengan batin, samalah dengan  tuli, bisu dan buta. Mereka dikatakan tuli karena tidak mendengarkan nasihat-nasihat dan petunjuk-petunjuk, bahkan tidak paham, meskipun mereka mendengar. Dikatakan bisu karena mereka tidak mau menanyakan hal-hal yang samar, tidak meminta penjelasan dan petunjuk-petunjuk, sehingga mereka kehilangan kesempatan untuk mengambil manfaat dari segala pelajaran dan ilmu pengetahuan yang dikemukakan para Rasul. Dikatakan buta karena mereka kehilangan manfaat pengamatan dan manfaat pelajaran. Mereka tidak dapat mengambil pelajaran dari segala kejadian, baik yang mereka alami maupun pengalaman orang lain. 
Ujung ayat 18 berbunyi : maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar)”.  Yang dimaksud dengan tidaklah mereka akan kembali”, menurut suatu riwayat dari Ibnu Mas’ud, dan juga dari segolongan sahabat Nabi saw adalah : ”Mereka tidak akan kembali kepada Islam”. Dan dalam riwayat lain, dari Ibnu Abbas adalah : “Mereka tidak akan kembali kepada hidayah dan kepada kebaikan, mereka tidak akan selamat selama mereka tetap berada pada pendiriannya”.[2]   Langkah mereka yang tidak mau menerima kebenaran, ibarat seseorang yang melemparkan kendaraannya ke jurang yang sangat dalam, tidak ada lagi kekuatan yang sanggup mengembalikannya dengan utuh ke tempat yang datar. Akibatnya  sudah pasti, yaitu kehancuran.
Ada perumpamaan lain yang disajikan oleh Allah dalam surat Al-Baqarah, yaitu ayat 19 berikut :
أَوْ كَصَيِّبٍ مِنَ السَّمَاءِ فِيهِ ظُلُمَاتٌ وَرَعْدٌ وَبَرْقٌ يَجْعَلُونَ أَصَابِعَهُمْ فِي آَذَانِهِمْ مِنَ الصَّوَاعِقِ حَذَرَ الْمَوْتِ وَاللَّهُ مُحِيطٌ بِالْكَافِرِينَ. (البقرة :19)
Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan (pengetahuan serta kekuasaan) Allah meliputi orang-orang yang kafir.  (QS.Al-Baqarah : 19)
Pada awal ayat 19 berbunyi : “Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat”. Hujan artinya kesuburan sesudah kering, kemakmuran sesudah kemarau. Peladang-peladang menunggu hujan turun, agar ladang-ladang mereka dapat memberikan hasil. Namun hujan turunnya dengan dahsyat. Pertama langit menjadi gelap gulita oleh tebalnya awan dan mendung, lalu terdengarlah suara guruh dan petir, sementara kilat pun datang sambung menyambung yang mengerikan dan menakutkan. Demikianlah perumpamaan lain yang diberikan Allah mengenai  orang-oarang munafik, yaitu orang-orang yang kadang-kadang tampak berada dalam kebenaran dan pada saat yang lain mereka ragu-ragu. Hati mereka yang dalam keadaan ragu, kufur dan bimbang itu diumpamakan oleh Allah “seperti hujan lebat”. Kata  [الصيب] berarti hujan yang turun dari langit pada waktu gelap gulita. Dan kegelapan itu adalah keraguan, kekufuran dan kemunafikan. Sedangkan [الرعد] berarti petir/halilintar, yaitu perumpamaan untuk ketakutan yang mengguncangkan hati. Sedangkan [البرق] adalah kilat yang menyinari hati orang-orang munafik pada suatu waktu, yaitu berupa cahaya keimanan.
Pertengahan ayat 19 berbunyi : “Mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati”.  Orang-orang munafik yang berada dalam kegelapan (keraguan, kekufuran dan kemunafikan) dihantui rasa takut untuk menerima cahaya keimanan. Oleh karena itu, mereka  sumbatkan jari-jarinya ke dalam telinganya. Maksudnya adalah keadaan orang-orang munafik, ketika mendengar ayat-ayat yang mengandung peringatan atau nasehat, adalah seperti orang yang ditimpa hujan lebat dan petir. Mereka menyumbat telinganya karena takut dan tidak sanggup mendengar peringatan-peringatan Al-Quran. Demikian halnya orang-orang munafik itu selalu dalam keragu-raguan dan kecemasan dalam menghadapi cahaya Islam. Menurut anggapan mereka Islam itu hanya membawa kemelaratan, kesengsaraan dan penderitaan. Bahkan  mereka  tidak dapat melihat dan mengambil  manfaat yang ada di balik hujan lebat itu (Islam), yaitu unsur yang membawa kemakmuran dalam kehidupan di atas bumi.
Akhir ayat 19 berbunyi : “Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir”.  Maksudnya pengetahuan dan kekuasaan Allah meliputi orang-orang kafir. Untuk itu,  ketakutan mereka itu tidak dapat memberikan manfaat sedikit pun, karena Allah meliputi mereka melalui kekuasaan-Nya dan mereka berada dalam kendali kehendak dan iradah-Nya. [3]
Sebab Turunnya Ayat
Telah meriwayatkan Ibnu Jarir, dari jalur Assadiyul Kabir, dari Abu Malik dan Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, dari Murrah, dari Ibnu Masud, dan segolongan dari sahabat, mereka berkata : "Ada dua orang laki-laki dari kaum munafik warga kota Madinah, melarikan diri dari Rasulullah kepada golongan musyrik, mereka ditimpa hujan lebat yang disebutkan Allah (dalam ayat) itu, diiringi guruh dan petir serta kilat yang memancar-mancar tiap petir itu datang, mereka pun menyumbat  telinganya dengan jari, karena takut akan dimasukinya hingga mereka tewas karenanya. Jika kilat itu memancar, mereka pun berjalan dalam cahayanya, tetapi jika cahayanya padam, mereka berhenti karena tidak melihat apa-apa. Akhirnya dengan berjalan seperti itu sampailah mereka ke tempat yang dituju, lalu kata mereka : 'Wahai, cepatlah kiranya datang waktu pagi, hingga kita dapat menemui Muhammad dan kami meletakkan tangan kami di atas tangannya (berbaiat kepadanya). Demikianlah mereka menemuinya serta masuk Islam, lalu berbaiat kepadanya serta baiklah keislaman mereka. Maka Allah pun menjadikan perilaku kedua orang munafik yang melarikan diri ini sebagai tamsil perbandingan bagi orang-orang munafik yang ada di Madinah.
Orang-orang munafik itu, jika mereka hadir dalam majelis Nabi saw, menaruh jari-jiri mereka ke telinga masing-masing karena takut akan ucapan Nabi saw, kalau-kalau ada wahyu turun mengenal diri mereka, atau disebutkan sesuatu tentang perilaku mereka hingga mereka menemui ajal karenanya, sebagaimana yang dilakukan serta dikhawatirkan oleh kedua orang munafik yang melarikan diri tadi, mereka menaruh njari-jari mereka ke telinganya. Jika ada cahaya, mereka pun berjalan, artinya jika telah banyak harta benda dan anak-anak mereka, serta mereka beroleh harta rampasan atau mencapai suatu kemenangan, mereka pun maju ke depan, lalu kata mereka ketika itu, "Benarlah agama Muhammad", dan mereka berpegang teguh kepadanya, tak ubahnya bagai dua orang munafik tadi yang berjalan setiap kilat memancar; dan jika hari gelap, mereka berhenti, artinya jika harta benda dan anak-anak mereka habis, punah, atau jika mereka ditimpa malapetaka, maka kata mereka : "Ini tidak lain hanyalah karena ulah agama Muhammad, dan mereka berbalik kafir seperti halnya kedua orang munafik tadi, yakni jika kilat tidak memancar lagi.[4]
Ayat terakhir dari awal surat Al-Baqarah yang membicarakan ciri-ciri dan perumpamaan orang-orang munafik adalah ayat 20 berikut :
يَكَادُ الْبَرْقُ يَخْطَفُ أَبْصَارَهُمْ كُلَّمَا أَضَاءَ لَهُمْ مَشَوْا فِيهِ وَإِذَا أَظْلَمَ عَلَيْهِمْ قَامُوا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَذَهَبَ بِسَمْعِهِمْ وَأَبْصَارِهِمْ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ(البقرة : 20)
Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu. (QS.Al-Baqarah : 20)
Awal ayat 20 berbunyi : “Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka”. Kilat itu nyaris menyambar penglihatan mereka, karena kuat dan hebatnya kilat tersebut serta lemahnya penglihatan dan ketidakteguhan mereka dalam beriman.
Pertengahan ayat berbunyi : “Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti”. Maksud dari ayat ini menurut Ali bin Abu Thalhah, dari Ibnu Abbas bahwa setiap kali orang-orang munafik itu memperoleh kabaikan karena kemulian Islam, maka tetaplah mereka berada dalam keadaan Islam, dan jika bencana menimnpa Islam, maka mereka berhenti sejenak untuk kembali kepada kekafiran, sebagaimana firman Allah :
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَى حَرْفٍ فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انْقَلَبَ عَلَى وَجْهِهِ خَسِرَ الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةَ ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ (الحج :11)
Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi (tidak dengan penuh keyakinan); maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang (kembali kafir lagi). Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata. (QS.Al-Hajj :11)
Menurut Muhammad bin Ishak, dari Muhammad bin Abu Muhammad, dari ‘Ikrimah, atau dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa orang-orang munafik itu sebenrnya mengetahui kebenaran dan berbicara atau berkata tentang kebenaran tersebut. Jika mereka betul-betul memahami perkataannya, tentu mereka akan tetap istiqamah, dan ketika mereka kembali kepada kekafiran, mereka berhenti dalam keadaan bingung.
Kelanjutan dari ayat 20 berbunyi : “Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka”.  Artinya, sia-sialah pendengaran dan penglihatan yang ada pada mereka, dan mudahlah bagi Allah untuk menghilangkannya sama sekali, sehingga tamatlah riwayat hidup mereka dalam kekufuran dan kesesatan, disebabkan sikap jiwa yang ragu-ragu, lalu mengambil jalan yang salah, jauh dari kebenaran.  Muhammad bin Ishaq berkata : Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Abu Muhammad, dari ‘Ikrimah, atau dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa Allah melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka, karena mereka meninggalkan kebenaran setelah mengetahunya. 
Akhir ayat 20 berbunyi : “Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu”. Ibnu Abbas berkata, artinya Allah berkuasa untuk menyiksa atau memberikan ma’af (ampunan) kepada hamba-hamba-Nya. Ibnu Jarir berkata, bahwa sesungguhnya Allah menyifati diri-Nya dengan kekuasaan atas segala sesuatu, untuk mengingatkan orang-orang munafik akan kekuatan dan keperkasaan-Nya, serta mengabarkan kepada mereka, bawa Dia meliputi mereka serta sanggup melenyapkan  pendengaran dan penglihatan mereka. [5]


[1]. Baca Tafsir Ibnu Katsir, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab : 17, juz : 1, hal. 188
[2]. Baca Tafsir Ath-Thabari Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab : 18, juz : 1, hal. 332
[3]. Baca Tafsir Ibnu Katsir, Al-Maktabah Asy-Syamilah bab : 19, juz : 1, hal. 189 - 190
[4].  Lubaabun Nuzuul, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz : 1, hal. 8. 
[5]. Baca Tafsir Ibnu Katsir, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab : 19, juz : 1, hal. 191 - 193

Minggu, 08 Maret 2015

LARANGAN SELAMA IHRAM


Menghindari Perbuatan Yang Dilarang Selama Ihram

Hal-hal yang dilarang dalam keadaan ihram haji atau umrah. Larangan ada yang berlau bagi laki-laki, ada yang berlaku bagi perempuan,  dan ada pula yang berlaku bagi laki-laki dan perempuan. 

Larangan Bagi Laki-laki
1.    Dilarang memakai pakaian yang berjahit, menutup kepala, memakai alas kaki yang menutupi mata kaki (khusus bagi pria). Hal ini berdasarkan pada hadits Nabi :
حَدَّثَنَا آدَمُ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَهُ مَا يَلْبَسُ الْمُحْرِمُ فَقَالَ لَا يَلْبَسُ الْقَمِيصَ وَلَا الْعِمَامَةَ وَلَا السَّرَاوِيلَ وَلَا الْبُرْنُسَ وَلَا ثَوْبًا مَسَّهُ الْوَرْسُ أَوْ الزَّعْفَرَانُ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ النَّعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ الْخُفَّيْنِ وَلْيَقْطَعْهُمَا حَتَّى يَكُونَا تَحْتَ الْكَعْبَيْنِ. (رواه البخاري : 131-صحيح البخاري- المكتبة الشاملة-بَاب من اجاب السائل بأكثر مما سأله– الجزء : 1-صفحة :  228)
Telah menceritakan kepada kami Adam, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Dzi'b, dari Nafi', dari Ibnu 'Umar, dari Nabi saw, dan dari Az-Zuhri, dari Salim, dari Ibnu 'Umar, dari Nabi saw, bahwa ada seorang laki-laki bertanya :  "Apa yang harus dikenakan oleh orang yang melakukan ihram?" Beliau menjawab : "Ia tidak boleh memakai baju kurung, sorban (topi), celana panjang, mantel, atau pakaian yang diberi minyak wangi atau za'faran. Jika dia tidak mendapatkan sandal, maka ia boleh mengenakan sepatu dengan memotongnya hingga di bawah mata kaki." (HR.Bukhari : 131,  Shahih Bukhari,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab  Man ajaabas sail bi aktsra mimmaa sa-alahuu, ,  juz: 1, hal.228)
حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنُ عَلِيٍّ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ سَأَلَ رَجُلٌ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا يَلْبَسُ الْمُحْرِمُ فَقَالَ لَا يَلْبَسُ الْقَمِيصَ وَلَا السَّرَاوِيلَ وَلَا الْبُرْنُسَ وَلَا ثَوْبًا مَسَّهُ الزَّعْفَرَانُ وَلَا وَرْسٌ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ النَّعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ الْخُفَّيْنِ وَلْيَقْطَعْهُمَا حَتَّى يَكُونَا أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ. (رواه البخاري :  353-صحيح البخاري- المكتبة الشاملة-بَاب الصلاة في القميص والسراويل– الجزء : 2-صفحة :   105)
Telah menceritakan kepada kami 'Ashim bin 'Ali, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Dzi'b, dari Az-Zuhri, dari Salim, dari Ibnu 'Umar, ia berkata : "Ada seseorang bertanya kepada Rasulullah saw,  "Apa yang harus dikenakan oleh seseorang saat ihram?" Rasulullah saw, menjawab : "Dia tidak boleh mengenakan baju kurung, celana, mantel dan tidak boleh pula pakaian yang diberi minyak wangi atau wewangian dari daun tumbuhan. Dan siapa yang tidak memiliki sandal, ia boleh mengenakan sepatu tapi hendaklah dipotong hingga berada dibawah mata kaki." (HR.Bukhari : 353,  Shahih Bukhari,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab  Ash-Shalatu fil-Qamish Wassaraawil,   juz: 2, hal. 105)
2.    Dilarang menutup kepala. Seseorang  yang sedang melakukan ihram tidak dibolehkan menutup kepalanya (khusun bagi pria). Hal ini berdasarkan hadist Ibnu Abbas berikut tentang orang yang mati dalam keadaan berihram :
وَلَا تُخَمِّرُوا رَأْسَهُ
dan jangan pula diberi tutup kepala (sorban/peci)
حَدَّثَنَا أَبُو النُّعْمَانِ أَخْبَرَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ أَبِي بِشْرٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ أَنَّ رَجُلًا وَقَصَهُ بَعِيرُهُ وَنَحْنُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ مُحْرِمٌ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اغْسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَكَفِّنُوهُ فِي ثَوْبَيْنِ وَلَا تُمِسُّوهُ طِيبًا وَلَا تُخَمِّرُوا رَأْسَهُ فَإِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مُلَبِّيًا. (رواه البخاري : 1188-صحيح البخاري- المكتبة الشاملة-بَاب كيف يكفن المحرم– الجزء : 5-صفحة :  4)
 Telah menceritakan kepada kami Abu An-Nu'man, telah mengabarkan kepada kami Abu 'Awanah, dari Abu Bisyir, dari Sa'id bin Jubair, dari Ibnu 'Abbas Ram; Bahwa ada seorang laki-laki yang sedang berihram dijatuhkan oleh untanya yang saat itu kami sedang bersama Nabi saw. Maka Nabi saw  berkata : "Mandikanlah dia dengan air yang dicampur daun bidara dan kafanilah dengan dua helai kain dan janganlah diberi wewangian dan jangan pula diberi tutup kepala (sorban) karena dia nanti akan dibangkitkan pada hari qiyamat dalam keadaan bertalbiyyah. (HR.Bukhari : 1188,  Shahih Bukhari,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Kaifa yukfanul muhrimu,   juz: 5, hal. 4)

Larangan Bagi Wanita

3.    Dilarang menutup muka dan memakai sarung tangan yang menutup telapak tangannya (khusus bagi wanita). Hal ini berdasarkan hadist Ibnu Umar tentang pakaian orang yang  dalam keadaan berihram :
وَلَا تَنْتَقِبْ الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ وَلَا تَلْبَسْ الْقُفَّازَيْنِ
Dan wanita yang sedang ihram tidak boleh memakai cadar (penutup wajah) dan sarung tangan
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ حَدَّثَنَا نَافِعٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَامَ رَجُلٌ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَاذَا تَأْمُرُنَا أَنْ نَلْبَسَ مِنْ الثِّيَابِ فِي الْإِحْرَامِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَلْبَسُوا الْقَمِيصَ وَلَا السَّرَاوِيلَاتِ وَلَا الْعَمَائِمَ وَلَا الْبَرَانِسَ إِلَّا أَنْ يَكُونَ أَحَدٌ لَيْسَتْ لَهُ نَعْلَانِ فَلْيَلْبَسْ الْخُفَّيْنِ وَلْيَقْطَعْ أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ وَلَا تَلْبَسُوا شَيْئًا مَسَّهُ زَعْفَرَانٌ وَلَا الْوَرْسُ وَلَا تَنْتَقِبْ الْمَرْأَةُ الْمُحْرِمَةُ وَلَا تَلْبَسْ الْقُفَّازَيْنِ. (رواه البخاري :1707-صحيح البخاري- المكتبة الشاملة-بَاب ما ينهى من الطيب للمحرم– الجزء :  6-صفحة :  374)
Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Yazid, telah mengabarkan kepada kami Al Laits, telah menceritakan kepada kami Nafi', dari 'Abdullah bin 'Umar ra, ia berkata : Seorang laki-laki datang lalu berkata: "Wahai Rasulullah, pakaian apa yang baginda perintahkan untuk kami ketika ihram)?. Nabi saw, menjawab: "Janganlah kalian mengenakan baju kurung, celana, sorban, mantel (pakaian yang menutupi kepala) kecuali seseorang yang tidak memiliki sandal, hendaklah dia mengenakan sapatu tapi dipotongnya hingga berada dibawah mata kaki dan jangan pula kalian memakai pakaian yang diberi minyak wangi atau wewangian dari daun tumbuhan. Dan wanita yang sedang ihram tidak boleh memakai cadar (penutup wajah) dan sarung tangan". (HR.Bukhari : 1188,  Shahih Bukhari,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Kaifa yukfanul muhrimu,   juz: 5, hal. 4)

Larangan Bagi Laki-Laki Dan Wanita

4.    Dilarang memakai wewangian. Seseorang yang sudah berniat ihram dilarang menggunakan wewangian di bagian tubuhnya atau di pakaiannya (bagi pria dan wanita), berdasarkan hadits Bukhari pada larangan kedua di atas:
وَلَا تُمِسُّوهُ طِيبًا
Janganlah diberi wewangian
5.    Dilarang mencukur rambut. Seseorang yang melaksanakan ihram tidak boleh mencukur/menggunting rambut atau bulu badan lainnya walaupun sedikit. Hal ini berdasarkan firman Allah swt :
                                       وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ
Dan jangan kamu mencukur kepalamu  (QS. Al-Baqarah : 196)
6.    Dilarang memotong kuku. Larangan ini diqiaskan kepada larangan menghilangkan/mencukur  rambut.[1]
Mencukur rambut karena ada uzur seperti sakit diperbolehkan, tetapi wajib membayar fidyah. Firman Allah :
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ
Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfid-yah, Yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban. (QS.Al-Baqarah : 196)
Dan juga berdasarkan  pada Hadits Nabi :
حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ حَدَّثَنَا خَالِدٌ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى عَنْ كَعْبِ بْنِ عُجْرَةَ قَالَ أَتَى عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَمَنَ الْحُدَيْبِيَةِ وَأَنَا كَثِيرُ الشَّعْرِ فَقَالَ كَأَنَّ هَوَامَّ رَأْسِكَ تُؤْذِيكَ فَقُلْتُ أَجَلْ قَالَ فَاحْلِقْهُ وَاذْبَحْ شَاةً أَوْ صُمْ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ أَوْ تَصَدَّقْ بِثَلَاثَةِ آصُعٍ مِنْ تَمْرٍ بَيْنَ سِتَّةِ مَسَاكِينَ. (رواه احمد :  17419مسند احمد- المكتبة الشاملة-  باب حديث كعب بن عجرة-  الجزء :   37-صفحة :  74)   
Telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Wuhaib, telah menceritakan kepada kami Khalid, dari Abu Qilabah, dari Abdurrahman bin Abu Laila, dari Ka'ab bin Ujrah, ia berkata : "Rasulullah saw, mendatangiku pada saat perjanjian Hudaibiyah. Waktu itu saya memiliki rambut yang panjang, maka beliau berkata: "Sepertinya kutu pada rambut kepalamu telah melukaimu." Saya menjawab, "Benar." Beliau lalu bersabda: "Cukurlah rambutmu. Kemudian sembelihlah seekor kambing, atau kamu berpuasa tiga hari, atau bersedekah sebanyak tiga sha' kurma untuk dibagikan kepada enam orang miskin." (HR. Ahmad : 17419,  Musnad Ahmad, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab   Hadits Kaab bin Ujrah,   juz : 30, hal. 303)
7.    Dilarang melangsungkan pernikahan, baik untuk dirinya, atau bertindak sebagai wali atau sebagai saksi dan juga dilarang meminang. Hal ini berdasarkan pada hadits Nabi berikut :
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ نُبَيْهِ بْنِ وَهْبٍ أَنَّ عُمَرَ بْنَ عُبَيْدِ اللَّهِ أَرَادَ أَنْ يُزَوِّجَ طَلْحَةَ بْنَ عُمَرَ بِنْتَ شَيْبَةَ بْنِ جُبَيْرٍ فَأَرْسَلَ إِلَى أَبَانَ بْنِ عُثْمَانَ يَحْضُرُ ذَلِكَ وَهُوَ أَمِيرُ الْحَجِّ فَقَالَ أَبَانُ سَمِعْتُ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ يَقُولُا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلَا يُنْكَحُ وَلَا يَخْطُبُ. (رواه مسلم : 2522 – صحيح مسلم - المكتبة الشاملة-  باب تحريم نكاح المحرم وكراه خطبته-  الجزء :  7-صفحة :   214)  
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya, dia berkata; Saya membaca di hadapan Malik, dari Nafi', dari Nubaih bin Wahb, bahwa Umar bin Ubaidillah hendak menikahkan Thalhah bin Umar dengan putri Syaibah bin Jubair, lantas dia mengutus seseorang kepada Aban bin Utsman agar dia bisa hadir (dalam pernikahan), padahal dia sedang memimpin Haji, lantas Aban berkata; Saya pernah mendengar Utsman bin Affan berkata; Rasulullah saw,  bersabda: "Orang yang sedang berihram tidak diperbolehkan untuk menikahkan, dinikahkan dan meminang." (HR. Muslim : 2522, Shahih Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab tahriimu nikaahil muhrim wa karahatu khithbatihi,  juz : 7, hal. 214)
و حَدَّثَنِي عَنْ مَالِك عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَقُولُ:لَا يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلَا يَخْطُبُ عَلَى نَفْسِهِ وَلَا عَلَى غَيْرِهِ.(رواه مالك : 681- موطأ مالك-المكتبة الشاملة-باب نكاح المحرم- الجزء: 3-صفحة: 46)  
Telah menceritakan kepadaku dari Malik, dari Nafi', bahwa Abdullah bin 'Umar, ia berkata : "Orang yang sedang ihram tidak boleh menikah, meminang untuk dirinya sendiri, atau meminang untuk orang lain." (HR. Malik : 681, Muwatha’ Malik,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab  Nikaahul muhrim,  juz : 3, hal. 46)
8.    Dilarang mengganggu pepohonan yang tumbuh di Makkah, tidak boleh dipotong rumputnya dan tidak boleh ditebang pohonnya, berdasarkan hadits berikut :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ حَدَّثَنَا خَالِدٌ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ مَكَّةَ فَلَمْ تَحِلَّ لِأَحَدٍ قَبْلِي وَلَا تَحِلُّ لِأَحَدٍ بَعْدِي وَإِنَّمَا أُحِلَّتْ لِي سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ لَا يُخْتَلَى خَلَاهَا وَلَا يُعْضَدُ شَجَرُهَا وَلَا يُنَفَّرُ صَيْدُهَا وَلَا تُلْتَقَطُ لُقَطَتُهَا إِلَّا لِمُعَرِّفٍ. (رواه البخاري : 1702-صحيح البخاري- المكتبة الشاملة-بَاب ما ينهى لا ينفر صيد المحرم– الجزء : 6-صفحة :   365)
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Mutsanna, telah menceritakan kepada kami 'Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami Khalid dari 'Ikrimah, dari Ibnu 'Abbas ra, dari Nabi saw,  bersabda : "Allah telah mengikrarkan kesucian kota Makkah, maka tidak dihalalkan buat seorang pun sebelum dan tidak dihalalkan pula buat seorangpun susudahku. Sesungguhnya pernah dihalalkan buatku sesaat dalam suatu hari. (Karenanya di Makkah) tidak boleh dipotong rumputnya dan tidak boleh ditebang pohonnya dan tidak boleh diburu hewan buruannya dan tidak ditemukan satupun barang temuan kecuali harus dikembalikan kepada yng mengenalnya (pemiliknya) ". (HR.Bukhari : 1702,  Shahih Bukhari,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Maa yunhaa laa yunaffaru shaidul muhrim,   juz: 6, hal. 365)
9.    Dilarang membunuh binatang buruan, berdasarkan firman Allah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُم.......
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram…. (QS.Al-Maidah : 95)
.....وَحُرِّمَ عَلَيْكُمْ صَيْدُ الْبَرِّ مَا دُمْتُمْ حُرُمًا.....
….. dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram..... (QS.Al-Maidah : 96)
10.  Dilarang hubungan biologis atau berlaku maksiat dan bertengkar, berdasarkan firman Allah :
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ
(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats (mengeluarkan perkataan yang menimbulkan berahi yang tidak senonoh atau bersetubuh), berbuat Fasik (maksiat) dan berbantah-bantahan (bertengkar) di dalam masa mengerjakan haji.  (QS.Al-Baqarah : 197)



[1]. Baca Fiqih Islam oleh H. Sulaiman Rasjid, PT. Sinar Baru Algensindo, Bandung, tahun 1998, cetakan ke -32,  hal. 266