Jumat, 04 Agustus 2017

MACAAM-MACAM TALAK



MACAM-MACAM TALAK
Sengketa dalam rumah tangga sering kali menjadi penyebab bagi pasangan suami istri untuk memilih jalan talak (cerai). Akan tetapi, setelah perceraian itu terjadi banyak pasangan yang akhirnya menyesal dan ingin kembali membina rumah tangga seperti sedia kala. Talak dalam  agama Islam ada yang masih bisa membuat pasangan suami istri itu kembali kepada pernikahan yang ada sebelum perceraian atau dikenal dengan rujuk,  dan ada pula yang tidak boleh kembali lagi, sehingga talak itu dibagi menjadi dua macam, dengan penjelasan sebagai berikut :
1.    Talak Raj’iy
Talak Raj’iy, yaitu talak yang masih memungkinkan bagi suami yang menalak isterinya untuk kembali (rujuk) selama masih dalam ‘iddah. (‘Iddah adalah waktu atau masa tertentu bagi seorang wanita yang ditalak atau ditinggal mati oleh suami untuk menangguhkan perkawinan dengan laki-laki lain). Bila seorang suami telah menalak istrinya, maka ia boleh, bahkan dianjurkan untuk  kembali (rujuk). Dengan syarat keduanya sudah betul-betul hendak mengadakan perbaikan. Talak Raj’iy terdiri dari :
a.  Talak Satu, yaitu suami telah menjatuhkan talak satu pada istrinya. Talak yang pertama ini suami masih boleh kembali  (rujuk) kepada istrinya.
b.  Talak Dua, yaitu suami telah menjatuhkan talak lagi untuk yang kedua kalinya kepada istrinya. Talak yang kedua ini suami masih boleh kembali (rujuk) kepada istrinya.
Rujuk menurut syara’ adalah ungkapan tentang kembali kepada pernikahan sesudah terjadi talak (cerai) yang bukan talak baain (talak tiga) dengan cara tertentu.[1] Dasar atau landasan tentang rujuk adalah Al-Qur’an dan hadits Nabi sebagai berikut :
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَلَا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ..... الآية
Apabila kalian menalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). Dan janganlah kalian rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kalian menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. (QS. Al-Baqarah : 231)
Kata “Imsak” dalam kalimat فَأَمْسِكُوهُنَّ  (Fa-amsikuu Hunna), dan تُمْسِكُوهُنَّ  وَلَا (walaa Tumsikuu hunna), bermakna “Rujuk” (kembali).[2]
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا
Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. (QS. Al-Baqarah : 228)
Kata “Radd” dalam kalimat بِرَدِّهِنَّ (Biraddihinna), bermakna “Rujuk” (kembali), dengan kesepakatan para ahli tafsir. [3]
Rasulullah saw pernah menalak Hafshah putri Umar bin Khathab, kemudian beliau saw merujukinya, sebagaimana dalam hadits dari Umar berikut ini :
حَدَّثَنَا سَهْلُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ الزُّبَيْرِ الْعَسْكَرِيُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ زَكَرِيَّا بْنِ أَبِي زَائِدَةَ عَنْ صَالِحِ بْنِ صَالِحٍ عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَلَّقَ حَفْصَةَ ثُمَّ رَاجَعَهَا. (رواه  ابو داود : 1943- سنن ابو داود – المكتبة الشاملة –  باب فى المراجعة - الجز ء : 6- صفحة :  206)
Telah menceritakan kepada kami Sahl bin Muhammad bin Al-Zubair Al-‘Askariy, telah menceritakan kepada kami Yahya bin Zakariya bin Abi Zaidah, dari Shalih bin Shalih, dari Salamah bin Kuhail, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas, dari Umar, sesungguhnya Rasulullah saw menceraikan Hafshah kemudian merujuknya. (HR. Abu Dawud : 1943, Sunan Abu Dawud, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Fil-Muraja’ah, juz 6, hal. 206)
Dalam kisah tentang Ibnu Umar, Rasulullah saw bersabda kepada Umar agar putranya (Abdullah bin Umar) disuruh rujuk (kembali) kepada isterinya, sebagaiman yang termaktub dalam hadits berikut :
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا. (رواه البخاري:  4850 – صحيح البخاري– المكتبة الشاملة – باب قول الله تعالى يايها النبي اذا طلقتم- الجز ء : 16- صفحة :     292)
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abdillah, ia berkata : Telah menceritakan kepada ku Maik, dari Nafi’, dari ‘Abdullah bin ‘Umar ra, bahwasanya ia (Abdullah bin Umar)  pernah menalak isterinya dan isterinya dalam keadaan haidh, itu dilakukan di masa Rasulullah saw. Lalu ‘Umar bin Al-Khathab menanyakan masalah ini kepada Rasulullah saw. Beliau saw lantas bersabda : Suruhlah dia (Abdullah bin Umar),  hendaklah ia merujuki isterinya. (HR. Bukhari :  4850, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab Qaulu Allaahu : Yaa Ayyuhan Nabiyyu Idzaa Thallaqtum,  juz : 16, hal. 292)
Dalam melakukan rujuk hendaklah memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1.  Istri  yang dapat dirujuk selama ia masih dalam keadaan ‘Iddah.
2.  Istri yang dapat dirujuk adalah istri yang sudah dicampuri, karena yang belum dicampuri tidak mempunyai ‘iddah.
3.   Istri yang dirujuk itu harus jelas (ditentukan). Jika suami menalak beberapa orang istrinya, kemudian ia rujuk kepada salah seorang dari mereka dengan tidak ditentukan siapa yang dirujukinya, maka rujuknya itu tidaak sah.
4.   Suami melakukan rujuk atas kehendaknya sendiri, bukan dipaksa oleh siapapun.
5.   Rujuk tidak disyaratkan ada saksi menurut qaul yang shahih. Namun ada pendapat sebagian ulama, bahwa adanya saksi adalah sunat, bahkan ada yang berpendapat wajib.
6.   Lafaz atau rangkaian kata (kalimat) yang digunakan untuk rujuk harus jelas/terang (Sharikh), bagi yang mampu. Contoh :  “Saya kembali kepada istri saya” atau “Saya kembali kepada istri saya sebagai seorang suami” atau “Saya rujuk (kembali) kepadamu” dll.
7.   Rujuk tidak dapat menerima ta’liq (digantungkan); umapama : Seorang laki-laki berkata kepada istri yang telah dithalaq : Aku rujuk (kembali) kepadamu, “Kalau Engkau Mau” atau “Kalau Si Anu Datang”, lalu si wanita berkata :  “Iya Aku Mau” atau “Iya Aku Terima”. Rujuk yang digantungkan (ta’liq) seperti itu tidak sah.
2.    Talak Baain
Talak baain adalah talak yang dijatuhkan suami, dan bekas suami tidak boleh merujuk (kembali), kecuali dengan jalan akad nikah baru, dengan memenuhi seluruh syarat dan rukunnya. Talak baain ada 2 macam :
a.   Talak Baain Shughra (kecil) adalah talak yang dijatuhkan oleh seorang suami, tetapi suami tidak melakukan rujuk hingga habis masa 'iddah. Dengan demikian, suami tidak boleh rujuk (kembali), tetapi boleh melakukan akad nikah baru. Demikian pula dalam talak tebus (Khulu’), suami tidak boleh rujuk, tetapi boleh menikah lagi dengan akad nikah baru, baik dalam ‘iddah ataupun sesudah habis masa ‘iddahnya.
b.   Talak Baain Kubra (besar) adalah Talak yang sudah jatuh tiga kali. Jika talak sudah jatuh tiga kali, maka suami tidak boleh rujuk (kembali) kepada istrinya, bahkan tidak sah nikah lagi dengan mantan istrinya itu, kecuali istrinya sudah dinikahi oleh laki-laki lain, sudah bercampur, sudah diceraikan dan sudah habis pula masa ‘iddahnya. [4]
Catatan penting : Kalau seorang suami berkata kepada istrinya yang sudah dicampurinya : ‘Engkau tertalak, Engkau tertalak, Engkau tertalak’. Apakah dengan kalimat itu jatuh thalaq tiga? Kita perhatikan uraian berikut ini :
1.   Kalau suami diam sejenak lebih dari sekedar bernafas diantara dua kalimat talak, maka jatuh thalaq tiga.
2.   Kalau suami tidak diam dan bermaksud untuk menguatkan kalimat talak sebelumnya, maka jatuh thalaq satu.
3.   Kalau suami bermaksud menyambung ucapannya, maka jatuh talak tiga.
4.   Kalau suami berkata : Engkau tertalak tiga, maka jatuh talak tiga.
5.   Kalau suami berniat talak dan berkata  : Engkau tertalak, maka jatuh talak sesuai niatnya. [5] 


[1]. Baca kitab Kifayatul Akhyar oleh Imam Taqiyuddin, Darul Ilmi, Surabaya, tanpa tahun,  juz 2, hal. 86
[2]. Baca tafsir Ath-Thabary, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz 5, hal. 7
[3]. Baca tafsir Ath-Thabary, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz 4, hal. 529. Dan Baca pula kitab Kifayatul Akhyar oleh Imam Taqiyuddin, Darul Ilmi, Surabaya, tanpa tahun,  juz 2, hal. 86
[4]. Baca kitab Kifayatul Akhyar oleh Imam Taqiyuddin, Darul Ilmi, Surabaya, tanpa tahun,  juz 2, hal. 87 – Dan baca juga Fiqih Islam, oleh H. Sulaiman Rasjid, cetakan ke 32, PT.Sinar baru Algensindo, Bandung, 1998, hal. 418 - 420.
[5]. Baca kitab Kifayatul Akhyar oleh Imam Taqiyuddin, Darul Ilmi, Surabaya, tanpa tahun,  juz 2, hal. 86

Sabtu, 27 Mei 2017

“SHAWM” DAN “SHIYAAM”

 “SHAWM” DAN “SHIYAAM”

Puasa dalam Al-Qur’an disebut dengan kata  صَوْم  “shawm”  dan  صِيَامٍ “shiyaam”  adalah bentuk mashdar dari kata ShaamaYashuumu.

Perbedaan صَوْم  “shawm”  dengan  صِيَامٍ “shiyaam”  adalah perihal umum dan khusus.  “Shiyaam”  adalah bagian dari arti  “shawm”. Sementara, “shawm” tidak pasti berarti “shiyaam”.

Menahan diri dari angkara murka, menahan diri dari mengungkapkan kata kotor,  menahan diri dari mencaci orang lain, menahan diri dari tindakan yang merugikan orang lain, menahan diri dari segala perbuatan zalim, dan lain sebagainya, itu semua itu disebut “SHAWM”  dan tidak bisa disebut “SHIYAAM”.

“SHAWM”  lebih umum daripada  “SHIYAM”. “SHIYAAM” hanya digunakan untuk arti berpuasa secara fikih yaitu “menahan diri dari makan, minum, seks”, sedangkan  “shawm”  digunakan untuk semua yang dimaksud dalam arti “menahan diri”.

Dari lafaz niat puasa yang digunakan  dapat kita ketahui hikmahnya, yaitu menggunakan lafaz “Shawm” bukan “Shiyaam”, yaitu  Nawaitu Shawma Ghadin ‘An Adaai Fardhi Syahri Ramadhaana Haadzihis Sanati Lillaahi Ta’ala, yaitu, agar kita tidak hanya berpuasa secara fikih, tidak hanya menahan diri dari makan, minum, seks, dan hal-hal lain yang membatalkan puasa,  tetapi juga berpuasa dari segala hal yang keji dan munkar, yang dilarang Allah.
Dari sini kita juga tahu hikmah lain: kenapa yang diwajibkan oleh Allah adalah shiyaam, bukan shawm, yaitu karena shawm  lebih berat daripada shiyaam. Jika shiyaam diwajibkan hanya pada siang hari di bulan Ramadan, namun shawm diwajibkan pada setiap saat selama hayat dikandung badan.


Kata “Shawm” disebutkan satu kali  dalam Al-Qur’an, yaitu dalam surah Maryam ayat ke-26 :
فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًا فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا (26)
“Shawm” dalam surah Maryam di atas merujuk pada arti umum, yaitu  segala bentuk menahan diri dari tindakan atau ucapan.

Sedangkan “SHIYAAM” dalam Al-Quran disebutkan sembilan kali dalam tujuh ayat. Seluruh kata “SHIYAAM” di ketujuh ayat Al-Quran itu bermakna puasa secara fikih, yaitu tidak makan, tidak minum, dan tidak berhubungan intim suami isteri sejak tiba waktu subuh hingga masuk waktu maghrib, sebagaimana puasa yang sedang kita jalankan pada Ramadan ini.

Sembilan kali kata “SHIYAAM” dalam Al-Quran :

Satu kali disebutkan dalam surah Al-Baqarah ayat ke-183 :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (183) 
Dua kali disebutkan dalam surah Al-Baqarah ayat ke-187 :
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ عَلِمَ اللَّهُ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَخْتَانُونَ أَنْفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنْكُمْ فَالْآَنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُوا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ آَيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ (187)
Dua kali disebutkan dalam surah Al-Baqarah ayat ke-196 :
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ذَلِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (196)
Dalam surah Al-Nisa’ ayat ke-92 disebut satu kali
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا (92)
Dalam surah Al-Maidah ayat ke-89 disebut satu kali
لَا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الْأَيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُوا أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آَيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (89)
Dalam surah Al-Maidah ayat ke-95 disebut satu kali
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ أَوْ عَدْلُ ذَلِكَ صِيَامًا لِيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ عَفَا اللَّهُ عَمَّا سَلَفَ وَمَنْ عَادَ فَيَنْتَقِمُ اللَّهُ مِنْهُ وَاللَّهُ عَزِيزٌ ذُو انْتِقَامٍ (95)
Dalam surah Al-Mujadalah ayat ke-4 disebut satu kali
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا ذَلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ (4)







Rabu, 10 Mei 2017

Tafsir Jalalain (QS. Al-Baqarah : 183)

Tafsir jalalain
(QS. Al-Baqarah : 183)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (البقرة :183)
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa. (QS. Al-Baqarah : 183)

{ ياأيها الذين ءَامَنُواْ كُتِبَ } فرض { عَلَيْكُمُ الصيام كَمَا كُتِبَ عَلَى الذين مِن قَبْلِكُمْ } من الأمم { لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ } المعاصي فإنه يكسر الشهوة التي هي مبدؤها .

(Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian) di antara umat manusia (agar kalian bertakwa), yaitu menjaga diri dari perbuatan maksiat, karena puasa itu dapat membendung syahwat yang menjadi pangkal sumber kemaksiatan itu.

Minggu, 23 April 2017

SURAT AL-BAQARAH AYAT 47

SURAT AL-BAQARAH AYAT 47
يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اذْكُرُوا نِعْمَتِيَ الَّتِي أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ وَأَنِّي فَضَّلْتُكُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ
Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepada  kalian dan (ingatlah pula) bahwasanya Aku telah melebihkan kalian atas penduduk dunia. (QS. Al-Baqarah : 47)
Ayat ini ditafsirkn dengan sangat singkat dalam tafsir Jalalain sebagai berikut : (Hai Bani Israel! Ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepada kalian), yaitu dengan cara mensyukurinya dengan jalan menaati-Ku, (dan ingatlah pula bahwa Aku telah melebihkan kalian) maksudnya melebihkan kepada nenek moyang kalian (atas penduduk dunia) maksudnya penduduk dunia di zamannya.[1]
Awal ayat berbunyi : يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ  (Hai Bani Israil). Kata “Israiil” berasal dari bahasa Ibrani, yang terdiri dari dua kata, yaitu Isra  (إسرا) artinya “Abdu”, dan Iil (إيل), artinya “Allah”.[2] Jadi, Israil artinya adalah Abdullah. Dan yang dimaksud dengan Israil adalah Nabi Ya’qub.[3] Bani Israil adalah keturunan Nabi Ya'qub; sekarang terkenal dengan bangsa Yahudi.
 Pada ayat sebelumnya, yaitu surat Al-Baqarah ayat 40, mereka telah dipanggil dengan panggilan Bani Israil” (keturunan Nabi Ya'qub). Dan pada ayat 47 ini, mereka dipanggil lagi dengan panggilan yang sama, panggilan yang terhormat, yaitu Bani Israil”. Dengan menyebut nama nenek­ moyang mereka yang mulia itu, nama kehormatan yang dianugerahkan oleh Allah kepada Nabi Ya'qub, Allah mengajarkan kepada kita agar memanggil orang lain dengan panggillan nama yang disenangi orang yang dipanggilnya.
Pertengahan  ayat berbunyi : اذْكُرُوا نِعْمَتِيَ الَّتِي أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ  (ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepada  kalian). Dalam pertengahan ayat ini terdapat seruan kepada Bani Israil, yaitu  anak cucu keturunan Nabi Yakub. Isi seruannya ialah : “Ingatlah kalian akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepada kalian”. Nikmat yang telah Allah berikan kepada mereka, antara lain berupa pengutusan para Rasul dari kalangan mereka sendiri, penurunan kitab-kitab kepada mereka, penyelamatan mereka dari kekejaman Fir’aun, memancarkan sumber mata air, memberikan makanan mana dan salwa,[4] dan lain-lain, yaitu agar mereka mensyukurinya dengan jalan taat kepada Allah. Dan nikmat yang dimaksudkan sebenarnya adalah mencakup semua nikmat yang diberikan Allah kepada mereka, dan sebagian dari nikmat tersebut diabadikan dalam surat Al-Baqarah ayat 49 sebagai berikut :
وَإِذْ نَجَّيْنَاكُمْ مِنْ آَلِ فِرْعَوْنَ يَسُومُونَكُمْ سُوءَ الْعَذَابِ يُذَبِّحُونَ أَبْنَاءَكُمْ وَيَسْتَحْيُونَ نِسَاءَكُمْ وَفِي ذَلِكُمْ بَلَاءٌ مِنْ رَبِّكُمْ عَظِيمٌ
(Dan (ingatlah) ketika Kami selamatkan kalian dari (Fir'aun) dan pengikut-pengikutnya; mereka menimpakan kepada kalian siksaan yang seberat-beratnya, mereka menyembelih anak-anak kalian yang laki-laki dan membiarkan hidup anak-anak kalian yang perempuan. Dan pada yang demikian itu terdapat cobaan-cobaan yang besar dari Tuhan kalian. (QS. Al-Baqarah : 49)
Allah mengingatkan kepada Bani Israil, terutama yang hidup pada zaman Nabi Muhammad saw, begitu juga kepada generasi sesudahnya, akan nikmat-nikmat Allah, untuk kesekian kalinya, agar semakin banyak orang atau kelompok yang mengingat nikmat Allah itu. Dengan demikian akan semakin mendorong mereka untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Point yang sangat penting untuk diungkap, adalah karena masih banyak dari kita yang tidak bersyukur, kufur nikmat, padahal bila bersyukur, nikmat itu akan ditambah oleh Allah, sebagaimana dalam firmanny:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhan kalian memaklumkan; Sungguh jika kalian bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepada kalian, dan jika kalian mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih. (QS. Ibrahim : 7)
kalau kita mau melihat dan merenungi nikmat-nikmat Allah yang diberikan kepada kita,  seperti kesehatan, kecukupan dalam harta, keluarga yang sehat, dan lain sebagainya, tentunya kita tidak akan pernah merasa iri apalagi dengki dengan nikmat yang didapat oleh saudara-saudara kita.  Dalam suatu hadist yang diriwayatkan dari Abu Hurairah disebutkan bahwasanya Rasulullah saw bersabda :
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:  إِذَا نَظَرَ أَحَدُكُمْ إِلَى مَنْ فُضِّلَ عَلَيْهِ فِي الْمَالِ وَالْخَلْقِ فَلْيَنْظُرْ إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْهُ. (رواه البخاري :   6009– صحيح البخاري – المكتبة الشاملة)
Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah saw, beliau bersabda : Jika salah satu dari kalian melihat orang lain yang mempunyai kelebihan harta dan fisik, maka hendaknya dia segera melihat orang yang lebih rendah dari dirinya (dalam harta dan fisik). (HR Bukhari : 6009, Shahih Bukkhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah).
Akhir ayat berbunyi :  وَأَنِّي فَضَّلْتُكُمْ عَلَى الْعَالَمِينَ  (Sesungguhnya Aku telah melebihkan kalian atas penduduk dunia). Allah mengingatkan Bani Israil akan keutamaan yang telah diberikan kepada mereka berupa diutamakannya mereka atas umat-umat lain pada zaman mereka, sebagaimana firman Allah :
وَلَقَدِ اخْتَرْنَاهُمْ عَلَى عِلْمٍ عَلَى الْعَالَمِينَ
Dan sungguh telah Kami pilih mereka dengan pengetahuan (Kami) atas bangsa-bangsa. (QS. Ad-Dukhan : 32).  Maksudnya : Bangsa-bangsa yang ada pada masa mereka itu.
وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ يَا قَوْمِ اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ جَعَلَ فِيكُمْ أَنْبِيَاءَ وَجَعَلَكُمْ مُلُوكًا وَآَتَاكُمْ مَا لَمْ يُؤْتِ أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ
Dan ingatlah ketika Musa berkata kepada kaumnya: `Wahai kaumku, ingatlah nikmat Allah yang diberikan kepada kalian ketika Dia mengangkat Nabi-Nabi di antara kalian dan dijadikan-Nya kalian orang-orang yang merdeka serta Dia berikan kepada kalian apa yang belum pernah Dia berikan kepada seorang pun di antara umat-umat yang lain. (QS. Al-Maidah: 20).
Keunggulan mereka (Bani Israil) itu diwujudkan melalui kekuasaan, pengutusan para Rasul dan penurunan kitab-kitab Allah kepada umat-umat pada zaman tersebut, karena setiap zaman memiliki umat. Ayat di atas harus ditafsirkan seperti ini, karena umat Islam lebih unggul daripada Bani Israil. (Diriwayatkan oleh Abu Ja’far Ar-Razi, dari Rabi’ bin Anas, dari Abu Al-Aliyah). [5] Hal tersebut sebagaimana firman Allah dalam surat Ali Imraan ayat 110 yang ditujukan kepada umat Islam :
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آَمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS. Ali Imraan: 110).
Rasulullah saw bersabda :
حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنِ الْجُرَيْرِيِّ عَنْ حَكِيمِ بْنِ مُعَاوِيَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : وَأَنْتُمْ تُوفُونَ سَبْعِينَ أُمَّةً أَنْتُمْ خَيْرُهَا وَأَكْرَمُهَا عَلَى اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى. (رواه أحمد: - 19164 - مسند أحمد – المكتبة الشاملة)
Dari Hakim bin Mu’awiyah, dari ayahnya, bahwa Rasulullah saw bersabda : Kalian sebanding dengan tujuh puluh umat, kalian adalah umat yang terbaik dan paling mulia menurut Allah Tabaaraka Wa Ta’aalaa . (HR Ahmad: 19164, Musnad Ahmad, Al-Maktabah Asy-Syamilah).



[1]. Baca tafsir  Jalalain, Al-Maktabah Asy-Syamilah,  juz 1, hal. 53
[2]. Baca tafsir  Ath-Thabari, Al-Maktabah Asy-Syamilah,  juz 1, hal. 553
[3].  Baca tafsir  Ibnu Katsir, Al-Maktabah Asy-Syamilah,  juz 1, hal. 241
[4].  Baca tafsir  Ath-Thabari, Al-Maktabah Asy-Syamilah,  juz 1, hal. 555 - 556
[5]. Baca tafsir  Ibnu Katsir, Al-Maktabah Asy-Syamilah,  juz 1, hal. 255