Kamis, 02 Maret 2017

AL-KHULU'



AL-KHULU’
Al-Khulu' menurut bahasa berarti  : فِرَاقُ الزَّوْجَةِ عَلَى مَالٍ (Melepaskan istri dengan ganti rugi harta). Hal ini diambil dari kata خَلَعَ الثَّوْب (melepaskan atau menanggalkan pakaian), karena seorang istri adalah pakaian seorang suami, secara makna (kiasan).[1]  Dan Al-Khulu' menurut syara’ adalah pernyataan cerai dengan pembayaran ganti rugi (dari isteri) yang diambil oleh suami.[2]
Lalu kata Al-Khulu' tersebut digunakan untuk istilah wanita yang meminta kepada suaminya untuk melepas dirinya dari ikatan pernikahan atau disebut dengan “Gugatan Cerai”. Pasangan suami isteri yang dimisalkan sebagai pakaian diabadikan dalam Al-Qur’an. Allah berfirman :
هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ
Mereka itu adalah pakaian, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. (QS.Al-Baqarah : 187)
Al-Khulu’ boleh dilakukan, apabila perselisihan diantara suami istri tidak bisa lagi dilakukan pemulihan hubungan yang baik, sementara si istri sudah sikap keras untuk berpisah dari suaminya, maka isteri boleh gugat cerai dengan menyerahkan sejumlah harta kepada suaminya, berdasarkan firman Allah swt  :
وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا ۚ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Tidak halal bagi kalian mengambil kembali sesuatu dari yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kalian khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kalian melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim’ (QS.Al-Baqarah : 229)
Rasulullah saw bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari imam Bukhari sebagai berikut :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُبَارَكِ الْمُخَرِّمِيُّ حَدَّثَنَا قُرَادٌ أَبُو نُوحٍ حَدَّثَنَا جَرِيرُ بْنُ حَازِمٍ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : جَاءَتْ امْرَأَةُ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا أَنْقِمُ عَلَى ثَابِتٍ فِي دِينٍ وَلَا خُلُقٍ إِلَّا أَنِّي أَخَافُ الْكُفْرَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ فَقَالَتْ نَعَمْ فَرَدَّتْ عَلَيْهِ وَأَمَرَهُ فَفَارَقَهَا. (رواه البخاري :  4869– صحيح البخاري– المكتبة الشاملة- باب الخلع وكيفية الطلاق فيه- الجزء  16 – صفحة :   322)
 Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah bin Al-Mubarak Al-Mukharrimi, telah menceritakan kepada kami Qurad Abu Nuh, telah menceritakan kepada kami Jarir bin Hazim, dari Ayyub, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu Abbas ra, ia berkata : Isteri Tsabit bin Qais bin Syammas mendatangi Nabi saw  seraya berkata : “Wahai Rasulullah, aku tidak membenci Tsabit dalam agama dan akhlaknya. Aku hanya takut kufur”. Maka Rasulullah saw bersabda : “Maukah kamu mengembalikan kepadanya kebunnya?”. Ia menjawab : “Ya”, maka ia mengembalikan kepadanya dan Rasulullah saw memerintahkannya, dan Tsabit pun menceraikannya” (HR. Bukhari : 4869, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Al-Khulu’ Wal-Kaifiyyah Ath-Thalaq fiihi,  juz 16, hal. 322)
Dalam masalah  khulu’ ini, para ulama berselisih pendapat dalam tiga pandangan [3] :
1.  Madzhab Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i dalam qaul jadid, berpendapat : Al-Khulu adalah thalak bain.
2.   Ibnu Hazm berpendapat :  Al-Khulu adalah thalak raj’i.
3.  Ibnu Abbas, Asy-Syafi’i, Ishaq bin Rahuyah dan Dawud Azh-Zhahiri, berpendapat :  Al-Khulu adalah faskh (penghapusan akad nikah) dan bukan thalak.[4]
Hukum Al-Khulu’[5]
Hukum Al-Khulu’ terdapat  perbedaaan pandangan dikalangan para  ulama’  sebagai berikut :
1.  Mubah (boleh).
Ketentuan hukum mubah adalah sang isteri sudah benci tinggal bersama suaminya karena kebencian dan karena takut tidak dapat menunaikan hak suaminya dan tidak dapat menegakkan batasan-batasan atau hukum-hukum Allah swt, dalam ketaatan kepadanya, dengan dasar firman Allah swt :
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ
Jika kalian khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya (QS.Al-Baqarah : 229)
2.  Haram
Ketentuan hukum haram terhadap Al-Khulu dapat dilihat dari Dua Keadaan sebagai berikut  :
a.     Dari Sisi Suami. Apabila suami menyusahkan isteri dan memutus hubungan komunikasi dengannya, atau dengan sengaja tidak memberikan hak-haknya dan sejenisnya agar sang isteri membayar tebusan kepadanya dengan jalan gugatan cerai, maka Al-Khulu itu batil, dan tebusannya dikembalikan kepada wanita. Sedangkan status wanita itu tetap seperti asalnya jika Al-Khulu tidak dilakukan dengan lafazh thalak, dengan dasar firman  Allah saw :
وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ
Janganlah kalian menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian kecil dari apa yang telah kalian berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. (QS.An-Nisa : 19)[6]  
Peringatan bagi suami agar tidak mempersulit atau menyusahkan Istrinya. Apabila seorang suami tidak menyukai istrinya karena suatu sebab tertentu yang ada pada istri dan tidak ditemukan jalan keluar kecuali ketidak sukaan yang mendominan pada suami, maka hendaklah suami tersebut menceraikan istrinya dengan cara yang baik dan tidak boleh tetap menahan istrinya dengan ikatan pernikhan hanya karena ingin menyusahkan istrinya tersebut. Allah swt berfirman :
وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ ۚ وَلَا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ ۚ وَلَا تَتَّخِذُوا آيَاتِ اللَّهِ هُزُوًا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَمَا أَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِنَ الْكِتَابِ وَالْحِكْمَةِ يَعِظُكُمْ بِهِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Dan apabila kalian mentalak istri-istri kalian, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujuklah mereka dengan cara yang ma'ruf atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). Janganlah kalian menahan mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kalian menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kalian jadikan hukum-hukum Allah sebagai permainan, dan ingatlah nikmat Allah pada kalian, dan apa yang telah diturunkan Allah kepada kalian yaitu Al-Kitab dan Al Hikmah (As-Sunnah). Allah memberi pengajaran kepada kalian dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Baqarah : 231)
b.     Dari Sisi Isteri. Apabila seorang isteri meminta cerai padahal hubungan rumah tangganya baik dan tidak terjadi perselisihan maupun pertengkaran di antara pasangan suami isteri tersebut. Serta tidak ada alasan syar’i yang membenarkan adanya Al-Khulu, maka ini dilarang, berdasarkan sabda Rasulullah saw :
سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ أَبِي أَسْمَاءَ عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلَاقًا فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ. (رواه ابو داود : 1899سنن ابو داود - المكتبة الشاملة- باب في الخلع - الجزء  6 – صفحة :  142)
Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb, telah menceritakan kepada kami Hammad, dari Ayyub, dari Abu Qilabah, dari  Abu Asma’, dari Tsauban, ia bekata : Rasulullah sw bersabda : Wanita (isteri) mana saja yang meminta cerai (gugat cerai) kepada suaminya tanpa alasan yang dibenarkan (oleh agama), maka haram baginya mencium bau surga. (HR. Abu Daud : 1899, Sunan Abu Dawud,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Fi Al-Khulu’, juz 6, hal.142)
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا مُزَاحِمُ بْنُ ذَوَّادِ بْنِ عُلْبَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ لَيْثٍ عَنْ أَبِي الْخَطَّابِ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ أَبِي إِدْرِيسَ عَنْ ثَوْبَانَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُخْتَلِعَاتُ هُنَّ الْمُنَافِقَاتُ. (رواه  الترمذي :  1107سنن الترمذي- المكتبة الشاملة- باب ما جاء فى المختلعات - الجزء 4– صفحة : 432)
Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, Telah menceritakan kepada kami  Muzahim bin Dzawwad bin ‘Ulbah, dari ayahnya, dari Laits, dari Abi Al-Khthab, dari Abi Zur’ah, dari Idris, dari Tsauban, dari Nabi saw, beliau bersabda : Para wanita yang melakukan khulu' adalah para wanita munafiq. (HR. Tirmidi : 1107,  Sunan Tirmidi,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Maa jaa-a Fil-Mukhtali’aat,  juz 4, hal.432)
Memahami hadits di atas, ada peringatan bagi seorang istri, hendaklah berhati-hati dan tidak bergampang-gampang gugat cerai atau meminta cerai/pisah, kecuali dengan syarat yang dibolehkan oleh syari'at.
3.    Mustahab (Sunnah)
Mustahab (Sunnah) wanita gugat cerai (Al-Khulu), apabila suami meremehkan hak-hak Allah, maka sang isteri disunnahkan gugat cerai (Al-Khulu). Demikian menurut madzhab Ahmad bin Hanbal. [7]
4.    Wajib
Terkadang Al-Khulu hukumnya menjadi wajib pada sebagiaan keadaan. Misalnya terhadap orang (suami) yang tidak pernah melakukan shalat, padahal telah diingatkan. Demikian juga seandainya sang suami memiliki keyakinan atau perbuatan yang dapat menyebabkan keyakinan sang isteri keluar dari Islam (murtad). Dalam keadaan seperti itu, seorang wanita (isteri) wajib gugat cerai (Al-Khulu) dari suaminya.[8]



[1]. Baca Fathul bari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Al-Khulu’ wa kaifiyatuth Thalaq Fiih, juz : 15, hal. 102
[2]. Baca Kifayatul Akhyar oleh Imam Taqiyuddin, juz 2, Darul ilmi, surabaya, tanpa tahun, hal.64
[4]. Shahih Fiqhis Sunnah, 3/340 
[5]. Dinukil dari Taudhihul Ahkam, 5/469. Shahih fiqhis Sunnah, 3/341-343, dan Jami Ahkamun Nisa, 4/153-154.


[6]. Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram, 5/469
[7]. Fiqhis Sunnah, 3/342
[8]. Shahih Fiqhis Sunnah, 3/343

Tidak ada komentar:

Posting Komentar