Jumat, 02 Mei 2014

QADLA' PUASA



QADLA’ (MENGGANTI) PUASA RAMADLAN
Qadla' adalah bentuk masdar dari kata “qadlaa”, yang artinya adalah “memenuhi” atau “melaksanakan”.  Menurut istilah, qadla’ adalah pelaksanaan suatu ibadah di luar waktu yang telah ditentukan. Misalnya, qadla’ puasa Ramadhan, maksudnya adalah puasa Ramadhan yang dilaksanakan sesudah bulan Ramadhan, karena puasa tersebut pada bulan itu tidak dapat dilaksanakannya atau ditinggalkan. Puasa Ramadlan yang ditinggalkan adalah wajib diqadla’ (diganti) sebanyak hari yang ditinggalkan, berdasarkan firman Allah :
.....وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ....
Dan barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. (QS.Al-Baqarah : 185)
Mengqadha’ puasa boleh dilaksanakan dengan berturut-turut atau terpisah-pisah, yang penting jumlahnya sama dengan hari yang ditinggalkan, berdasarkan sebuah hadits :
حَدَّثَنَا أَبُو الْحُسَيْنِ عَبْدُ الْبَاقِى بْنُ قَانِعٍ الْقَاضِى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَنْصُورٍ الْفَقِيهُ أَبُو إِسْمَاعِيلَ وَمُحَمَّدُ بْنُ عُثْمَانَ قَالاَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ بِشْرٍ حَدَّثَنَا عَلِىُّ بْنُ مُسْهِرٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِىَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : فِى قَضَاءِ رَمَضَانَ إِنْ شَاءَ فَرَّقَ وَإِنْ شَاءَ تَابَعَ. (رواه الدارقطني :  2353 –سنن الدارقطني– المكتبة الشاملة –باب القبلة للصائم- الجزء : 6– صفحة : 95)
Telah menceritakan kepada kami Abu Al-husain Abdulbaqi bin Qani’ Al-Qadli, Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdillah bin Manshur Al-Faqih Abu Isma’il dan Muhammad bin Utsman, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Sufyan bin Bisyr, Telah menceritakan kepada kami Ali bin Mushir, dari Ubaidillah bin Umar, dari Nafi’, dari Ibnu Umar, bahwa nabi saw bersabda : Dalam meng-qadla’ puasa ramadlan, jika ia suka, dilaksanakannya secara terpisah-pisah, dan jika is suka, dilaksanakannya secara berturut-turut. (HR. Daruquthni : 2353, Sunan Daruquthni, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Al-Qublah Lish-Shaaim, juz : 6, hal. 95)
 Batas waktu mengqadla’ puasa ramadlan adalah dari bulan Syawal hingga bulan Sya’ban (menjelang bulan Ramadhan). Pendapat ini berdasarkan  hadits riwayat ‘Aisyah ra : 
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ أَبِي سَلَمَةَ قَالَ سَمِعْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا تَقُولُ : كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَ إِلَّا فِي شَعْبَانَ. (رواه البخاري : 1814- صحيح البخاري– المكتبة الشاملة –باب متى يقضي قضاء رمضان- الجزء : 7– صفحة : 47)
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus, telah menceritakan kepada kami Zuhair, telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Abu Salamah, ia berkata : Aku mendengar 'Aisyah ra,  berkata : "Aku berhutang puasa Ramadhan dan aku tidak bisa mengqadla'nya kecuali pada bulan Sya'ban".(HR. Bukhari : 1814, Shahih Bukhari,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab  mataa yaqdlii qadlaa-a ramadlaan,  juz : 7, hal.47).
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يُونُسَ حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ قَالَ سَمِعْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا تَقُولُ : كَانَ يَكُونُ عَلَيَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِيَهُ إِلَّا فِي شَعْبَانَ الشُّغْلُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.(رواه مسلم : 1933- صحيح مسلم –المكتبة الشاملة – بَاب قضاء رمضان في شعبان  – الجزء : 6– صفحة : 2)   
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Abdullah bin Yunus, telah menceritakan kepada kami Zuhair, telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id, dari Abu Salamah, ia berkata  : Saya mendengar Aisyah ra,  berkata : "Aku  punya hutang puasa Ramadlan dan aku tidak bisa mengqadla'nya kecuali pada bulan Sya'ban, berhubungan dengan kesibukanku bersama Rasulullah saw." (HR.Muslim  : 1933, shahih Muslim,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab  Qahlaau ramadlan fii sya’ban,  juz : 6, hal. 2)
Qadla' Tertunda Sampai Ramadlan Berikutnya
Batas waktu mengqadla’ puasa ramadlan lebih dari cukup, yaitu dari bulan Syawal hingga bulan Sya’ban (menjelang bulan Ramadhan). Namun demikian, tidak mustahil jika ada orang-orang, dengan alasan tertentu, belum juga melaksanakan qadla' puasa Ramadhan, sampai tiba bulan Ramadhan berikutnya. Penangguhan atau penundaan pelaksanaan qadla' puasa Ra­madhan sampai tiba Ramadhan berikutnya –tanpa halangan yang sah–, maka hukumnya haram dan berdosa, karena melalaikan kewajiban yang ditetapkan oleh Allah. Sedangkan jika penangguhan tersebut disedbabkan ada udzur syar’i yang selalu menghalanginya, seperti sakit atau sebab lainnya, maka tidaklah berdosa.
Orang Yang Meninggal Yang Memiliki Kewajiban Qadla' Puasa
Orang yang meninggal dunia yang masih memiliki kewajiban meng-qadla' puasa, maka bagi pihak wali atau kerabatnya “disunatkan” melaksanakan qadla' puasanya tersebut sebagai gantinya yang akan membebaskannya dari kewajiban.  Demikianlah pendapat yang terpilih oleh mazhab Syafi’i. Pelaksanaan qadla' puasa tersebut, boleh dilakukan oleh orang lain, dengan seizin atau atas perintah wali atau kerabatnya. [1] Hadits Nabi saw : 
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُوسَى بْنِ أَعْيَنَ حَدَّثَنَا أَبِي عَنْ عَمْرِو بْنِ الْحَارِثِ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي جَعْفَرٍ أَنَّ مُحَمَّدَ بْنَ جَعْفَرٍ حَدَّثَهُ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ  : مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ. (رواه البخاري : 1816- صحيح البخاري– المكتبة الشاملة –باب من مات وعليه صوم- الجزء : 7– صفحة : 51)
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Khalid, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Musa bin A'yan, telah menceritakan kepada kami ayahku,  dari 'Amru bin Al Harits, dari 'Ubaidullah bin Abu Ja'far, bahwa Muhammad bin Ja'far menceritakan kepadanya, dari 'Urwah, dari 'Aisyah ra,  bahwa Nabi saw, bersabda : "Barangsiapa meninggal dunia dan memiliki hutang puasa maka walinya berpuasa untuk menggantikannya".(HR. Bukhari : 1816, Shahih Bukhari,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab  man mata wa ‘alaihi shawmun,  juz : 7, hal. 51)
و حَدَّثَنِي أَحْمَدُ بْنُ عُمَرَ الْوَكِيعِيُّ حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ عَنْ زَائِدَةَ عَنْ سُلَيْمَانَ عَنْ مُسْلِمٍ الْبَطِينِ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ أَفَأَقْضِيهِ عَنْهَا فَقَالَ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكَ دَيْنٌ أَكُنْتَ قَاضِيَهُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى. (رواه مسلم : 1937 - -صحيح مسلم– المكتبة الشاملة –باب قضاء الصيام عن الميت- الجزء :6– صفحة :7)
Dan telah menceritakan kepadaku Ahmad bin Umar Al-Waki’i,  telah menceritakan kepada kami Husain bin Ali, dari Zaidah, dari Sulaiman  Al-Bathin, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas ra, ia berkata : Seorang laki-laki datang kepada Nabi saw, lalu bertanya : Wahai Rasulullah, ibu saya meninggal, padahal masih punya hutang puasa selama satu bulan, apakah saya boleh  meng-qadla’ puasa itu untuknya?  Nabi saw, bersabda : Seandainya ibumu mempunyai hutang, apakah engkau akan membayar hutang itu? Ia menjawab : Ya, saya akan membayarnya. Maka Nabi saw,  bersabda : Maka hutang kepada Allah itu lebih patut untuk dibayar.(HR.Muslim :1437, Shahih Muslim,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Qadlaish shiyam ‘anil mayyiti,  juz : 6,hal. 7)
Jumlah Hari Yang Ditinggalkan Tidak Diketahui
Melaksanakan qadla' puasa sebanyak hari yang telah ditinggalkan merupakan suatu kewajiban. Baik qadla' puasa untuk di­rinya sendiri, maupun untuk anggota keluarga yang telah meninggal dunia. Namun dalam hal ini, tidak mustahil terjadi bahwa jumlah hari yang harus diqadla' puasanya itu tidak diketahui lagi, misalnya lantaran sudah terlalu lama, atau memang sulit diketahui jumlah harinya. Dalam keadaan seperti ini, sikap arif adalah menentukan jumlah hari yang paling banyak,  sebab  kelebihan hari qadha' puasa adalah lebih baik ketimbang kurang. Dimana kelebihan hari qadha' tersebut akan menjadi ibadah sunnat yang tentunya memiliki nilai tersendiri.


[1]. Baca Fiqhussunnah oleh Sayyid Sabiq, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab/juz 1, hal. 471
                                                  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar