Minggu, 27 Juni 2010

POLIGAMI OR MONOGAMI

-->


Ayat Al-Qur’an yang mengizinkan poligami hanya satu ayat, yaitu : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS. An-Nisaa’ [3] : 3)

Ayat 3 surat An-Nisaa’ ini sebagai kelanjutan dari ayat 2 sebelumnya yang membicarakan tentang tata cara memelihara anak yatim, agar tidak terdapat kecurangan dan kezaliman terhadap hak-hak si yatim itu. Curang atau aniaya terhadap anak yatim sungguh sangat berat dosanya. Permulaan surat An-Nisaa’ ayat 3 : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.

Boleh jadi terbersit dalam hati kita : Si Yatim ini lebih baik ku nikahi biar tetap berada dalam rumahku, kecantikannya dapat ku persunting, hartanya akan tetap aman dalam genggamanku dan maskawinnya dapat ku bayar dengan murah atau bahkan aku cukup menyebut dengan angka-angka saja. Sunggah amat nista bila kita mempunyai pikiran seperti itu. Bila pemikiran kotor itu telah terlukis dalam dada, biar si yatim tidak menjadi korban, lebih baik mencari saja wanita lain yang disenangi : dua, tiga atau empat.

Untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih jelas, baiklah kita mencermati goresan pena imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya yang menyinggung penjelasan Aisyah, salah seorang isteri Rasulullah. Suatu ketika Urwah bin Zubair bertanya kepada Aisyah tentang asal mula datangnya ayat ini. Aisyah menjawab : Wahai keponakanku! Ayat ini berkenaan dengan seorang anak perempuan yatim yang berada dalam asuhan walinya, hartanya bercampur dengan harta sang wali. Dan sang wali tergiur akan harta dan kecantikannya, sehingga timbul hasrat hendak menikahinya, tanpa membayar maskawin secara adil sebagaimana pembayaran yang diberikan terhadap perempuan lainnya. Oleh karena niat yang buruk itu, maka dilaranglah sang wali melangsungkan pernikahan dengan sang anak asuhnya itu, kecuali jika dia dapat membayar maskawinnya secara adil, dan sampai kepada tingkatan yang layak seperti yang diberikan kepada perempuan lain. Dan daripada berbuat seperti niatnya yang buruk itu, dia dianjurkan menikahi perempuan lain yang disenangi walaupun sampai empat. Ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja.

Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu, antara lain yang tegas dan sangat berat langsung disebutkan oleh Allah dalam Al-Qur’an yaitu “adil”. Sebelum kita melakukan poligami, coba kita merenung sejenak, seberapa besar kemampuan kita untuk berbuat “adil”, kemudian renungkan secara mendalam firman Allah surat An-Nisaa’ ayat 129 berikut ini : “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisaa’ ayat 129)

Sebelum turun ayat ini, poligami sudah ada, dan bahkan masyarakat Jahiliyah berbangga diri bila mempunyai isteri banyak, karena pintu memperoleh anak banyak-pun terbuka lebar. Dan mempunyai anak banyak merupakan kebanggan tersendiri bagi mereka.
Poligami pernah pula dijalankan oleh para Nabi sebelum Nabi Muhammad Saw. Akan tetapi , pantaslah kita merenung kembali, kenapa Rasulullah saw, tidak suka putrinya yang bernama Fathimah di madu. Sabda Nabi :
عَنِ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ يَقُوْلُ : اِنَّ بَنِيْ هِشَامِ بْنِ الْمُغِيْرَةِ اِسْتَأْذَنُوْنِيْ اَنْ يُنْكِحُوْا اِبْنَتَهُمْ عَلِيَّ بْنَ اَبِيْ طَالِبٍ فَلاَ آ ذَنَ لَهُمْ ثُمَّ لاَ آ ذَنَ لَهُمْ ثُمَّ لاَ آ ذَنَ لَهُمْ اِلاَّ اَنْ يُرِيْدَ عَلِيُّ بْنُ اَبِيْ طَالِبٍ اَنْ يُطَلِّقَ اِبْنَتِيْ وَ يَنْكِحَ اِبْنَتَهُمْ، فَاِنَّمَا هِيَ بِضْعَةٌ مِنِّيْ، يَرِيْبُنِيْ مَا رَابَهَا وَ يُؤْذِ نِيْ مَا آذَاهَا. (رواه ابن ماجه : 1998 )

Dari Miswar bin Makhramah ia berkata : Saya mendengar Rasululah saw, bersabda pada saat beliau sedang berada di atas mimbar : Sesungguhnya Bani Hisyam bin Mughirah telah meminta izin kepadaku untuk menikahkan putri-putrinya dengan Ali bin Abi Thalib, maka saya tidak memberikan izin kepada mereka, kemudian saya tidak memberikan izin kepada mereka, kemudian saya tidak memberikan izin kepada mereka (beliau mengulangi sampai tiga kali), kecuali Ali bin Abi Thalib hendak menceraikan putriku (Fathimah), lalu silahkan menikahi putri-putri mereka. Maka sesungguhnya putriku itu adalah bagian dariku, dapat menggelisahkan aku apa yang menggelisahkan dia, dan dapat menyakiti aku apa yang menyakiti dia. (HR. Ibnu Majah : 1998) Jilid 1, hal. 643-644).

Kita kembali kepada surat An-Nisaa’ ayat 3 yang berada pada bagian ujung yang tidak boleh kita lupakan : “Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka(nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. Sangat jelas bagi kita, jika takut tidak adil lebih baik satu saja. Artinya, sebelum menambah isteri kita disuruh berpikir matang terlebih dahulul. Dan di bagian paling ujung sangat jelas pula, bahwa Allah memberikan pujian bagi orang yang beristeri satu, karena lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Dengan kata lain, beristeri lebih dari satu berpotensi terjadinya penganiayaan, dan penganiayaan itu sangat dibenci oleh Allah. Kita tinggal memilih, mau mendekat kepada pujian Allah atau sebaliknya.

Pernikahan yang ideal adalah monogamy, bukan poligami. Pernikahan yang mendapatkan pengesahan dari Allah sebagai perjanjian yang kuat (mitsaaqan ghalizhan)[1] antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan agar “supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang” (Baca QS. Ar-Ruum [30] : 21).
Ketenteraman sulit untuk dirasakan dengan hanya sibuk menyelesaikan masalah isteri-isteri yang banyak itu.

Lain lagi bila keadaan yang menghendaki terjadinya “poligami”, misalnya : isteri tidak dapat memenuhi kewajiban terhadap suami, isteri sakit yang berlarut-larut tak kunjung sembuh, atau isteri mandul, apa boleh buat, “pintu cadangan” boleh kita buka. Namun perlu adanya kejujuran dan sikap rido sama rido antara keduanya.

Tidak pantaslah kita berdalih karena hendak mengikuti “Sunnah” Rasulullah dan para sahabatnya yang umumnya beristeri lebih dari satu. Kalau hendak mengikuti sunnah Rasul, ikutilah tata cara beliau berlaku adil, sebab beliau ternyata tidak suka putrinya di madu.
Rangkaian kata sebagai bahan renungan :
Menceburkan diri dalam poligami tanpa pemikiran yang matang, bagaikan seekor kambing jantan yang digembalakan diantara dua ekor kambing betina. Bagaikan seekor kambing jantan yang berkeliling di antara dua ekor serigala. Keridoan yang satu akan memicu kemarahan lainnya. Satu malam untuk yang ini dan satu malam untuk yang itu.
Pada kedua malam, celaan akan selalu menerpa.

[1] Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat. (QS. An-Nisaa’ [3] :21)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar