ISRA’ DAN MI'RAJ
NABI MUHAMMAD SAW
Isra` menurut bahasa berasal dari kata ‘saraa’, yaitu perjalanan
di malam hari. Menurut istilah, Isra`
adalah perjalanan Nabi Muhammad saw di malam hari
(diberangkatkan oleh Allah) dari Al-Masjidil Haram di kota Makkah ke Al-Masjidil Aqsha di Palestina.
Mi’raj menurut bahasa
berasal dari kata ‘araja, yaitu naik
menuju ke atas. Kata Mi’raj termasuk isim alat, yaitu kata benda yang
menunjukkan alat, sehingga maknanya menurut bahasa adalah suatu alat yang
dipakai untuk naik, baik berupa tangga maupun yang lainnya. Menurut istilah, Mi’raj adalah tangga khusus bagi Nabi saw yang dengannya beliau dinaikkan ke
langit sampai ke Sidratil Muntaha yang
merupakan tempat tertinggi.
Bagi umat Islam, peristiwa
tersebut merupakan peristiwa yang berharga, karena ketika inilah shalat lima
waktu diwajibkan, dan tidak ada Nabi lain yang mendapat perjalanan sampai ke Sidratil Muntaha seperti ini.
isah Isra` dan Mi’raj disebutkan
oleh Allah dalam Al-Qur`an :
سُبْحَانَ
الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى
الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آَيَاتِنَا
إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيررأ ُ (الإسرأ :1)
"
Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al
Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar
Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami.
Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui". (QS.
Al-Isra' [17] : 1)
Rasulullah saw
melakukan isra’ dan mi’raj dengan jasmani dan ruhaninya, sesuai dengan kata “abdun” yang
ada dalam ayat di atas. Kata ‘abdun berarti “hamba’. Kata ini
digunakan untuk ruh dan jasad secara bersamaan. Inilah yang tsabit dalam
hadits-hadits Al-Bukhary dan Muslim dengan riwayat yang beraneka ragam.
وَالنَّجْمِ
إِذَا هَوَى. مَا ضَلَّ صَاحِبُكُمْ وَمَا غَوَى. وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى.
إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى. عَلَّمَهُ شَدِيدُ الْقُوَى. ذُو مِرَّةٍ
فَاسْتَوَى. وَهُوَ
بِالْأُفُقِ الْأَعْلَى. ثُمَّ دَنَا فَتَدَلَّى. فَكَانَ قَابَ قَوْسَيْنِ أَوْ
أَدْنَى. فَأَوْحَى إِلَى عَبْدِهِ مَا أَوْحَى. مَا كَذَبَ الْفُؤَادُ مَا رَأَى.
أَفَتُمَارُونَهُ عَلَى مَا يَرَى. وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى. عِنْدَ
سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى. عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى. إِذْ يَغْشَى السِّدْرَةَ
مَا يَغْشَى. مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى. لَقَدْ رَأَى مِنْ ءَايَاتِ
رَبِّهِ الْكُبْرَى.
“Demi bintang
ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru, dan
tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya), yang
diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat, Yang mempunyai akal yang
cerdas; dan (Jibril itu) menampakkan diri dengan rupa yang asli. sedang dia
berada di ufuk yang tinggi. Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi,
maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih
dekat (lagi). Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya (Muhammad) apa yang telah
Allah wahyukan. Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. Maka
apakah kamu (musyrikin Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang telah
dilihatnya? Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya
yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada
surga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha
diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak
berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya
dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling
besar”. (QS. An-Najm : 1-18)
: