TADABBUR QS. AL-BAQARAH AYAT 183
Bismillaahirrahmaanirrahiim. Saudaraku, ayo kita tadabbur dan tafakkur makna ayat Al-Qur’an surat Al-Baqarah [2] ayat 183 yang mengandung seruan berpuasa bagi orang-orang yang beriman. Bahan renungan ini sekedar pengantar untuk mengadakan perenungan lebih dalam setelah membaca rangkaian kata dalam makalah ini. Ayat-ayat Al-Qur’an yang ada dalam makalah ini kita baca dengan tertil sebagai salah satu amalan ibadah Ramadhan. Firman Allah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (البقرة :183)
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa (QS.Al-Baqarah [2] : 183)
1. Kalau kita cermati dapat ditemukan sebuah pemahaman bahwa ibadah puasa sesungguhnya hanya diwajibkan bagi orang-orang yang beriman. Esensi daripada iman adalah adanya keyakinan yang mantap bahwa Allah senantiasa bersama kita dimanpun kita berada, sehingga merasa selalu dilihat dan diawasi oleh-Nya, dan pada akhirnya merasa malu kepada-Nya bila melanggagar aturan-Nya.
Renungkan makna firman Allah berikut ini : Sesungguhnya Allah beserta kita. (Qs.At-Taubah [9] : 40),- Dan Dia bersama kamu di mama saja kamu berada. (QS.Al-Hadid [57] : 4),- Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi? tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah keenamnya. dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka di manapun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (QS.Al-Mujadalah [58] : 7)
2. Ketika kita menggunakan istilah ushul fiqh, yaitu “mafhum mukhalafah”, sebenarnya dalam ayat tersebut terdapat penegasan, bahwa orang-orang yang tidak beriman tidak perlu berpuasa. Dan andaikata berpuasa juga, puasanya tidak memenuhi syarat untuk diterima karena tidak terdapat iman. Renungkan firman Allah :
وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآَنُ مَاءً حَتَّى إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا وَوَجَدَ اللَّهَ عِنْدَهُ فَوَفَّاهُ حِسَابَهُ وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ (39) أَوْ كَظُلُمَاتٍ فِي بَحْرٍ لُجِّيٍّ يَغْشَاهُ مَوْجٌ مِنْ فَوْقِهِ مَوْجٌ مِنْ فَوْقِهِ سَحَابٌ ظُلُمَاتٌ بَعْضُهَا فَوْقَ بَعْضٍ إِذَا أَخْرَجَ يَدَهُ لَمْ يَكَدْ يَرَاهَا وَمَنْ لَمْ يَجْعَلِ اللَّهُ لَهُ نُورًا فَمَا لَهُ مِنْ نُورٍ (40)
Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya. Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah Dia mempunyai cahaya sedikitpun. (QS.Annur [24]: 39-40)
3. Dalam ayat tersebut dinyatakan bahwa puasa diwajibkan bagi “orang yang beriman”, dan tidak dinyatakan bagi “orang yang berislam”. Hal ini mengindikasikan bahwa pengertian “beriman” sudah mencakup mengertian “berislam”. Artinya, beriman tidak hanya menunjuk kepada hal-hal yang bersifat batiniah, seperti masuknya iman ke lubuk hati, ikhlas, percaya adanya malaikat dan hal-hal gaib lainnya, tetapi juga meliputi hal-hal yang bersifat lahiriah, seperti perbuatan dan tutur kata. Pemahaman ini sejalan dengan maksud sabda Nabi saw :
عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْإِيمَانُ مَعْرِفَةٌ بِالْقَلْبِ وَقَوْلٌ بِاللِّسَانِ وَعَمَلٌ بِالْأَرْكَانِ.(رواه ابن ماجه : 64 – سنن ابن ماجه- بَاب فِي الْإِيمَانِ- الجزء :1- صفحة : 47)
Dari Ali bin Abi Thalib, ia berkata : Rasulullah saw bersabda : Iman adalah mengenal dengan hati, ucapan dengan lisan dan perbuatan dengan anggota badan. (HR.Ibnu Majah : 64, Sunan Ibnu Majah, Bab Fil-Iiman, juz : 1, hal.47)
4. Perlu juga dipahami, bahwa penyebutan kata “Islam dan Iman” pada satu ayat dalam Al-Qur’an, mengindikasikan bahwa hakikat islam dan iman itu berbeda. Hal ini juga dibenarkan oleh Al-Qur’an lewat sebuah ayat yang mengilustrasikan keimanan seorang Badui yang walaupun sudah mengaku beriman, tetapi disanggkal oleh Al-Qur’an dan dinyatakan bahwa dia baru berislam. Firman Allah :
قَالَتِ الْأَعْرَابُ آَمَنَّا قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الْإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ وَإِنْ تُطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ لَا يَلِتْكُمْ مِنْ أَعْمَالِكُمْ شَيْئًا إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi Katakanlah “kami telah tunduk”, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS.Al-Hujura [49] : 14)
5. Kata “puasa” adalah terjemahan dari kata "Shiyaam" dan “Shawm” yang diambil dari bahasa Arab, yang salah satu artinya adalah “Pengendalian diri”. Kata "Shiyaam" penekanannya kepada yang bernuansa fiqih, yaitu mengendalikan diri dari makan, minum dan hubungan suami isteri sejak terbit fajar hingga terbenam matahari (yang bila dilanggar dapat membatalkan puasa); sedangkan Kata "Shaum" lebih umum, termasuk pengendalian diri dari berbuat dosa, yaitu sesuatu yang dalam jangka pendek menyenangkan dan jangka panjang menimbulkan penderitan yang amat dahsyat (yang bila dilanggar dapat membatlkan nilai puasa), seperti tamak, sombong, dengki, dusta dll. Arti yang kedua ini (Shawm) semakna dengan maksud hadits Nabi :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ وَالْجَهْلَ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ.(رواه البخاري : 5597– صحيح البخاري-بَاب قَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ- الجزء : 18- صفحة : 495)
Dari Abu Hurairah ra, diterima dari Nabi saw, beliau bersabda : Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta (palsu) dan bertindak bodoh (ngawur), maka Allah tidak butuh (tidak akan menerima amal itu), yaitu puasa yang hanya meninggalkan makan dan minumnya. (HR.Bukhari : 5597, Shahih Bukhari, Bab Qaulullaahi Taalaa Wajtanibuu Qaulazzuur, juz 18, hal.495)
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كُنَّا نُسَافِرُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَعِبْ الصَّائِمُ عَلَى الْمُفْطِرِ وَلَا الْمُفْطِرُ عَلَى الصَّائِمِ.(رواه البخاري : 1811- صحيح البخاري- بَاب لَمْ يَعِبْ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا فِي الصَّوْمِ وَالْإِفْطَارِ - الجزء : 7- صفحة : 41)
Dari Anas bin Malik, ia berkata : Kami pernah bepergian bersama-sama Nabi saw, maka tidak pernah orang berpuasa mencela orang berbuka, dan tidak pernah pula orang berbuka mencela orang yang berpuasa. (HR.Bukhari : 1811, Shahih Bukhari, Bab Lam ya’ib ash-haabun Nabi ba’dhahum ba’dhan fishshawum wal-Ifthar, juz 7, hal.41)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : الصِّيَامُ جُنَّةٌ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَجْهَلْ - وَإِنْ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ مَرَّتَيْنِ - رواه البخاري : 1761– صحيح البخاري-بَاب فَضْلِ الصَّوْمِ- الجزء : 6- صفحة : 457)
Dari Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda : Puasa adalah perisai (dari dosa), maka janganlah berkata kotor dan janganlah bertindak bodoh. Dan jika ada seseorang menyerangny atau mencercanya, katakanlah dua kali : “Aku berpuasa - Aku berpuasa”. (HR.Bukhari : 1761, Shahih Bukhari, Bab Fadhlushshaum, juz 6, hal.457)
6. Perintah puasa dalam ayat tersebut mengandung informasi adanya kesinambungan atau kontinuitas ajaran islam yang berbentuk keimanan pada ajaran-ajaran para Nabi terdahulu sejak dari Nabi Adam as, Idris sa dan seterusnya hingga Nabi Muhammad saw. Salah satu penegasan dari kitab suci Al-Qur’an :
ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif" dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. (QS.An-Nahl [16] : 123)
قُلْ إِنَّنِي هَدَانِي رَبِّي إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ دِينًا قِيَمًا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Katakanlah: "Sesungguhnya aku telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar, agama Ibrahim yang lurus, dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang musyrik". (QS.Al-An’am [6] : 161)
7. Dalam akhir ayat 183 surat Al-Baqarah di atas mengandung informasi tujuan ibadah puasa, agar manusia yang beriman itu menjadi lebih bertakwa, yaitu bersungguh-sungguh menjalankan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya. Hal ini dimaksudkan agar manusia beriman itu meraih kebagian abadi dan selamat dari penderitaan jangka panjang berupa azab api neraka. Allah menyeru kita melalui firman-Nya :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS.At-Tahrim [66] : 6)
Dan akhirnya, kita berdo’a, semoga kita senantiasa mendapatkan rahmah (kasih sayang Allah), maghfirah (ampunan Allah) dan ‘Itqun Minannaar (selamat dari penderitaan azab api neraka). Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar