ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى
لِلْمُتَّقِينَ
Kitab
(Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.
(QS.Al-Baqarah : 2)
Kata ذَلِكَ (itu) adalah kata penunjuk jauh (اِسْمُ الْإِشَارَةِ لِلْبَعِيْدِ), menurut Ibnu Abbas memiliki arti هذا (ini), yaitu kata penunjuk dekat (اِسْمُ الْإِشَارَةِ لِلْقَرِيْبِ), sehingga kalimat
ذَلِكَ الْكِتَاب (kitab itu),
maknanya adalah هذا الكتاب(kitab ini). Demikian pula menurut Mujahid, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, As-Suddi, Muqatil bin Hayyan, Zaid bin Aslam, dan Ibnu Juraij, bahwa kata ذلك (itu)
mempunyai arti هذا (ini).[1]
Kenapa memakai kata penunjuk jauh (ذَلِكَ : itu)? Menurut imam Jalaluddin Al-Mahalli
dalam tafsir Jalalain, bahwa kata
penunjuk jauh dalam kalimat ذَلِكَ الْكِتَابُ (kitab itu) adalah digunakan
untuk mengagungkan Al-Qur’an, للتعظيم (Lit-Ta'dhim).[2]
Kata الْكِتَابُ "Al-Kitab"
di sini, maksudnya adalah “Al-Qur’an”. Demikianlah menurut Ma’mar
dalam kitab shahih Bukhari.[3] Disebut "Al-Kitab"
sebagai isyarat bahwa Al-Qur’an harus ditulis. Oleh karena itu, tiap-tiap
diturunkan ayat-ayat Al-Qur’an, Nabi Muhammad saw, menyuruh para sahabatnya
menghafalnya dan menulisnya di batu, kulit binatang, pelepah korma dan apa saja
yang dapat ditulis. Nabi yang menerangkan
tertib urut ayat-ayat itu. Dan beliau melarang mereka menulis selain Al-Qur’an,
agar Al-Qur’an terpelihara, jangan bercampur aduk dengan yang lain-lain yang
juga didengar dari Nabi .[4] Dalam sebuah hadits disebutkan :
حَدَّثَنَا هَدَّابُ بْنُ
خَالِدٍ الْأَزْدِيُّ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ
بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَا تَكْتُبُوا عَنِّي وَمَنْ كَتَبَ عَنِّي
غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ. (رواه مسلم : 5326 – صحيح مسلم – المكتبة الشاملة – باب التثبت فى الحديث
وحكم كتابة العلم– الجزء : 14– صفحة :
291)
Telah menceritakan kepada kami Haddab bin Khalid Al-Azdi,
telah menceritakan kepada kami Hammam, dari Zaid bin Aslam, dari Atha` bin
Yasar, dari Abu Sa'id Al-Khudri, Rasulullah saw, bersabda : "Janganlah
kalian menulis dariku, barangsiapa menulis dariku selain Al-Qur'an, maka
hendaknya ia menghapusnya." (HR.Muslim : 5326, Shahih Muslim, Al-Maktabah
Asy-Syamilah, bab Attatsabbut fil Hadits
wa hukmu kitaabatil ‘ilmi, juz : 14, hal.
291)
حَدَّثَنَا
يَزِيدُ أَخْبَرَنَا هَمَّامُ بْنُ يَحْيَى عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ
عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَا تَكْتُبُوا عَنِّي شَيْئًا إِلَّا الْقُرْآنَ فَمَنْ
كَتَبَ عَنِّي شَيْئًا غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ. (رواه احمد : 10731 – مسند احمد – المكتبة
الشاملة – باب مسند ابي سعيد الخدري رضي الله عنه – الجزء : 22 – صفحة : 276)
Telah menceritakan kepada kami Yazid, telah mengabarkan
kepada kami Hammam bin Yahya, dari Zaid bin Aslam, dari 'Atha` bin Yasar, dari
Abu Sa'id Al-Khudri, ia berkata : Rasulullah saw, bersabda : "Janganlah
kalian menulis sesuatupun dariku kecuali Al-Qu`ran, barangsiapa menulis dariku
sesuatu selain Al-Qur`an, maka hendaknya ia menghapusnya." (HR.Ahmad :
10731, Munad Ahmad, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab musnad Abi Sa’id Al-Khudri
ra, juz : 22, hal. 276)
Imam Nawawi dalam kitab Syarhun
Nawawi ‘Alaa Muslim menjelaskan, bahwa larangan menulis sesuatu selain
Al-Qur’an karena dikhawatirkan tulisan itu bercampur aduk dengan Al-Qur’an.
Bahkan dikatakan, agar tidak bercampur aduk antara Al-Qur’an dan hdits, maka
penulisan hadits-pun dilarang ditulis satu halaman bersama ayat-ayat Al-Qur’an.[5]
Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan
memerintahkan kepada penulis Al-Qur’an untuk menyalin Al-Qur`an
ke dalam Mushaf. Dan apabila terjadi perbedaan pendapat dalam masalah bahasa
Arab Al-Qur`an, supaya ditulis
berdasarkan lisannya bangsa Quraisy, karena Al-Qur`an diturunkan dengan
bahasa mereka. Demikianlah yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik dalam kitab
hadits Shahih Bukhari :
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ حَدَّثَنَا
شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ وَأَخْبَرَنِي أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ قَالَ : فَأَمَرَ
عُثْمَانُ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ وَسَعِيدَ بْنَ الْعَاصِ وَعَبْدَ اللَّهِ بْنَ
الزُّبَيْرِ وَعَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ الْحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ أَنْ يَنْسَخُوهَا
فِي الْمَصَاحِفِ وَقَالَ لَهُمْ إِذَا اخْتَلَفْتُمْ أَنْتُمْ وَزَيْدُ بْنُ
ثَابِتٍ فِي عَرَبِيَّةٍ مِنْ عَرَبِيَّةِ الْقُرْآنِ فَاكْتُبُوهَا بِلِسَانِ
قُرَيْشٍ فَإِنَّ الْقُرْآنَ أُنْزِلَ بِلِسَانِهِمْ فَفَعَلُوا. (رواه البخاري : 4601 – صحيح البخاري– المكتبة الشاملة –
باب نزل القرآن بلسان قريش والعرب– الجزء : 15 – صفحة : 382)
Telah menceritakan kepada kami Abu Al-Yaman, telah
menceritakan kepada kami Syu'aib, dari Az-Zuhri. Dan telah mengabarkan kepadaku
Anas bin Malik, ia berkata : ‘Utsman memerintahkan kepada Zaid bin Tsabit,
Sa'id bin Al-'Ash, Abdullah bin Zubair dan Abdurrahman bin Al Harits bin Hisyam
untuk menyalin Al-Qur`an ke dalam Mushaf (pembukuan Al-Qur’an). Dan Utsman
berkata pada mereka, "Jika kalian berselisih dengan Zaid dalam masalah
bahasa Arab Al-Qur`an, maka tulislah berdasarkan lisannya bangsa Quraisy, sebab
Al-Qur`an diturunkan dengan bahasa mereka." Maka mereka pun melakukannya. (HR.Bukhari :
4601, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab nuzilzl qur’an bilisaani
quraisyi wal’arabi, juz : 15, hal. 382)
Ayat 2
surat Al-Baqarah ini menerangkan bahwa kitab suci Al-Qur’an tidak ada keraguan
padanya, ia adalah betul-betul wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
saw dengan perantaraan malaikat Jibril as. Hal ini dipertegas melalui firman
Allah surat As-Sajadah ayat 2 berikut :
تَنْزِيلُ الْكِتَابِ لَا رَيْبَ فِيهِ مِنْ
رَبِّ الْعَالَمِينَ
Turunnya
Al-Kitab (Al-Qur’an) yang tidak ada keraguan padanya (adalah) dari Tuhan
semesta alam. (QS. As-Sajadah : 2)
Dalam
ayat yang lain, Allah menegaskan agar jangan ragu-ragu terhadap Al-Qur’an, ia
bukan buatan Nabi Muhammad saw, akan tetapi semata-mata wahyu dari Allah
swt. Firman Allah :
.....فَلَا تَكُ فِي مِرْيَةٍ مِنْهُ إِنَّهُ
الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يُؤْمِنُونَ
Janganlah kamu
ragu-ragu terhadap Al-Qur’an itu. Sesungguhnya (Al-Qur’an) itu benar-benar dari
Tuhanmu, tetapi kebanyakan manusia tidak beriman. (QS.Huud : 17)
Al-Qur’an adalah petunjuk atau
bimbingan bagi orang-orang yang bertakwa, sehingga mereka dapat hidup bahagia
di dunia dan di akhirat nanti. Orang-orang yang bertakwa ialah orang-orang yang
memelihara dan menjaga dirinya dari azab Allah dengan selalu melaksanakan
perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
Seseorang yang sungguh-sungguh
ingin mendapatkan derajat orang yang bertakwa akan selalu berhati-hati dalam
berbuat dan bertutur kata, sehingga tidak mudah jatuh kepada hal-hal yang terlarang. Hadits Nabi :
حَدَّثَنَا
أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي النَّضْرِ حَدَّثَنَا أَبُو النَّضْرِ حَدَّثَنَا أَبُو
عَقِيلٍ الثَّقَفِيُّ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَقِيلٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
يَزِيدَ حَدَّثَنِي رَبِيعَةُ بْنُ يَزِيدَ وَعَطِيَّةُ بْنُ قَيْسٍ عَنْ
عَطِيَّةَ السَّعْدِيِّ وَكَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ : لَا يَبْلُغُ الْعَبْدُ أَنْ يَكُونَ مِنْ الْمُتَّقِينَ حَتَّى
يَدَعَ مَا لَا بَأْسَ بِهِ حَذَرًا لِمَا بِهِ الْبَأْسُ.(رواه الترمذي : 2375 – سنن الترمذي – المكتبة الشاملة –
باب ما جاء في صفة اواني الحوض – الجزء : 8 - صفحة :490)
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu An
Nadlar, telah menceritakan kepada kami Abu An-Nadlar, telah menceritakan kepada
kami Abu 'Aqil Ats Tsaqafi Abdullah bin 'Aqil, telah menceritakan kepada kami
Abdullah bin Yazid, telah menceritakan kepada kami Rabi'ah bin Yazid dan
'Athiyyah bin Qais, dari 'Athiyyah As-Sa'di, dia adalah termasuk sahabat Nabi
saw, dia berkata : Rasulullah saw,
bersabda : "Seorang
hamba tidak akan sampai pada derajat orang orang yang bertakwa sehingga dia
meninggalkan sesuatu yang boleh (mubah) karena berhati-hati dari hal-hal yang
dilarang." (HR.Tirmidzi :
2375, Sunan Tirmidzi, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab maa jaa-a fi shifati
awaanil hawdli, juz : 8, hal. 490)
Allah
menjanjikan surga bagi orang-orang yang bertakwa, sebagaimana firman-Nya dalam
surat Ali ‘Imran ayat 133 :
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ
وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
Dan
bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada syurga yang luasnya
seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa (QS.Ali ‘Imran : 133).
Rasulullah
saw, menegaskan bahwa derajat takwa dan akhlak yang baik adalah sarana untuk
masuk ke dalam surga. Hadits Nabi :
حَدَّثَنَا
أَبُو كُرَيْبٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
إِدْرِيسَ حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ جَدِّي عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ فَقَالَ
تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ
النَّارَ فَقَالَ الْفَمُ وَالْفَرْجُ. (رواه الترمذي : 1927 - سنن الترمذي – المكتبة
الشاملة – باب ما جاء في حسن الخلق– الجزء : 7- صفحة : 286)
Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib Muhammad bin
Al-Ala`, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Idris, telah menceritakan
kepadaku bapakku, dari kakekku, dari Abu Hurairah, ia berkata : Rasulullah
saw, pernah ditanya tentang sesuatu yang paling banyak memasukkan seseorang ke
dalam surga, maka beliau pun menjawab : "Takwa kepada Allah dan akhlak
yang baik." Dan beliau juga ditanya tentang sesuatu yang paling banyak
memasukkan orang ke dalam neraka, maka beliau menjawab : "Mulut dan
kemaluan." (HR.Tirmidzi
: 1927, Sunan Tirmidzi, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab maa jaa-a fi husnil
khuluqi, juz : 7, hal. 286)
[1]. Abul Fida’ Isma’il
bin Umar bin Katsir Al-Qurasyi Ad-Damisyqy (700-774 H),Tafsir Ibnu Katsir, Al-Maktabah Asy-Syamilah, cetakan ke 2, tahun
1999 M /1420 H, bab 2, juz 1, hal.162
[2]. JalaluddinAl-Mahalli dan As-Suyuthi, Tafsir Jalalain, Al-Maktabah
Asy-Syamilah, bab 2, juz 1, hal. 8
[3]. Shahih Bukhari,
Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Qauluhu Ta’aalaa : Yaa Ayyuhar Rasuulu
Balligh maa unzila ilaika.... juz : 23, hal. 59
[4]. Lihat Al-Qur’an dan terjemahnya, oleh Departemen Agama RI,
penerbit C.V. Jaya Sakti, Surabaya, edisi baru Revisi terjemahan Mei 1997, halaman 21
[5]. Baca Syarhun Nawawi
‘Alaa Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab
Attatsabbut fil Hadits wa hukmu kitaabatil ‘ilmi, juz : 9, hal. 389
Tidak ada komentar:
Posting Komentar