Kamis, 11 Juli 2013

LATIHAN MENGENDALIKAN DIRI DARI PERBUATAN ZHALIM


LATIHAN PENGENDALIAN DIRI DARI PERBUATAN ZHALIM

Bismillaahirrahmaanirahiim. Saudaraku, ibadah puasa merupakan sarana untuk mencapai tingkat ketakwaan yang lebih tinggi. Sedangkan esensinya adalah latihan pengendalian diri dari perbuatan “zhalim”. Kata “zhalim” (ظالم) dalam bahasa Indonesia telah menjadi bahasa kesaharian, sehingga makna yang sesungguhnya sering dilupakan atau disalahpahami, seperti berkembangnya asumsi, bahwa perbuatan zhalim itu dampaknya tertuju kepada orang lain. Padahal, pengertian zhalim pada hakikatnya merujuk pada seluruh perbuatan dosa, yang efeknya akan kembali pada dirinya sendiri. Renungkan Firman Allah :

وَمَنْ يَعْمَلْ سُوءًا أَوْ يَظْلِمْ نَفْسَهُ ثُمَّ يَسْتَغْفِرِ اللَّهَ يَجِدِ اللَّهَ غَفُورًا رَحِيمًا
Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan berbuat zhalim terhadap dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS.An-Nisa’ [4] : 110)

Dalam bahasa Arab, kata “zhalim” (ظالم) adalah bentuk kata pelaku (isim fa’il), yang artinya adalah “orang yang melakukan kezaliman”. Dari kata “zhalim” yang diambil dari kata “Zhamala” (ظلم), kemudian muncul kata “Zhulm” yang berarti “gelap”. Kata “Zhulm” adalah lawan dari kata “Nur” yang berarti cahaya atau terang. Dari arti bahasa ini, sesungghnya dapat dipahami, bahwa sumber kezaliman adalah hati yang gelap (zhulm), yaitu hati yang tidak lagi memiliki nurani (tidak ada cahaya Ilahiyah), sehingga tidak mampu membedakan antara yang hak dan bathil, yang baik dan buruk atau yang benar dan salah.

Suatu ketika ada seorang sahabat bernama Wabishah meminta nasihat kepada Rasulullah saw, lalu beliau memberikan nasihat dengan sangat singkat, yaitu :

يَا وَابِصَةُ، اسْتَفْتِ قَلْبَكَ وَاسْتَفْتِ نَفْسَكَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ
Wahai Wabisha, mintalah nasihat kepada hati nuranimu, mintalah nasihat kepada hati nuranimu, beliau mengulangi hingga tiga kali. (HR.Ahmad : 17320, Musnad Ahmad, Bab Hadits Wabishah bin Ma’bad, juz : 36, hal. 443)
Dari hadits tersebut dapat kita pahami, bahwa “hati nurani” sebenarnya juga merupakan sumber petunjuk kebenaran. Dengan bekal hati nurani, manusia akan dapat mengendalikan diri dari segala perbuatan zhalim, karena hati nurani mempunyai kecenderungan untuk selalu mencari kebenaran, atau hanif dalam istilah Al-Qur’an, yaitu kecenderungan untuk selalu menyembah Allah Yang Maha Agung. Renungkan firman Allah :

وَأَنْ أَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا وَلَا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (105)
Dan (aku telah diperintah) : "Hadapkanlah mukamu kepada agama dengan tulus dan ikhlas (Haniif) dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang musyrik. (QS.Yunus [10] : 105)

Akan tetapi, manusia juga diciptakan dalam kondisi yang lemah, sebagaimana ditegaskan dalam kitab suci Al-Qur’an :

يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا (28)
Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah. (QS.Annisa’ [4] : 28)

Kelemahan manusia adalah karena ia dihiasi dengan hawa nafsu, sementara ia tidak mampu untuk mengendalikannya, sehingga mudah tergelincir atau tergoda untuk berbuat zhalim.

Perbuatan zhalim intinya adalah semua perbuatan dosa. Dan pengertian berbuat dosa merujuk kepada seluruh perbuatan yang dalam jangka pendek menimbulkan kesenangan, namun dalam jangka panjang menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan.

Manusia berbuat zhalim sebenarnya di dorong oleh dirinya sendiri, yaitu karena tidak menuruti hati nuraniya. Bahkan mengikuti hati yang gelap (zhulm), sehingga petunjuk Allah tidak masuk ke dalam hatinya. Renungkan firman Allah :

كَيْفَ يَهْدِي اللَّهُ قَوْمًا كَفَرُوا بَعْدَ إِيمَانِهِمْ وَشَهِدُوا أَنَّ الرَّسُولَ حَقٌّ وَجَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Bagaimana Allah akan menunjuki suatu kaum yang kafir sesudah mereka beriman, serta mereka telah mengakui bahwa rasul itu (Muhammad) benar-benar rasul, dan keterangan-keteranganpun telah datang kepada mereka? Allah tidak menunjuki orang-orang yang zalim.(QS.Ali ‘Imran [3] : 86)

Manusia mudah terjerumus ke dalam lembah dosa, karena manusia juga menyukai hal-hal yang serba cepat, suka potong kompas, atau dalam istilah orang sekarang yang serba INSTAN, seperti ditegaskan dalam Al-Qur’an :

خُلِقَ الْإِنْسَانُ مِنْ عَجَلٍ سَأُرِيكُمْ آَيَاتِي فَلَا تَسْتَعْجِلُونِ
Manusia telah dijadikan (bertabiat) tergesa-gesa. Kelak akan aku perIihatkan kepadamu tanda-tanda azab-Ku, maka janganlah kamu minta kepada-Ku mendatangkannya dengan segera. (QS.Al-Anbiya’ [21] : 37)

Ibadah puasa merupakan proses mencapai tingkat ketakwaan, yaitu lahirnya kesadaran, bahwa Allah selalu hadir bersama kita, selalu mengawasi kita dan selalu melihat segala aktivitas kita, baik yang lahir maupun yang batin. Untuk itu, hamba Allah yang menyadari adanya proses itu, semestinya tertarik untuk berpuasa dengan lebih sempurna, menahan diri dari hal-hal yang dilarang Allah, memperbanyak dzikir, Qiyaamu Ramadhan, membaca Al-Qur’an, menyempurnakan akhlak karimah dan amalan ibadah lainnya, seperti infak dan sedekah.

Maha benar Allah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Semoga kita senantiasa mendapatkan rahmah, maghfirah dan ‘Itqun Minan-Naar. Aamiin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar