إِيَّاكَ
نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Hanya kepada Engkaulah kami menyembah
dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.
Di dalam ayat-ayat sebelumya telah
disebutkan empat macam sifat-sifat Allah, yaitu : Tuhan semesta alam, Maha
Pemurah, Maha Penyayang dan Yang menguasai
hari pembalasan. Sifat-sifat yang disebutkan itu adalah sifat-sifat
kesempurnaan yang hanya Allah-lah yang menjadi pemilikinya. Sebab itu pada ayat
ini Allah mengajarkan kepada hamba-Nya bahwa hanya Allah-lah yang patut
disembah, dan hanya kepada-Nya seharusnya manusia memohon pertolongan.
Berkaitan dengan ayat 5 surat
Al-Fatihah yang artinya : “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya
kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” Qatadah berkata :
“Allah memerintahkan agar mengikhlaskan ibadah hanya kepada-Nya dan meminta
pertolongan hanya kepada-Nya”.[1]
حَدَّثَنَا
الْحَسَنُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ الصَّبَّاحِ، ثنا عَبْدُ الْوَهَّابِ عَنْ سَعِيدٍ
عَنْ قَتَادَةَ فِي قَوْلِهِ :
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ- قَالَ : يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُخْلِصُوا
لَهُ الْعِبَادَةَ، وَأَنْ تَسْتَعِينُوهُ عَلَى أَمْرِكُمْ.(تفسير ابن ابي حاتم)
Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin Muhammad bin
Ash-Shabah, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, dari Said, dari
Qatadah tentang firman Allah yang artinya : “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya
kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.”Ia (Qatadah) berkata : “Dia
(Allah) memerintahkan kalian agar mengikhlaskan ibadah hanya kepada-Nya dan
meminta pertolongan hanya kepada-Nya dalam urusan kalian”.(Tafsir Ibnu
Abi Hatim)[2]
Dan meminta pertolongan dalam
ayat ini maksudnya adalah bersandar kepada Allah dalam mendapatkan kebaikan dan
menahan bahaya. Syeikh Abdurrahman bin Nashir As-Su’adiy berkata :
والاستعانة هي الاعتماد على الله تعالى في جلب المنافع ودفع
المضار مع الثقة به في تحصيل ذلك.(تفسير
السعدي)
Dan “Isti’anah (mohon pertolongan) adalah
bersandar kepada Allah Ta’ala dalam mendapatkan kebaikan-kebaikan dan menahan
(menolak) bahaya yang disertai dengan keyakinan kepada-Nya dalam mendapatkan
hal tersebut.” (Tafsir As-Su’ady).[3]
Rasulullah saw, berwasiat kepada Abdullah bin Abbas agar tidak meminta
kecuali kepada Allah dan tidak memohon pertolongan kecuali kepada-Nya : “Jika engkau meminta maka mintalah
kepada Allah, dan jika engkau memohon pertolongan maka mohonlah pertolongan
kepada Allah”
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ إِسْحَاقَ حَدَّثَنَا
ابْنُ لَهِيعَةَ عَنْ نَافِعِ بْنِ يَزِيدَ أَنَّ قَيْسَ بْنَ الْحَجَّاجِ
حَدَّثَهُ أَنَّ حَنَشًا حَدَّثَهُ أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ حَدَّثَهُ قَالَ كُنْتُ
رِدْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لِي يَا غُلَامُ إِنِّي مُحَدِّثُكَ حَدِيثًا
احْفَظْ اللَّهَ يَحْفَظْكَ احْفَظْ اللَّهَ تَجِدْهُ تُجَاهَكَ إِذَا سَأَلْتَ
فَاسْأَلْ اللَّهَ وَإِذَا اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ فَقَدْ رُفِعَتْ
الْأَقْلَامُ وَجَفَّتْ الْكُتُبُ فَلَوْ جَاءَتْ الْأُمَّةُ يَنْفَعُونَكَ
بِشَيْءٍ لَمْ يَكْتُبْهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَكَ لَمَا اسْتَطَاعَتْ وَلَوْ
أَرَادَتْ أَنْ تَضُرَّكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَكْتُبْهُ اللَّهُ لَكَ مَا اسْتَطَاعَتْ. (رواه احمد :2627 -مسند احمد -
المكتبة الشاملة – باب مسند عبد الله بن
العباس– الجزء : 6– صفحة : 159)
Telah menceritakan kepada kami
Yahya bin Ishaq, telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi'ah, dari Nafi' bin
Yazid, bahwa Qais bin Al Hajjaj telah menceritakan kepadanya; bahwa Hanasy
telah menceritakan kepadanya; bahwa Ibnu Abbas telah menceritakan kepadanya, ia
berkata : Aku dibonceng Nabi saw, lalu
beliau bersabda kepadaku : "Wahai anakku, aku akan menceritakan kepadamu
satu hadits; Jagalah Allah niscaya Dia akan menjagamu, Jagalah Allah niscaya
engkau mendapati-Nya di hadapanmu. Jika engkau meminta maka mintalah kepada
Allah, dan jika engkau memohon pertolongan maka mohonlah pertolongan kepada
Allah. Pena telah diangkat dan lembaran-lembaran telah mengering. Maka,
seandainya umat ini hendak memberi manfaat kepadamu dengan sesuatu yang tidak
Allah 'azza wajalla tetapkan padamu, niscaya mereka tidak akan bisa. Dan
seandainya mereka hendak mencelakakan dirimu, dengan sesuatu yang telah Allah
tetapkan padamu, niscaya mereka tidak akan bisa." (HR.Ahmad
: 2627, Musnad Ahmad, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab musnad Abdullah
bin Abbas, juz : 6, hal. 159)
Adapun mendahulukan
dhamir (kata ganti) "Iyyaka" إِيَّاكَ terhadap dua kata
kerja, yaitu "Na'budu" نَعْبُدُ dan "nasta`iinu"نَسْتَعِينُ , Syihabuddin Mahmud bin Abdillah Al-Husaini
Al-Alusi dalam ktab tafsirnya mengatakan, bahwa hal tersebut memiliki makna “Hashr” حصر (hanya)
dan “Ikhtishash” اختصاص (pengkhususan),[4] yaitu menetapkan hukum “hanya”
dan pengkhususan bagi yang disebutkan dan meniadakan dari yang selainnya,
sehingga lafazh iyyaaka na’budu bermakna : “hanya kepada-Mu secara khusus
kami menyembah”, dan lafazh iyyaaka nasta’iin bermakna : “hanya
kepada-Mu secara khusus kami meminta pertolongan”.
Nashiruddin Abul Khair Abdullah bin Umar bin
Muhammad Al-Baidhawi, dalam kitab tafsinya (Tafsir Baidhawi) mengatakan,
bahwa mendahulukan kata "Iyyaka" إِيَّاكَ (sebagai maf’ul
bih) atas kata "Na'budu" نَعْبُدُ dan
"nasta`iinu"نَسْتَعِينُ dan diulangi dua kali dimaksudkan untuk menguatkan dan menegaskan
bahwa ibadah dan isti`anah (mohon pertolongan) itu khusus dihadapkan kepada
Allah. Artinya, Kata "Iyyaka" إِيَّاكَ mengandung makna "pengkhususan".[5] Kata "Iyyaka" إِيَّاكَ yang pertama yaitu pengkhususan "ibadah" hanya
kepada Allah, yaitu tidak ada
sesembahan selain Allah[6] dengan mentauhidkan-Nya, serta berharap
hanya kepada-Nya dan tidak kepada yang lain.[7] Artinya,
hendaklah tulus ikhlas dalam beribadah yang dikerjakannya semata-mata untuk mencapai
keridaan-Nya dan tidak mengadakan syirik baik yang terang-terangan maupun yang
tersembunyi seperti riya’, karena riya'
yang paling ringan pun sudah terhitung syirik. Hadits Nabi:
حَدَّثَنَا حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي ابْنُ لَهِيعَةَ عَنْ عِيسَى بْنِ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ
أَنَّهُ خَرَجَ يَوْمًا إِلَى مَسْجِدِ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَجَدَ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ قَاعِدًا
عِنْدَ قَبْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَبْكِي فَقَالَ مَا
يُبْكِيكَ قَالَ يُبْكِينِي شَيْءٌ سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ يَسِيرَ الرِّيَاءِ شِرْكٌ. (رواه ابن ماجه : 3979 – سنن ابن ماجه – المكتبة الشاملة –
باب من ترجى له السلامة من الفتن – الجزء
: 11 – صفحة : 489)
Telah menceritakan kepada kami
Harmalah bin Yahya, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Wahb, telah
mengabarkan kepadaku Ibnu Lahi'ah, dari Isa bin Abdurrahman, dari Zaid bin
Aslam, dari Aslam, dari Umar bin Khattab, bahwa suatu ketika dia keluar menuju
masjid Nabi saw, lalu berjumpa dengan
Mu'adz bin Jabal yang sedang duduk di sisi Kuburan Nabi saw, sambil menangis. Maka ia pun bertanya,
"Apa yang membuatmu manangis?" Mu'adz menjawab, "Aku menangis
karena sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah saw, aku mendengar Rasulullah saw, bersabda :
"Sesungguhnya riya' yang paling ringan pun sudah terhitung syirik. (HR.Ibnu
Majah : 3979, Sunan Ibnu Majah, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab man turja lahus
salaamatu minal fitani, juz : 11, hal.489)
Renungkan
firman Allah :
.....فَمَنْ كَانَ
يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ
بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا.(الكهف
: 110)
.....Barangsiapa
mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang
saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada
Tuhannya. (QS.Al-Kahfi : 110)
وَاعْبُدُوا
اللَّهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا..... الآية (النساء: 36).
Sembahlah
Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat
baiklah kepada dua orang ibu-bapak..... (QS.An-Nisa’ : 36)
Larangan mempersekutukan Allah dengan sesuatupun dalam
ayat ini menunjukkan adanya perintah tulus dan ikhls dalam beribadah,
seolah-olah dikatakan : “Sembahlah Allah dengan tulus
ikhlas dalam beribadah kepada-Nya”. [8] Firman Allah :
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ
مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ..... الآية (البينة : 5)
Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya beribadah (menyembah) Allah dengan ikhlas (memurnikan)
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus,....(QS.Al-Bayyinah
: 5)
Kata ibadah
diambil dari kata ‘abada, ya’budu, ‘abdan, fahuwa ‘aabidun(عبد – يعبد – عبدا
فهو عابد) . ‘Abid (عابد),
berarti hamba atau budak, yakni seseorang yang tidak memiliki apa-apa, bahkan dirinya
sendiri-pun menjadi milik tuannya, sehingga karenanya seluruh aktifitas hidup
hamba atau budak hanya untuk memperoleh keridhaan tuannya dan menghindarkan
murkanya. Manusia adalah hamba Allah “‘Ibaadullaah” (عباد الله) yang jiwa raganya hanya milik Allah, hidup matinya di tangan
Allah, miskin kayanya sesuai ketentuan Allah, dan diciptakan hanya untuk
ibadah atau menghambakan dirinya kepada-Nya :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا
لِيَعْبُدُونِ (الذريات
: 56)
Tidak Aku ciptakan Jin dan Manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku (QS.Adz-Dzariyat : 56)
Tidak Aku ciptakan Jin dan Manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku (QS.Adz-Dzariyat : 56)
Ibadah merupakan suatu usaha untuk mendekatkan
diri kepada Allah yang hakikatnya adalah melaksanakan apa yang dicintai dan
diridhai-Nya dengan penuh keikhlasan dan ketundukan kepada Allah. Ibadah ada
dua macam yaitu Mahdhah (murni hanya berhubungan dengan Allah)
dan Ghairu Mahdhah (tidak murni hubungan
dengan Allah, karena juga ada hubungan antara hamba)[9] :
1, Ibadah
Mahdhah adalah ibadah yang murni hanya merupakan
hubungan antara hamba dengan Allah secara langsung yang tata cara dan
perincian-perinciannya telah ditetpkan, seperti : shalat, puasa, zakat, membaca
Al-Quran, istighfar, dzikir, do’a dan lain sebagainya;[10] dengan Rumus : “KA + SS” (Karena Allah + Sesuai Syariat)
2. Ibadah Ghairu Mahdhah, adalah ibadah umum yang tidak murni semata
hubungan dengan Allah, tetapi juga merupakan hubungan atau interaksi antara
hamba dengan makhluk lainnya, misalnya tolong menolong, menyantuni kaum dhu’afa’,
menjaga kebersihan dan keamanan lingkungan dan lain sebagainya; dengan Rumus : “BB + KA” (Berbuat Baik + Karena Allah)
Ada sebuah ibadah, bahkan disebutkan
sebagai sumsum (inti) daripada ibadah, yaitu do’a, karena di dalamnya terdapat usaha
untuk mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub
ilaa Allah), juga terdapat permohonan dari seorang hamba yang tawadhu’ (rendah
hati), merasa lemah dan tidak mampu menghadapi masalah, kecuali atas pertolongan
Allah swt. Hadits Nabi :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ
الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ مَنْصُورٍ وَالْأَعْمَشِ
عَنْ ذَرٍّ عَنْ يُسَيْعٍ الْحَضْرَمِيِّ عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ
سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ ثُمَّ قَرَأَ {وَقَالَ رَبُّكُمْ ادْعُونِي
أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ
جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ},
(رواه الترمذي : 3170 – سنن الترمذي – المكتبة الشاملة – باب ومن سورة المؤمن –
الجزء : 11- صفحة : 42)
Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Basyar, telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Mahdi,
telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Manshur dan Al A'masy, dari Dzarr,
dari Yusai' Al Hadlrami, dari An Nu'man bin Basyir berkata : Aku mendengar Nabi
saw, bersabda : "Doa adalah ibadah" kemudian beliau membaca : "Dan
Tuhanmu berfirman : 'Berdoalah kepadaKu, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.
Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembahKu akan masuk
neraka Jahannam dalam keadaan hina dina." (Al Mu`min: 60) - Abu Isa
berkata: Hadits ini hasan shahih. (HR.Tirmidzi : 3170, Sunan Tirmidzi,
Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab wa min suratil mu’min, juz : 11, hal.42)
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ أَخْبَرَنَا
الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ عَنْ ابْنِ لَهِيعَةَ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي
جَعْفَرٍ عَنْ أَبَانَ بْنِ صَالِحٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الدُّعَاءُ مُخُّ الْعِبَادَةِ. (رواه الترمذي : 3293 -سنن الترمذي – المكتبة الشاملة – الجزء : 11- صفحة : 220)
Telah menceritakan kepada kami Ali
bin Hujr, telah mengabarkan kepada kami Al Walid bin Muslim, dari Ibnu Lahi'ah,
dari 'Ubaidullah bin Abu Ja'far, dari Aban bin Shalih, dari Anas bin Malik,
dari Nabi saw, beliau bersabda: "Doa
adalah sumsum (inti) ibadah." (HR.Tirmidzi : 3293, Sunan Tirmidzi, Al-Maktabah
Asy-Syamilah, juz : 11, hal.220)
Adapun kata "Iyyaka" إِيَّاكَ yang kedua yaitu pengkhususan "minta pertolongan"
hanya kepada Allah, dengan arti bahwa tidak ada yang berhak dimohonkan
pertolongannya kecuali Allah. Memohon pertolongan kepada Allah diperintahkan
oleh-Nya sebagaimana yang termaktub dalam Al-Qur’an :
قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ اسْتَعِينُوا
بِاللَّهِ وَاصْبِرُوا إِنَّ الْأَرْضَ لِلَّهِ يُورِثُهَا مَنْ يَشَاءُ مِنْ
عِبَادِهِ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِينَ. (الأعراف :128)
Musa berkata kepada kaumnya : Mohonlah pertolongan kepada Allah dan
bersabarlah; sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada
siapa yang dikehendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan yang baik adalah
bagi orang-orang yang bertakwa . (QS.Al-A’raaf : 128)
وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّهَا
لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ (البقرة :45)
Dan mohonlah pertolongan (kepada
Allah) dengan sabar dan shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh
berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu’ (QS.Al-Baqarah : 45)
Pada
ayat 5 surat Al-Fatihah ini juga, terdapat perubahan dhamir (kata ganti) dari
pihak ke-III (DIA) pada ayat-ayat sebelumnya, kemudian menjadi pihak ke-II (ENGKAU),
karena bila seseorang telah memuji dan menyanjung Allah, maka hijab (tabir)
yang menghalangi menjadi terbuka, sehingga Allah menjadi dekat seperti hadir di
hadapannya. Untuk itu, dhamir (kata ganti) yang cocok dipergunakan adalah kata ganti pihak ke-II,
yaitu “ENGKAU”, sehingga terjadi komunikasi langsung antara pihak pertama
dengan pihak ke-ll.[11] Allah akan menjawab panggilan
seorang hamba yang memanggil-Nya. Firman
Allah :
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا
تَكْفُرُونِ (البقرة :152)
Karena itu, ingatlah kamu
kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan
janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku. (QS.Al-Baqarah : 152)
Pada ayat 5 surat Al-Fatihah ini juga,
kata "Na'budu" نَعْبُدُ (kami menyembah) didahulukan
menyebutkannya dari kata "nasta`iinu"نَسْتَعِينُ
(kami minta tolong), karena ibadah kepada Allah itu adalah suatu kewajiban
manusia yang harus dilaksanakan dengan penuh perhatian dan sungguh-sungguh terhadap
sang Maha Pencipta, Allah swt, yang wajib disembah; sedangkan memohon pertolongan
kepada Allah merupakan pengakuan bahwa dirinya adalah lemah, hina yang harus selalu
kembali kepada-Nya.[12] Mendapatkan pertolongan Allah
adalah hak seorang hamba, sebagaiman telah difirmankan dalam hadits Qudsi : “dan hamba-Ku mendapatkan sesuatu yang dia
minta”.[13] Hadits Nabi :
حَدَّثَنَاه إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ
الْحَنْظَلِيُّ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ الْعَلَاءِ عَنْ
أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ : قَالَ اللَّهُ تَعَالَى قَسَمْتُ الصَّلَاةَ
بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ فَإِذَا قَالَ
الْعَبْدُ {الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ
الْعَالَمِينَ} قَالَ اللَّهُ تَعَالَى حَمِدَنِي عَبْدِي وَإِذَا قَالَ
{الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} قَالَ اللَّهُ تَعَالَى أَثْنَى عَلَيَّ
عَبْدِي وَإِذَا قَالَ {مَالِكِ يَوْمِ
الدِّينِ} قَالَ
مَجَّدَنِي عَبْدِي وَقَالَ مَرَّةً فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي فَإِذَا قَالَ
{إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ} قَالَ هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي
وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ فَإِذَا قَالَ {اهْدِنَا الصِّرَاطَ
الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ
عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ} قَالَ هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ. (رواه مسلم : 598 - صحيح مسلم- المكتبة الشاملة-بَاب وُجُوبِ قِرَاءَةِ الْفَاتِحَةِ فِي كُلِّ
رَكْعَةٍ- الجزء : 2 –
صفحة : 352)
Telah
menceritakan kepada kami [Ishaq bin Ibrahim Al-Hanzhali], telah mengabarkan
kepada kami [Sufyan bin ‘Uyaynah] dari [Al-‘Ala’] dari ayahnya, dari [Abu
Hurairah], dari Nabi saw, beliau bersabda : Allah berfirman : Aku membagi
shalat (surat Al-Fatihah) antara Aku dengan hamba-Ku menjadi dua bagian, dan
hamba-Ku mendapatkan sesuatu yang dia minta. Apabila seorang hamba berkata
: Segala puji bagi Allah Tuhan semesta
alam. Maka Allah berfirman : Hamba-Ku
memuji-Ku. Apabila hamba tersebut mengucapkan :
Yang Maha pengasih lagi Maha Penyayang. Maka Allah berfirman : Hamba-Ku
memuji-Ku. Apabila hamba tersebut mengucapkan : Pemilik hari kiamat. Maka Allah
berfirman : Hamba-Ku memuji-Ku.
Selanjutnya Dia berfirman : Hamba-Ku menyerahkan urusannya kepada-Ku. Apabila
hamba tersebut mengucapkan : Hanya
kepada-Mulah aku menyembah dan hanya kepada-Mulah aku memohon pertolongan. Maka
Allah berfirman : Ini adalah antara Aku
dengan hamba-Ku. Dan hamba-Ku mendapatkan sesuatu yang dia minta.
Apabila hamba tersebut mengucapkan : Berilah kami petunjuk jalan yang lurus,
yaitu jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat atas mereka, bukan jalan
orang-orang yang Engkau murkai dan bukan pula orang-orang yang sesat. Maka
Allah berfirman : Ini untuk hamba-Ku, dan hamba-Ku mendapatkan sesuatu yang
dia minta. (HR. Muslim : 598, shahih Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab
wujuubi qiraa-atil fatihah fii kulli rakatin, juz : 2, hal. 352)
Dari susunan kata-kata tersebut,
yaitu mendahulukan kata "Na'budu" نَعْبُدُ
daripada kata "nasta`iinu"نَسْتَعِينُ
, adalah mengandung pendidikan
bahwa Allah mengajarkan kepada hamba-Nya supaya menunaikan kewajibannya lebih
dahulu, sebelum ia menuntut haknya.
Allah swt
menggunakan kata ganti orang pertama jamak (ضمير متكلم مع الغير) dalam lafadh "na`budu" نَعْبُدُ dan
"nasta`iinu" نَسْتَعِينُ (kami menyembah, kami minta tolong),
bukan menggunakan kata ganti orang pertama tunggal (ضمير متكلم وحده) a`budu" اَعْبُدُ dan "asta`iinu" اَسْتَعِيْنُ (saya menyembah dan
saya minta tolong) adalah untuk memperlihatkan bahwa manusia dalam melakukan
suatu ibadah seperti ibdah shalat adalah lebih utama dilaksanakan dengan
berjama’ah.[14] Hal ini semakna dengan Hadits
Nabi :
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ حَدَّثَنَا ابْنُ عَيَّاشٍ
عَنْ الْبَخْتَرِيِّ بْنِ عُبَيْدِ بْنِ سَلْمَانَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي ذَرٍّ
عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ اثْنَانِ خَيْرٌ مِنْ وَاحِدٍ وَثَلَاثٌ
خَيْرٌ مِنْ اثْنَيْنِ وَأَرْبَعَةٌ خَيْرٌ مِنْ ثَلَاثَةٍ فَعَلَيْكُمْ
بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لَنْ يَجْمَعَ أُمَّتِي إِلَّا
عَلَى هُدًى. (رواه احمد : 20331 -مسند احمد -
المكتبة الشاملة – باب حديث ابي ذر الغفاري–
الجزء : 43– صفحة : 297)
Telah menceritakan kepada kami
Abul Yaman, telah menceritakan kepada kami Ibnu 'Ayyasy, dari Al Bakhtari bin
Ubaid bin Salman. dari Ayahnya, dari Abu Dzar, dari Nabi saw, beliau bersabda : "Dua orang itu
lebih baik ketimbang satu, tiga orang itu lebih baik ketimbang dua dan empat
itu lebih baik ketimbang tiga, maka hendaklah kalian berjama'ah, karena
sesungguhnya Allah 'azza wajalla tidak mengumpulkan ummatku kecuali di atas
petunjuk." (HR.Ahmad
: 20331, Musnad Ahmad, Al-Maktabah
Asy-Syamilah, bab hadits Abu Dzar
Al-Ghifari, juz : 43, hal. 297)
Dalam sebuah pepatah “Bersatu
kita teguh bercerai kita runtuh”. Kalau kita melakukan suatu pekerjaan
atau berjuangg bersama-sama akan memiliki kekuatan yang lebih besar daripada
melakukan sesuatu secara sendiri-sendiri, atau dengan kata lain, bersatu lebih
kuat daripada terpecah belah yang akan membuat kita tercerai-berai. Ibarat sapu
lidi, jika hanya terdiri dari satu lidi, maka ia tidak akan mampu menyapu sampah,
dan baru dapat digunakan untuk menyapu ketika terdiri dari gabungan banyak lidi
yang diikat dalam satu ikatan.
[1]. Abu Al-Fida’ Isma’il bin Umar bin Katsir Al-Qurasyi Ad-Damisyqi,
Tafsir Ibnu Katsir, Al-Maktabah
Asy-Syamilah, bab 5, juz 1, hal. 135
[2]. Tafsir Ibnu Abi Hatim,
Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab 1, juz 1, hal. 8
[3]. Abdurrahman bin Nashir bin As-Su’ady, Tafsir As-Su’ady,
Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab 1, juz 1, hal. 39
[4]. Syihabuddin Mahmud bin Abdillah
Al-Husaini Al-Alusi, Tafsir Al-Alusi, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab : 1, juz : 1, hal. 64
[5]. Nashiruddin Abul Khair Abdullah bin Umar bin Muhammad
Al-Bajdhawi, Tafsir Baidhawi, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab 1, juz 1, hal.1 –
dan lihat pula bab 40, juz 1, hal. 77.
[6]. An-Naisaburi , Tafsir An-Naisaburi, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab
1, juz 1, hal.42
[7]. Tafsir Ibnu Abi Hatim, bab
1, juz 1, Op Cit, hal. 7
[8]. Tafsir Al-Alusi, bab : 35, juz : 4, Op Cit, hal. 47
[9]. Al-Futuhat Al-Makkiyyah, Al-Maktabah Asy-Syamilah,
bab filhadhrir rabbiyyah...., juz 6, hal. 36
[10]. Fatawa Al-Azhar, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab hukmu Iqamah ma’tsamil
arba’in, juz 5, hal. 471; bab qadhaul wajibat ‘anil amwaat, juz 8, hal, 314; bab
Azzakatu fii maalish shabiyyi, juz 9, hal. 209- dan lihat pula Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah, Al-Maktabah
Asy-Syamilah, bab ma-alatun qaumun qad khashshashuu biss’aadah wa qad
khashshashuu..., juz 2, hal. 221
[11]. Haqi, tafsir Haqi,
Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab 5, juz 1, hal. 16
[12]. Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin Hasan bin Husain At-Taimi
Ar-Razi, Tafsir Ar-Razi, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab 7, juz 1, hal. 157
[13]. Tafsir Ibnu Katsir, bab 1,
juz 1, Op Cit, hal. 106 – 108
[14]. Ibnu ‘Adil, Tafsir Al-Lubab Libni ‘Adil, Al-Maktabah
Asy-Syamilah, bab 5, juz 1, hal. 20