NIKAH
Pengertian Nikah
Nikah menurut bahasa adalah berkumpul dan
bergabung (اَلضَّمُّ
وَالْجَمْعُ).[1] Sedangkan
menurut Imam Zakaria Al-Anshari dalam Fathul Wahab : Nikah menurut bahasa adalah berkumpul dan hubungan seksual(اَلضّمُّ وَالْوَطْئُ) . Dan
menurut syara’ adalah Aqad yang memperbolehkan hubungan seksual dengan
kata menikahkan atau kata semisalnya (عقد يتضمن إباحة وطئ بلفظ إنكاح أو نحوه).[2]
Kata
Nikah Dalam Al Qur’an
Kata “Nikah” dalam Al-Qur’an dan As-Sunah
bisa berarti “akad nikah”, dan juga bisa berarti hubungan seksual. Contoh
kata nikah yang artinya “akad nikah” adalah firman Allah :
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي
الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ
وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
Dan
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang
yatim (bilamana kamu mengawininya), maka lakukanlah akad nikah
dengan wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau
empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (lakukanlah
akad nikah dengan) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya.
(QS.An-Nisa’ : 3)
وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آَبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا
Dan janganlah kamu lakukan akad nikah dengan wanita-wanita yang
telah melakukan akad
nikah dengan ayahmu, terkecuali
pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci
Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). (QS.An-Nisa’ : 22)
Adapun contoh kata nikah yang artinya
melakukan hubungan seksual adalah firman dalam surat Al-Baqarah ayat 230 :
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ
بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ
عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ
وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Kemudian
jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak
lagi halal baginya hingga dia nikah (melakukan hubungan seksual) dengan
suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak
ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali
jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah
hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.(QS.Al-Baqarah
: 230)
Imam Ar-Razi dalam tafsirnya mengtakan, bahwa
kata nikah ketika disandarkan kepad pasangan (suami-isteri), maka artinya
adalah Al-Wath-u الوطء (melakukan hubungan seksual),
bukan akad, karena seseorang itu tidak mungkin menikah (melakukan akad nikah)
dengan isterinya sendiri.[3]
Nikah dalam arti melakukan hubungan seksual
pada ayat di atas dikuatkan oleh hadist Aisyah radhiyallaahu ‘anhaa :
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ
الْأَعْمَشِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ الْأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَنْ رَجُلٍ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ يَعْنِي ثَلَاثًا فَتَزَوَّجَتْ
زَوْجًا غَيْرَهُ فَدَخَلَ بِهَا ثُمَّ طَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ يُوَاقِعَهَا
أَتَحِلُّ لِزَوْجِهَا الْأَوَّلِ قَالَتْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَحِلُّ لِلْأَوَّلِ حَتَّى تَذُوقَ عُسَيْلَةَ الْآخَرِ
وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَهَا. (رواه
ابو داود : 1965- سنن ابو داود – المكتبة الشاملة – باب المبتوتة لا يرجع
اليها زوجها حتى تنكح – الجزء : 6 – صفحة : 239)
Telah
menceritakan kepada kami [Musaddad], telah menceritakan kepada kami [Abu Mu'awiyah]
dari [Al-A'masy] dari [Ibrahim] dari [Al-Aswad], dari [Aisyah], ia berkata; Rasulullah
saw ditanya mengenai seorang laki-laki
yang mencerai isterinya tiga kali, kemudian wanita tersebut menikah dengan
laki-laki yang lain dan bertemu muka dengannya kemudian ia mencerainya sebelum
mencampuri, maka apakah ia halal bagi suaminya yang pertama? Aisyah berkata;
tidak. Nabi saw berkata: "Ia tidak
halal bagi suaminya yang pertama hingga ia merasakan manisnya (hubungan
seksual) dengan suaminya yang lain, dan ia (sang suami) juga merasakan manisnya
(hubungan seksual) dengannya." (HR.Abu Daud : 1965, Sunan Abu Daud,
Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Al-Mabtutah laa yarji’u ilaihaa zaujuhaa hattaa
tankiha, juz : 6, hal. 239)
Contoh dari hadits yang menunjukan bahwa arti
nikah adalah melakukan hubungan seksual adalah sabda Rasulullah saw :
و حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ
الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ حَدَّثَنَا ثَابِتٌ
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ الْيَهُودَ كَانُوا إِذَا حَاضَتْ
الْمَرْأَةُ فِيهِمْ لَمْ يُؤَاكِلُوهَا وَلَمْ يُجَامِعُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ
فَسَأَلَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى
{وَيَسْأَلُونَكَ عَنْ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا
النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ} إِلَى آخِرِ الْآيَةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلَّا النِّكَاحَ. (رواه مسلم : 455 – صحيح
مسلم– المكتبة الشاملة – باب جواز غسل الحائض رأس زوجها وترجيله – الجزء : 2– صفحة : 167)
Telah menceritakan kepadaku
[Zuhair bin Harb] telah menceritakan kepada kami [Abdurrahman bin Mahdi] telah
menceritakan kepada kami [Hammad bin Salamah] telah menceritakan kepada kami
[Tsabit] dari [Anas] bahwa kaum Yahudi dahulu apabila kaum wanita mereka haidh,
mereka tidak memberinya makan dan tidak mempergaulinya di rumah. Maka para
sahabat Nabi saw bertanya kepada Nabi saw.
Lalu Allah menurunkan ayat yang artinya : "Mereka bertanya kepadamu
tentang haidh. Katakanlah : 'Haidh itu adalah suatu kotoran'. Oleh sebab itu,
hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu
mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka
campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Allah
menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan
diri." (al-Baqarah: 222) maka Rasulullah saw bersabda :
"Perbuatlah segala sesuatu kecuali nikah, yaitu jima’ ". (HR.Muslim :
455, Shahih Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab jawazu ghaslil haaidh ra’sa
zaujihaa wa tarjilihii, juz : 2, hal. 167)
Setelah kita mengetahui bahwa nikah
mempunyai dua arti, yaitu akad nikah dan hubungan seksual, maka pertanyaan yang
muncul adalah bagaimana kita membedakan antara dua arti tersebut? Abu Bakar bin
Muhammad Al-Husaini di dalam Kifayah al-Akhyar menampilkan perkataan Al- Farisi : Untuk membedakan antara keduanya adalah
sebagai berkut : Jika dikatakan bahwa
seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan, yaitu fulanah binti fulan,
maka artinya bahwa laki-laki tersebut melakukan akad nikah dengannya.
Jika dikatakan bahwa seorang laki-laki menikah dengan isterinya, maka
artinya bahwa laki-laki tersebut melakukan hubungan seksual dengannya.[4]
Anjuran
Menikah
Banyak anjuran untuk menikah, baik di dalam
Al-Qur’an maupun hadits, antara lain adalah sebagai berikut :
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ
وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ
يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Dan
kawinkanlah orang-orang yang sedirian[5] diantara
kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang
lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan
memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi
Maha mengetahui.(QS.An-Nur : 32)
.....فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ
النِّسَاءِ.....
.....Maka
kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi.....
(QS.An-Nisa’ : 3)
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْأَزْهَرِ حَدَّثَنَا آدَمُ
حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ مَيْمُونٍ عَنْ الْقَاسِمِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ النِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِي فَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ
بِسُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي وَتَزَوَّجُوا فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ الْأُمَمَ
وَمَنْ كَانَ ذَا طَوْلٍ فَلْيَنْكِحْ وَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَعَلَيْهِ بِالصِّيَامِ
فَإِنَّ الصَّوْمَ لَهُ وِجَاءٌ. (رواه
ابن ماجه : 1836 – سنن ابن ماجه– المكتبة الشاملة – باب ما جاء في فضل النكاح– الجزء : 5– صفحة : 439)
Telah menceritakan kepada kami
[Ahmad bin Al Azhar] berkata, telah menceritakan kepada kami [Adam] berkata,
telah menceritakan kepada kami [Isa bin Maimun] dari [Al Qasim] dari ['Aisyah]
ia berkata, "Rasulullah saw
bersabda : "Menikah adalah sunnahku, barangsiapa tidak mengamalkan
sunnahku berarti bukan dari golonganku. Hendaklah kalian menikah, sungguh
dengan jumlah kalian aku akan berbanyak-banyakkan umat. Siapa memiliki
kemampuan harta hendaklah menikah, dan siapa yang tidak hendaknya berpuasa,
karena puasa itu merupakan tameng yang dapat meredakan nafsunya."(HR.Ibnu Majah
: 1836, Sunan Ibnu Majah, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab maa jaa fii fadhlin
Nikah, juz : 5, hal. 439)
حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصِ بْنِ غِيَاثٍ حَدَّثَنَا
أَبِي حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ قَالَ حَدَّثَنِي عُمَارَةُ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
بْنِ يَزِيدَ قَالَ دَخَلْتُ مَعَ عَلْقَمَةَ وَالْأَسْوَدِ عَلَى عَبْدِ
اللَّهِ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ كُنَّا
مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَبَابًا لَا نَجِدُ شَيْئًا
فَقَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ
فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ. (رواه البخاري : 4678 – صحيح البخاري
– المكتبة الشاملة – باب من لم يستطع الباءة فليصم – الجزء : 15– صفحة : 498)
Telah menceritakan kepada kami
[Amru bin Hafsh bin Ghiyats], telah menceritakan kepada kami [bapakku], telah
menceritakan kepada kami [Al-A'masy] ia berkata; Telah menceritakan kepadaku
[Umarah], dari [Abdurrahman bin Yazid] ia berkata; Aku, Al-Qamah dan Al-Aswad
pernah menemui [Abdullah], lalu ia pun berkata; Pada waktu muda dulu, kami
pernah berada bersama Nabi saw. Saat itu, kami tidak ada sesuatu pun, maka
Rasulullah saw bersabda kepada kami : "Wahai sekalian pemuda, siapa
diantara kalian telah mempunyai kemampuan, maka hendaklah ia menikah, karena menikah
itu dapat menundukkan pandangan, dan juga lebih bisa menjaga kemaluan. Namun,
siapa yang belum mampu, hendaklah ia berpuasa, sebab hal itu merupakan tameng
yang dapat meredakan nafsunya." (HR. Bukhari : 4678, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab man yastathi’
Al-Baa-ata fal-Yashum, juz : 15, hal.
498)
حَدَّثَنَا حَسَنٌ حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ
حَدَّثَنِي حُيَيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ
الْحُبُلِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ انْكِحُوا أُمَّهَاتِ الْأَوْلَادِ فَإِنِّي
أُبَاهِي بِهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه احمد : 6310 – مسند احمد– المكتبة الشاملة – باب مسند عبد الله بن عمرو
بن العاص – الجزء : 13– صفحة : 348)
Telah menceritakan kepada kami [Hasan], telah
menceritakan kepada kami [Ibnu Lahi'ah], telah menceritakan kepadaku [Huyai
Ibnu Abdullah], dari [Abu Abdurrahman Al Hubuli], dari [Abdullah bin 'Amru],
bahwa Rasulullah SAW bersabda :
"Nikahilah ibu-ibu dari anak-anak (yaitu wanita-wanita yang bisa
melahirkan) karena sesungguhnya aku akan membanggakan mereka pada hari
kiamat." (HR. Ahmad :
6310, Musnad Ahmad, Al-Maktabah
Asy-Syamilah, bab Musnad Abdullah bin Amr bin Al-sh, juz : 13, hal. 348)
حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ آدَمَ وَزَيْدُ بْنُ
أَخْزَمَ قَالَا حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ هِشَامٍ حَدَّثَنَا أَبِي عَنْ قَتَادَةَ
عَنْ الْحَسَنِ عَنْ سَمُرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ نَهَى
عَنْ التَّبَتُّلِ زَادَ زَيْدُ بْنُ أَخْزَمَ وَقَرَأَ قَتَادَةُ
[وَلَقَدْ
أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً]. (رواه ابن ماجه : 1839 – سنن ابن ماجه– المكتبة الشاملة – باب النهي
عن التبتل– الجزء : 5– صفحة : 443)
Telah menceritakan kepada kami
[Bisyr bin Adam] dan [Zaid bin Akhzam] keduanya berkata; telah menceritakan
kepada kami [Mu'adz bin Hisyam] berkata, telah menceritakan kepada kami
[Bapakku] dari [Qatadah] dari [Al Hasan] dari [Samurah] berkata :
"Rasulullah saw melarang hidup membujang." Zaid bin Akhzam
menambahkan, "Qatadah membaca ayat : "Dan telah Kami utus
rasul-rasul sebelum kamu, dan Kami jadikan bagi mereka isteri-isteri dan
keturunan." (QS. Ar Ra'ad: 38). (HR.Ibnu Majah
: 1836, Sunan Ibnu Majah, Al-Maktabah Asy-Syamilah, babnnahy ‘anit tabattul, juz : 5, hal. 443)
[1]. Abu Bakar bin Muhammad
Al-Husaini, Kifayatul Al-Akhyar, juz 2, Darul ‘ilmi,
Surabaya Indonesia, anpa tahun, halaman : 31
[2].
Zakaria Al-Anshari, Fathul Wahab, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz 2,
halaman 53
[3]. Baca tafsir Ar-Razi, Al-Maktabah
Asy-Syamilah, juz 5, hal. 124
[4].
Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, Kifayatul Al-Akhyar,
juz 2, Darul ‘ilmi, Surabaya Indonesia, anpa tahun, halaman : 31
[5]. Maksudnya: hendaklah laki-laki yang belum
kawin atau wanita- wanita yang tidak bersuami, dibantu agar mereka dapat kawin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar