AL-KHULU’
Al-Khulu' menurut bahasa berarti : فِرَاقُ
الزَّوْجَةِ عَلَى مَالٍ (Melepaskan
istri dengan ganti rugi harta). Hal ini diambil dari kata خَلَعَ الثَّوْب (melepaskan atau menanggalkan
pakaian), karena
seorang istri adalah pakaian seorang suami, secara makna (kiasan).[1] Dan Al-Khulu' menurut syara’ adalah pernyataan cerai dengan pembayaran
ganti rugi (dari isteri) yang diambil oleh suami.[2]
Lalu kata Al-Khulu' tersebut
digunakan untuk istilah wanita yang meminta kepada suaminya untuk melepas dirinya
dari ikatan pernikahan atau disebut dengan “Gugatan Cerai”. Pasangan suami
isteri yang dimisalkan sebagai pakaian diabadikan dalam Al-Qur’an. Allah
berfirman :
هُنَّ
لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ
Mereka itu
adalah pakaian, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. (QS.Al-Baqarah : 187)
Al-Khulu’ boleh dilakukan, apabila perselisihan diantara suami istri tidak bisa lagi
dilakukan pemulihan hubungan yang baik, sementara si istri sudah sikap keras untuk
berpisah dari suaminya, maka isteri boleh gugat cerai dengan menyerahkan
sejumlah harta kepada suaminya, berdasarkan firman Allah
swt :
وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا
آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ
اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا ۚ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ
فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Tidak halal
bagi kalian mengambil kembali sesuatu dari yang telah kalian berikan kepada
mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah. Jika kalian khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak
dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang
bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum
Allah, maka janganlah kalian melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar
hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim’ (QS.Al-Baqarah : 229)
Rasulullah saw bersabda dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan dari imam Bukhari sebagai berikut :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
الْمُبَارَكِ الْمُخَرِّمِيُّ حَدَّثَنَا قُرَادٌ أَبُو نُوحٍ حَدَّثَنَا جَرِيرُ
بْنُ حَازِمٍ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا قَالَ : جَاءَتْ امْرَأَةُ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ إِلَى
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا
أَنْقِمُ عَلَى ثَابِتٍ فِي دِينٍ وَلَا خُلُقٍ إِلَّا أَنِّي أَخَافُ الْكُفْرَ
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ
حَدِيقَتَهُ فَقَالَتْ نَعَمْ فَرَدَّتْ عَلَيْهِ وَأَمَرَهُ فَفَارَقَهَا. (رواه البخاري
: 4869– صحيح البخاري– المكتبة الشاملة- باب الخلع
وكيفية الطلاق فيه- الجزء 16 – صفحة : 322)
Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Abdullah bin Al-Mubarak Al-Mukharrimi, telah menceritakan kepada
kami Qurad Abu Nuh, telah menceritakan kepada kami Jarir bin Hazim, dari Ayyub,
dari ‘Ikrimah, dari Ibnu Abbas ra, ia berkata : Isteri Tsabit bin Qais bin Syammas mendatangi Nabi saw seraya berkata : “Wahai Rasulullah, aku tidak
membenci Tsabit dalam agama dan akhlaknya. Aku hanya takut kufur”. Maka
Rasulullah saw bersabda : “Maukah kamu mengembalikan kepadanya kebunnya?”. Ia
menjawab : “Ya”, maka ia mengembalikan kepadanya dan Rasulullah saw memerintahkannya,
dan Tsabit pun menceraikannya” (HR. Bukhari : 4869, Shahih Bukhari,
Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Al-Khulu’ Wal-Kaifiyyah Ath-Thalaq fiihi, juz 16, hal. 322)
Dalam masalah khulu’ ini, para ulama berselisih pendapat
dalam tiga pandangan [3] :
1. Madzhab Abu Hanifah, Malik dan
Syafi’i dalam qaul jadid, berpendapat : Al-Khulu adalah thalak bain.
2. Ibnu Hazm berpendapat : Al-Khulu adalah thalak raj’i.
3. Ibnu Abbas, Asy-Syafi’i, Ishaq bin
Rahuyah dan Dawud Azh-Zhahiri, berpendapat :
Al-Khulu adalah faskh (penghapusan akad nikah) dan bukan thalak.[4]
Hukum Al-Khulu’ terdapat perbedaaan pandangan dikalangan para ulama’
sebagai berikut :
1. Mubah (boleh).
Ketentuan
hukum mubah adalah sang isteri sudah benci tinggal bersama suaminya karena
kebencian dan karena takut tidak dapat menunaikan hak suaminya dan tidak dapat
menegakkan batasan-batasan atau hukum-hukum Allah swt, dalam ketaatan
kepadanya, dengan dasar firman Allah swt :
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ
اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ
Jika kalian
khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum
Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh
isteri untuk menebus dirinya (QS.Al-Baqarah : 229)
2. Haram
Ketentuan
hukum haram terhadap Al-Khulu dapat dilihat dari Dua Keadaan sebagai
berikut :
a.
Dari Sisi Suami. Apabila suami menyusahkan isteri dan
memutus hubungan komunikasi dengannya, atau dengan sengaja tidak memberikan
hak-haknya dan sejenisnya agar sang isteri membayar tebusan kepadanya dengan
jalan gugatan cerai, maka Al-Khulu itu batil, dan tebusannya dikembalikan
kepada wanita. Sedangkan status wanita itu tetap seperti asalnya jika Al-Khulu
tidak dilakukan dengan lafazh thalak, dengan dasar firman Allah saw :
وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ
مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ
Janganlah kalian menyusahkan
mereka karena hendak mengambil kembali sebagian kecil dari apa yang telah
kalian berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang
nyata. (QS.An-Nisa : 19)[6]
Peringatan bagi suami agar tidak
mempersulit atau menyusahkan Istrinya. Apabila seorang suami tidak menyukai
istrinya karena suatu sebab tertentu yang ada pada istri dan tidak ditemukan
jalan keluar kecuali ketidak sukaan yang mendominan pada suami, maka hendaklah
suami tersebut menceraikan istrinya dengan cara yang baik dan tidak boleh tetap
menahan istrinya dengan ikatan pernikhan hanya karena ingin menyusahkan
istrinya tersebut. Allah swt berfirman :
وَإِذَا
طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ
سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ ۚ وَلَا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ
نَفْسَهُ ۚ
وَلَا تَتَّخِذُوا آيَاتِ اللَّهِ هُزُوًا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ
وَمَا أَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِنَ الْكِتَابِ وَالْحِكْمَةِ يَعِظُكُمْ بِهِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ
بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Dan apabila kalian mentalak
istri-istri kalian, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujuklah mereka
dengan cara yang ma'ruf atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula).
Janganlah kalian menahan mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan
demikian kalian menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh
ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kalian jadikan
hukum-hukum Allah sebagai permainan, dan ingatlah nikmat Allah pada kalian, dan
apa yang telah diturunkan Allah kepada kalian yaitu Al-Kitab dan Al Hikmah (As-Sunnah).
Allah memberi pengajaran kepada kalian dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan
bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui
segala sesuatu. (QS. Al-Baqarah : 231)
b. Dari Sisi Isteri. Apabila seorang
isteri meminta cerai padahal hubungan rumah tangganya baik dan tidak terjadi
perselisihan maupun pertengkaran di antara pasangan suami isteri tersebut.
Serta tidak ada alasan syar’i yang membenarkan adanya Al-Khulu, maka ini
dilarang, berdasarkan sabda Rasulullah saw :
سُلَيْمَانُ
بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ أَبِي
أَسْمَاءَ عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ : أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا
طَلَاقًا فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ. (رواه
ابو داود : 1899– سنن ابو داود - المكتبة الشاملة- باب في الخلع - الجزء
6 – صفحة : 142)
Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb, telah
menceritakan kepada kami Hammad, dari Ayyub, dari Abu Qilabah, dari Abu Asma’, dari Tsauban, ia bekata :
Rasulullah sw bersabda : Wanita (isteri) mana saja yang
meminta cerai (gugat cerai) kepada
suaminya tanpa alasan yang dibenarkan (oleh agama), maka haram baginya mencium
bau surga. (HR. Abu Daud : 1899, Sunan Abu Dawud, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Fi Al-Khulu’,
juz 6, hal.142)
حَدَّثَنَا
أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا مُزَاحِمُ بْنُ ذَوَّادِ بْنِ عُلْبَةَ عَنْ أَبِيهِ
عَنْ لَيْثٍ عَنْ أَبِي الْخَطَّابِ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ أَبِي إِدْرِيسَ
عَنْ ثَوْبَانَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
الْمُخْتَلِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ. (رواه الترمذي
: 1107– سنن الترمذي- المكتبة
الشاملة- باب ما جاء فى المختلعات - الجزء 4– صفحة : 432)
Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, Telah
menceritakan kepada kami Muzahim bin
Dzawwad bin ‘Ulbah, dari ayahnya, dari Laits, dari Abi Al-Khthab, dari Abi
Zur’ah, dari Idris, dari Tsauban, dari Nabi saw, beliau bersabda : Para wanita
yang melakukan khulu' adalah para wanita munafiq. (HR. Tirmidi : 1107, Sunan Tirmidi, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Maa jaa-a
Fil-Mukhtali’aat, juz 4, hal.432)
Memahami hadits di atas, ada
peringatan bagi seorang istri, hendaklah berhati-hati dan tidak bergampang-gampang
gugat cerai atau meminta cerai/pisah, kecuali dengan syarat yang dibolehkan
oleh syari'at.
3. Mustahab (Sunnah)
Mustahab (Sunnah) wanita gugat cerai (Al-Khulu), apabila
suami meremehkan hak-hak Allah, maka sang isteri disunnahkan gugat cerai (Al-Khulu).
Demikian menurut madzhab Ahmad bin Hanbal. [7]
4. Wajib
Terkadang Al-Khulu hukumnya menjadi wajib pada sebagiaan
keadaan. Misalnya terhadap orang (suami) yang tidak pernah melakukan shalat,
padahal telah diingatkan. Demikian juga seandainya sang suami memiliki
keyakinan atau perbuatan yang dapat menyebabkan keyakinan sang isteri keluar
dari Islam (murtad). Dalam keadaan seperti itu, seorang wanita (isteri) wajib gugat
cerai (Al-Khulu) dari suaminya.[8]
[1]. Baca Fathul bari, Al-Maktabah
Asy-Syamilah, bab Al-Khulu’ wa kaifiyatuth Thalaq Fiih, juz : 15, hal. 102
[2]. Baca Kifayatul Akhyar oleh Imam
Taqiyuddin, juz 2, Darul ilmi, surabaya, tanpa tahun, hal.64
[5]. Dinukil dari
Taudhihul Ahkam, 5/469. Shahih fiqhis Sunnah, 3/341-343, dan Jami Ahkamun Nisa,
4/153-154.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar