Surat
Al-Baqarah ayat 17 - 20
مَثَلُهُمْ كَمَثَلِ الَّذِي اسْتَوْقَدَ نَارًا فَلَمَّا أَضَاءَتْ مَا حَوْلَهُ
ذَهَبَ اللَّهُ بِنُورِهِمْ وَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُمَاتٍ لَا يُبْصِرُونَ (البقرة
: 17)
Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan
api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya, Allah hilangkan cahaya (yang
menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. (QS.Al-Baqarah
: 17)
Awal
ayat 17 berbunyi : “Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang
menyalakan api”. Manurut Abu Jakfar Ar-Razi, dari Rabi’ bin Anas, dari Abu
Al-Aliyah adalah cahaya api itu muncul setelah dinyalakan, dan cahaya api itu
hilang setelah padam. Demikian pula
orang munafik, ketika ia bicara dengan kalimat tauhid لا إله إلا الله muncullah “cahaya”
نورyang dapat meneranginya,
dan bila ia ragu-ragu, maka jatuhlah ia ke dalam “kegelapan” ظلمة. Imam
Ibnu Katsir menyinggung perkataan Al-Aufi dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud
dengan “cahaya” نور
adalah keimanan; sedangkan “kegelapan” ظلمة
adalah kesesatan dan kekafiran mereka. [1]
Orang-orang munafik itu diumpamakan dengan orang yang membuat api unggun,
mereka mengharapkan nyala api dan cahayanya. Artinya bahwa mereka sebenarnya
punya keinginan mendapatkan cahaya yang dapat menerangi. Sebelum Nabi Muhammad saw menyatakan Risalahnya,
dalam kalangan orang-orang Yahudi ada pengharapan, menunggu kedatangan Nabi
akhir zaman, karena kedatangan Nabi
Muhammad saw sebagai penutup para Nabi itu telah disebutkan dalam kitab-kitab suci mereka terdahulu. Setelah Nabi Muhammad
saw itu datang (atau api unggun itu telah menyala) dan di sekelilingnya telah
mendapatkan cahaya yang menerangi, namun mereka kehilangan cahaya (keimanan)
itu dan mereka berada dalam kegelapan
(kekafiran). Firman
Allah :
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ آَمَنُوا ثُمَّ كَفَرُوا فَطُبِعَ عَلَى قُلُوبِهِمْ
فَهُمْ لَا يَفْقَهُونَ
Yang demikian itu adalah karena bahwa sesungguhnya mereka
telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi) lalu hati mereka dikunci mati;
karena itu mereka tidak dapat mengerti. (QS.Al-Munafiqun : 3)
Mengapa
setelah api unggun menyala, keadaan mereka
jadi gelap-gulita dan mata mereka menjadi silau? Jawabnya adalah surat
Al-Baqarah ayat 18 berikut :
صُمٌّ بُكْمٌ عُمْيٌ فَهُمْ لَا يَرْجِعُونَ.(البقرة : 18)
Mereka
tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar).
Walaupun telinga mampu mendengar,
mulut dapat bicara dan mata bisa melihat, namun bila panca indera yang lahir
berupa jasnami itu telah putus hubungan dengan batin, samalah dengan tuli, bisu dan buta. Mereka dikatakan tuli
karena tidak mendengarkan nasihat-nasihat dan petunjuk-petunjuk, bahkan tidak
paham, meskipun mereka mendengar. Dikatakan bisu karena mereka tidak mau
menanyakan hal-hal yang samar, tidak meminta penjelasan dan petunjuk-petunjuk,
sehingga mereka kehilangan kesempatan untuk mengambil manfaat dari segala
pelajaran dan ilmu pengetahuan yang dikemukakan para Rasul. Dikatakan buta
karena mereka kehilangan manfaat pengamatan dan manfaat pelajaran. Mereka tidak
dapat mengambil pelajaran dari segala kejadian, baik yang mereka alami maupun pengalaman
orang lain.
Ujung ayat 18 berbunyi : “maka tidaklah mereka akan kembali
(ke jalan yang benar)”. Yang
dimaksud dengan “tidaklah mereka akan kembali”, menurut suatu riwayat
dari Ibnu Mas’ud, dan juga dari segolongan sahabat Nabi saw adalah : ”Mereka
tidak akan kembali kepada Islam”. Dan dalam riwayat lain, dari Ibnu
Abbas adalah : “Mereka tidak akan kembali kepada hidayah dan kepada
kebaikan, mereka tidak akan selamat selama mereka tetap berada pada
pendiriannya”.[2] Langkah mereka yang tidak mau menerima
kebenaran, ibarat seseorang yang melemparkan kendaraannya ke jurang yang sangat
dalam, tidak ada lagi kekuatan yang sanggup mengembalikannya dengan utuh ke
tempat yang datar. Akibatnya sudah
pasti, yaitu kehancuran.
Ada perumpamaan lain yang disajikan oleh
Allah dalam surat Al-Baqarah, yaitu ayat 19 berikut :
أَوْ كَصَيِّبٍ مِنَ السَّمَاءِ فِيهِ ظُلُمَاتٌ وَرَعْدٌ وَبَرْقٌ
يَجْعَلُونَ أَصَابِعَهُمْ فِي آَذَانِهِمْ مِنَ الصَّوَاعِقِ حَذَرَ الْمَوْتِ
وَاللَّهُ مُحِيطٌ بِالْكَافِرِينَ. (البقرة :19)
Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari
langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya
dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan
(pengetahuan serta kekuasaan) Allah meliputi orang-orang yang kafir. (QS.Al-Baqarah : 19)
Pada awal ayat 19 berbunyi : “Atau
seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap
gulita, guruh dan kilat”. Hujan artinya kesuburan sesudah kering,
kemakmuran sesudah kemarau. Peladang-peladang menunggu hujan turun, agar
ladang-ladang mereka dapat memberikan hasil. Namun hujan turunnya dengan
dahsyat. Pertama langit menjadi gelap gulita oleh tebalnya awan dan mendung,
lalu terdengarlah suara guruh dan petir, sementara kilat pun datang sambung
menyambung yang mengerikan dan menakutkan. Demikianlah perumpamaan lain yang
diberikan Allah mengenai orang-oarang
munafik, yaitu orang-orang yang kadang-kadang tampak berada dalam kebenaran dan
pada saat yang lain mereka ragu-ragu. Hati mereka yang dalam keadaan ragu,
kufur dan bimbang itu diumpamakan oleh Allah “seperti hujan lebat”.
Kata [الصيب] berarti hujan yang turun dari langit pada waktu gelap gulita.
Dan kegelapan itu adalah keraguan, kekufuran dan kemunafikan. Sedangkan [الرعد] berarti petir/halilintar, yaitu
perumpamaan untuk ketakutan yang mengguncangkan hati. Sedangkan [البرق] adalah kilat yang menyinari
hati orang-orang munafik pada suatu waktu, yaitu berupa cahaya keimanan.
Pertengahan ayat 19 berbunyi : “Mereka
menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab
takut akan mati”. Orang-orang munafik yang berada dalam
kegelapan (keraguan, kekufuran dan kemunafikan) dihantui rasa takut untuk
menerima cahaya keimanan. Oleh karena itu, mereka sumbatkan jari-jarinya ke dalam telinganya. Maksudnya
adalah keadaan orang-orang munafik, ketika mendengar ayat-ayat yang mengandung
peringatan atau nasehat, adalah seperti orang yang ditimpa hujan lebat dan
petir. Mereka menyumbat telinganya karena takut dan tidak sanggup mendengar
peringatan-peringatan Al-Quran. Demikian halnya orang-orang munafik itu selalu
dalam keragu-raguan dan kecemasan dalam menghadapi cahaya Islam. Menurut
anggapan mereka Islam itu hanya membawa kemelaratan, kesengsaraan dan
penderitaan. Bahkan mereka tidak dapat melihat dan mengambil manfaat yang ada di balik hujan lebat itu
(Islam), yaitu unsur yang membawa kemakmuran dalam kehidupan di atas bumi.
Akhir ayat 19 berbunyi : “Dan
Allah meliputi orang-orang yang kafir”. Maksudnya
pengetahuan dan kekuasaan Allah meliputi orang-orang kafir. Untuk itu, ketakutan mereka itu tidak dapat memberikan
manfaat sedikit pun, karena Allah meliputi mereka melalui kekuasaan-Nya dan
mereka berada dalam kendali kehendak dan iradah-Nya. [3]
Sebab Turunnya
Ayat
Telah
meriwayatkan Ibnu Jarir, dari jalur Assadiyul Kabir, dari Abu Malik dan Abu
Saleh, dari Ibnu Abbas, dari Murrah, dari Ibnu Masud, dan segolongan dari
sahabat, mereka berkata : "Ada dua orang laki-laki dari kaum munafik warga
kota Madinah, melarikan diri dari Rasulullah kepada golongan musyrik, mereka
ditimpa hujan lebat yang disebutkan Allah (dalam ayat) itu, diiringi guruh dan
petir serta kilat yang memancar-mancar tiap petir itu datang, mereka pun
menyumbat telinganya dengan jari, karena
takut akan dimasukinya hingga mereka tewas karenanya. Jika kilat itu memancar,
mereka pun berjalan dalam cahayanya, tetapi jika cahayanya padam, mereka
berhenti karena tidak melihat apa-apa. Akhirnya dengan berjalan seperti itu
sampailah mereka ke tempat yang dituju, lalu kata mereka : 'Wahai, cepatlah
kiranya datang waktu pagi, hingga kita dapat menemui Muhammad dan kami
meletakkan tangan kami di atas tangannya (berbaiat kepadanya). Demikianlah
mereka menemuinya serta masuk Islam, lalu berbaiat kepadanya serta baiklah
keislaman mereka. Maka Allah pun menjadikan perilaku kedua orang munafik yang
melarikan diri ini sebagai tamsil perbandingan bagi orang-orang munafik yang
ada di Madinah.
Orang-orang
munafik itu, jika mereka hadir dalam majelis Nabi saw, menaruh jari-jiri mereka
ke telinga masing-masing karena takut akan ucapan Nabi saw, kalau-kalau ada
wahyu turun mengenal diri mereka, atau disebutkan sesuatu tentang perilaku
mereka hingga mereka menemui ajal karenanya, sebagaimana yang dilakukan serta
dikhawatirkan oleh kedua orang munafik yang melarikan diri tadi, mereka menaruh
njari-jari mereka ke telinganya. Jika ada cahaya, mereka pun berjalan, artinya
jika telah banyak harta benda dan anak-anak mereka, serta mereka beroleh harta
rampasan atau mencapai suatu kemenangan, mereka pun maju ke depan, lalu kata
mereka ketika itu, "Benarlah agama Muhammad", dan mereka berpegang
teguh kepadanya, tak ubahnya bagai dua orang munafik tadi yang berjalan setiap
kilat memancar; dan jika hari gelap, mereka berhenti, artinya jika harta benda
dan anak-anak mereka habis, punah, atau jika mereka ditimpa malapetaka, maka
kata mereka : "Ini tidak lain hanyalah karena ulah agama Muhammad, dan
mereka berbalik kafir seperti halnya kedua orang munafik tadi, yakni jika kilat
tidak memancar lagi.[4]
Ayat
terakhir dari awal surat Al-Baqarah yang membicarakan ciri-ciri dan perumpamaan
orang-orang munafik adalah ayat 20 berikut :
يَكَادُ الْبَرْقُ يَخْطَفُ أَبْصَارَهُمْ كُلَّمَا أَضَاءَ لَهُمْ مَشَوْا
فِيهِ وَإِذَا أَظْلَمَ عَلَيْهِمْ قَامُوا وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَذَهَبَ
بِسَمْعِهِمْ وَأَبْصَارِهِمْ إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ(البقرة : 20)
Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka.
Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan
bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Jikalau Allah menghendaki, niscaya
Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa
atas segala sesuatu. (QS.Al-Baqarah : 20)
Awal ayat 20 berbunyi : “Hampir-hampir
kilat itu menyambar penglihatan mereka”. Kilat itu nyaris menyambar penglihatan
mereka, karena kuat dan hebatnya kilat tersebut serta lemahnya penglihatan dan
ketidakteguhan mereka dalam beriman.
Pertengahan ayat berbunyi : “Setiap
kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila
gelap menimpa mereka, mereka berhenti”. Maksud dari ayat ini menurut Ali
bin Abu Thalhah, dari Ibnu Abbas bahwa setiap kali orang-orang munafik itu
memperoleh kabaikan karena kemulian Islam, maka tetaplah mereka berada dalam
keadaan Islam, dan jika bencana menimnpa Islam, maka mereka berhenti sejenak
untuk kembali kepada kekafiran, sebagaimana firman Allah :
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَى حَرْفٍ فَإِنْ
أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ وَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انْقَلَبَ عَلَى
وَجْهِهِ خَسِرَ الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةَ ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ (الحج :11)
Dan di antara manusia ada orang
yang menyembah Allah dengan berada di tepi (tidak dengan penuh keyakinan); maka
jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia
ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang (kembali kafir lagi). Rugilah
ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.
(QS.Al-Hajj :11)
Menurut Muhammad bin Ishak, dari
Muhammad bin Abu Muhammad, dari ‘Ikrimah, atau dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu
Abbas, bahwa orang-orang munafik itu sebenrnya mengetahui kebenaran dan
berbicara atau berkata tentang kebenaran tersebut. Jika mereka betul-betul
memahami perkataannya, tentu mereka akan tetap istiqamah, dan ketika mereka
kembali kepada kekafiran, mereka berhenti dalam keadaan bingung.
Kelanjutan dari ayat 20 berbunyi :
“Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan
penglihatan mereka”. Artinya,
sia-sialah pendengaran dan penglihatan yang ada pada mereka, dan mudahlah bagi
Allah untuk menghilangkannya sama sekali, sehingga tamatlah riwayat hidup
mereka dalam kekufuran dan kesesatan, disebabkan sikap jiwa yang ragu-ragu,
lalu mengambil jalan yang salah, jauh dari kebenaran. Muhammad bin Ishaq berkata : Telah
menceritakan kepadaku Muhammad bin Abu Muhammad, dari ‘Ikrimah, atau dari Sa’id
bin Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa Allah melenyapkan pendengaran dan
penglihatan mereka, karena mereka meninggalkan kebenaran setelah
mengetahunya.
Akhir ayat 20 berbunyi : “Sesungguhnya
Allah berkuasa atas segala sesuatu”. Ibnu Abbas berkata, artinya
Allah berkuasa untuk menyiksa atau memberikan ma’af (ampunan) kepada
hamba-hamba-Nya. Ibnu Jarir berkata, bahwa sesungguhnya Allah menyifati
diri-Nya dengan kekuasaan atas segala sesuatu, untuk mengingatkan orang-orang
munafik akan kekuatan dan keperkasaan-Nya, serta mengabarkan kepada mereka,
bawa Dia meliputi mereka serta sanggup melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. [5]
[1]. Baca Tafsir Ibnu Katsir, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab : 17, juz
: 1, hal. 188
[3]. Baca Tafsir Ibnu Katsir, Al-Maktabah Asy-Syamilah bab : 19, juz :
1, hal. 189 - 190
[4]. Lubaabun Nuzuul,
Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz : 1, hal. 8.
[5]. Baca Tafsir Ibnu Katsir, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab : 19, juz
: 1, hal. 191 - 193