Kata “bid’ah” berasal dari bahasa Arab Bada’a ( بَدَعَ ) –Yabda’u ( يَبْدَعُ ) - Bad’an (بَدْعًا) atau Badu’a ( بَدُعَ ) – Yabdu’a ( يَبْدُعُ ) – Bada’atan ( بَدَاعَةً ) / Buduu’an ( بَدُوْعًا ) artinya :
مَا أُحْدِث عَلَى غَيْرِ مِثَال سَابِقٍ
“sesuatu yang baru diadakan tanpa ada contoh sebelumnya”. [1]
Bid’ah dalam Syarah Muslim oleh imam Nawawi :
(الْبِدْعَة هِيَ كُلُّ شَيْءٍ عُمِلَ عَلَى غَيْرِ مِثَال سَابِقٍ)
“Bid’ah adalah segala sesuatu yang dijalankan tanpa ada contoh sebelumnya”. [2]
Dari akar kata yang sama muncul pula kata Badii’un ( بَدِيْعٌ ), yang artinya adalah “sesuatu yang indah atau ajaib atau yang baru muncul yang sebelumnya tidak ada”. Contoh adalah penciptaan langit dan bumi, sebagaimana firman Allah :
بَدِيْعُ السَّموتِ وَاْلاَرْضِ
“Allah yang menciptakan langit dan bumi”. (Al-Baqarah 2: 117).
Bid’ah menurut syara’ adalah “sesuatu yang baru muncul dalam agama sesudah Nabi saw, lalu disebut ajaran agama, padahal bukan berasal darinya”.[3] Definisi ini sesuai dengan makna dua hadis Nabi berikut ini :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ الْبَزَّازُ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عِيسَى حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ جَعْفَرٍ الْمَخْرَمِيُّ وَإِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ.(رواه ابو داود :3990 - سنن ابو داود – باب في لزوم السنة)
Muhammad bin Ash-Shabah Al-Bazzar bercerita kepada kami, Ibrahim bin Sa’ad bercerita kepada kami, dan Muhammad bin ‘Isa bercerita kepada kami, Abdullah bin Ja’far Al-Makhrami dan Ibrahim bin Sa’ad bercerita kepada kami, dari Sa’ad bin Ibrahim, dari Al-Qasim bin Muhammad, diterima dari Aisyah ia berkata : Rasuluilah saw bersabda : Barangsiapa memunculkan perkara baru dalam urusan kami (agama) yang tidak merupakan bagian dari agama itu, maka perkara tersebut tertolak”. (HR. Abu Daud : 399, Sunan Abu Daud, bab fii Luzuumis-Sunnah)
أَخْبَرَنَا عُتْبَةُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ أَنْبَأَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ :..... وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ.(رواه النسائي)
Utbah bin Abdillah mengabarkan kepada kami, ia berkata : Ibnu Al-Mubarak bercerita kepada kami, dari Sufyan dari Ja’far dari ayahnya dari Jabir bin Abdillah ia berkata : Rasulullah saw bersabda : .... dan seburuk-buruk perkara adalah mengadakan sesuatu yang baru dan setiap mengadakan sesuatu yang baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap yang sesat tempatnya di neraka. (HR. An-Nasa’i)
Kalau kita cermati kedua hadis tersebut sebenarnya terdiri dari kalimat berita (كَلاَم خَبَرِي) bahwa ada sesuatu yang baru diadakan (dibuat) yang menyalahi agama adalah tertolak, dan pelakunya diancam dengan neraka. Jadi, tidak semua perkara yang baru dalam urusan agama tergolong bid’ah yang diancam dengan neraka, karena mungkin terdapat perkara baru yang belum pernah terjadi pada masa Rasulullah saw, namun masih sesuai dengan ruh syari’ah.
Segala sesuatu yang baru dimunculkan, mungkin dipandang baik (Mustahsanah) karena sejalan dengan syari’at islam; dan mungkin dipandang jelek (Mustaqbahah) karena secara nyata bertentangan dengan syari’at islam.[4]
Dalam Fathul Bari (Syarah Shahih Al-Bukhari), bid’ah menurut Imam Syafi’i, terbagi menjadi dua bagian,[5] yaitu :
1. Bid’ah Terpuji (بِدْعَة مَحْمُوْدَة)yaitu sesuatu yang baru diadakan yang sesuai dengan sunnah.
2. Bid’ah Tercela (بِدْعَة مَذْمُوْمَة) yaitu sesuatu yang baru diadakan yang bertentangan dengan sunnah.
Dalam Fathul Bari (Syarah Shahih Al-Bukhari) oleh Ibnu Hajar dipaparkan pendapat Ibnu Abdussalam yang membagi bid’ah dari aspek hukum menjadi lima bagian, yaitu :
1. Bid’ah Wajibah (wajib), yaitu sibuk mempelajari ilmu tata bahasa Arab untuk memahami firman Allah dan sunnah Rasul. Menjaga syari’ah adalah wajib, dan kewajiban dapat dilaksanakan hanya dengan memiliki ilmu alat yang wajib ada sebelumnya.
2. Bid’ah Muharramah (haram), yaitu sesuatu yang menguatkan kelompok yang menyalahi sunnah.
3. Bid’ah Mandubah (sunnah), yaitu segala kebaikan yang tidak terjadi pada masa Nabi, seperti berjama’ah dalam salat tarawih, membangun sekolah, kalimat-kalimat terpuji dalam golongan ahli tashawwuf dan membuat sebuah majlis untuk kelompok diskusi, yang kesemuanya dilaksankan hanya untuk mencari rido Allah.
4. Bid’ah Mubahah (Mubah), yaitu tidak terdapat perintah dan tidak terdapat larangan, seperti jabatan tangan sesudah salat subuh dan sesudah salat Ashar, bersenang-senang dengan makanan, pakaian dan tempat tinggal sesuai dengan selera.
5. Bid’ah Makruhah (Makruh), yaitu sesgala sesuatu yang menyalahi yang utama.
Umar Ibnul Khattab, mengadakan shalat tarawih berjama’ah terus menerus selama bulan Ramadhan, padahal Rasulullah saw melaksanakannya hanya dua malam, dan selanjutnya para sahabat mengadakannya secara terpencar-pencar dengan salat sendiri-sendiri, atau berkelompok-kelompok dengan beberapa kelompok, lalu dikoordinir secara berjama’ah yang dimami oleh Ubay bin Ka’ab,[6] lalu Umar berkata :
نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ
“Sebagus-bagus bid’ah itu ialah ini”.[7]
Kalau kita mau kembali kepada hadis Nabi, lalu istilah "bid’ah" kita sandingkan dengan istilah "sunnah", tentu dapat kita temukan adanya bid’ah yang baik (Hasanah) dan bid’ah yang jelek (Sayyi’ah), seperti hadis berikut :
عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ.(رواه مسلم : 4830- صحيح مسلم- بَاب مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً أَوْ سَيِّئَةً وَمَنْ دَعَا إِلَى هُدًى أَوْ ضَلَالَةٍ)
Dari Jarir bin Abdillah : Rasulullah saw bersabda : Barang siapa yang mengadakan sesuatu yang baik (Hasanah) dalam Islam, lalu sesudah itu diamalkannya, maka ia akan mendapatkan pahala orang yang turut mengamalkannya dengan tidak mengurangi dari pahala mereka sedikit pun; dan barang siapa yang mengadakan sesuatu yang jelek (Sayyi’ah) dalam Islam, lalu sesudah itu diamalkannya, maka ia akan mendapatkan dosa dan dosa-dosa orang yang ikut mengamalkannya dengan tidak mengurangi dosa-dosa mereka sedikit pun. (HR.Muslim : 4830, Shahih Muslim, bab Man Sanna Sunnatan hasanatan aw Sayyiatan wa man da’aa ilaa Hudhaa aw dhalaalatin)
Kemudian timbul pertanyaan : Apakah yang dimaksud dengan isi hadis “segala bid’ah itu sesat dan segala kesesatan itu masuk neraka”?
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٌ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ
“Semua bid’ah itu sesat dan semua kesesatan itu di neraka”.
Mari kita pahami menurut “Ilmu Balaghah”. Setiap benda pasti mempunyai sifat, tidak mungkin ada benda yang tidak bersifat, sifat itu bisa bertentangan seperti baik dan buruk, panjang dan pendek, gemuk dan kurus. Mustahil ada benda dalam satu waktu dan satu tempat mempunyai dua sifat yang bertentangan, kalau dikatakan benda itu baik mustahil pada waktu dan tempat yang sama dikatakan jelek; kalau dikatakan si A berdiri mustahil pada waktu dan tempat yang sama dikatakan duduk.
Mari kita kembali kepada hadits.
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٌ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ
“Semua bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu masuk di neraka”.
Bid’ah itu kata benda, tentu setiap benda mempunyai sifat, tidak mungkin ia tidak mempunyai sifat, dan mungkin saja ia bersifat baik atau mungkin bersifat jelek. Sifat tersebut tidak ditulis dan tidak disebutkan dalam hadits di atas; dalam Ilmu Balaghah dikatakan, (حدف الصفة على الموصوف) “membuang sifat dari benda yang bersifat”.
Seandainya kita tulis sifat bid’ah maka terjadi dua kemungkinan, yaitu :
Kemungkinan pertama
كُلُّ بِدْعَةٍ حَسَنَةٍ ضَلاَ لَةٌ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ
“Semua bid’ah yang baik adalah sesat, dan semua yang sesat masuk neraka”.
Yang pertama ini tidak mungkin, bagaimana sifat baik dan sesat bisa berkumpul dalam satu benda dan dalam waktu dan tempat yang sama, hal itu tentu mustahil.
Untuk itu, kemungkinan yang pasti bisa adalah yang kedua :
كُلُّ بِدْعَةٍ سَيِئَةٍ ضَلاَ لَةٌ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّاِر
“Semua bid’ah yang jelek itu sesat, dan semua kesesatan itu masuk neraka”.
Akhirnya dapat dipahami, bahwa bid’ah yang tergolong sesat dan diancam dengan neraka menurut syari’ah Islam adalah segala sesuatu yang baru dimunculkan atau diadakan yang belum pernah dicontohkan pada masa Rasulullah serta menyalahi syari’at Islam.
[1]. المنجد في اللغة والأعلام – دار المشرق – بيروت – لبنان - صفخة : 29
[2]. شرح النواوي على مسلم – باب تخفيف الصلاة والخطبة – الجزء : 3 – صفحة : 247
[3]. اصول البدع – لمحمد النادي محمد البدري - محاضرات في اصول البدع والسنن - لطلبة الدكتورال قسم الدعوة بكلية اصول الدين الجامعةالإسلامية الحكومية شريف هداية الله جاكرتا- صفحة : 13
[4]. الأمر بالإتباع والنهي بالإبتداع – باب الخلوة بالنساء الأجنبيات – الجزء : 1 – صفحة : 6
[5]. فتح الباري لابن حجر – باب الإقتدأ بسنن رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – الجزء : 20 – صفحة : 330
[6]. عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ : خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ. (رواه البخاري :1871 – صحيح البخاري – باب فضل من قام رمضان – الجزء : 7 – صفحة : 135)
Dari Ibnu Syihab dari Urwah bin Zubair dari Abdurrahman bin Abdul-Qari’, bahwaanya ia berkata : Saya keluar bersama Umar bin Khathab pada suatu malam bulan Ramadan pergi ke masjid. Didapati di dalam masjid orang-orang mengerjakan salat (tarawih) terpencar-pencar. Ada yang salat sendiri-sendiri, dan ada pula orang yang salat lalu diikuti kaum dibelakangnya. Lalu Umar berkata : Saya berpendapat, seandainya aku kumpulkan orang-orang ini mengerjakan salat dalam satu Qari’ (imam), tentu lebih menyerupai salat Rasulullah. Kemudian dikumpulkan mereka dipimpin seorang imam bernama Ubay bin Ka’ab. Kemudian pada malam yang lain aku datang ke masjid, lantas saya melihat orang-orang mengerjakan salat dengan salat yang dipimpin oleh satu orang imam. Lalu Umar berkata : “Sebagus-bagus bid’ah itu adalah ini”.(HR. Bukhari : 1871, Shahih Bukhari, Bab Fadhku Man Qaama ramadhan, juz : 7, hak. 135)
[7]. البخاري : 1871 – صحيح البخاري – باب فضل من قام رمضان – الجزء : 7 صفحة : 135
Tidak ada komentar:
Posting Komentar