Jumat, 07 Mei 2010

RUKUN SHALAT

-->
Rukun shalat sebagai sebuah istilah tentu tidak ada di zaman Rasulullah saw. Sebab istilah itu datang dari para ulama fiqih sepeninggal Rasulullah saw. Istilah-istilah itu dibuat justru untuk memudahkan pelajaran tentang shalat. Rukun shalat yaitu sesuatu yang mesti ada di dalam shalat. Itulah hakikat daripada shalat. Dan ketika rukun itu tidak ada, maka hakikat shalat itu sendiri belum ada. Rukun shalat dalam garis besarnya ada 3 bagian, yaitu : (1) Rukun Qalbiyah (2) Rukun Fi’liyah dan (3) Rukun Qauliyah, dengan perincian sebagai berikut :
1. RUKUN QALBIYYAH
Rukun Qalbiyyah adalah rukun shalat yang tempatnya di dalam hati, yaitu “niat”. Untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih jelas tentang niat, baiklah kita bahas sebagai berikut :
Arti Niat
Niat menurut bahasa adalah “Al-Qashdu” (menyengaja atau bermaksud kepada sesuatu). Menurut syara’ adalah menyengaja atau bermaksud kepada sesuatu bersamaan dengan pekerjaannya.[1] Dalil niat sebagai rukun shalat adalah firman Allah dan hadis Nabi antara lain sebagai berikut :
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّيْـنَ..... (البينة : 5)
Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus... (QS. Al-Bayyinah [98] : 5)
Kalimat Memurnikan ketaatan kepada-Nya maksudnya adalah “niat dengan ikhlas”(jelas) seperti mempersekutukan Allah, syirik khafi (samar) seperti riya', dan jauh pula dari jalan yang menyesatkan. semata-mata karena Allah dalam menjalankan agama yang lurus. Agama yang lurus yaitu agama yang jauh dari syirik jali
Rasulullah saw berabda :
حَدَّثَنَا الْحُمَيْدِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْأَنْصَارِيُّ قَالَ أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيُّ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ إِلَى امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ. (رواه البخاري : 1– صحيح البخاري – بَاب بَدْءِ الْوَحْيِ – الجزء : 1– صفحة : 3)
Al-Humaidi, yaitu Abdullah bin Az-Zubair bercerita kepada kami, ia berkata : Yahya bin Sa’id Al-Anshari bercerita kepada kami, ia berkarta : Muhammad bin Ibrahim At-Taimi mengabarkan kepada kami, bahwa sesungguhnya ia telah mendengar ‘Alqamah bin Waqqash Al-Laitsi berkata : Saya mendengar Umar bin Khattab berkata di atas mimbar : Saya mendengar Rasulullah saw bersabda : Sesungguhnya (sahnya/sempurnanya) amal-amal itu tergantung dengan niat, dan bagi setiap orang ada balasan seperti apa yang ia niatkan, barangsiapa yang hijrahnya (berniat) menuju kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu (akan sampai) kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barangsiapa yang hijrahnya (berniat) untuk mendapatkan dunia, maka ia akan mendapatkan dunia, atau hijrahnya (berniat) untuk mendapatkan seorang wanita, maka ia akan dapat menikahi wanita itu, hijrahnya seseorang akan mendapatkan balasan sesuai niatnya ia berhijrah. (HR. Bukhari : 1, Shahih Bukhari, Bab bad-il Wahyi, juz 1, hal.3)
Syarat Niat
1. Islam. Tidak sah niatnya orang kafir, karena niat itu ibadah, sedangkan orang kafir bukanlah ahli ibadah.
2. Tamyiz. Tidak sah niat seorang anak yang belum tamyiz (belum mampu membedakan baik dan buruk) dan juga tidak sah niat orang gila.
3. Mengetahui terhadap apa yang diniatkan.
4. Tidak terdapat sesuatu yang meniadakan niat, seperti murtad.[2]
5. Yakin dengan pasti. Tidak sah niat orang yang bimbang dan ragu.[3]
Tempat Niat
Tempat niat adalah di dalam hati, sehingga disebut “Rukun Qalbiyah”. Dan dalam ibadah lebih dititik beratkan pada keikhlasan hati. Rasulullah bersabda :
حَدَّثَنَا عَمْرٌو النَّاقِدُ حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ هِشَامٍ حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ بُرْقَانَ عَنْ يَزِيدَ بْنِ الْأَصَمِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ.(رواه مسلم : 4651 – صحيح مسلم - بَاب تَحْرِيمِ ظُلْمِ الْمُسْلِمِ وَخَذْلِهِ وَاحْتِقَارِهِ وَدَمِهِ وَعِرْضِهِ وَمَالِهِ - الجزء : 12 – صفحة : 427)
‘Amr An-Naqid becerita kepada kami, Katsir bin Hisyam bercerita kepada kami, Ja’far bin Burqan bercerita kepada kami, dari Yazid bin Al-Asham, diterima dari Abu Hurairah ia berkata : Rasulullah saw bersabda : Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupamu, dan tidak pula kepada hartamu, tetapi melihat kepada hati dan perbuatamu. (HR. Muslim : 4651, Shahih Muslim, Bab Tahrim Dhulmil Nuslim Wakhadlih wahtiqarih wadamih wa’irdhih wamaalih, juz 12, hal.427 )
Fungsi Niat
Fungsi niat dipaparkan oleh Imam Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr Assuyuthi dalam kitab Al-Asybah Wan-Nadhzair[4] yaitu :
1. Membedakan antara ibadah dan ‘adah (kebiasaan). Contoh : “Membasuh muka”, boleh jadi karena sekedar hendak mendinginkan muka, dan boleh jadi pula karena untuk menghilangkan hadas. Jadi, dengan niat “berwuduk” lalu menjadi jelas, bahwa membasuh muka tadi bukan karena sekedar mendinginkan muka atau kebiasaan, tetapi untuk menghilangkan hadas.
2. Menentukan (Ta’yin) suatu ibadah yang samar atau serupa. Contoh : Salat empat rakaat pada waktu zuhur, boleh jadi salat itu qabliyah(sebelum), ba’diyah (sesudah) atau salat zuhur. Jadi, dengan “niat salat fardu atau niat salat zuhur”, maka menjadi jelaslah, bahwa salat tersebut adalah salat zuhur, bukan qabiyah dan bukan pula ba’diyah.
Contoh Lafal Niat Shalat
Niat shalat lima waktu bila dilafazakan dengan bahasa Arab atau bahasa Indonesia adalah sebagai berikut :
اُصَلِّيْ فَرْضَ الظُّهْرِ اَرْبَعَ رَكَعَاتٍ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ اَدَاءً (اِمَامًا/مَأْمُوْمًا) ِللهِ تَعَالَى
Aku sengaja mengerjakan shalat dzuhur 4 rakaat menghadap kiblat, tepat waktu (menjadi imam/makmum) karena Alla Ta’ala.
اُصَلِّيْ فَرْضَ الْعَصْرِ اَرْبَعَ رَكَعَاتٍ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ اَدَاءً (اِمَامًا/مَأْمُوْمًا) ِللهِ تَعَالَى
Aku sengaja mengerjakan shalat ashar 4 rakaat menghadap kiblat, tepat waktu (menjadi imam/makmum) karena Alla Ta’ala.
اُصَلِّيْ فَرْضَ الْمَغْرِبِ ثَلاَثَ رَكَعَاتٍ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ اَدَاءً (اِمَامًا/مَأْمُوْمًا) ِللهِ تَعَالَى
Aku sengaja mengerjakan shalat magherib 3 rakaat menghadap kiblat, tepat waktu (menjadi imam/makmum) karena Alla Ta’ala.
اُصَلِّيْ فَرْضَ الْعِشَا اَرْبَعَ رَكَعَاتٍ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ اَدَاءً (اِمَامًا/مَأْمُوْمًا) ِللهِ تَعَالَى
Aku sengaja mengerjakan shalat dzuhur 4 rakaat menghadap kiblat, tepat waktu (menjadi imam/makmum) karena Alla Ta’ala.
اُصَلِّيْ فَرْضَ الصُّبْحِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةَ اَدَاءً (اِمَامًا/مَأْمُوْمًا) ِللهِ تَعَالَى
Aku sengaja mengerjakan shalat shubuh 2 rakaat menghadap kiblat, tepat waktu (menjadi imam/makmum) karena Alla Ta’ala.



[1]. Abu Zakaria Al-Anshari, Fathul Wahhab Bisyarhi Mjinhajuth-Thullab, Juz 1, Menara Qudus, tanpa tahun, hal. 11
[2] Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr Assuyuthi, Al-Asybah Wan-Nadhair, Syirkah Nur Ats-Tsaqafah Al-Islamiyah, Ath-Thab’ah Al-Ula 1965, Jakarta, hal. 26-28
[3]. Taqiyuddin Al-Imam Abi Bakr bin Muhammad, Kifayatul Akhyar, juz 1, Op cit, hal. 12
[4]. Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakr Assuyuthi, Al-Asybah Wan-Nadhair, Op cit, hal. 9-10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar