Selasa, 20 Mei 2014

SURAT AL-BAQARAH AYAT 3



LIMA SIFAT ORANG YANG BERTAKWA
Pada ayat 2 surat Al-Baqarah Allah menyatakan, bahwa Al-Qur’an adalah petunjuk atau bimbingan bagi orang-orang yang bertakwa. Selanjutnya pada ayat 3 dan 4 Allah memaparkan lima (5) macam sifat orang-orang yang bertakwa, yaitu tiga (3) sifat terdapat dalam ayat 3, dan dua (2) sifat terdapat dalam ayat 4.  Baiklah kita mulai dari ayat 3 surat Al-Baqarah sebagai berikut :
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka.(QS.Al-Baqarah : 3)
1.   Beriman Kepada Yang Gaib.
Iman adalah mengetahui, memahami, membenarkan dan meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan menjalankan dengan anggota badan. Hal ini berdasarkan hadits Nabi :   
حَدَّثَنَا سَهْلُ بْنُ أَبِي سَهْلٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ إِسْمَعِيلَ قَالَا حَدَّثَنَا عَبْدُ السَّلَامِ بْنُ صَالِحٍ أَبُو الصَّلْتِ الْهَرَوِيُّ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُوسَى الرِّضَا عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَلِيِّ بْنِ الْحُسَيْنِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : الْإِيمَانُ مَعْرِفَةٌ بِالْقَلْبِ وَقَوْلٌ بِاللِّسَانِ وَعَمَلٌ بِالْأَرْكَانِ. (رواه ابن ماجه :64 – سنن ابن ماجه – المكتبة الشاملة – باب فى الإيمان – الجزء : 1 – صفحة :74)
Telah menceritakan kepada kami Sahl bin Abu Sahl dan Muhammad bin Isma'il keduanya berkata : Telah menceritakan kepada kami Abdus Salam bin Shalih Abu Ash-Shalt Al-Harawi, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ali bin Musa Ar-Ridla, dari Bapaknya, dari Ja'far bin Muhammad, dari Bapaknya, dari Ali bin Al-Hasan, dari Bapaknya, dari Ali bin Abi Thalib, ia berkata; Rasulullah saw,  bersabda : "Iman itu adalah pengetahuan dengan hati, pengucapan dengan lisan, dan pengamalan dengan anggota badan." (HR. Ibnu Majah : 64, Sunan Ibnu Majah, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab fil-iman, juz : 1, hal. 74)
Isi kandungan hadits di atas menjelaskan bahwa unsur-unsur yang membentuk keimanan seseorang itu ada 3, yaitu :
1.   Pengetahuan dengan hati, yaitu mengenal Allah, membenarkan-Nya dan meyakini dengan sepenuh hati, bahwa Dia yang menciptakan, mengatur, menjaga dan mengawasi alam semesta dan segala isinya.
2.   Pengucapan dengan lisan, yaitu  mengakui dan mengikrarkan dengan lisan dengan mengucapkan dua kalimat syahadah.   
3.   Pengamalan dengan anggota badan, seperti shalat, puasa, zakat, hajji dan tampil dengan akhlak yang terpuji dalam mengarungi kehidupan di alam fana ini.
Ghaib adalah segala sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh pancaindra, seperti Allah, malaikat, hari kiamat, neraka, surga, kehidupan setelah mati dan lain sebagainya.[1] Pengetahuan tentang yang ghaib itu semata-mata berdasar kepada petunjuk-petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Karena kita telah beriman kepada Allah, tentu kita telah beriman pula kepada firman-firman-Nya yang terdapat dalam kitab suci Al-Qur’an. Beriman kepada Allah adalah pangkal beriman kepada yang ghaib, artinya apabila telah beriman kepada Allah, maka berarti telah beriman pula kepada yang ghaib, sebagaimana yang diriwayatkan dari ‘Atha’ bin Abi Rabah:
 حَدَّثَنَا أَبُو زُرْعَةَ حَدَّثَنَا صَفْوَانُ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ الْأَسْوَدِ عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ  في قول الله عز وجل : (الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ) فَقَالَ : مَنْ آمَنَ بِاللهِ فَقَدْ آمَنَ بِالْغَيْبِ. (تفسير إبن ابي حاتم – المكتبة الشاملة – باب قوله بالغيب – الجزء : 1 – صفحة : 120)
Telah menceritakan kepada kami Abu Zar’ah, telah menceritakan kepada kami Shafwan, telah menceritakan kepada kami Al-Walid, telah menceritakan kepada kami Utsman bin  Al-Aswad, dari ‘Atha’ bin Abi Rabah, tentang firman Allah, yang artinya : “mereka yang beriman kepada yang ghaib”, maka ia berkata : “Barangsiapa yang telah beriman kepada Allah, maka sungguh ia telah beriman kepada yang ghaib”. (Tafsir Ibnu Abi Hatim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Qauluhuu bai-Ghaibi, juz 1, hal. 120)
Orang-orang yang beriman kepada yang ghaib, pasti yakin dan percaya bahwa Allah selalu mengawasi, memperhatikan dan mengetahui dirinya dimanapun berada dan dalam keadaan bagaimanapun; walaupun Allah itu ghaib dan tidak nampak. Mereka pasti takut kepada azab Allah; walaupun azab itu merupakan suatu yang ghaib, tidak nampak dan tidak tahu kapan azab itu akan datang. Mereka pasti takut akan kedatangan hari kiamat, seandainya mengingkari Allah atau melanggar aturan-Nya, karena pada hari kiamat terdapat  hisab, timbangan amal, hari pembalasan, dan azab api neraka yang amat pedih; walaupun hari kiamat itu merupakan suatu yang ghaib. Itulah sifat orang yang bertakwa yang pertama, yaitu beriman kepada yang ghaib, maka bagi mereka ampunan dan pahala yang besar dari Allah. Firman Allah : 
إِنَّ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ كَبِيرٌ
Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Tuhannya Yang tidak nampak oleh mereka, mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar. (QS.Al-Mulk : 12)
2.   Mendirikan Salat
 Arti "shalat" menurut bahasa adalah  "doa". Menurut istilah syara’, shalat adalah ucapan/bacaan dan gerakan/perbuatan tertentu (khusus) yang dibuka dengan takbiratul ihram dan ditutup dengan salam. Ibadah ini diberi nama  dengan "shalat" karena di dalamnya banyak mengandung doa.[2]
Dalam mendirikan shalat harus memenuhi dan menyempurnakan semua syarat dan rukunnya secara benar sesuai dengan apa yang telah diperintahkan Allah dan telah dicontohkan oleh Rasulullah saw, baik lahir maupun batin. Rasulullah saw pernah menegaskan dalam sabdanya  : “shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku mendirikan shalat”. Hadits Nabi :   
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ أَبِي سُلَيْمَانَ مَالِكِ بْنِ الْحُوَيْرِثِ قَالَ : أَتَيْنَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ شَبَبَةٌ مُتَقَارِبُونَ فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِينَ لَيْلَةً فَظَنَّ أَنَّا اشْتَقْنَا أَهْلَنَا وَسَأَلَنَا عَمَّنْ تَرَكْنَا فِي أَهْلِنَا فَأَخْبَرْنَاهُ - وَكَانَ رَفِيقًا رَحِيمًا فَقَالَ : ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ فَعَلِّمُوهُمْ وَمُرُوهُمْ وَصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي وَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ ثُمَّ لِيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ. (رواه البخاري : 5549 -صحيح البخاري- المكتبة الشاملة– باب رحمة الناس والبهائم– الجزء : 18– صفحة :423)
Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Isma'il, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Abu Qilabah, dari Abu Sulaiman Malik bin Al-Huwairits, dia berkata : "Kami datang kepada Nabi saw,  sedangkan waktu itu kami adalah pemuda yang sebaya. Kami tinggal bersama beliau selama dua puluh malam. Beliau mengira kalau kami merindukan keluarga kami, maka beliau bertanya tentang keluarga kami yang kami tinggalkan. Kami pun memberitahukannya. Beliau adalah seorang yang sangat penyayang dan sangat lembut, beliau bersabda : "Pulanglah ke keluarga kalian. Tinggallah bersama mereka dan ajari mereka serta perintahkan mereka dan shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat. Jika telah datang waktu shalat, maka hendaklah salah seorang dari kalian mengumandangkan adzan, dan yang paling tua dari kalian hendaknya menjadi imam kalian'." (HR.Bukhari : 5549, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Rahmatu Naasi Wal-Bahaaim, juz : 18, hal, 423)
Shalat adalah ciri khas yang membedakan antara muslim dengan non muslim, antara orang kafir dan orang yang beriman, sebagaimana hadits Nabi :
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ الْحَسَنِ يَعْنِي ابْنَ شَقِيقٍ حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ وَاقِدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : الْعَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلَاةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ. (رواه احمد : 21859 – مسند احمد – المكتبة الشاملة- باب حديث بريدة الاسلمي رضي الله عنه – الجزء : 46 – صفحة : 411)
Telah menceritakan kepada kami 'Ali bin Al-Hasan bin Syaqiq, telah menceritakan kepada kami Al-Husain bin Waqid, telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah saw, bersabda : "Perjanjian diantara kita dan mereka adalah shalat, barangsiapa meninggalkannya berarti ia kafir." (HR.Ahmad : 21859, Musnad Ahmad, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab hadits Buraidah Al-Aslami, juz : 46, hal. 411)
Dalam kitab Faidlul Qadir (Syarah Jami’us Shaghir) dijelasan, bahwa yang dimaksud dengan “mereka” pada hadits di atas ini adalah orang-orang munafiq.[3]
Shalat juga merupakan sarana pertobatan untuk mendapatkan maghfirah, pengampunan dosa. Hadits Nabi :
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ حَمْزَةَ قَالَ حَدَّثَنِي ابْنُ أَبِي حَازِمٍ وَالدَّرَاوَرْدِيُّ عَنْ يَزِيدَ يَعْنِي ابْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْهَادِ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهَرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ فِيهِ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسًا مَا تَقُولُ ذَلِكَ يُبْقِي مِنْ دَرَنِهِ قَالُوا لَا يُبْقِي مِنْ دَرَنِهِ شَيْئًا قَالَ فَذَلِكَ مِثْلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ يَمْحُو اللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا. (رواه البخاري : 497- صحيح البخاري – المكتبة الشاملة – باب الصلوات الخمس كفارة– الجزء : 2– صفحة :355)
Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Hamzah, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Ibnu Abu Hazim, dan Ad-Darawardi, dari Yazid - yakni Ibnu 'Abdullah bin Al-Hadi,  dari Muhammad bin Ibrahim, dari Abu Salamah bin 'Abdurrahman, dari Abu Hurairah, bahwa ia mendengar Rasulullah saw  bersabda : "Bagaimana pendapat kalian seandainya ada sungai di depan pintu rumah salah seorang dari kalian, lalu dia mandi lima kali setiap hari? Apakah kalian menganggap masih akan ada kotoran yang tersisa padanya?" Para sahabat menjawab : "Tidak akan ada yang tersisa sedikitpun kotoran padanya." Lalu beliau bersabda : "Seperti itu pula dengan shalat lima waktu, dengannya Allah akan menghapus semua kesalahan (dosany)." (HR.Bukhari : 497, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab AshShalawati Khamsa kaffaratun, juz : 2, hal. 355)
3.    Menafkahkan Rezeki Di Jalan Allah
Rezeki adalah segala sesuatu yang diberikan oleh Allah di dunia ini yang dapat diambil manfaatnya untuk keperluan manusia, seperti segala jenis harta benda, berbagai macam makanan, minuman, pakaian, kendaraan dan lain sebagainya. Dan  rezeki yang dimaksud oleh Allah  dalam ayat ini adalah rezeki berupa harta. Dimana Allah mengajak manusia untuk menafkahkan hartanya dijalan-Nya. Nafkah yang wajib atau pun nafkah yang sunnah hukumnya. Nafkah yang wajib seperti menunaikan zakat, memberikan nafkah kepada isteri dan keluarga, dan sebagainya. Dan nafkah yang sunnh seperti sedekah, waqaf, menyantuni kaun dlu’afa dan lain sebagainya.
Dalam ayat 2 surat Al-Baqarah di atas, Allah menyebutkan : “Sebagian dari rezeki...” artinya Allah menghendaki dari seseorang menafkahkan sebahagian rezeki yang telah dianugerahkan Allah, bukan seluruh hartanya. Menafkahkan sebahagian rezeki ialah memberikan sebahagian rezeki atau harta kepada orang-orang yang telah ditentukan oleh Allah, misalnya dalam ayat 60 surat At-Taubah tentang golongan yang berhak menerima zakat :   
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksan. (QS. At-Taubah : 60)
Menafkahkan harta di jalan Allah termasuk sifat orang yang bertakwa. Dan orang yang bertakwa itu hanya akan selalu menafkahkan hartanya di jalan  Allah, seperti memberikan sumbangan untuk pembangunan mesjid, majlis ilmu, membantu kaum lemah dan lain sebagainya. Artinya, orang yang bertakwa hidupnya akan selalu memberikan manfaat, baik bagi dirinya maupun bagi orang lain, sehingga  sifat tolong-menolong dalam kebaikan menjadi kebiasaannya. Allah menyeru kita agar terbiasa hidup tolong-menolong dalam mengerjakan kebaikan dan takwa, dan jangan  tolong-menolong dalam berbuat dosa dan maksiat.  Firman Allah :  
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ.
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS. Al-Maidah : 2)
Salah satu sifat orang yang bertakwa adalah suka menafkahkan hartnya di jalan Allah. Hal ini mengandung makna, bahwa orang yang bertakwa itu tidak pantas berlaku kikir, namun tidak pantas pula berlaku boros. Oleh karenanya Allah melarang berlaku kikir dan melarang pula berlaku boros, sebagaimana dalam firman-Nya :   
وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا
Janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu, sebaliknya janganlah kamu terlalu mengulurkannya, agar kamu tidak menjadi tercela dan menyesal. (Q.S Al-Isra' : 29)
Dalam ayat yang lain, Allah mengingatkan kita agar berada dipertengahan antara kikir dan boros. Firman Allah :   
وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta) mereka tidak berlebih-lebihan, tidak (pula) kikir, tapi adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian . (Q.S Al Furqan: 67)


[1]. Abu Ja’far Ath-Thabari (224 - 310 H), Tafsir Ath-Thabari,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, cetakan ke 1, tahun 2000 M / 1420 H,  bab 3, juz 1, hal. 236 - 237

[2]. Lihat Fathul Mu’in, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab/juz : 1, hal. 29
[3]. Baca kitab Faidlul Qadir (Syarah Al-Jami’ush Shaghir), Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab/juz : 4, hal. 519

Tidak ada komentar:

Posting Komentar