GOLONGAN
MUSTAHIQ ZAKAT
Ada delapan golongan yang berhak menerima zakat (mustahiq) baik zakat fitrah atau zakat harta, berdasarkan firman Allah saw :
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ
وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي
الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً
مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (التوبة: 60)
“Sesungguhnya
zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS.At-Taubah: 60)
Delapan golongan yang berhak
menerima zakat sesuai ayat di atas kita bahas
satu persatu, sehingga mendapatkan pengertian yang lebih jelas :
1. Orang
Fakir
Adapun batasan Fakir terdapat
perbedaan pendapat dikalangan para ‘Ulama fiqih, antara lain pendapat imam
empat mazhab sebagai berikut :
a.
Mazhab imam Hanafi. Fakir adalah orang yang
memiliki harta kurang dari satu nishab, atau memiliki satu nishab atau lebih, tetapi tidak
cukup untuk memenuhi kebutuhannya.
b.
Mazhab imam Malik. Fakir adalah orang yang memiliki harta, sedangkan hartanya tidak cukup
untuk memenuhi kebutuhannya selama satu tahun.
c.
Mazhab imam Hambali. Fakir adalah orang yang tidak memiliki harta, atau memiliki harta, tetapi tidak
cukup untuk memenuhi separoh dari kebutuhannya.
d.
Mazhab imam Syafi’i. Fakir adalah orang yang tidak memiliki harta dan usaha, atau memiliki harta dan
usaha, tetapi tidak cukup untuk memenuhi separoh
dari kebutuhannya.[1]
2. Orang
Miskin
Adapun batasan Miskin terdapat
perbedaan pendapat dikalangan para ‘Ulama fiqih, antara lain pendapat imam
empat mazahab sebagai berikut :
a. Mazhab
imam Hanafi dan Maliki. Miskin adalah orang yang tidak mempunyai sesuatu
apapa-pun.
b. Mazhab imam Hambali. Miskin adalah
orang yang memiliki harta separoh dari kebutuhannya,
atau lebih, tetapi tidak mencukupi.
c.
Mazhab imam Syafi’i. Miskin adalah
orang yang memiliki harta dan usaha separoh dari
kebutuhannya atau lebih, tetapi tidak mencukupi.[2]
Terdapat persamaan dan perbedaan
batasan tetang “Fakir dan Miskin”. Persamaan keduanya adalah orang-orang
yang berada dalam kebutuhan dan mereka tidak mendapatkan apa yang mereka
butuhkan. Demikianlah menurut Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqhus Sunnah.[3]
Sedangkan perbedaannya : “Fakir” adalah orang yang tidak memliki sesuatu
(harta) untuk menutupi kebutuhan hidupnya dan tidak kuat berusaha (bekerja)
untuk menutupi kebutuhan hidupnya tersebut.
Sedangkan “Miskin” adalah
orang yang lebih ringan kebutuhan hidupnya dibandingkan orang fakir.[4] Renungkan firman Allah :
لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي
سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ
الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لَا
يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ
بِهِ عَلِيمٌ
(Berinfaklah) kepada
orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat
(berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena
memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya,
mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik
yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui. (QS.Al-Baqarah : 273)
Dalam ayat ini Allah swt.
menyebutkan ciri-ciri dan hal-ihwal orang-orang yang lebih berhak untuk
menerima sedekah, yaitu :
1. Mereka yang dengan ikhlas telah mengikatkan diri pada
tugas dalam rangka jihad fisabilillah sehingga mereka tidak mempunyai
kesempatan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan lain untuk mencari rezekinya.
Misalnya yang menjadi kaum Muhajirin, yang pada permulaan Islam adalah termasuk
fakir - miskin, karena telah meninggalkan harta benda mereka di
Mekah untuk dapat berhijrah ke Madinah demi mempertahankan dan mengembangkan
agama Islam. Dan mereka sering bertempur di medan perang, menangkis kezaliman
orang-orang kafir.
2. Fakir-miskin yang tidak mampu berusaha, baik
dengan berdagang maupun dengan pekerjaan lainnya karena mereka sudah
lemah, atau sudah lanjut usia atau karena sebab-sebab lainnya.
3. Fakir miskin yang dikira oleh orang-orang lain sebagai
orang-orang berkecukupan lantaran mereka itu sabar dan menahan diri dari
meminta-minta.
Fakir miskin tersebut dapat diketahui kemiskinan mereka dari tanda-tanda atau gejala-gelaja yang tampak pada diri mereka. Mereka sama sekali tidak mau meminta-minta atau kalau mereka minta tidak dengan sikap yang mendesak atau memaksa-maksa. Dalam hubungan ini Rasulullah saw. pernah bersabda :
Fakir miskin tersebut dapat diketahui kemiskinan mereka dari tanda-tanda atau gejala-gelaja yang tampak pada diri mereka. Mereka sama sekali tidak mau meminta-minta atau kalau mereka minta tidak dengan sikap yang mendesak atau memaksa-maksa. Dalam hubungan ini Rasulullah saw. pernah bersabda :
حَدَّثَنَا
إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ
عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ الْمِسْكِينُ الَّذِي يَطُوفُ عَلَى النَّاسِ
تَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ وَلَكِنْ
الْمِسْكِينُ الَّذِي لَا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ وَلَا يُفْطَنُ بِهِ
فَيُتَصَدَّقُ عَلَيْهِ وَلَا يَقُومُ فَيَسْأَلُ النَّاسَ. (رواه البخاري : 1385 – صحيح البخاري –
المكتبة الشاملة - باب قَوْل الله تعالى
لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا – الجزء : 5 – صفحة : 330)
Telah
menceritakan kepada kami Isma'il bin 'Abdullah berkata, telah menceritakan
kepada saya Malik, dari Abu Az Zanad, dari Al A'raj, dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw, bersabda :
"Bukanlah disebut miskin orang berkeliling meminta-minta kepada manusia
dan bisa diatasi dengan satu atau dua suap makanan atau satu dua butir kurma.
Akan tetapi yang disebut miskin adalah orang yang tidak mendapatkan seseorang
yang bisa memenuhi kecukupannya, atau yang kondisinya tidak diketahui orang sehingga
siapa tahu ada yang memberinya shedaqah atau orang yang tidak meminta-minta kepada
manusia".(HR.Bukhari
: 1385, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Qaul Allahu Ta’alaa Laa
Yas-alunan Naasa ilhaafa, juz : 5, hal. 330)
Di dalam agama Islam, mengemis atau meminta-minta itu
tidak dibolehkan, kecuali dalam keadaan darurat. Rasulullah saw. telah bersabda
:
حَدَّثَنَا
عَبْدُ الصَّمَدِ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ شُمَيْطٍ قَالَ سَمِعْتُ
عَبْدَ اللَّهِ الْحَنَفِيَّ يُحَدِّثُ أَنَّهُ سَمِعَ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِثَلَاثَةٍ
لِذِي فَقْرٍ مُدْقِعٍ أَوْ لِذِي غُرْمٍ مُفْظِعٍ أَوْ لِذِي دَمٍ مُوجِعٍ. (رواه احمد : 11830 – مسند احمد – المكتبة
الشاملة – باب مسند انس بن مالك– الجزء : 24- صفحة : 376)
TTelah
menceritakan kepada kami Abdush Shamad,
telah menceritakan kepada kami Ubaidullah bin Syumaith berkata; aku
mendengar Abdullah bin Al Hanafi menceritakan, bahwasanya ia mendengar Anas bin
Malik dari Nabi saw, beliau bersabda: "Sesungguhnya
meminta-minta tidak halal kecuali tiga golongan; seorang yang teramat fakir,
orang yang terlilit hutang, dan orang yang terkena tanggungan untuk membayar
tebusan pembunuhan (dan ia tidak mampu)."(HR Ahmad :
1183, Musnad Ahmad, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Musnad Anas bin Malik, juz :
24, hal. 376)
Dan untuk mempertinggi harga diri serta menjauhkannya
dari meminta-minta atau mengharapkan pemberian orang lain, maka Rasulullah saw,
bersabda :
حَدَّثَنَا
أَبُو النُّعْمَانِ قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ
نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ح و حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ
عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ وَذَكَرَ
الصَّدَقَةَ وَالتَّعَفُّفَ وَالْمَسْأَلَةَ الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ
الْيَدِ السُّفْلَى فَالْيَدُ الْعُلْيَا هِيَ الْمُنْفِقَةُ وَالسُّفْلَى هِيَ
السَّائِلَة. (رواه البخاري : 1339– صحيح البخاري – المكتبة الشاملة - باب لا صدقة الا عن ظهر غنى – الجزء : 5 – صفحة : 249)
Telah
menceritakan kepada kami Abu An-Nu'man berkata, telah menceritakan kepada kami
Hammad bin Zaid dari Ayyub dari Nafi' dari Ibnu'Umar ra, berkata : Aku mendengar Nabi saw. Dan telah
menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Maslamah, dari Malik, dari Nafi', dari
'Abdullah bin 'Umar ra, bahwa Rasulullah saw, bersabda ketika berada di atas mimbar,
diantaranya beliau menyebut tentang shadaqah, memelihara diri dari
meminta-minta dan masalah tangan yang diatas lebih baik dari pada tangan yang
di bawah. Tangan yang diatas adalah yang memberi (mengeluarkan infaq);
sedangkan tangan yang di bawah adalah yang meminta".(HR.Bukhari :
1339, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Laa shadaqata illaa ‘an dhahrin ghina, juz :
5, hal. 249)
Demikianlah, agama Islam menghendaki orang-orang yang
mempunyai harta suka membantu fakir-miskin, sebaliknya, Islam menuntun fakir
miskin agar berusaha keras untuk melepaskan diri dari kemiskinan itu sendiri.
Allah swt. Berfirman :
إِنَّ
اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu
kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (Q.S Ar
Ra'du: 11)
Yang dimaksudkan dengan "keadaan yang ada pada
diri mereka" itu antara lain ialah sifat-sifat yang jelek yang
merupakan sebab bagi kemiskinan mereka itu. Misalnya sifat malas, lalai, tidak
jujur, tidak mau belajar untuk menuntut ilmu pengetahuan agar memiliki
kecakapan bekerja, dan sebagainya. Apabila mereka merubah sifat-sifat tersebut
dengan sifat-sifat yang baik, yaitu rajin bekerja, dan berjuang dengan sungguh-sungguh, maka
Allah akan memberikan jalan kepadanya untuk perbaikan kehidupannya. Dalam ayat
lain, Allah berfirman :
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي
الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ
Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kamu
di muka bumi, dan carilah karunia Allah. (QS. Al Jum'ah : 10)
Rasulullah saw, memuji orang-orang yang memperoleh
rezekinya dari hasil jerih payah dan keringatnya sendiri. Beliau bersabda :
حَدَّثَنَا
إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى أَخْبَرَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ عَنْ ثَوْرٍ عَنْ
خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ عَنْ الْمِقْدَامِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا
قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ
دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ. (رواه البخاري : 1930-صحيح البخاري – المكتبة
الشاملة -باب كسب الرجل وعمله بيده– الجزء :
7– صفحة : 235)
Telah menceritakan kepada kami
Ibrahim bin Musa, telah mengabarkan kepada kami 'Isa bin Yunus, dari Tsaur,
dari Khalid bin Ma'dan, dari Al Miqdam ra,
dari Rasulullah saw, bersabda : "Tidak
ada seorang yang memakan satu makananpun yang lebih baik dari makanan hasil
usaha tangannya sendiri. Dan sesungguhnya Nabi Allah Daud AS memakan makanan
dari hasil usahanya sendiri".(HR.Bukhari : 1930, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah,
bab Kasbur rajuli wa ‘amalauhu
biyadihi, juz : 7, hal. 235)
3.
Pengurus Zakat (‘Amil)
Adapun batasan ‘Amil zakat terdapat perbedaan pendapat dikalangan
para ‘Ulama fiqih, antara lain pendapat imam empat mazhab sebagai berikut :
1. Mazhab
imam Hanafi. ‘Amil adalah orang yang
diangkat untuk mengambil dan mengurus zakat.
2.
Mazhab imam Malik. ‘Amil adalah orang yang menjadi pencatat, pembagi, penasehat dan sebagainya yang
bekerja untuk kepentingan zakat.
3. Mazhab imam Hambali. ‘Amil adalah pengurus zakat, dia diberi zakat
sekedar upah pekerjaannya.
4.
Mazhab imam Syafi’i. ‘Amil adalah semua orang yang bekerja mengurus zakat, sedangkan dia tidak mendapat upah
selain dari zakat itu .[5]
Rasulullah
saw pernah mengangkat ‘Amil zakat seperti yang digambarkan dalam hadits berikut
ini :
حَدَّثَنَا يُوسُفُ بْنُ مُوسَى حَدَّثَنَا
أَبُو أُسَامَةَ أَخْبَرَنَا هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي
حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ اسْتَعْمَلَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ الْأَسْدِ عَلَى صَدَقَاتِ بَنِي
سُلَيْمٍ يُدْعَى ابْنَ اللُّتْبِيَّةِ فَلَمَّا جَاءَ حَاسَبَهُ. (رواه البخاري : 1404 – صحيح البخاري – المكتبة الشاملة – باب قول الله
تعالى والعاملين عليها – الجزء : 5 – صفحة :363)
Telah
menceritakan kepada kami Yusuf bin Musa, telah menceritakan kepada kami Abu
Usamah, telah mengabarkan kepada kami Hisyam bin 'Urwah, dari bapaknya, dari
Abu Humaid As-Sa'adiy ra, berkata : "Rasulullah saw memperkerjakan seorang laki-laki untuk
mengurus zakat Bani Sulaim yang dikenal dengan sebutan Ibnu Al-Lutbiyah. Ketika
orang itu kembali, beliau memberinya (upah dari bagian zakat)". (HR.Bukhari :
1404, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Qauli Allahi wal’aamiliina
‘alaihaa, juz : 5, hal. 363)
Kadar bagian
yang menjadi hak ‘Amil, terdapat tiga
pendapat,[6] yaitu :
1. Menurut
Mujahid dan Syafi’i, kadar bagian yang
menjadi hak ‘Amil adalah 1/8
2. Menurut
Ibnu Umar dan Malik, ‘Amil mendapat bagian sekedar upah pekerjaannya. Ini
pendapat Imam Abu Hanifah dan pengikutnya.
3.
‘Amil diberi bagian dari kas
negara (Baitul mal). Ini menurut pendapat mazhab imam Malik.[7]
Peran ‘Amil
Zakat yang ada sekarang, hanya memberikan “zakat konsumtif”,
sehingga tidak mendidik para mustahiq untuk merubah kondisinya. Padahal
terdapat peluang yang sangat baik untuk meningkatkan keadaan ekonomi jangka
panjang para mustahiq ke arah yang lebih baik, yaitu pemberian “Zakat
Produktif”. Tentu harus dijalankan sesuai syariat Islam dan dikelola
oleh lembaga ‘amil zakat yang berkompeten dan profesional dalam menangani usaha
produktif yang akan dijalankan. Namun juga harus tetap memperhatikan kebutuhan
yang bersifat konsumtif para mustahiq, jangan sampai terjadi kelaparan. Melalui
potensi zakat yang ada (potensi zakat nasional tahun 2013 sebesar Rp.217
triliun),[8] terbuka
kesempatan yang sangat luas bagi suatu program “pemberantasan kemiskinan”,
bila dikelola dengan baik dan benar. Atau paling tidak, dapat meminimalisir
tingkat kemiskinan. Untuk itulah, diperlukan suatu lembaga ‘amil zakat
yang mampu melaksana tugas dengan baik
dan bertanggung jawab, umpama, (1)
memiliki sistem dan prosedur pengelolaan yang baik, (2) memiliki aturan yang
jelas, (3) mempunyai rencana kerja yang jelas, (4) memiliki manajemen terbuka,
(5) melaksanakan studi kelayakan, (6) menetapkan jenis usaha produktif, (6)
memiliki komitmen tinggi menekuni pekerjaan, (7) melakukan pemantaun,
pengendalian, dan pengawasan, (8) pelaksana tugas memperoleh imbalan yang
layak, (9) mengadakan evaluasi, dan seterusnya.
4.
Muallaf
1.
Mazhab imam Hanafi. Muallaf
tidak diberi zakat lagi sejak khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq.
2. Mazhab
imam Malik. Ada dua pendapat, yaitu : (1) Muallaf adalah
orang kafir yang ada harapan untuk masuk Islam. (2) Muallah adalah orang yang
baru memeluk agama Islam.
3. Mazhab
imam Hanbali. Muallaf adalah orang yang punya pengaruh dilingkungannya,
sedangkan ia ada harapan untuk masuk Islam, atau orang yang ditakuti
kejahatannya, atau orang Islam yang ada harapann imannya bertambah kuat, atau
ada harapan orang lain masuk Islam karena pengaruhnya.
4.
Mazhab imam Syafi’i. Ada empat
macam, yaitu : (1) Orang yang baru masuk
Islam, sedangkan imannya masih lemah, (2)
Orang yang masuk Islam dan punya pengaruh terhadap kaumnya, dan ada
harapan kalau dia diberi zakat, maka orang lain dari kaumnya akan masuk Islam,
(3) Orang Islam yang kuat imannya dan
punya pengaruh terhadap orang kafir, dan kalau dia diberi zakat, maka kita akan
terpelihara dari kejahatan kafir yang ada di bawah pengaruhnya, (4) Orang yang
menolak kejahatan orang yang anti zakat.
5.
Budak (Riqab)
Ada tiga macam budak, yaitu (1) Budak قِنّ
Qin, artinya budak asli, sehingga dalam keseluruhan dirinya
melekat nama budak tanpa syarat. (2) Budak مُدَبَّر Mudabbar, artinya budak yang kemerdekaannya
tergantung kepada kematian tuannya, setelah tuannya mengatakan : Jika aku mati,
maka engkau menjadi orang yang merdeka. Oleh karenannya, bila tuannya mati,
maka ia merdeka. (3) Budak مُكَاتَب Mukatab, artinya budak yang kemerdekaannya
tergantung kepada syarat-syarat yang ditulis dalam suatu perjanjian yang
diberikan oleh tuannya. Umpama, jika engkau dapat uang 1 juta rupiah tahun ini,
maka engkau jadi orang yang merdeka.[10] Dan
budak yang diberi zakat adalah budak مُكَاتَب Mukatab,
yaitu sekedar untuk penebus dirinya agar memperoleh kemerdekaannya.
Islam mengajarkan kebebasan dan
kemerdekaan manusia, sehingga secara berangsur perbudakan dihapuskan, dan salah
satunya melalui zakat. Sabda Nabi :
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَزِيدَ
عَنْ أَبِيهِ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ مُحَمَّدِ
بْنِ عَجْلَانَ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَلَاثَةٌ كُلُّهُمْ حَقٌّ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ عَوْنُهُ الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالنَّاكِحُ
الَّذِي يُرِيدُ الْعَفَافَ وَالْمُكَاتَبُ الَّذِي يُرِيدُ الْأَدَاءَ.(رواه النسائي : 3069–سنن النسائي–المكتبة الشاملة–باب فضل
الروحة في سبيل الله– الجزء : 10– صفحة : 172)
Telah mengabarkan kepada kami
Muhammad bin Abdullah bin Yazid, dari ayahnya, ia berkata : Telah menceritakan
kepada kami Abdullah bin Al Mubarak, dari Muhammad bin 'Ajlan, dari Sa'id Al
Maqburi, dari Abu Hurairah, dari Nabi saw,
beliau bersabda : "Tiga golongan yang semuanya merupakan hak
atas Allah 'azza wajalla untuk meolongnya,
yaitu orang yang berjihad di jalan Allah, orang yang menikah
menginginkan kesucian diri, dan hamba sahaya (budak) yang mengadakan perjanjian
pembebasan dirinya yang ingin menunaikan kewajibannya." (HR.Nasai:3069,
Sunan An-Nasai, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Fadhlurrawhah fii
sabbililah, juz:10,hal. 172)
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ آدَمَ وَأَبُو أَحْمَدَ قَالَا
حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْبَجَلِيُّ مِنْ بَنِي بَجْلَةَ مِنْ
بَنِي سُلَيْمٍ عَن طَلْحَةَ قَالَ أَبُو أَحْمَدَ حَدَّثَنَا طَلْحَةُ بْنُ
مُصَرِّفٍ عَن عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْسَجَةَ عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ
جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ عَلِّمْنِي عَمَلًا يُدْخِلُنِي
الْجَنَّةَ فَقَالَ لَئِنْ كُنْتَ أَقْصَرْتَ الْخُطْبَةَ لَقَدْ أَعْرَضْتَ
الْمَسْأَلَةَ أَعْتِقْ النَّسَمَةَ وَفُكَّ الرَّقَبَةَ فَقَالَ يَا رَسُولَ
اللَّهِ أَوَلَيْسَتَا بِوَاحِدَةٍ قَالَ لَا إِنَّ عِتْقَ النَّسَمَةِ أَنْ
تَفَرَّدَ بِعِتْقِهَا وَفَكَّ الرَّقَبَةِ أَنْ تُعِينَ فِي عِتْقِهَا. (رواه احمد : 17902 - مسند احمد –
المكتبة الشاملة – باب حديث البراء بن عازب– الجزء : 38 – صفحة : 89)
Telah
menceritakan kepada kami Yahya bin Adam dan Abu Ahmad keduanya berkata : Telah
menceritakan kepada kami Isa bin Abdurrahman Al Bajali, dari Bani Bajlah, dari
Bani Sulaim, dari Thalhah -dalam riwayat lain- Abu Ahmad berkata : Telah
menceritakan kepada kami Thalhah bin Musharrif, dari Abdurrahman bin Ausajah,
dari Al Baraa` bin 'Azib ia berkata : Seorang Arab baduwi mendatangi Nabi
saw, dan berkata : "Wahai Rasulullah, ajarkanlah kepadaku suatu amalan
yang dapat memasukkanku ke dalam surga." Maka Rasulullah saw, bersabda: "Jika kamu meringkas materi
khutbah, maka sungguh, kamu telah memaparkan masalah. Karena itu, bebaskanlah
satu jiwa dan merdekakan-lah satu budak." Laki-laki itu bertanya :
"Wahai Rasulullah, bukankah hal itu satu?" beliau menjawab:
"Tidak, An-Nasamah (membebaskan satu jiwa) berarti kamu sendiri yang
membebaskanya. Sedangkan Fakku Ar-Raqabah (memerdekakan budak) adalah kamu
menolong budak tersebut dalam memerdekakan dirinya. (HR.Ahmad
:17902, Musnad Ahmad, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab hadits Barra’ bin ‘Azib,
juz : 38, hal. 98)
Menurut Imam Empat Mazhab[11]
1.
Mazhab Hanafi, Hmbali dan Syafi’i. Budak
yang telah dijanjikan oleh tuannya bahwa ia boleh menebus dirinya dengan syarat-syarat
yang telah ditentukan.
2.
Mazhab Maliki. Budak muslim yang dibeli dengan
uang zakat dan akan dimerdekakan.
6.
Orang Yang Berhutang (Gharim)
Gharim adalah orang yang mempunyai
hutang bukan karena untuk kepentingan maksiat atau dosa dan tidak sanggup
membayarnya. Sabda Nai :
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا لَيْثٌ عَنْ
بُكَيْرٍ عَنْ عِيَاضِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ
أُصِيبَ رَجُلٌ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي
ثِمَارٍ ابْتَاعَهَا فَكَثُرَ دَيْنُهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَصَدَّقُوا عَلَيْهِ فَتَصَدَّقَ النَّاسُ عَلَيْهِ فَلَمْ
يَبْلُغْ ذَلِكَ وَفَاءَ دَيْنِهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِغُرَمَائِهِ خُذُوا مَا وَجَدْتُمْ وَلَيْسَ لَكُمْ إِلَّا
ذَلِكَ.(رواه مسلم : 2910 –صحيح مسلم– المكتبة الشاملة –
باب استحباب الوضع من الدين – الجزء : 8– صفحة :188)
Telah
menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id, telah menceritakan kepada kami
Laits, dari Bukair, dari 'Iyadl bin 'Abdullah, dari Abu Sa'id Al Khudri dia
berkata : "Seorang laki-laki mendapat musibah pada masa Rasulullah saw
terkait dengan buah yang telah dibelinya, sehingga hutangnya menjadi banyak,
maka Rasulullah saw, bersabda :
"Bersedekahlah kepadanya." Lantas orang-orang bersedekah kepadanya,
akan tetapi (harta sedekah itu) belum mencapai jumlah untuk melunasi hutangnya,
maka Rasulullah saw pun bersabda kepada orang yang dihutanginya: "Ambillah
apa yang kamu dapatkan dan tidak ada cara lain bagimu selain cara tersebut."
(HR.Muslim :
2910, Shahih Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab isthbab Al-Wadh’i minad
dain, juz :8, hal.188)
1. Mazhab
Hanafi. Orang yang mempunyai
hutang, sedangkan jumlah hartanya di luar hutang tidak cukup satu nishab; dia
diberi zakat untuk membayar hutangnya.
2. Mazhab
Maliki. Orang yang mempunyai hutang, sedangkan hartanya tidak cukup
untuk membayar hutangnya; dia diberi zakat untuk membayar hutang, kalau dia
berhutang bukan untuk sesuatu yang fasad (jahat atau maksiat).
3. Mazhab
Hambali. Ada dua macam, yaitu :
a. Orang
yang mempunyai hutang karena untuk mendamaikan orang lain yang berselisih.
b.
Orang yang mempunyai hutang untuk
kepentingan dirinya sendiri pada pekerjaan yang mubah atau haram, tetapi dia
sudah bertobat. Dia diberi zakat sekedar untuk membayar hutangnya.
4. Mazhab
Syafi’i. Ada tiga macam, yaitu :
a. Orang
yang mempunyai hutang karena untuk mendamaikan orang lain yang sedang
berselisih. Dia diberi zakat sekalipun dia kaya.
b. Orang yang mempunyai hutang untuk kepentingan
dirinya sendiri pada pekerjaan yang mubah atau tidak mubah, tetapi dia sudah
bertobat. Dia diberi zakat kalau dia
tidak mampu membayar hutangnya.
c.
Orang yang mempunyai hutang karena
untuk menjamin hutang orang lain, sedangkan dia dan orang yang dijamin tidak
dapat membayar hutangnya. Dia diberi zakat kalau dia tidak mampu membayar
hutangnya.
7.
Sabilillah
Sabilillah
adalah jalan yang dapat menympaikan kepada keridaan Allah, baik berupa ilmu
maupun amal.[13] Imam Al-Qaffal menukil dari sebagian fuqaha, bahwa
mereka memperbolehkan mentasharrufkan sedekah (zakat) kepada segala sektor
kebaikan, seperti mengafani mayat, membangun pertahanan, membangun masjid dan
lain sebagainya, karena kata sabilillah bersifat umum, sehingga mencakup seluruh kebaikan di jalan Allah;
tidak hanya untuk peperangan.[14]
1. Mazhab
Hanafi. Balatentara yang berperang pada jalan Allah, sedangkan
membutuhkan bantuan biaya.
2. Mazhab
Maliki. Balatentara, mata-mata dan termasuk untuk membeli senjata, kuda,
dan untuk keperluan lainnya pada jalan Allah.
3. Mazhab
Hambali. Balatentara yang tidak mendapatkan gaji dari pimpinan
(pemerintah). Dia diberi zakat untuk memenuhi kebutuhan, seperti untuk membeli
senjata, kuda, makan, minum dan kebutuhan lainnya.
4.
Mazhab Syafi’i. Balatentara yang membantu dengan kehendaknya sendiri,
sedangkan dia tidak mendapatkan gaji tertentu, dan tidak pula mendapatkan
bagian dari hara yang disediakan untuk keperluan peperangan dalam kesatuan
balatentara. Dia diberi zakat meskipun dia kaya sebanyak keperluannya untuk
masuk ke medan perang, seperti biaya hidupnya, membeli senjata, kuda, dan alat
perang lainnya.
8.
Ibnu Sabil
Ibnu Sabil adalah orang yang sedang dalam
perjalanan yang bukan maksiat mengalami
kesengsaraan dalam perjalanannya. Menurut imam empat Mazhab[16] :
1.
Mazhab Hanafi. Orang yang dalam perjalanan dan
kehabisan bekal. Orang ini diberi zakat sekedar untuk memenuhi keperluannya.
2.
Mazhab Maliki. Orang yang dalam perjalanan, sedangkan ia
memerlukan biaya untuk ongkos pulang ke negerinya, dengan syarat bukan
perjalanan maksiat.
3. Mazhab
Hambali. Orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan yang mubah (dibolehkan).
Dia diberi zakat sekedar cukup untuk ongkos pulangnya.
4.
Mazhab Syafi’i. Orang yang mengadakan perjalanan
dari negeri zakat atau melalui negeri zakat. Dia diberi zakat sekedar untuk
ongkos sampai pada yang dimaksud atau, atau sampai pada hartanya dengan syarat
ia memang membutuhkan bantuan, bukan perjalanan maksiat, tetapi tujuan yang sah
menurut syara’.
[1]. Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqhu ‘Alal Madzahibil Arba’ah, juz :
1, Muassasah Al-Mukhtar, Kaero, 2006 M / 1426 H, hal. 502 - 505
[2]. Ibid, hal. 502 - 505
الفقراء
والمساكين: وهم المحتاجون الذين لا يجدون كفايتهم
[4]. Ahmad
bin Abdurrazaq Ad-Duwaisy, Fatawa Al-Lajnah Ad-Da-imah Lil-Buhuts Al-‘Ilmiyah
wal-Ifta’, Al-Maktabah Asy-Syamilah,
Riasah Idarah Al-Buhuts Al-‘Ilmiyah wal-Ifta’, Al-Idarah ‘Aammah Lith- Thab’i, Riyadh, 1996 M / 1417
H, Abab Sharfuz zakati liwaaahidin, juz : 12, hal. 35
الفرق بين الفقير
والمسكين: أن الفقير هو من لا يملك ما يسد حاجته ولا يقوى على كسب ما يسدها،
والمسكين من كان أخف حاجة من الفقير
[5]. Sulaiman Rasjid H. Fiqh Islam, Sinar Baru Algensindo, Bandung,
1998, hal. 210 - 213
[6]. Lihat Tafsir Al-Qurthubi, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab/juz 8,
hal. 177
[7]. Abdurrahman Al-Jaziri,
Al-Fiqhu ‘Alal Madzahibil Arba’ah, juz : 1,
Op cit, hal. 504
[8].
http://www.hidayatullah.com/read/2013/08/03/5774/proyeksi-penghimpunan-zakat-tahun-2013-rp-3-triliun.html
[9]. Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqhu ‘Alal Madzahibil Arba’ah, juz :
1, Op cit, hal. 502 - 505
[10]. H. Idris Ahmadi SH, Fiqh Syafi’i, karya Indah, Jakarta, 1984,
hal. 465
[11]. Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqhu ‘Alal Madzahibil Arba’ah, juz :
1, Op cit, hal. 502 – 505.
[12]. Ibid, hal. 502 – 506.
[13]. Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz/bab :1,
hal. 393.
وفي سبيل الله : سبيل الله، الطريق الموصل إلى
مرضاته من العلم، والعمل
[14]. Fatawa Al-Azhar, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab jawaazu I’Thaiz
zakaati Liljam’iyyaatil khairiyyat, juz
: 1, hal. 138
[15]. Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqhu ‘Alal Madzahibil Arba’ah, juz :
1, Op cit, hal. 502 – 506.
[16]. Ibid, hal. 502 – 506.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar