Kafa’ah (setara)
Menurut bahasa kafa’ah (كَفَاءَة) berarti sama, sebanding, setara, seimbang atau sepadan (التساوي
والتعادل) [1]. Sedangkan menurut istilah adalah keseimbangan dan keserasian
antara calon isteri dan suami sehingga masing-masing tidak merasa berat untuk melangsungkan perkawinan. Maksud dari kafa’ah adalah agar
pasangan suami isteri itu setara atau cocok,[2] baik dari segi agama maupun status sosial. Dalil-dalil
tentang kafa’ah, antara lain sebagai berikut :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ
حَدَّثَنَا الْحَارِثُ بْنُ عِمْرَانَ الْجَعْفَرِيُّ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ
عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : تَخَيَّرُوا لِنُطَفِكُمْ وَانْكِحُوا
الْأَكْفَاءَ وَأَنْكِحُوا إِلَيْهِمْ. (رَوَاهُ
ابن ماجه- سنن ابن ماجه -المكتبة الشاملة – باب الاكفاء- الجز ء : 6- صفحة : 106)
Telah menceritakan kepada kami [Abdullah bin Sa'id]
berkata, telah menceritakan kepada kami [Al Harits bin Imran Al Ja'fari] dari
[Hisyam bin Urwah] dari [Bapaknya] dari ['Aisyah] ia berkata, "Rasulullah
saw bersabda: "Pandai-pandailah memilih untuk tempat seperma
kalian. Nikahilah wanita-wanita yang setara (sekufu’), dan nikahkanlah mereka." (HR.Ibnu
Majah, sunan Ibnu Majah, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Al-Ikfa’, juz : 6, hal. 106)
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عِيسَى بْنِ السُّكَيْنِ الْبَلَدِىُّ حَدَّثَنَا
زَكَرِيَّا بْنُ الْحَكَمِ الرَّسْعَنِىُّ حَدَّثَنَا أَبُو الْمُغِيرَةِ عَبْدُ
الْقُدُّوسِ بْنُ الْحَجَّاجِ حَدَّثَنَا مُبَشِّرُ بْنُ عُبَيْدٍ حَدَّثَنِى
الْحَجَّاجُ بْنُ أَرْطَاةَ عَنْ عَطَاءٍ وَعَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ جَابِرِ
بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم : لاَ تُنْكِحُوا
النِّسَاءَ إِلاَّ الأَكْفَاءَ .....(رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيّ- سنن الدرقطني -المكتبة الشاملة –
باب المهر- الجز ء : 8- صفحة : 385)
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin ‘Isa bin Sukkain
Al-Balady, telah menceritakan kepada kami Zakaria bin Hakam Ar-Ras’ani, telah
menceritakan kepada kami Abu Al-Mughirah Abdul Quddus bin Al-Hajjaj, telah
menceritakan kepada kami Mubasysyir bin Ubaid, telah menceritakan kepadaku
Al-Hajjaj bin Arthah, dari A‘tha’ dan Amr bin Dinar, dari Jabir bin Abdillah,
ia berkata , Rasulullah saw bersabda : Janganlah
kalian menikahi wanita-wanita kecuali yang setara (sekufu’).....
(HR.Ad-Daraquthni, sunan Ad-Daraquthni,
Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Al-Mahr, juz : 8, hal. 385)
Kafaah ini juga dapat kita fahami dari pernyataan Umar :
حَدَّثَنِى مِسْعَرٌ عَنْ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ عَنْ
إِبْرَاهِيمَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ طَلْحَةَ قَالَ قَالَ عُمَرُ : لأَمْنَعَنَّ فُرُوجَ ذَوَاتِ الأَحْسَابِ
إِلاَّ مِنَ الأَكْفَاءِ. (رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيّ- سنن الدرقطني
-المكتبة الشاملة – باب المهر- الجز ء :
9- صفحة : 58)
Telah menceritakan kepadaku
Mis’ar, dari Sa’ad bin Ibrahim, dari Ibrahim bin Muhammad bin Thalhah, ia
berkata, Umar berkata : Sungguh aku
akan mencegah pernikahan wanita yang memiliki kemuliaan nasab kecuali dari yang
setara (sekufu’). (HR.Ad-Daraquthni, sunan Ad-Daraquthni, Al-Maktabah
Asy-Syamilah, bab Al-Mahr, juz : 9, hal.
58)
Kafa’ah adalah bertujuan untuk mencegah
kecacatan atau kekurangan dan sebagai haq bagi si wanita dan walinya, bukanlah
menjadi syarat sahnya pernikahan. Oleh karena itu, bagi keduanya boleh mengggurkannya,
sebagaimana yang dipaparkan dalam kitab Mughni Al-Muhtaj :
فَصْلٌ فِي الْكَفَاءَةِ الْمُعْتَبَرَةِ فِي
النِّكَاحِ دَفْعًا لِلْعَارِ، وَلَيْسَتْ شَرْطًا فِي صِحَّةِ النِّكَاحِ، بَلْ
هِيَ حَقٌّ لِلْمَرْأَةِ وَالْوَلِيِّ فَلَهُمَا إسْقَاطُهَا.
Fashl tentang Kafa’ah (kesetaraan)
yang dilegalkan dalam pernikahan adalah bertujuan untuk mencegah
kecacatan/kekurangan. Dan bukanlah syarat dalam sahnya pernikahan, akan tetapi sebagai
haq bagi wanita dan walinya, maka bagi
keduanya boleh mengugurkannya. [3]
(Mughni Al-Muhtaj, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz 12, hal 169)
Dalam kitab Nailul Awthar
disinggung perkataan Imam Al-Khathabi tentang poin-poin dari kafa’ah sebagai berikut
:
قَالَ الْخَطَّابِيِّ : إنَّ الْكَفَاءَةَ
مُعْتَبَرَةٌ فِي قَوْلِ أَكْثَرِ الْعُلَمَاءِ بِأَرْبَعَةِ أَشْيَاءَ : الدِّينِ
وَالْحُرِّيَّةِ وَالنَّسَبِ وَالصِّنَاعَةِ
Imam Al-Khathabi berkata : Sesungguhnya kafaah yang dilegalkan dalam kebanyakan pendapat ulama adalah empat yaitu
(1) agama, (2) kemerdekaan, (3) nasab dan (4) pekerjaan.[4]
Kafa’ah Dalam Agama
Kafa’ah (setara) dalam agama telah menjadi kesepakatan para
ulama’, sehingga tidak halal bagi wanita muslimah menikah dengan laki-laki
kafir.[5] Imam Ahmad menegaskan, bahwa kafa’ah dalam agama adalah
hak Allah, sehingga tidak boleh digugurkan. Dan seandainya wali dan isteri rela
untuk menggugurkannya, maka kerelaannya itu tidak sah.[6] Allah melarang wanita mu’minah menikah dengan laki-laki
musyrik dan sebaliknya, sebagaimana dalam firman-Nya :
وَلَا تَنْكِحُوا
الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ
وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى يُؤْمِنُوا
وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ أُولَئِكَ
يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ
بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آَيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ (البقرة :221)
Dan janganlah kamu menikahi
wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang
mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran. (QS.Al-Baqarah : 221)
Manfaat dari kafa’ah dalam agama, antara lain adalah akan
mampu mengatasi masalah keluarga yang muncul dengan baik, karena sama-sama
sepakat meninjau masalah tersebut berdasarkan agama. Dan juga akan dapat mengatasi kesenjangan antara keduanya, seperti perbedaan status
social, back ground masing-masing,
perbedaan tingkat pendidikan, dan perbedaan budaya.
Kafa’ah Dalam Selain Agama
Kafa’ah (kesataraan) dalam kemerdekaan, nasab
(keturunan), dan pekerjaan itu penting,
namun yang terpenting dan yang perlu ditekankan adalah terciptanya keseimbangan, keharmonisan dan
keserasian, terutama dalam hal agama, yaitu iman, ibadah dan akhlak (Iman, Islam dan Ihsan). Dalam Islam tidak dibenarkan adanya kasta, karena kedudukan manusia di sisi Allah adalah sama, yang membedakan
adalah ketakwaannya.
Firman Allah :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى
وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ
اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (الحجرات :13)
Hai manusia, sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang
yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha
Mengenal. (QS.
Al-Hujurat : 13)
Rasulullah saw bersabda :
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ حَدَّثَنَا سَعِيدٌ الْجُرَيْرِيُّ
عَنْ أَبِي نَضْرَةَ حَدَّثَنِي مَنْ سَمِعَ خُطْبَةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي وَسَطِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ فَقَالَ : يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلَا إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ
وَاحِدٌ أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى أَعْجَمِيٍّ وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى
عَرَبِيٍّ وَلَا لِأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ وَلَا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلَّا
بِالتَّقْوَى.(رَوَاهُ احمد : 22391- مسند احمد -المكتبة
الشاملة – الجز ء : 47- صفحة : 478)
Telah menceritakan kepada kami [Isma'il], telah
menceritakan kepada kami [Sa'id Al Jurairi], dari [Abu Nadhrah], telah
menceritakan kepadaku [orang] yang pernah mendengar khutbah Rasulullah
saw, ditengah-tengah hari tasyriq,
beliau bersabda :
"Wahai sekalian manusia! Tuhan kalian satu, dan ayah kalian satu, ingat!
Tidak ada kelebihan bagi orang arab atas orang ajam dan bagi orang ajam atas
orang arab, tidak ada kelebihan bagi orang berkulit merah atas orang berkulit
hitam, bagi orang berkulit hitam atas orang berkulit merah kecuali dengan
ketakwaan. (HR.Ahmad
: 22391, Musnad Ahmad, Al-Maktabah
Asy-Syamilah, juz : 47, hal. 478)
Kafa’ah bisa gugur jika pihak wanita
dan walinya rela untuk menggugurkannya. Artinya seorang wanita boleh menikahi lelaki
yang nasab, pekerjaan dan statusnya berada di bawahnya, jika dia dan walinya
menyetujuinya.[7] Karena ini berarti
mereka siap untuk menanggung resiko yang akan terjadi di kemudian hari.
[1]. I’anatut-Thalibin, oleh Al-Bakary
Ad-Dimyathi, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz 3, hal. 377
[2]. Fiqhus Sunnah, oleh Sayyid Sabiq, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz 2, hal. 143
[3]. Mughni Al-Muhtaj, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz 12, hal 169.
[4]. Nailul Awthar, Al-Maktabah
Asy-Syamilah, juz 10, hal. 1
[5]. Nailul Awthar, Al-Maktabah
Asy-Syamilah, juz 10, hal. 1
[6]. Fiqhus Sunnah, oleh Sayyid Sabiq, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz 2, hal. 151
[7]. Al-Fatawa Al-Kubra, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz 2, hal. 474
Tidak ada komentar:
Posting Komentar