Rabu, 29 April 2015

CARA PELAKSNAAN IBADAH HAJI



Cara Pelaksanaan Ibadah Haji
1.   Ihram
a.    Pada tanggal 8 Dzulhijjah (hari tarwiyah) berpakaian ihram dari tempatnya masing-masing di Makkah (seperti ketika ihram di Miqat) dengan niat ibadah haji, (bagi yang melakukan haji Tamattu’) sambil megucapkan lafazh :
لَبَّيْكَ اللّهُمَّ حَجًّا
Ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu untuk melaksanakan ibadah haji.
(urutan pelaksanaannya adalah mandi, wudhu’, berpakaian ihram, shalat sunat, dilanjutkan dengan niat).
b.    Pada tanggal/hari itu juga (8 Dzulhijjah/hari tarwiyah) berangkat ke Mina untuk melakukan mabit (bermalam). Selama di Mina melakukan shalat Zhuhur, Ashar, Maghrib, ‘Isya’  dan Shubuh. (shalat yang 4 rakaat di Qashar tanpa di Jama’).
2.   Wuquf di ‘Arafah
a.    Setelah matahari terbit pada tanggal 9 Dzulhijah, berangkat ke Masjid Namirah di ‘Arafah dengan bacaan Talbiyyah terus-menerus, kemudian menuju tempat wuquf (tenda yang sudah disediakan) di ‘Arafah.
b.    Wuquf dimulai sejak tergelincir matahari (masuk waktu Zhuhur) sampai menjelang terbenam matahari (Maghrib).
c.    Setelah masuk waktu Zhuhur, lakukanlah shalat Zhuhur dan ‘Ashar dengan cara Jama’ Taqdin Qashar, kemudian mengdengarkan khutbah ‘Arafah.
d.    Setelah itu, menghadap ke arah kiblat dan memperbanyak do’a dengan mengangkat kedua belah tangan. Dan memperbanyak pula mengumandangkan kalimat Istighfar, takbir, tahmid, tasbih serta ibadah lainnya seperti membaca Al-Qur’an, sebab pada waktu wuquf adalah saat yang tepat untuk taubat dan berdo’a.
e.    Selama melakukan wuquf sebaiknya menghadap ke arah kiblat dan berada di kemah masing-masing.
f.     Selama wuquf hendaknya tidak melakukan sesuatu yang tidak pantas atau tidak sesuai dengan kesucian ibadah dan kesyahduan wuquf.  
3.   Mabit di Muzdalifah
a.    Setelah matahari terbenam (mulai masuk tanggal 10 Dzulhijjah), berangkat ke Muzdalifah. (Shalat maghrib dan ‘Isya dikerjakan di Muzdalifah dengan cara Jama’ Ta’khir Qashar).
b.    Bermalam di Muzdalifah, mengambil 70 butir batu (7 + 21 + 21 + 21 = 70) atau 49 butir (7 + 21 + 21 = 49) dan shalat shubuh berjama’ah di Muzdalifah. Kemudian berangkan ke Masy’aril Haram (suatu tempat di Muzdalifah), lalu menghadap kiblat dan berdo’a, membaca takbir, tahmid dan tahlil.
c.    Setelah shalat shubuh, selesai berdo’a dan berdzikir di Masy’aril Haram, lalu  meninggalkan Muzdalifah menuju Mina. Bagi orang yang lemah/sakit, boleh meninggalkan Muzdalifah pada malam hari setelah lewat tengah malam menuju Mina.
4.   Melempar Jumrah ‘Aqabah
a.    Di Mina pada waktu Dhuha tanggal 10 Dzulhijjah melontar jumrah ‘Aqabah dengan 7 butir batu sambil membaca :
اَللهُ أَكْبَرُ، حَجًّا مَبْرُوْرًا وَذَنْبًا مَغْفُوْرًا، رَجْمًا لِلشَّيَاطِيْنِ، وَرِضَا لِلرَّحْمَنِ.
Allah Maha Besar, Ya Allah, jadikanlah aku memperoleh predikat haji mabrur, segala dosa diampuni, terkutuklah segala setan dan berikanlah segala rido-Mu wahai Yang Maha Penyayang.
b.    Setelah melontar, kemudian menyembelih hewan qurban dan hewan Al-Hadyu bila memungkinkan, dan kalau tidak memungkinkan pada hari itu, boleh pada hari-hari berikutnya (hari tasyriq). Boleh dilakukan sendiri dan boleh dilakukan oleh orang lain. Al-Hadyu dilakukan di Mina, sedangkan Udhhiyyah (qurban biasa) boleh dilakukan dimana saja.
5.   Tahallul Awal
a.    Setelah melontar jumrah ‘Aqabah, lalu menggunting rambut atau mencukur seluruhnya (digundul bagi pria).
b.    Setelah Tahallul Awal ini, maka bebaslah semua larangan ihram, kecuali bergaul dengan isteri, dan berakhir pulalah bacaan talbiyyah.
6.   Thawaf Ifadhah
a.    Setelah Tahallul Awal pada tanggal 10 Dzulhijjah berangkat ke Masjidil haram untuk melakukan thawaf Ifadhah (tidak berpakaian ihram) yang pelaksanaannya sama dengan thawaf terdahulu.
b.    Setelah thawaf dan shalat sunat di dekat Maqam Ibrahim, kemudian melakukan Sa’i antara bukit Shafa dan Marwah, yang pelaksanaannya sama dengan Sa’i terdahulu, dan setelah Sa’i tidak ada tahallul (memotong rambut) lagi. (Bagi yang melakukan haji Ifrad atau Qiran dan telah melakukan Sa’i ketika thawaf Qudum, maka ia tidak perlu melakukan Sa’i lagi).
c.    Sesudah melontar jumrah ‘Aqabah dan thawaf Ifadhah, berarti sudah tahallul Tsani, dan berarti pula sudah bebas dari seluruh larangan ihram.
d.    Dalam kondisi tertentu, urutan  di atas bisa berubah menjadi : (1) Thawaf Ifadhah, Sa’i, memotong rambut (mencukur), kemudian melontar jumrah. Atau (2) Melontar jumrah ‘Aqabah, tahallul (memotong rambut), melontar tiga jumrah pada hari tasyriq, kemudian thawaf Ifadah dan Sa’i (tidak memotong rambut) lagi.
7.   Melontar tiga jumrah dan Mabit di Mina
a.    Setelah thwaf Ifadhah tanggal 10 Dzulhijjah, kembali ke Mina untuk mabit (bermalam di Mina), dan diusahakan agar sampai di Mina sebelum waktu maghrib.
b.    Pada tanggal 11 Dzulhijjah setelah Zhuhur barulah melontar tiga jumrah, masing-masing dengan 7 butir batu. Pelaksanaan melontar jumrah harus tertib, berurutan dari jumrah Ula ke Wutstha baru kemudian ’Aqabah. Setelah selesai melontar tiga jumrah tersebut kemudian menghadap kiblat terus berdo’a.
8.   Nafar Awal dan Nafar Tsani
a.    Pada tanggal 12 Dzulhijjah setelah Zhuhur melontar kembali tiga jumrah (Ula, Wutstha dan ‘Aqabah) dengan tertib, seperti yang dilaksanakan pada tanggal 11 Dzulhijjah. Setelah itu pulang ke Makkah (Nafar Awal), dengan syarat sebelum maghrib sudah meninggalkan Mina menuju Makkah.
b.    Bagi yang belum pulang ke Makkah pada tanggal 12 Dzulhijjah, wajib melontar tiga jumrah pada tanggal 13 Dzulhijjah, baru setelah itu pulang ke Makkah (Nafar Tsani).

Kamis, 23 April 2015

AL-QUR'AN SURAT AL-BAQARAH AYAT 21 - 22


AL-BAQARAH AYAT 21
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. (QS.Al-Baqarah : 21)
Ayat ini dimulai dengan kalimat يأيها الناس “Hai manusia”, menurut ‘Alqamah dan Mujahid : Setiap ayat yang dimulai dengan kalimat  يأيها الناس “Hai manusia”, maka kalimat itu menjadi ciri bahwa ayat tersebut diturunkan di Makkah (atau dikenal dengan ayat Makkiyyah), dan setiap ayat yang dimulai dengan kalimat  يأيها الذين آمنوا  “Hai orang-orang yang beriman”, maka kalimat itu menjadi ciri bahwa ayat tersebut diturunkan di Madinah (atau dikenal dengan ayat Madaniyyah).[1]
Pada awal ayat terdapat kalimat يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu”, menurut Ibnu ‘Abbas, ayat ini ditujukan kepada dua golongan besar , yaitu golongan orang-orang kafir dan golongan orang-orang munafik. Arti dari ayat ini adalah : “Esakanlah Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang yang sebelum kalian”. [2] Walaupun ayat ini ditujukan kepada golongan orang-orang kafir dan golongan orang-orang munafik, namun Allah menyeru dengan seruan yang bersifat umum, yaitu seruan kepada seluruh umat manusia, baik bangsa Arab atau bangsa ‘Ajam (bukan Arab), orang yang pandai atau orang yang bodoh,[3] orang kaya atau orang miskin, penguasa atau rakyat jelata dan seterusnya, mereka semua diseru untuk menyembah atau beribadah kepada Allah.  Seruan dari Allah kepada seluruh umat manusia untuk menyembah kepada-Nya karena Dia telah mengucurkan nikmat-Nya, Dia menciptakan hamba-Nya  dari tiada menjadi ada, dan Dia pula yang menciptakan orang-orang yang terdahulu.[4]
Kemudian kata “Allah” yang diperintahkan untuk disembah dalam ayat ini diabadikan dengan kata “Rabb” yang diterjemahkan dengan “Tuhan”. Dan dari kata “Rabb” inilah lalu muncul istilah “Tauhid Rububiyyah”, yaitu pengakuan bahwa yang menciptakan, memiliki dan mengatur semua makhluk adalah Allah semata. Sedangkan dari kata “Allah”, lalu muncul istilah “Tauhid Uluhiyyah”, yaitu pelaksanaan ibadah hanya ditujukan kepada Allah semata, tanpa ada sekutu bagi-Nya.[5]
Pertengahan ayat berbunyi الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ “….yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu…., Pada ayat ini kata “Allah” disebut dengan "Rabb", kemudian diiringi dengan perkataan "...yang telah menciptakanmu dan orang-orang sebelummu". Hal ini memberi pengertian bahwa Allah menciptakan manusia, mengembang biakkannya, memberi taufik dan hidayah, menjaga dan memelihara, memberi nikmat agar dengan nikmat itu manusia dapat melaksanakan tugas-tugasnya sebagai hamba Allah. Semua nikmat  tersebut diberikan kepada manusia sejak permulaan adanya, sampai akhir kehidupannya di dunia ini. Untuk itu pantaslah kita bersyukur kepada-Nya. Dan barangsiapa yang mensyukuri nikmat Allah akan ditambahkan-Nya nikmat itu, sebaliknya barang siapa yang mengingkari nikmat-Nya akan menerima azab di dunia sebagaimana yang telah ditimpakan-Nya kepada umat-umat yang terdahulu dan di akhirat nanti akan disediakan azab yang pedih. Firman Allah :
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
Dan (ingatlah) tatkala Tuhanmu memaklumkan, "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka sesungguhnya azab Ku sangat pedih". (QS. Ibrahim: 7)
Perintah beribadat dan menyembah hanya kepada Allah yang dipahami dari ayat 21  ini, adalah mengandung perintah  pula agar menjauhi sesembahan selain dari-Nya. Firman Allah :
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ فَمِنْهُمْ مَنْ هَدَى اللهُ وَمِنْهُمْ مَنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلَالَةُ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ
Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut[6] itu", maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul). (QS. An-Nahl: 36)
Beribadah berarti  tunduk kepada Allah dengan  penuh  ketaatan kepada-Nya,[7] menghambakan diri dengan penuh keikhlasan, karena kita meyakini bahwa hanya Allah-lah yang menciptakan, menguasai, memelihara dan mendidik seluruh makhluk-Nya.
Akhir ayat berbunyi لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ “agar kamu bertakwa” Beribadah kepada  Allah sebagaimana yang diperintahkan itu, agar kita menjadi orang yang bertakwa, yaitu orang-orang yang menjelankan perintah dan menjauhi larangan-Nya, sehingga terpelihara dari azab-Nya dan mencapai derajat yang tinggi lagi sempurna. Rasulullah saw menegaskan, bahwa takwa adalah salah satu sarana untuk bisa masuk surga.
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ إِدْرِيسَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ جَدِّي عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ فَقَالَ تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ فَقَالَ الْفَمُ وَالْفَرْجُ. (رواه الترمذي : 1927 سنن الترمذي – المكتبة الشاملة- باب ما جاء في حسن الخلق – الجزء : 7 – صفحة : 286)
Telah menceritakan kepada kami [Abu Kuraib Muhammad bin Al-Ala`], telah menceritakan kepada kami [Abdullah bin Idris], telah menceritakan kepadaku [bapakku] dari [kakekku] dari [Abu Hurairah] ia berkata; Rasulullah saw,  pernah ditanya tentang sesuatu yang paling banyak memasukkan seseorang ke dalam surga, maka beliau pun menjawab: "Takwa kepada Allah dan akhlak yang mulia." Dan beliau juga ditanya tentang sesuatu yang paling banyak memasukkan orang ke dalam neraka, maka beliau menjawab: "Mulut dan kemaluan." (HR.Tirmidzi : 1927, Sunan Tirmidzi, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Maa jaa-a fii Husnil Khuluq, juz : 7, hal. 286)
AL-BAQARAH AYAT 22
الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah[8], padahal kamu mengetahui. (QS.Al-Baqarah : 22)
Allah menerangkan bahwa Dia menciptakan bumi sebagai hamparan dan langit sebagai atap, menurunkan air hujan, menumbuhkan tumbuh-tumbuhan dan menjadikan tumbuh-tumbuhan itu berbuah. Semuanya itu diciptakan Allah untuk manusia, agar manusia memperhatikan proses penciptaan itu, merenungkan, mempelajari dan mengolahnya sehingga bermanfaat bagi manusia dan kemanusiaan sesuai dengan ketentuan Allah. Karena Dia yang memberikan nikmat-nikmat itu, maka manusia wajib menyembah-Nya saja. Allah memberikan semua nikmat itu kepada manusia, agar mereka dapat melaksanakan tugas-tugasnya. Tugas-lugas itu dapat dipahami dari firman Allah :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. (QS. Adz- Dzariyat: 56)
Kemudian di akhir ayat Allah menegaskan فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ “karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui”. Karena perintah beribadah hanya kepada Allah di atas telah diketahui oleh manusia dan telah diketahui pula  tentang keesaan dan kekuasaan-Nya, maka Allah memberi peringatan : “Janganlah manusia menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah”. Artinya, janganlah ada sesuatu apapun yang disembah di samping menyembah Allah seperti berhala-berhala, dewa-dewa, dan sebagainya.  Rsulullah saw menegaskan bahwa menjadikan sekutu bagi Allah adalah dosa yang sangat besar :
حَدَّثَنِي عُثْمَانُ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُرَحْبِيلَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الذَّنْبِ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ قَالَ أَنْ تَجْعَلَ لِلَّهِ نِدًّا وَهُوَ خَلَقَكَ قُلْتُ إِنَّ ذَلِكَ لَعَظِيمٌ قُلْتُ ثُمَّ أَيُّ قَالَ وَأَنْ تَقْتُلَ وَلَدَكَ تَخَافُ أَنْ يَطْعَمَ مَعَكَ قُلْتُ ثُمَّ أَيُّ قَالَ أَنْ تُزَانِيَ حَلِيلَةَ جَارِكَ. (رواه البخاري : 4117–صحيح البخاري - المكتبة الشاملة- باب قوله تعالى فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا – الجزء :  13 – صفحة :  394)
Telah menceritakan kepadaku ['Utsman bin Abu Syaibah] Telah menceritakan kepada kami [Jarir] dari [Manshur] dari [Abu Wail] dari ['Amru bin Syurahbil] dari ['Abdullah] dia berkata; Aku bertanya kepada Nabi saw ; 'Dosa apakah yang paling besar di sisi Allah? Beliau menjawab;'Bila kamu menyekutukan Allah, padahal Dialah yang menciptakanmu. Aku berkata; tentu itu sungguh besar.' Aku bertanya lagi; 'Kemudian apa? Beliau menjawab; 'Apabila kami membunuh anakmu karena takut membuat kelaparan.' Aku bertanya lagi; 'kemudian apa? beliau menjawab; 'berzina dengan istri tetanggamu. (HR.Bukhari : 4117, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab QauluhuuTa’aalaa Falaa Taj’aluu Lillaahi Andaadan,  juz : 13, hal. 394)


[1]. Baca Tafsir  Al-Qurthuby,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz : 1, hal. 225
[2]. Baca Tafsir Ibnu Katsir, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz : 1, hal. 195
[3]. Baca Tafsir Ath-Thabari,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz : 1, hal. 373
[4]. Baca Tafsir At-Taisir,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz : 1, hal. 35
[5].Baca Aisarut Tafaasir,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz : 1, hal. 1398
[6]. Thaghut ialah syaitan dan apa saja yang disembah selain dari Allah s.w.t
[7]. Baca Tafsir Ath-Thabari,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz : 1, hal. 362
[8].  Sekutu-sekutu bagi Allah Ialah segala sesuatu yang disembah di samping menyembah Allah seperti berhala-berhala, dewa-dewa, dan sebagainya.