Rabu, 30 September 2015

HUKUM MENIKAH



Hukum Menikah
Berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, islam sangat menganjurkan kepada kaum muslimin yang mampu untuk melangsungkan pernikahan.  Dan untuk memahami hukum menikah,  perlu kita melihat dari dua aspek, yaitu (1) hukum asal pernikahan, (2) kondisi orang yang melaksanakan pernikahan.

Hukum Asal Pernikahan

Adapun hukum asal dari pernikahan, para ulama berbeda pendapat :
1.  Wajib.  Hukum asal pernikahan adalah wajib,  bagi seseorang yang mampu (jasmani dan ekonomi) untuk menikah, karena pada dasarnya perintah itu menunjukkan kewajiban. Dalil yang di kemukakan oleh mereka, antara lain :
a.  Zahirnya hadist Abdullah bin Mas’ud ra,  bahwasanya ia berkata[1] : 
حَدَّثَنَا عَبْدَانُ عَنْ أَبِي حَمْزَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ عَلْقَمَةَ قَالَ بَيْنَا أَنَا أَمْشِي مَعَ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقَالَ : كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : مَنْ اسْتَطَاعَ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ. (رواه البخاري: 1772صحيح   البخار – المكتبة الشاملة– باب الصوم لمن خاف على نفسه العزبة– الجزء :6– صفحة : 476)
Telah menceritakan kepada kami ['Abdan] dari [Abu Hamzah] dari [Al A'masy] dari [Ibrahim] dari ['Alqamah] berkata; Ketika aku sedang berjalan bersama ['Abdullah ra], dia berkata : Kami pernah bersama Nabi saw yang ketika itu beliau bersabda : "Barangsiapa yang sudah mampu (menafkahi keluarga), hendaklah dia kawin (menikah) karena menikah itu lebih bisa menundukkan pandangan dan lebih bisa menjaga kemaluan. Barangsiapa yang tidak sanggup (manikah) maka hendaklah dia berpuasa karena puasa itu akan menjadi benteng baginya". (HR. Bukhari : 1772, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Ash-Shaum liman khaafa ‘alaa nafsihii Al-‘Izbah,  juz : 6, hal. 476)
Dalam hadist di atas Rasulullah saw  memerintahkan para pemuda untuk menikah dengan sabdanya فَلْيَتَزَوَّجْ falyatazawwaj” (hendaklah dia  menikah),  kalimat tersebut mengandung perintah. Di dalam kaidah ushul fiqh disebutkan : أَلْأَصْلُ فِى الْأَمْرِ لِلْوُجُوْبِ al ashlu fi al amri  lil wujub” (Pada dasarnya perintah itu mengandung arti wajib).
b.    Hadist Anas Bin Malik Radhiyallahu Ta’ala :  
و حَدَّثَنِي أَبُو بَكْرِ بْنُ نَافِعٍ الْعَبْدِيُّ حَدَّثَنَا بَهْزٌ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ نَفَرًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَأَلُوا أَزْوَاجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ عَمَلِهِ فِي السِّرِّ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا أَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا آكُلُ اللَّحْمَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا أَنَامُ عَلَى فِرَاشٍ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ فَقَالَ مَا بَالُ أَقْوَامٍ قَالُوا كَذَا وَكَذَا لَكِنِّي أُصَلِّي وَأَنَامُ وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي. (رواه مسلم : 2487 – صحيح مسلم – المكتبة الشاملة – باب استحباب النكاح لمن تاقت نفسه اليه ووجد – الجزء : 7 صفحة : 175)
Dan telah menceritakan kepadaku [Abu Bakar bin Nafi' Al Abdi] telah menceritakan kepada kami [Bahz] telah menceritakan kepada kami [Hammad bin Salamah] dari [Tsabit] dari [Anas] bahwa sekelompok orang dari kalangan sahabat Nabi saw  bertanya kepada isteri-isteri Nabi saw  mengenai amalan beliau yang tersembunyi. Maka sebagian dari mereka pun berkata : "Saya tidak akan menikah." Kemudian sebagian lagi berkata : "Aku tidak akan makan daging." Dan sebagian lain lagi berkata : "Aku tidak akan tidur di atas kasurku." Mendengar ucapan-ucapan itu, Nabi saw memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian beliau bersabda : "Ada apa dengan mereka? Mereka berkata begini dan begitu, padahal aku sendiri shalat dan juga tidur, berpuasa dan juga berbuka, dan aku juga menikahi wanita. Maka siapasaja yang membenci sunnahku, berarti bukan dari golonganku. (HR.Muslim : 2487, Shahih Muslim, Al-Maktabah Asyamilah, bab istihbaabun nikah liman taaqa nafsyhuu ilahih wa wajada, juz : 7, hal. 175)
Makna kalimat : “......, berarti bukan dari golonganku adalah “tidak berada atas agamaku”.[2] Ketika Rasulullah saw, menyatakan : “tidak berada atas agamanya”, maka keyakinan yang demikian itu termasuk satu jenis atau sifat dari kekafiran. Karena dengan meninggalkan nikah, padahal ia mampu, berarti telah memiliki sifat kekafiran, yang sifat itu tidak disukai Allah dan Rasul-Nya, bahkan pelakunya diancam dengan azab. Untuk itu, wajib meninggalkan kekafiarn tersebut dengan cara menikah, sehingga menikah hukumnya wajib.
c.     Tidak menikah itu merupakan bentuk penyerupaan terhadap orang-orang Nashara (cara hidup biarawan/biarawati atau kependetaan), sedang menyerupai mereka di dalam masalah ibadat adalah haram. Karena dengan meninggalkan nikah, padahal ia mampu, merupakan bentuk penyerupaan dengan orang-orang Nashara yang meninggalkan nikah sebagai bentuk peribadatan mereka. Sedangkan menyerupai ibadat non muslim hukumnya adalah haram. Karena menyerupai mereka haram, maka wajib meninggalkan penyerupaan tersebut dengan cara menikah, sehingga menikah hukumnya wajib.[3]
d.    Rasulullah saw  melarang untuk membujang sebagaimana dalam sabdanya :
حَدَّثَنَا أَبُو هِشَامٍ الرِّفَاعِيُّ وَزَيْدُ بْنُ أَخْزَمَ الطَّائِيُّ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْبَصْرِيُّ قَالُوا حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ هِشَامٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ سَمُرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ   نَهَى عَنْ التَّبَتُّلِ. (رواه الترمذي:  1002 – سنن الترمذي – المكتبة الشاملة – باب ما جاء فى النهي عن التبتل - – الجزء : - 4- صفحة :  257)
Telah menceritakan kepada kami [Abu Hisyam Ar Rifa'i] dan [Zaid bin Akhzam Ath Tha`i] dan [Ishaq bin Ibrahim Al Bashri] mereka berkata; Telah menceritakan kepada kami [Mu'adz bin Hisyam] dari [Bapaknya] dari [Qatadah] dari [Al Hasan] dari [Samurah] bahwa Nabi  saw melarang membujang. (HR.Tirmidzi : 1002,  Sunan Tirmidzi, Al-Maktabah Asyamilah, bab maa jaa-a fin-Nahyi ‘anit Tabattul,  juz : 4, hal. 257)
Abu Isa berkata; "Zaid bin Akhzam menambahkan dalam haditsnya, lalu Qatadah membaca ayat Al-Qur’an surat Ar-Ra’du ayat 38 Yang menjelaskan bahwa menikah itu merupakan perilaku para utusan Allah swt sebagaimana dalam firman-Nya :
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً وَمَا كَانَ لِرَسُولٍ أَنْ يَأْتِيَ بِآيَةٍ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ لِكُلِّ أَجَلٍ كِتَابٌ (الرعد :38)
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada kitab (yang tertentu). (QS.Ar-Ra’du : 38)
2.  Sunnah. Hukum asal dari pernikahan adalah “sunnah”, bukan wajib. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama.  Adapun dalil-dalil yang dikemukan oleh mereka, antara lain sebagai berikut :  
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا. (النساء : 3)
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Imam Al-Maziri Berkata : “Ayat di atas merupakan dalil mayoritas ulama bahwa menikah hukumnya “sunnah”, karena Allah swt, memberikan pilihan antara menikah atau mengambil budak secara sepakat. Seandainya menikah itu wajib, maka Allah tidaklah memberikan pilhan antara menikah atau mengambil budak. Karena menurut ulama ushul fiqh bahwa memberikan pilihan antara yang wajib dan yang tidak wajib, akan menyebabkan hilangnya hakikat wajib itu sendiri, dan akan menyebabkan orang yang  meninggalkan kewajiban tidak berdosa.[4]
Imam Nawawi dalam syarah Muslim berkata : Perintah menikah bagi orang yang mampu dan jiwanya bersemangat untuk menikah seperti dalam hadis ini (hadist Abdullah bin Mas’ud ra),  menurut kami dan banyak ulama, bahwa perintah tersebut sifatnya anjuran, dan bukan wajib. Karena itu, tidak wajib harus menikah atau memiliki budak wanita, baik khawatir zina atau tidak. Inilah madzhab umumnya ulama, dan saya tidak mengetahui seorangpun yang mengatakan wajib nikah kecuali Daud Azh-Zhahiri dan orang yang mengikuti madzhab Zahiriyah, serta salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Mereka berpendapat, seorang lelaki wajib nikah atau memiliki budak wanita jika khawatir terjerumus ke dalam zina.[5]
Kondisi Orang Yang Melaksanakan Pernikahan
 Kalau kita melihat dari segi kondisi orang yang melaksanakan pernikahan dan tujuan dari pernikahan itu,  maka  Ibnu Daqiq Al-Ied berkata : “Para Fuqaha membagi hukum nikah menjadi lima, yaitu : wajib, haram, makruh, sunah dan mubah.” [6]
1. Wajib
Nikah hukumnya wajib, bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk menikah dan dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina seandainya tidak menikah. Hal ini didasarkan pada pemikiran hukum bahwa setiap muslim wajib menjaga diri untuk tidak berbuat yang terlarang. Jika penjagaan diri itu harus dengan melakukan pernikahan, sedang menjaga diri itu wajib, maka hukum melakukan pernikahan itupun wajib.
2. Haram
Nikah  hukumnya haram, bagi orang yang tidak mempunyai kemauan dan kemampuan untuk menikah serta tidak dapat bertanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga sehingga apabila melangsungkan pernikahan akan terlantarlah dirinya dan istrinya. Termasuk juga hukumnya haram bila pernikahan dilakukan dengan maksud untuk menzalimi atau menelantarkan orang lain. Misalnya hak-hak wanita yang dinikahi itu tidak diberikan, atau hanya karena ingin menguasai harta kekayaan wanita dll.
3. Makruh
Nikah hukumnya makruh, bagi orang yang tidak mempunyai kemauan atau keinginan untuk menikah, (umpama : lemah syahwat) dan tidak pula mempunyai kemampuan untuk menikah. Dikatakan makruh, karena dia tidak membutuhkan wanita untuk dinikahi, tetapi dia harus mencari harta untuk menafkahi istri yang sebenarnya tidak dibutuhkan olehnya. Dalam keadaan seperti ini, kemungkinan besar adalah isterinya tidak akan mendapatkan nafkah batin, kecuali sedikit sekali, karena sebenarnya suaminya tidak membutuhkannya dan tidak terlalu tertarik dengan wanita. Begitu juga seseorang yang mempunyai keinginan untuk menikah,  tetapi tidak punya harta untuk memberikan nafkah. 
4. Sunnat
Nikah  hukumnya sunnat, bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk melangsungkan pernikahan, tetapi kalau tidak menikah tidak dikhawatirkan akan berbuat zina. Alasannya adalah dalam surah An-Nuur ayat 32 dan hadits Nabi yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud yang dikemukakan dalam menerangkan sikap agama Islam terhadap pernikahan. Baik ayat Al-Quran maupun As Sunnah tersebut berbentuk perintah, tetapi berdasarka qorinah-qorinah yang ada, perintah Nabi tidak memfaedahkan hukum wajib, tetapi hukum sunnat saja.
5. Mubah
Nikah hukumnya mubah, bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk menikah, tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak akan menelantarkan istri. Pernikahan orang tersebut hanya didasarkan untuk memenuhi kesenangan bukan dengan tujuan menjaga kehormatan agamanya dan membina keluarga sejahtera. Hukum mubah ini juga ditujukan bagi orang yang antara pendorong dan penghambatnya untuk menikah itu sama, sehingga menimbulkan keraguan orang yang akan menikah seperti mempunyai keinginan tetapi belum mempunyai kemampuan, mempunyai kemampuan tetapi belum mempunyai kemauan yang kuat.



[1]. Baca tafsir Ibnu Katsir, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz : 6, hal. 51
[2]. Baca Fathul Bari oleh Ibnu Hajar, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab At-Targhib Fin-Nikah, juz : 14, hal. 290  
[3]. Baca Fathul Bari oleh Ibnu Hajar, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab At-Targhib Fin-Nikah, juz : 14, hal. 290 - 283
[4]. Baca Syarhun Nawawi ‘alaa Muslim,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab istihbaabun nikah liman taaqa nafsyhuu ilahih wa wajada, juz : 5, hal. 70
[5].Ibid, hal. 70
[6].  Baca  Fathul Bary Libni Hajar, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz : 14, hal. 293

Tidak ada komentar:

Posting Komentar