Kamis, 26 Maret 2015

SURAT AL-BAQARAH AYAT 17 - 20


Surat Al-Baqarah ayat 17 - 20
مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِي اسْتَوْقَدَ نَارًا فَلَمَّا أَضَاءَتْ مَا حَوْلَهُ ذَهَبَ اللَّهُ بِنُورِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُمَاتٍ لَا يُبْصِرُونَ  (البقرة : 17)
Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya, Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. (QS.Al-Baqarah : 17)
Awal ayat 17 berbunyi :  “Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api”. Manurut Abu Jakfar Ar-Razi, dari Rabi’ bin Anas, dari Abu Al-Aliyah adalah cahaya api itu muncul setelah dinyalakan, dan cahaya api itu hilang setelah padam.  Demikian pula orang munafik, ketika ia bicara dengan kalimat tauhid  لا إله إلا الله  muncullah “cahaya”   نورyang dapat meneranginya, dan bila ia ragu-ragu, maka jatuhlah ia ke dalam “kegelapan” ظلمة. Imam Ibnu Katsir menyinggung perkataan Al-Aufi dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud dengan “cahaya”  نور  adalah keimanan; sedangkan “kegelapan” ظلمة adalah kesesatan dan kekafiran mereka. [1]
 Orang-orang munafik itu diumpamakan dengan orang yang membuat api unggun, mereka mengharapkan nyala api dan cahayanya. Artinya bahwa mereka sebenarnya punya keinginan mendapatkan cahaya yang dapat menerangi.  Sebelum Nabi Muhammad saw menyatakan Risalahnya, dalam kalangan orang-orang Yahudi ada pengharapan, menunggu kedatangan Nabi akhir zaman, karena kedatangan Nabi Muhammad saw sebagai penutup para Nabi itu telah disebutkan dalam kitab-kitab suci mereka terdahulu. Setelah Nabi Muhammad saw itu datang (atau api unggun itu telah menyala) dan di sekelilingnya telah mendapatkan cahaya yang menerangi, namun mereka kehilangan cahaya (keimanan) itu dan mereka berada dalam kegelapan (kekafiran).  Firman Allah :
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ آَمَنُوا ثُمَّ كَفَرُوا فَطُبِعَ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَهُمْ لَا يَفْقَهُونَ
Yang demikian itu adalah karena bahwa sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi) lalu hati mereka dikunci mati; karena itu mereka tidak dapat mengerti. (QS.Al-Munafiqun : 3)
Mengapa setelah api unggun menyala,  keadaan mereka jadi gelap-gulita dan mata mereka menjadi silau? Jawabnya adalah surat Al-Baqarah  ayat 18  berikut :
صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَرْجِعُونَ.(البقرة : 18)
Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar).
Walaupun telinga mampu mendengar, mulut dapat bicara dan mata bisa melihat, namun bila panca indera yang lahir berupa jasnami itu telah putus hubungan dengan batin, samalah dengan  tuli, bisu dan buta. Mereka dikatakan tuli karena tidak mendengarkan nasihat-nasihat dan petunjuk-petunjuk, bahkan tidak paham, meskipun mereka mendengar. Dikatakan bisu karena mereka tidak mau menanyakan hal-hal yang samar, tidak meminta penjelasan dan petunjuk-petunjuk, sehingga mereka kehilangan kesempatan untuk mengambil manfaat dari segala pelajaran dan ilmu pengetahuan yang dikemukakan para Rasul. Dikatakan buta karena mereka kehilangan manfaat pengamatan dan manfaat pelajaran. Mereka tidak dapat mengambil pelajaran dari segala kejadian, baik yang mereka alami maupun pengalaman orang lain. 
Ujung ayat 18 berbunyi : maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar)”.  Yang dimaksud dengan tidaklah mereka akan kembali”, menurut suatu riwayat dari Ibnu Mas’ud, dan juga dari segolongan sahabat Nabi saw adalah : ”Mereka tidak akan kembali kepada Islam”. Dan dalam riwayat lain, dari Ibnu Abbas adalah : “Mereka tidak akan kembali kepada hidayah dan kepada kebaikan, mereka tidak akan selamat selama mereka tetap berada pada pendiriannya”.[2]   Langkah mereka yang tidak mau menerima kebenaran, ibarat seseorang yang melemparkan kendaraannya ke jurang yang sangat dalam, tidak ada lagi kekuatan yang sanggup mengembalikannya dengan utuh ke tempat yang datar. Akibatnya  sudah pasti, yaitu kehancuran.
Ada perumpamaan lain yang disajikan oleh Allah dalam surat Al-Baqarah, yaitu ayat 19 berikut :
أَوْ كَصَيِّبٍ مِنَ السَّمَاءِ فِيهِ ظُلُمَاتٌ وَرَعْدٌ وَبَرْقٌ يَجْعَلُونَ أَصَابِعَهُمْ فِي آَذَانِهِمْ مِنَ الصَّوَاعِقِ حَذَرَ الْمَوْتِ وَاللَّهُ مُحِيطٌ بِالْكَافِرِينَ. (البقرة :19)
Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan (pengetahuan serta kekuasaan) Allah meliputi orang-orang yang kafir.  (QS.Al-Baqarah : 19)
Pada awal ayat 19 berbunyi : “Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat”. Hujan artinya kesuburan sesudah kering, kemakmuran sesudah kemarau. Peladang-peladang menunggu hujan turun, agar ladang-ladang mereka dapat memberikan hasil. Namun hujan turunnya dengan dahsyat. Pertama langit menjadi gelap gulita oleh tebalnya awan dan mendung, lalu terdengarlah suara guruh dan petir, sementara kilat pun datang sambung menyambung yang mengerikan dan menakutkan. Demikianlah perumpamaan lain yang diberikan Allah mengenai  orang-oarang munafik, yaitu orang-orang yang kadang-kadang tampak berada dalam kebenaran dan pada saat yang lain mereka ragu-ragu. Hati mereka yang dalam keadaan ragu, kufur dan bimbang itu diumpamakan oleh Allah “seperti hujan lebat”. Kata  [الصيب] berarti hujan yang turun dari langit pada waktu gelap gulita. Dan kegelapan itu adalah keraguan, kekufuran dan kemunafikan. Sedangkan [الرعد] berarti petir/halilintar, yaitu perumpamaan untuk ketakutan yang mengguncangkan hati. Sedangkan [البرق] adalah kilat yang menyinari hati orang-orang munafik pada suatu waktu, yaitu berupa cahaya keimanan.
Pertengahan ayat 19 berbunyi : “Mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati”.  Orang-orang munafik yang berada dalam kegelapan (keraguan, kekufuran dan kemunafikan) dihantui rasa takut untuk menerima cahaya keimanan. Oleh karena itu, mereka  sumbatkan jari-jarinya ke dalam telinganya. Maksudnya adalah keadaan orang-orang munafik, ketika mendengar ayat-ayat yang mengandung peringatan atau nasehat, adalah seperti orang yang ditimpa hujan lebat dan petir. Mereka menyumbat telinganya karena takut dan tidak sanggup mendengar peringatan-peringatan Al-Quran. Demikian halnya orang-orang munafik itu selalu dalam keragu-raguan dan kecemasan dalam menghadapi cahaya Islam. Menurut anggapan mereka Islam itu hanya membawa kemelaratan, kesengsaraan dan penderitaan. Bahkan  mereka  tidak dapat melihat dan mengambil  manfaat yang ada di balik hujan lebat itu (Islam), yaitu unsur yang membawa kemakmuran dalam kehidupan di atas bumi.
Akhir ayat 19 berbunyi : “Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir”.  Maksudnya pengetahuan dan kekuasaan Allah meliputi orang-orang kafir. Untuk itu,  ketakutan mereka itu tidak dapat memberikan manfaat sedikit pun, karena Allah meliputi mereka melalui kekuasaan-Nya dan mereka berada dalam kendali kehendak dan iradah-Nya. [3]
Sebab Turunnya Ayat
Telah meriwayatkan Ibnu Jarir, dari jalur Assadiyul Kabir, dari Abu Malik dan Abu Saleh, dari Ibnu Abbas, dari Murrah, dari Ibnu Masud, dan segolongan dari sahabat, mereka berkata : "Ada dua orang laki-laki dari kaum munafik warga kota Madinah, melarikan diri dari Rasulullah kepada golongan musyrik, mereka ditimpa hujan lebat yang disebutkan Allah (dalam ayat) itu, diiringi guruh dan petir serta kilat yang memancar-mancar tiap petir itu datang, mereka pun menyumbat  telinganya dengan jari, karena takut akan dimasukinya hingga mereka tewas karenanya. Jika kilat itu memancar, mereka pun berjalan dalam cahayanya, tetapi jika cahayanya padam, mereka berhenti karena tidak melihat apa-apa. Akhirnya dengan berjalan seperti itu sampailah mereka ke tempat yang dituju, lalu kata mereka : 'Wahai, cepatlah kiranya datang waktu pagi, hingga kita dapat menemui Muhammad dan kami meletakkan tangan kami di atas tangannya (berbaiat kepadanya). Demikianlah mereka menemuinya serta masuk Islam, lalu berbaiat kepadanya serta baiklah keislaman mereka. Maka Allah pun menjadikan perilaku kedua orang munafik yang melarikan diri ini sebagai tamsil perbandingan bagi orang-orang munafik yang ada di Madinah.
Orang-orang munafik itu, jika mereka hadir dalam majelis Nabi saw, menaruh jari-jiri mereka ke telinga masing-masing karena takut akan ucapan Nabi saw, kalau-kalau ada wahyu turun mengenal diri mereka, atau disebutkan sesuatu tentang perilaku mereka hingga mereka menemui ajal karenanya, sebagaimana yang dilakukan serta dikhawatirkan oleh kedua orang munafik yang melarikan diri tadi, mereka menaruh njari-jari mereka ke telinganya. Jika ada cahaya, mereka pun berjalan, artinya jika telah banyak harta benda dan anak-anak mereka, serta mereka beroleh harta rampasan atau mencapai suatu kemenangan, mereka pun maju ke depan, lalu kata mereka ketika itu, "Benarlah agama Muhammad", dan mereka berpegang teguh kepadanya, tak ubahnya bagai dua orang munafik tadi yang berjalan setiap kilat memancar; dan jika hari gelap, mereka berhenti, artinya jika harta benda dan anak-anak mereka habis, punah, atau jika mereka ditimpa malapetaka, maka kata mereka : "Ini tidak lain hanyalah karena ulah agama Muhammad, dan mereka berbalik kafir seperti halnya kedua orang munafik tadi, yakni jika kilat tidak memancar lagi.[4]
Ayat terakhir dari awal surat Al-Baqarah yang membicarakan ciri-ciri dan perumpamaan orang-orang munafik adalah ayat 20 berikut :
يَكَادُ الْبَرْقُ يَخْطَفُ أَبْصَارَهُمْ كُلَّمَا أَضَاءَ لَهُمْ مَشَوْا فِيهِ وَإِذَا أَظْلَمَ عَلَيْهِمْ قَامُوا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَذَهَبَ بِسَمْعِهِمْ وَأَبْصَارِهِمْ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ(البقرة : 20)
Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu. (QS.Al-Baqarah : 20)
Awal ayat 20 berbunyi : “Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka”. Kilat itu nyaris menyambar penglihatan mereka, karena kuat dan hebatnya kilat tersebut serta lemahnya penglihatan dan ketidakteguhan mereka dalam beriman.
Pertengahan ayat berbunyi : “Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti”. Maksud dari ayat ini menurut Ali bin Abu Thalhah, dari Ibnu Abbas bahwa setiap kali orang-orang munafik itu memperoleh kabaikan karena kemulian Islam, maka tetaplah mereka berada dalam keadaan Islam, dan jika bencana menimnpa Islam, maka mereka berhenti sejenak untuk kembali kepada kekafiran, sebagaimana firman Allah :
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَى حَرْفٍ فَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انْقَلَبَ عَلَى وَجْهِهِ خَسِرَ الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةَ ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ (الحج :11)
Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi (tidak dengan penuh keyakinan); maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang (kembali kafir lagi). Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata. (QS.Al-Hajj :11)
Menurut Muhammad bin Ishak, dari Muhammad bin Abu Muhammad, dari ‘Ikrimah, atau dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa orang-orang munafik itu sebenrnya mengetahui kebenaran dan berbicara atau berkata tentang kebenaran tersebut. Jika mereka betul-betul memahami perkataannya, tentu mereka akan tetap istiqamah, dan ketika mereka kembali kepada kekafiran, mereka berhenti dalam keadaan bingung.
Kelanjutan dari ayat 20 berbunyi : “Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka”.  Artinya, sia-sialah pendengaran dan penglihatan yang ada pada mereka, dan mudahlah bagi Allah untuk menghilangkannya sama sekali, sehingga tamatlah riwayat hidup mereka dalam kekufuran dan kesesatan, disebabkan sikap jiwa yang ragu-ragu, lalu mengambil jalan yang salah, jauh dari kebenaran.  Muhammad bin Ishaq berkata : Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Abu Muhammad, dari ‘Ikrimah, atau dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa Allah melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka, karena mereka meninggalkan kebenaran setelah mengetahunya. 
Akhir ayat 20 berbunyi : “Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu”. Ibnu Abbas berkata, artinya Allah berkuasa untuk menyiksa atau memberikan ma’af (ampunan) kepada hamba-hamba-Nya. Ibnu Jarir berkata, bahwa sesungguhnya Allah menyifati diri-Nya dengan kekuasaan atas segala sesuatu, untuk mengingatkan orang-orang munafik akan kekuatan dan keperkasaan-Nya, serta mengabarkan kepada mereka, bawa Dia meliputi mereka serta sanggup melenyapkan  pendengaran dan penglihatan mereka. [5]


[1]. Baca Tafsir Ibnu Katsir, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab : 17, juz : 1, hal. 188
[2]. Baca Tafsir Ath-Thabari Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab : 18, juz : 1, hal. 332
[3]. Baca Tafsir Ibnu Katsir, Al-Maktabah Asy-Syamilah bab : 19, juz : 1, hal. 189 - 190
[4].  Lubaabun Nuzuul, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz : 1, hal. 8. 
[5]. Baca Tafsir Ibnu Katsir, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab : 19, juz : 1, hal. 191 - 193

Tidak ada komentar:

Posting Komentar