Kamis, 14 November 2013

MUSTAHIQ ZAKAT



GOLONGAN MUSTAHIQ ZAKAT
Ada delapan golongan yang berhak menerima zakat (mustahiq) baik zakat fitrah atau zakat harta, berdasarkan firman Allah saw : 
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (التوبة: 60)
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS.At-Taubah: 60)
Delapan golongan yang berhak menerima zakat sesuai ayat di atas kita bahas  satu persatu, sehingga mendapatkan pengertian yang lebih jelas :
1.      Orang Fakir
Adapun batasan Fakir terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ‘Ulama fiqih, antara lain pendapat imam empat mazhab sebagai berikut :
a.      Mazhab imam Hanafi. Fakir adalah orang yang memiliki harta kurang dari satu nishab, atau memiliki satu nishab atau lebih, tetapi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya.
b.      Mazhab imam Malik. Fakir adalah orang yang memiliki harta, sedangkan hartanya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya selama satu tahun.
c.      Mazhab imam Hambali. Fakir adalah orang yang tidak memiliki harta, atau memiliki harta, tetapi tidak cukup untuk memenuhi separoh dari kebutuhannya.
d.      Mazhab imam Syafi’i. Fakir adalah orang yang tidak memiliki harta dan usaha, atau memiliki harta dan usaha, tetapi tidak cukup untuk memenuhi separoh dari kebutuhannya.[1]
2.      Orang Miskin
Adapun batasan Miskin terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ‘Ulama fiqih, antara lain pendapat imam empat mazahab sebagai berikut :
a.      Mazhab imam Hanafi dan Maliki. Miskin adalah orang yang tidak mempunyai sesuatu apapa-pun.
b.      Mazhab imam Hambali. Miskin adalah orang yang memiliki harta separoh dari kebutuhannya, atau lebih, tetapi tidak mencukupi.
c.      Mazhab imam Syafi’i. Miskin adalah orang yang memiliki harta dan usaha separoh dari kebutuhannya atau lebih, tetapi tidak mencukupi.[2]
Terdapat persamaan dan perbedaan batasan tetang “Fakir dan Miskin”. Persamaan keduanya adalah orang-orang yang berada dalam kebutuhan dan mereka tidak mendapatkan apa yang mereka butuhkan. Demikianlah menurut Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqhus Sunnah.[3] Sedangkan perbedaannya : “Fakir” adalah orang yang tidak memliki sesuatu (harta) untuk menutupi kebutuhan hidupnya dan tidak kuat berusaha (bekerja) untuk menutupi kebutuhan hidupnya tersebut.  Sedangkan “Miskin” adalah  orang yang lebih ringan kebutuhan hidupnya dibandingkan orang fakir.[4]  Renungkan firman Allah :
لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ  
(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui. (QS.Al-Baqarah : 273)
Dalam ayat ini Allah swt. menyebutkan ciri-ciri dan hal-ihwal orang-orang yang lebih berhak untuk menerima sedekah, yaitu :
1.      Mereka yang dengan ikhlas telah mengikatkan diri pada tugas dalam rangka jihad fisabilillah sehingga mereka tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan lain untuk mencari rezekinya. Misalnya yang menjadi kaum Muhajirin, yang pada permulaan Islam adalah termasuk fakir - miskin, karena telah meninggalkan harta benda mereka di Mekah untuk dapat berhijrah ke Madinah demi mempertahankan dan mengembangkan agama Islam. Dan mereka sering bertempur di medan perang, menangkis kezaliman orang-orang kafir.
2.      Fakir-miskin yang tidak mampu berusaha, baik dengan berdagang maupun dengan pekerjaan lainnya karena mereka sudah lemah, atau sudah lanjut usia atau karena sebab-sebab lainnya.
3.      Fakir miskin yang dikira oleh orang-orang lain sebagai orang-orang berkecukupan lantaran mereka itu sabar dan menahan diri dari meminta-minta.
Fakir miskin tersebut dapat diketahui kemiskinan mereka dari tanda-tanda atau gejala-gelaja yang tampak pada diri mereka. Mereka sama sekali tidak mau meminta-minta atau kalau mereka minta tidak dengan sikap yang mendesak atau memaksa-maksa. Dalam hubungan ini Rasulullah saw. pernah bersabda :
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ الْمِسْكِينُ الَّذِي يَطُوفُ عَلَى النَّاسِ تَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ وَلَكِنْ الْمِسْكِينُ الَّذِي لَا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ وَلَا يُفْطَنُ بِهِ فَيُتَصَدَّقُ عَلَيْهِ وَلَا يَقُومُ فَيَسْأَلُ النَّاسَ. (رواه البخاري : 1385 – صحيح البخاري – المكتبة الشاملة -  باب قَوْل الله تعالى لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا – الجزء : 5 – صفحة : 330)
Telah menceritakan kepada kami Isma'il bin 'Abdullah berkata, telah menceritakan kepada saya Malik, dari Abu Az Zanad, dari Al A'raj, dari Abu Hurairah ra,  bahwa Rasulullah saw,  bersabda : "Bukanlah disebut miskin orang berkeliling meminta-minta kepada manusia dan bisa diatasi dengan satu atau dua suap makanan atau satu dua butir kurma. Akan tetapi yang disebut miskin adalah orang yang tidak mendapatkan seseorang yang bisa memenuhi kecukupannya, atau yang kondisinya tidak diketahui orang sehingga siapa tahu ada yang memberinya shedaqah atau orang yang tidak meminta-minta kepada manusia".(HR.Bukhari : 1385, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Qaul Allahu Ta’alaa Laa Yas-alunan Naasa ilhaafa, juz : 5, hal. 330)
Di dalam agama Islam, mengemis atau meminta-minta itu tidak dibolehkan, kecuali dalam keadaan darurat. Rasulullah saw. telah bersabda :
 حَدَّثَنَا عَبْدُ الصَّمَدِ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ شُمَيْطٍ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ الْحَنَفِيَّ يُحَدِّثُ أَنَّهُ سَمِعَ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِثَلَاثَةٍ لِذِي فَقْرٍ مُدْقِعٍ أَوْ لِذِي غُرْمٍ مُفْظِعٍ أَوْ لِذِي دَمٍ مُوجِعٍ. (رواه احمد : 11830 – مسند احمد – المكتبة الشاملة – باب مسند انس بن مالك– الجزء : 24- صفحة : 376)
TTelah menceritakan kepada kami Abdush Shamad,  telah menceritakan kepada kami Ubaidullah bin Syumaith berkata; aku mendengar Abdullah bin Al Hanafi menceritakan, bahwasanya ia mendengar Anas bin Malik dari Nabi saw, beliau bersabda: "Sesungguhnya meminta-minta tidak halal kecuali tiga golongan; seorang yang teramat fakir, orang yang terlilit hutang, dan orang yang terkena tanggungan untuk membayar tebusan pembunuhan (dan ia tidak mampu)."(HR Ahmad : 1183, Musnad Ahmad, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Musnad Anas bin Malik, juz : 24, hal. 376)
Dan untuk mempertinggi harga diri serta menjauhkannya dari meminta-minta atau mengharapkan pemberian orang lain, maka Rasulullah saw, bersabda :
 حَدَّثَنَا أَبُو النُّعْمَانِ قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ح و حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ وَذَكَرَ الصَّدَقَةَ وَالتَّعَفُّفَ وَالْمَسْأَلَةَ الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ الْيَدِ السُّفْلَى فَالْيَدُ الْعُلْيَا هِيَ الْمُنْفِقَةُ وَالسُّفْلَى هِيَ السَّائِلَة. (رواه البخاري :  1339– صحيح البخاري – المكتبة الشاملة -  باب لا صدقة الا عن ظهر غنى  – الجزء : 5 – صفحة :  249)
Telah menceritakan kepada kami Abu An-Nu'man berkata, telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid dari Ayyub dari Nafi' dari Ibnu'Umar ra,  berkata : Aku mendengar Nabi saw. Dan telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Maslamah, dari Malik, dari Nafi', dari 'Abdullah bin 'Umar ra,  bahwa Rasulullah saw,  bersabda ketika berada di atas mimbar, diantaranya beliau menyebut tentang shadaqah, memelihara diri dari meminta-minta dan masalah tangan yang diatas lebih baik dari pada tangan yang di bawah. Tangan yang diatas adalah yang memberi (mengeluarkan infaq); sedangkan tangan yang di bawah adalah yang meminta".(HR.Bukhari : 1339, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab  Laa shadaqata illaa ‘an dhahrin ghina, juz : 5, hal. 249)
Demikianlah, agama Islam menghendaki orang-orang yang mempunyai harta suka membantu fakir-miskin, sebaliknya, Islam menuntun fakir miskin agar berusaha keras untuk melepaskan diri dari kemiskinan itu sendiri. Allah swt. Berfirman :
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
 Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (Q.S Ar Ra'du: 11)
Yang dimaksudkan dengan "keadaan yang ada pada diri mereka" itu antara lain ialah sifat-sifat yang jelek yang merupakan sebab bagi kemiskinan mereka itu. Misalnya sifat malas, lalai, tidak jujur, tidak mau belajar untuk menuntut ilmu pengetahuan agar memiliki kecakapan bekerja, dan sebagainya. Apabila mereka merubah sifat-sifat tersebut dengan sifat-sifat yang baik, yaitu rajin bekerja,  dan berjuang dengan sungguh-sungguh, maka Allah akan memberikan jalan kepadanya untuk perbaikan kehidupannya. Dalam ayat lain, Allah berfirman :
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ
Apabila telah ditunaikan salat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah. (QS. Al Jum'ah : 10)
Rasulullah saw, memuji orang-orang yang memperoleh rezekinya dari hasil jerih payah dan keringatnya sendiri. Beliau bersabda :
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُوسَى أَخْبَرَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ عَنْ ثَوْرٍ عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ عَنْ الْمِقْدَامِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ. (رواه البخاري : 1930-صحيح البخاري – المكتبة الشاملة -باب كسب الرجل وعمله بيده– الجزء :  7– صفحة :   235)
Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Musa, telah mengabarkan kepada kami 'Isa bin Yunus, dari Tsaur, dari Khalid bin Ma'dan, dari Al Miqdam ra,  dari Rasulullah saw,  bersabda : "Tidak ada seorang yang memakan satu makananpun yang lebih baik dari makanan hasil usaha tangannya sendiri. Dan sesungguhnya Nabi Allah Daud AS memakan makanan dari hasil usahanya sendiri".(HR.Bukhari : 1930, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab   Kasbur rajuli wa ‘amalauhu biyadihi, juz : 7, hal. 235)
3.     Pengurus Zakat (‘Amil)
Adapun batasan ‘Amil  zakat terdapat perbedaan pendapat dikalangan para ‘Ulama fiqih, antara lain pendapat imam empat mazhab sebagai berikut :
1.    Mazhab imam Hanafi. ‘Amil adalah orang yang  diangkat untuk mengambil dan mengurus zakat.
2.    Mazhab imam Malik. ‘Amil adalah orang yang menjadi pencatat, pembagi, penasehat dan sebagainya yang bekerja untuk kepentingan zakat.
3.    Mazhab imam Hambali. ‘Amil  adalah pengurus zakat, dia diberi zakat sekedar  upah pekerjaannya. 
4.    Mazhab imam Syafi’i. ‘Amil  adalah semua orang yang bekerja mengurus zakat, sedangkan dia tidak mendapat upah selain dari zakat itu .[5]
Rasulullah saw pernah mengangkat ‘Amil zakat seperti yang digambarkan dalam hadits berikut ini :
  حَدَّثَنَا يُوسُفُ بْنُ مُوسَى حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ أَخْبَرَنَا هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ اسْتَعْمَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا مِنْ الْأَسْدِ عَلَى صَدَقَاتِ بَنِي سُلَيْمٍ يُدْعَى ابْنَ اللُّتْبِيَّةِ فَلَمَّا جَاءَ حَاسَبَهُ. (رواه البخاري : 1404 – صحيح البخاري – المكتبة الشاملة – باب قول الله تعالى والعاملين عليها – الجزء : 5 – صفحة :363)
Telah menceritakan kepada kami Yusuf bin Musa, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah, telah mengabarkan kepada kami Hisyam bin 'Urwah, dari bapaknya, dari Abu Humaid As-Sa'adiy ra,  berkata : "Rasulullah saw  memperkerjakan seorang laki-laki untuk mengurus zakat Bani Sulaim yang dikenal dengan sebutan Ibnu Al-Lutbiyah. Ketika orang itu kembali, beliau memberinya (upah dari bagian zakat)". (HR.Bukhari : 1404, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Qauli Allahi wal’aamiliina ‘alaihaa, juz : 5, hal. 363)
Kadar bagian yang menjadi hak ‘Amil, terdapat  tiga pendapat,[6]  yaitu :  
1.   Menurut Mujahid dan Syafi’i,  kadar bagian yang menjadi hak ‘Amil adalah 1/8
2.   Menurut Ibnu Umar dan Malik, ‘Amil mendapat bagian sekedar upah pekerjaannya. Ini pendapat Imam Abu Hanifah dan pengikutnya.
3.   ‘Amil diberi bagian dari kas negara (Baitul mal). Ini menurut pendapat mazhab imam Malik.[7]
Peran ‘Amil Zakat yang ada sekarang, hanya memberikan “zakat konsumtif”, sehingga tidak mendidik para mustahiq untuk merubah kondisinya. Padahal terdapat peluang yang sangat baik untuk meningkatkan keadaan ekonomi jangka panjang para mustahiq ke arah yang lebih baik, yaitu pemberian “Zakat Produktif”. Tentu harus dijalankan sesuai syariat Islam dan dikelola oleh lembaga ‘amil zakat yang berkompeten dan profesional dalam menangani usaha produktif yang akan dijalankan. Namun juga harus tetap memperhatikan kebutuhan yang bersifat konsumtif para mustahiq, jangan sampai terjadi kelaparan. Melalui potensi zakat yang ada (potensi zakat nasional tahun 2013 sebesar Rp.217 triliun),[8] terbuka kesempatan yang sangat luas bagi suatu program “pemberantasan kemiskinan”, bila dikelola dengan baik dan benar. Atau paling tidak, dapat meminimalisir tingkat kemiskinan. Untuk itulah, diperlukan suatu lembaga ‘amil zakat yang  mampu melaksana tugas dengan baik dan bertanggung jawab,  umpama, (1) memiliki sistem dan prosedur pengelolaan yang baik, (2) memiliki aturan yang jelas, (3) mempunyai rencana kerja yang jelas, (4) memiliki manajemen terbuka, (5) melaksanakan studi kelayakan, (6) menetapkan jenis usaha produktif, (6) memiliki komitmen tinggi menekuni pekerjaan, (7) melakukan pemantaun, pengendalian, dan pengawasan, (8) pelaksana tugas memperoleh imbalan yang layak, (9) mengadakan evaluasi, dan seterusnya.
4.             Muallaf
Muallaf menurut empat imam mazhab[9]
1.      Mazhab imam Hanafi. Muallaf tidak diberi zakat lagi sejak khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq.
2.      Mazhab imam  Malik.  Ada dua pendapat, yaitu : (1) Muallaf adalah orang kafir yang ada harapan untuk masuk Islam. (2) Muallah adalah orang yang baru memeluk agama Islam.
3.      Mazhab imam Hanbali. Muallaf adalah orang yang punya pengaruh dilingkungannya, sedangkan ia ada harapan untuk masuk Islam, atau orang yang ditakuti kejahatannya, atau orang Islam yang ada harapann imannya bertambah kuat, atau ada harapan orang lain masuk Islam karena pengaruhnya.
4.      Mazhab imam Syafi’i. Ada empat macam,  yaitu : (1) Orang yang baru masuk Islam, sedangkan imannya masih lemah, (2)  Orang yang masuk Islam dan punya pengaruh terhadap kaumnya, dan ada harapan kalau dia diberi zakat, maka orang lain dari kaumnya akan masuk Islam, (3) Orang Islam yang kuat imannya dan punya pengaruh terhadap orang kafir, dan kalau dia diberi zakat, maka kita akan terpelihara dari kejahatan kafir yang ada di bawah pengaruhnya, (4) Orang yang menolak kejahatan orang yang anti zakat.
5.     Budak (Riqab)
Ada tiga macam budak, yaitu (1) Budak  قِنّ  Qin, artinya budak asli, sehingga dalam keseluruhan dirinya melekat nama budak tanpa syarat. (2) Budak مُدَبَّر Mudabbar, artinya budak yang kemerdekaannya tergantung kepada kematian tuannya, setelah tuannya mengatakan : Jika aku mati, maka engkau menjadi orang yang merdeka. Oleh karenannya, bila tuannya mati, maka ia merdeka.  (3) Budak مُكَاتَب  Mukatab, artinya budak yang kemerdekaannya tergantung kepada syarat-syarat yang ditulis dalam suatu perjanjian yang diberikan oleh tuannya. Umpama, jika engkau dapat uang 1 juta rupiah tahun ini, maka engkau jadi orang yang merdeka.[10] Dan budak yang diberi zakat adalah budak مُكَاتَب  Mukatab, yaitu sekedar untuk penebus dirinya agar memperoleh kemerdekaannya.
Islam mengajarkan kebebasan dan kemerdekaan manusia, sehingga secara berangsur perbudakan dihapuskan, dan salah satunya melalui zakat. Sabda Nabi :
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَجْلَانَ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَلَاثَةٌ كُلُّهُمْ حَقٌّ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ عَوْنُهُ الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيدُ الْعَفَافَ وَالْمُكَاتَبُ الَّذِي يُرِيدُ الْأَدَاءَ.(رواه النسائي :  3069–سنن النسائي–المكتبة الشاملة–باب فضل الروحة في سبيل الله– الجزء : 10– صفحة : 172)
 Telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin Abdullah bin Yazid, dari ayahnya, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Al Mubarak, dari Muhammad bin 'Ajlan, dari Sa'id Al Maqburi, dari Abu Hurairah, dari Nabi saw,  beliau bersabda : "Tiga golongan yang semuanya merupakan hak atas Allah 'azza wajalla untuk meolongnya,  yaitu orang yang berjihad di jalan Allah, orang yang menikah menginginkan kesucian diri, dan hamba sahaya (budak) yang mengadakan perjanjian pembebasan dirinya yang ingin menunaikan kewajibannya." (HR.Nasai:3069, Sunan An-Nasai, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Fadhlurrawhah fii sabbililah,  juz:10,hal. 172)
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ آدَمَ وَأَبُو أَحْمَدَ قَالَا حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْبَجَلِيُّ مِنْ بَنِي بَجْلَةَ مِنْ بَنِي سُلَيْمٍ عَن طَلْحَةَ قَالَ أَبُو أَحْمَدَ حَدَّثَنَا طَلْحَةُ بْنُ مُصَرِّفٍ عَن عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْسَجَةَ عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ عَلِّمْنِي عَمَلًا يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ فَقَالَ لَئِنْ كُنْتَ أَقْصَرْتَ الْخُطْبَةَ لَقَدْ أَعْرَضْتَ الْمَسْأَلَةَ أَعْتِقْ النَّسَمَةَ وَفُكَّ الرَّقَبَةَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَوَلَيْسَتَا بِوَاحِدَةٍ قَالَ لَا إِنَّ عِتْقَ النَّسَمَةِ أَنْ تَفَرَّدَ بِعِتْقِهَا وَفَكَّ الرَّقَبَةِ أَنْ تُعِينَ فِي عِتْقِهَا. (رواه احمد : 17902 - مسند احمد – المكتبة الشاملة – باب حديث البراء بن عازب– الجزء :  38 – صفحة : 89)
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Adam dan Abu Ahmad keduanya berkata : Telah menceritakan kepada kami Isa bin Abdurrahman Al Bajali, dari Bani Bajlah, dari Bani Sulaim, dari Thalhah -dalam riwayat lain- Abu Ahmad berkata : Telah menceritakan kepada kami Thalhah bin Musharrif, dari Abdurrahman bin Ausajah, dari Al Baraa` bin 'Azib ia berkata : Seorang Arab baduwi mendatangi Nabi saw, dan berkata : "Wahai Rasulullah, ajarkanlah kepadaku suatu amalan yang dapat memasukkanku ke dalam surga." Maka Rasulullah saw,  bersabda: "Jika kamu meringkas materi khutbah, maka sungguh, kamu telah memaparkan masalah. Karena itu, bebaskanlah satu jiwa dan merdekakan-lah satu budak." Laki-laki itu bertanya : "Wahai Rasulullah, bukankah hal itu satu?" beliau menjawab: "Tidak, An-Nasamah (membebaskan satu jiwa) berarti kamu sendiri yang membebaskanya. Sedangkan Fakku Ar-Raqabah (memerdekakan budak) adalah kamu menolong budak tersebut dalam memerdekakan dirinya. (HR.Ahmad :17902, Musnad Ahmad, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab hadits Barra’ bin ‘Azib, juz : 38, hal. 98)
Menurut Imam Empat Mazhab[11]
1.      Mazhab Hanafi, Hmbali dan Syafi’i. Budak yang telah dijanjikan oleh tuannya bahwa ia boleh menebus dirinya dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.
2.      Mazhab Maliki. Budak muslim yang dibeli dengan uang zakat dan akan  dimerdekakan.
6.    Orang Yang Berhutang (Gharim)
Gharim adalah orang yang mempunyai hutang bukan karena untuk kepentingan maksiat atau dosa dan tidak sanggup membayarnya. Sabda Nai :
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا لَيْثٌ عَنْ بُكَيْرٍ عَنْ عِيَاضِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ أُصِيبَ رَجُلٌ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي ثِمَارٍ ابْتَاعَهَا فَكَثُرَ دَيْنُهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَصَدَّقُوا عَلَيْهِ فَتَصَدَّقَ النَّاسُ عَلَيْهِ فَلَمْ يَبْلُغْ ذَلِكَ وَفَاءَ دَيْنِهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِغُرَمَائِهِ خُذُوا مَا وَجَدْتُمْ وَلَيْسَ لَكُمْ إِلَّا ذَلِكَ.(رواه مسلم : 2910 –صحيح مسلم– المكتبة الشاملة – باب استحباب الوضع من الدين – الجزء : 8– صفحة :188)
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id, telah menceritakan kepada kami Laits, dari Bukair, dari 'Iyadl bin 'Abdullah, dari Abu Sa'id Al Khudri dia berkata : "Seorang laki-laki mendapat musibah pada masa Rasulullah saw terkait dengan buah yang telah dibelinya, sehingga hutangnya menjadi banyak, maka Rasulullah saw,  bersabda : "Bersedekahlah kepadanya." Lantas orang-orang bersedekah kepadanya, akan tetapi (harta sedekah itu) belum mencapai jumlah untuk melunasi hutangnya, maka Rasulullah saw pun bersabda kepada orang yang dihutanginya: "Ambillah apa yang kamu dapatkan dan tidak ada cara lain bagimu selain cara tersebut." (HR.Muslim : 2910, Shahih Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab isthbab Al-Wadh’i minad dain, juz :8, hal.188)
Menurut Empat Imam Mazhab[12]
1.      Mazhab Hanafi.  Orang yang mempunyai hutang, sedangkan jumlah hartanya di luar hutang tidak cukup satu nishab; dia diberi zakat untuk membayar hutangnya.
2.      Mazhab Maliki. Orang yang mempunyai hutang, sedangkan hartanya tidak cukup untuk membayar hutangnya; dia diberi zakat untuk membayar hutang, kalau dia berhutang bukan untuk sesuatu yang fasad (jahat atau maksiat).
3.      Mazhab Hambali. Ada dua macam, yaitu :
a.    Orang yang mempunyai hutang karena untuk mendamaikan orang lain yang berselisih.
b.    Orang yang mempunyai hutang untuk kepentingan dirinya sendiri pada pekerjaan yang mubah atau haram, tetapi dia sudah bertobat. Dia diberi zakat sekedar untuk membayar hutangnya.
4.      Mazhab Syafi’i. Ada tiga macam, yaitu :
a.    Orang yang mempunyai hutang karena untuk mendamaikan orang lain yang sedang berselisih. Dia diberi zakat sekalipun dia kaya. 
b.     Orang yang mempunyai hutang untuk kepentingan dirinya sendiri pada pekerjaan yang mubah atau tidak mubah, tetapi dia sudah bertobat.  Dia diberi zakat kalau dia tidak mampu membayar hutangnya.
c.    Orang yang mempunyai hutang karena untuk menjamin hutang orang lain, sedangkan dia dan orang yang dijamin tidak dapat membayar hutangnya. Dia diberi zakat kalau dia tidak mampu membayar hutangnya.
7.    Sabilillah
Sabilillah adalah jalan yang dapat menympaikan kepada keridaan Allah, baik berupa ilmu maupun amal.[13] Imam Al-Qaffal menukil dari sebagian fuqaha, bahwa mereka memperbolehkan mentasharrufkan sedekah (zakat) kepada segala sektor kebaikan, seperti mengafani mayat, membangun pertahanan, membangun masjid dan lain sebagainya, karena kata sabilillah bersifat umum, sehingga  mencakup seluruh kebaikan di jalan Allah; tidak hanya untuk peperangan.[14]
Menurut Imam Empat Mazhab[15] :
1.      Mazhab Hanafi. Balatentara yang berperang pada jalan Allah, sedangkan membutuhkan bantuan biaya.
2.      Mazhab Maliki. Balatentara, mata-mata dan termasuk untuk membeli senjata, kuda, dan untuk keperluan lainnya pada jalan Allah.
3.      Mazhab Hambali. Balatentara yang tidak mendapatkan gaji dari pimpinan (pemerintah). Dia diberi zakat untuk memenuhi kebutuhan, seperti untuk membeli senjata, kuda, makan, minum dan kebutuhan lainnya.
4.      Mazhab Syafi’i. Balatentara yang membantu dengan kehendaknya sendiri, sedangkan dia tidak mendapatkan gaji tertentu, dan tidak pula mendapatkan bagian dari hara yang disediakan untuk keperluan peperangan dalam kesatuan balatentara. Dia diberi zakat meskipun dia kaya sebanyak keperluannya untuk masuk ke medan perang, seperti biaya hidupnya, membeli senjata, kuda, dan alat perang lainnya.
8.    Ibnu Sabil
Ibnu Sabil adalah orang yang sedang dalam perjalanan  yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya. Menurut imam empat Mazhab[16]  :
1.      Mazhab Hanafi. Orang yang dalam perjalanan dan kehabisan bekal. Orang ini diberi zakat sekedar untuk memenuhi keperluannya.
2.      Mazhab Maliki. Orang yang dalam perjalanan, sedangkan ia memerlukan biaya untuk ongkos pulang ke negerinya, dengan syarat bukan perjalanan maksiat.
3.      Mazhab Hambali. Orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan yang mubah (dibolehkan). Dia diberi zakat sekedar cukup untuk ongkos pulangnya.
4.      Mazhab Syafi’i. Orang yang mengadakan perjalanan dari negeri zakat atau melalui negeri zakat. Dia diberi zakat sekedar untuk ongkos sampai pada yang dimaksud atau, atau sampai pada hartanya dengan syarat ia memang membutuhkan bantuan, bukan perjalanan maksiat, tetapi tujuan yang sah menurut syara’.



[1]. Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqhu ‘Alal Madzahibil Arba’ah, juz : 1, Muassasah Al-Mukhtar, Kaero, 2006 M / 1426 H,  hal. 502 - 505
[2]. Ibid, hal.  502 - 505
[3]. Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab/juz : 1, hal. 383
الفقراء والمساكين: وهم المحتاجون الذين لا يجدون كفايتهم
[4].  Ahmad bin Abdurrazaq Ad-Duwaisy, Fatawa Al-Lajnah Ad-Da-imah Lil-Buhuts Al-‘Ilmiyah wal-Ifta’,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, Riasah Idarah Al-Buhuts Al-‘Ilmiyah wal-Ifta’, Al-Idarah  ‘Aammah Lith- Thab’i, Riyadh, 1996 M / 1417 H, Abab Sharfuz zakati liwaaahidin, juz : 12, hal. 35
الفرق بين الفقير والمسكين: أن الفقير هو من لا يملك ما يسد حاجته ولا يقوى على كسب ما يسدها، والمسكين من كان أخف حاجة من الفقير 

[5]. Sulaiman Rasjid H. Fiqh Islam, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 1998,  hal. 210 - 213
[6]. Lihat Tafsir Al-Qurthubi, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab/juz 8, hal. 177
[7].  Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqhu ‘Alal Madzahibil Arba’ah, juz : 1,  Op cit, hal. 504
[8]. http://www.hidayatullah.com/read/2013/08/03/5774/proyeksi-penghimpunan-zakat-tahun-2013-rp-3-triliun.html
[9]. Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqhu ‘Alal Madzahibil Arba’ah, juz : 1,  Op cit, hal. 502 - 505
[10]. H. Idris Ahmadi SH, Fiqh Syafi’i, karya Indah, Jakarta, 1984, hal. 465
[11]. Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqhu ‘Alal Madzahibil Arba’ah, juz : 1,  Op cit, hal. 502 – 505. 
[12]. Ibid, hal. 502 – 506. 
[13]. Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz/bab :1, hal. 393.
وفي سبيل الله : سبيل الله، الطريق الموصل إلى مرضاته من العلم، والعمل
[14]. Fatawa Al-Azhar, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab jawaazu I’Thaiz zakaati Liljam’iyyaatil khairiyyat,   juz : 1, hal. 138
[15]. Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqhu ‘Alal Madzahibil Arba’ah, juz : 1,  Op cit, hal. 502 – 506. 
[16]. Ibid, hal. 502 – 506. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar