Sabtu, 26 September 2009

4. TINGKATAN BACAAN AL-QUR’AN

1. Tartil (تَرْتِيْلٌ) yaitu bacan yang dilakukan dengan perlahan-lahan, tenang, mengeluarkan tiap-tiap huruf pada tempat keluarnya (makhrajnya) dan memberikan semua hak-hak huruf, serta merenungkan (tadabbur) maknanya.

2. Tahqiq (تَحْقِيْقٌ) yaitu bacaan seperti tartil, namun lebih tenang, dan biasanya dipergunakan dalam proses belajar mengajar, agar lidah terlatih dengan bacaan yang benar.

3. Hadar (حَدَرٌ) yaitu bacaan yang dilakukan dengan cepat dengan tetap memelihara ketentuan hukum yang berlaku dalam Ilmu Tajwid.

4. Tadwir (تَدْوِيْرٌ) yaitu bacaan tingkat pertengahan antara tartil dan hadar.

Tingkatan bacaan yang paling baik dari empat macam tingkatan itu adalah tartil.

Temui Aku di Akhir Malam



Bila orang mencari kekasih sejati maka dari Tuhanlah ia akan mendapatkan kasih itu. Dialah Kekasih yang tak pernah berkhianat, tak pernah berselingkuh, dan selalu memenuhi keinginan orang yang dikasihinya. Barang siapa yang berdoa kepada-Nya tentu akan dikabulkan, barang siapa yang meminta kepada-Nya tentu akan diberikan, dan barang siapa yang meminat kepada-Nya tentu akan diampuni. Namun, butuh pengorbanan untuk meraih kasih Ilahi itu. Minimal ada pengorbanan waktu, sehingga bisa bertemu dan berkomunikasi langsung dengan Sang Kekasih.Seperti dijelaskan buku ini, waktu yang paling tepat untuk bertemu Sang Kekasih adalah di waktu malam. "Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan..." (QS Al-Muzammil [73]: 6). Karena itu, mereka yang selalu ingin bertemu dengan Kekasihnya akan sedikit sekali tidur. Di akhir-akhir malam yang hening, mereka akan bangun untuk beribadah dan memohon ampun kepada Allah yang Maha Pengasih.Buku ini adalah napak tilas penulisnya dalam meraih kasih Ilahi. Buku ini seyogyanya dipersembahkan kepada putra putrinya ini tentu baik juga untuk para pembaca yang lain.

Jumat, 25 September 2009

Minal ‘Aidin Wal Fa izin

Minal ‘Aaidin Wal Fa izin”, lazim diucapkan kepada sanakkeluarga, sahabat dan kerabat pada Idul Fitri. Ungkapan itu sebenarnya adalah do’a, yang bila kita terjemahkan terbentuklah kalimat do’a yang cukup panjang, yaitu :“Minal ‘Aa-idiin” : “Ya Allah, jadikanlah hamba-Mu ini termasuk bahagian dari orang-orang yang kembali kepada kesucian (fithrah)”. “Wal Faa-iziin” : “Ya Allah, dan jadikanlah pula hamba-Mu ini termasuk bahagian dari orang-orang yang beruntung”.

Kata : “Aa-idiin” kita tidak dapat merujuk kepada Al-Qur’an, karena kata itu tidak ditemukan di dalamnya. Berbeda dengan kata “Faa-iziin” yang berarti “keberuntungan” dan berasal dari kata “Fawz” yang dalam berbagai macam bentuknya ditemukan dalam Al-Qur’an sebanyak 29 kali, dan hanya satu kali yang menerangkan keberuntungan yang bersifat material, yaitu surat An-Nisa’ [4] ayat 73. Sedang selebihnya menerangkan keberunbtungan yang bersifat ruhaniah, yaitu berupa pengampunan dan rido Allah, sehingga meraih kenikmatan surgawi.

Syarat untuk meraih hal tersebut adalah sikap lapang dada dan senang memafkan, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an surat An-Nur [24] ayat 22 yang artinya : “dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema'afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang

Menurut sejarah, latar belakang turunnya ayat ini berhubungan dengan sumpah Abu Bakar bahwa dia tidak akan memberi bantuan apa-pun kepada kerabatnya ataupun orang lain yang terlibat dalam menyiarkan berita bohong tentang diri 'Aisyah yang dibuat oleh Abdullah bin Ubay bin salul. Gosip yang beredar adalah 'Aisyah situduh selingkuh dengan Shafwan bin Al-Mu’aththal. Diantara yang terlibat menyebarkan fitnah itu adalah Misthah yang selalu mendapatkan nafkah dari Abu Bakar karena kerabat dan kefakirannya. Begitu marahnya terhadap orang yang terlibat menyebarkan fitnah itu, Abu bakar bersumpah : “Demi Allah, aku tidak akan memberi nafkah lagi kepada Misthah karena ucapannya tentang ‘Aisyah. Maka turunlah ayat ini yang melarang melaksanakan sumpahnya, dan menyuruhnya “mema'afkan” dan “berlapang dada”.

Menyikapi firman Allah yang turun kepada Rasulullah, Abu Bakar bersumpah : “Demi Allah, sesungguhnya aku mengharapkan ampunan Allah”. Dia lalu mema’afkan Misthah dan memberi nafkah kembali seperti biasa.

Senin, 21 September 2009

DENGAR DAN TAAT

Dan taatilah Allah dan rasul, supaya kamu diberi rahmat.

(S.Ali ‘Imran [3] : 132)

dan mereka (Rasul dan orang-orang yang beriman) berkata : "kami dengar dan kami taat."

(QS.Al-Baqarah [2] :285)

Pada suatu hari Imam Musa Al-Kazhim (salah seorang cucu Rasulullah dari pasangan Fatimah dan Ali bin Abi Thalib) hendak berwuduk akan melaksanakan salat shubuh. Disuruhlah hamba sahayanya mencucurkan air wuduk dari sebuah kendi yang telah diisi air ke telapak tangannya. Rupanya si hamba masih mengantuk, lalu disiramkan air wuduk itu ke badan beliau, sehingga badan dan bajunya basah.

Menyikapi peristiwa itu, Imam Musa Al-Kazhim kelihatan hendak marah. Dan sang hamba itupun sadar akan dirinya dan hilanglah ngantuknya sambil membayangkan amarah yang akan diterima dari sang majikan. Namun yang terjadi berbeda dengan dugaan semula setelah si hamba berdialog dengan mengutip sebagian dari firman Allah surat Ali ‘Imran ayat 134 sebagai berikut :

- Hamba membaca potongan ayat “Walkaahzimiinal Ghaizha” : orang-orang yang bertakwa yaitu orang-orang yang : “menahan amarahnya”.

- Imam Musa serta merta sadar mendengar potongan ayat itu, lalu beliau berkata : “Telah aku tahan amarahku kepadamu”.

- Hamba membaca potongan ayat berikutnya “Wal ‘aafiina ‘aninnaas” : orang-orang yang bertakwa yaitu orang-orang yang : “mema'afkan (kesalahan) orang lain”.

- Imam Musa sepontan menjawab : Aku telah beri ma’af kesalahanmu”.

- Hamba membaca potongan ayat terakhir : “Wallaahu Yuhibbul Muhsiniin” , yang artinya : “dan Allah amat menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”.

- Imam Musa serta merta menyambut pesan dari potongan ayat terakhir itu dengan berkata : “Mulai hari ini engkau kumerdekakan dari perbudakan semata-mata karena Allah”.

Hamba sahaya itu terkejut dan terheran-heran mendengar jawaban sang majikan yang sama sekali tidak diduga. Namun, kenyataan telah berbicara, yaitu seorang hamba yang telah terpatri dalam dadanya keimanannya terhadap Al-Qur’an, begitu mendengar langsung dia taat. kami dengar dan kami taat."

Minggu, 20 September 2009

MERESPON SALAT

Apabila masuk waktu salat, seringkali tubuh Ali bin Abi Thalib (saudara sepupu Rasulullah) tampak gemetar serta tubuhnya mendadak berubah. Ketika ditanya mengapa demikian, beliau menjawab : "Telah datang waktu untuk melaksanakan amanah Allah yang ketika ditawarkan kepada langit, bumi dan gunung-gunung, mereka semua menolaknya karena khawatir tidak dapat memikulnya, tapi kini aku memikulnya".

Dalam kisah lain, Ali zainal Abidin bin Husain bin Ali, (cucu Rasulullah) apabila selasai berwudu' seringkali wajahnya berubah pucat pasi. Pernah ditanya kepadanya tentang hal itu, namun beliau balik bertanya dengan bahasa retorik : '
'Tidakkah kalian mengetahui, di hadapan siapa aku akan berdiri?"

Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusuk dalam salatnya. (QS.Al-Mu'minun [23] : 1-2)

MANUSIA TERBAIK

perlu menjadi renungan, bahwa Rasulullah saw pernah membarikan pernyataan : "Sebaik-baik kamu adalah orang yang suka belajar dan mengajar Al-Qur'an".
Belajar Al-Qur'an akan melalui tahapan-tahapan yang berlapis-lapis, yaitu menyentuh, mengambil, membuka, membaca, memahami dan mengamalkan Al-Qur'an. Semua itu mesti dijalankan atas dasar ikhlas karena mencari rido Allah serta bersikap sabar, baik posisinya sebagai pengajar ataupun sebagai santri. Mari kita raih predikat "MANUSIA TERBAIK" menurut pandangan Allah dengan perjuangan dan pengorbanan, pasti Allah membuka jalan menuju sukses.

Sabtu, 19 September 2009

MAHIR AL-QUR’AN



Pada suatu waktu Abdullah bin ‘Amr berkisah. Aku bertanya kepada Rasulullah. Wahai Rasulullah! Berapa banyakkah yang lebih baik aku membaca Al-Qur’an? Beliau menjawab : Khatamkan Al-Qur’an itu dalam satu bulan. Aku katakan : Aku sanggup lebih dari itu ya Rasulallah. Beliau menjawab : Khatamkan ia dalam dua puluh hari. Aku katakan : Aku sanggup lebih dari itu ya Rasulallah. Beliau menjawab : Khatamkan ia dalam lima belas hari. Aku katakan : Aku sanggup lebih dari itu ya Rasulallah. Beliau menjawab : Khatamkan ia dalam sepuluh hari. Aku katakana : Aku sanggup lebih dari itu ya Rasulallah. Beliau menjawab : Khatamkan ia dalam lim hari. Aku katan lagi : Aku sanggup lebih dari itu ya Rasulallah. Setelah itu, Rasulullah tidak memberikan keringanan lagi buat aku. Demikianlah kisah Abdullah bin ‘Amr yang diriwayatkan imam Tirmidzi.[1]

Abdullah bin ‘Amr adalah salah seorang sahabat Nabi yang telah mahir Al-Qur’an. Namun Rasulullah saw. memberikan batasan khatam Al-Qur’an satu kali dalam satu bulan. Dan paling cepat hanya sekali khatam dalam lima hari. Padahal, kalau mau, dalam kurun waktu satu bulan bisa saja khatam berulangkali, bahkan bisa setiap hari. Bimbingan Rasulullah kepada sahabatnya itu, mempunyai tujuan yang jelas, agar dengan waktu yang tersedia cukup, Al-Qur’an dapat dibaca dengan tartil, tidak terburu-buru, dan dapat dihayati, direnungkan makna kandungannya, serta tercipta komunikasi harmonis anatara hamba dengan Al-Khaliq, pemilik wahyu, sehingga menjelma menjadi ibadah yang lebih baik sebagai media untuk menggapai rido-Nya.

Al-Qur’an adalah bacaan mulia yang dapat menyejukkan hati, pedoman hidup yang penuh hikmah, dan aturan-aturan rabbani __ berdimensi ketuhanan __ yang penuh rahmah __ kasih sayang __ bagi alam semesta, yang kebenarannya tidak dapat dibantah. Apabila dibaca dengan tartil __ bacaan perlahan-lahan berdasarkan ilmu tajwid __ akan menjelma menjadi amal ibadah yang dapat menebarkan benih-benih ketenangan dan ketenteraman dalam hati. Apabila dipahami akan ditemukan mutiara-mutiara indah sebagai sumber pedoman dalam perjuangan mengarungi bahtera kehidupan di muka bumi. Dan apabila diamalkan akan memancarkan nur cahaya kedamaian yang penuh rahmah dalam naungan rido Allah.

Membaca Al-Qur’an dengan niat ikhlas untuk mencari rido Allah, dan terus berjuang memahami makna yang terkandung di dalamnya untuk dijadikan sumber pedoman hidup, akan mendatangkan efek yang sangat besar berupa kehidupan yang bernuansa surgawi. Rasulullah saw. bersabda : Tidaklah suatu kaum yang berkumpul di sebuah rumah dari rumah-rumah Allah, mereka membaca Al-Qur’an dan belajar bersama di antara mereka, melainkan diturunkan ketenangan, dikucurkan rahmat kasih sayang kepadanya, dikelilingi oleh para malaikat dan disebutkan identitasnya oleh Allah terhadap orang-orang yang ada di sisi-Nya.[2][3] Dalam kesempatan yang berbeda Rasulullah saw. memberikan informasi kepada kita tentang dampak positif yang akan diperoleh seorang hamba yang mahir Al-Qur’an, sebagaimana yang tersurat dalam sabdanya : “Orang yang membaca Al-Qur’an dan telah tergolong mahir, akan dipersandingkan dalam surga bersama para Nabi dan Rasul yang mulia dan terhormat. Sedang orang yang membacanya tersendat-sendat dan lidahnya terasa berat, maka baginya ada dua pahala”.

Allah akan memberikan pahala kepada hamba-Nya yang “berniat” belajar Al-Qur’an. Apabila niatnya ditindak lanjuti, maka “usahanya” itupun mendapatkan pahala lain sebagai rahmah kasih sayang-Nya. Oleh karena itu, walaupun belum mampu membaca dengan tartil, tidak perlu ragu-ragu untuk membacanya, selama masih terus belajar, Allah pasti akan memberikan jalan meraih sukses.[4]

Apresiasi __ penghargaan __ umat islam terhadap kitab suci Al-Qur’an sungguh sangat beragam. Ada yang sudah mencapai tingkat mahir Ada yang masih dalam perjalanan menuju tingkat mahir. Dan ada pula yang terus berjalan ditempat. Bahkan tidak sedikit yang hanya berada pada tingkat simpati. Dan selebihnya tidak ada peduli sama sekali. Masih banyak saudara kita yang belum mampu membaca Al-Qur’an. Sementara, ada yang pernah belajar, tetapi sudah berhenti karena disibukkan oleh berbagai aktivitas merebut kenikmatan yang bersifat kekinian untuk meraih kebahagiaan sesaat dan melupakan kebahagiaan jangka panjang yang abadi.

Perjuangan merebut tingkat mahir Al-Qur’an merupakan bukti adanya apresiasi terhadap kitab suci sebagai rangkaian proses meraih rido Allah. Ada tiga macam mahir Al-Qur’an, yaitu mahir mambaca, mahir memahami dan mahir mengamalkan, yang merupakan satu kesatuan, tak dapat dipisahkan.
1
Mahir “tilawah Al-Qur’an”, yaitu kemampuan membaca dengan tartil sebagaimana perintah Allah dalam firman-Nya : “Dan bacalah Al-Qur’an dengan perlahan-lahan (tartil).[5] Rasulullah saw. dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amr memberikan bimbingan kepada kita : “Bacalah, perbaikilah dan baguskanlah dengan bacaan perlahan-lahan (tartil) sebagaimana kamu hidup bagus dan indah di dunia. Sesungguhnya derajat dan kedudukanmu terdapat pada ayat akhir yang kamu baca”.[6]

Untuk dapat membaca Al-Qur’an dengan tartil diperlukan suatu bidang disiplin ilmu yang lazim dikenal dengan “Ilmui Tajwid”, yaitu ilmu yang dapat mengantarkan qari’ (orang yang membaca Al-Qur’an) mampu membaca dengan benar, teratur, indah dan terhindar dari kesalahan bacaan, serta dapat lebih menikmati, menuju tingkat tadabbur __ merenungkan __ dan tafakkur __ memikirkan __ makna yang tersurat dan tersirat dalam Al-Qur’an.

Marilah kita meneladani Rasulullah dengan cara belajar membaca Al-Qur’an secara langsung di hadapan seorang yang ahli di bidangnya, sebagaimana beliau membaca di hadapan malaikat jibril. Membaca Al-Qur’an tidak hanya dapat dinikmati di alam akhirat kelak, tetapi dapat dinikmati pula semasa hidup di dunia. Seorang hamba yang tekun membaca Al-Qur’an dengan hati yang bersih akan mendapatkan balasan secara langsung berupa perasaan aman dan jiwa yang tenang. Allah swt. menegaskan, bahwa Al-Qur’an dapat berfungsi sebagai obat, termasuk obat penyakit hati yang sedang gelisah.[7]

Al-Qur’an Al-Karim yang dalam bahasa Arab berarti bacaan mulia dan terhormat, bila dibaca dengan istiqamah terus menerus dengan keyakinan penuh secara tartil serta dibarengi dengan niat ikhlas mencari rido Allah, walaupun belum masuk ke tingkat pemahaman, maka dengan tingkat keindahan gaya bahasanya, ternyata terbukti dapat menimbulkan ketenangan ruhaniah bagi pembaca dan pendengarnya. Agar bacaan Al-Qur’an dapat memberikan efek tersendiri kepada pendengarnya, Rasulullah saw. berpesan kepada orang beriman agar membacanya dengan suara indah __seni baca Al-Qur’an __ : “Hiasaailah Al-Qur’a itu dengan suara-suaramu”.[8]

suatu ketika Rasulullah saw. memberikan informasi tentang keutamaan membaca Al-Qur’an dalam bahasa metaforis __ tamsil __ yang diriwayatkan oleh Abu Musa Al-Asy’ari : “ Perumpamaan orang beriman yang membaca Al-Qur’an seperti buah jeruk, baunya harum dan rasanya enak, perumpamaan orang beriman yang tidak membaca Al-Qur’an seperti korma, tidak ada bau dan rasanya manis; perumpamaan orang munafik yang membaca Al-Qur’an seperti tumbuhan yang wangi, baunya sedap tapi rasanya pahit; perumpamaan orang munafik yang tidak membaca Al-Qur’an seperti buah pare, baunya tidak sedap dan rasanya pahit”.[9]

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah, Rasulullah saw. mengingatkan kita, agar suara ayat-ayat Al-Qur’an selalu dikumandangkan di setiap rumah, biar rumah itu selalu memancarkan nur cahaya Ilahiah dan setan-setan pergi menjauh dari padanya : “Jangan menjadikan rumah-rumahmu sebagai kuburan. Sesunggunya rumah yang di dalamnya dibacakan surat Al-Baqarah, tidak akan dimasuki setan”.[10] Rasulullah saw. menegaskan, bahwa orang yang tidak suka membaca Al-Qur’an bagaikan sebuah rumah yang hancur dan tidak layak lagi duhuni : “Sesungguhnya orang yang dirongga mulutnya tidak terdapat sedikitpun suara Al-Qur’an, orang itu bagaikan rumah yang roboh”.[11]

2
Mahir Al-Qur’an yang kedua adalah kemampuan menangkap mutiara-mutiara indah Al-Qur’an, baik yang tersurat maupun yang tersirat, sebagai cahaya yang dapat menerangi dalam mengarungi bahtera kehidupan di alam fana ini. Perjuangan untuk memahami Al-Qur’an, yang pertama diperlukan kemantapan iman terhadap Al-Qur’an itu sendiri sebagai pedoman hidup. Langkah kedua menumbuhkan “himmah” __ kemauan keras __ untuk membaca Al-Qur’an. Ketiga, adanya kesediaan intelektual untuk mencari tahu makna-makna dari ayat-ayat yang dibaca, sehingga dapat memberikan nilai tambah sebagai hamba yang beriman. Dan selanjutnya merenungkan __ tadabbur dan tafakkur __ makna-makna yang sudah ditemukan, sehingga dapat menaiki tangga pemahaman yang mampu mengantarkan seorang hamba menuju kehidupan yang bernuansa surgawi. Dan pada gilirannya akan mendatangkan pengaruh positif berupa mantapnya iman.

Suatu ketika pada zaman Rasulullah terdapat beberapa orang pemuda yang menceritakan pengalamannya dalam perjuangan meraih tingkat keimanan yang lebih tinggi. Mereka menuturkan sebagaimana yang dikisahkan oleh Jundub bin Abdillah : “Kami berada bersama Nabi saw. dan kami adalah termasuk pemuda yang kekar dan kuat. Kami belajar iman sebelum belajar Al-Qur’an, lalu kami belajar Al-Qur’an, maka dengan itu, bertambah mantaplah iman kami”.[12]

Begitu pentingnya memahami Al-Qur’an, maka hamba yang berjuang menyelami lautan ilmu, mejaring intan permata qur’ani, disejajarkan dengan hamba yang bergerak menuju medan perang.[13] Bahkan Rasulullah saw. memberikan informasi kepada Abu Dzar yang sungguh sangat menggiurkan kita untuk menata langkah guna menggapai nilai-nilai luhur yang tersimpan dalam Al-Qur’an itu. Informasi beliau adalah : “Wahai Abu Dzar! Sesungguhnya keluarmu di pagi hari untuk mempelajari satu ayat dari kitab Allah, itu lebih baik bagimu dari salat seratus rakaat. Dan keluarmu di pagi hari untuk mempelajari ilmu, satu bab dari ilmu pengetahuan, diamalkan atau tidak, itu lebih baik bagimu dari salat seribu rakaat”.[14] Dalam Al-Qur’an banyak ditemukan ayat-ayat yang memberikan motivasi kepada kita agar menggali lautan Al-Qur’an, antara lain adalah : “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?”.[15] Ayat lain : “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya orang-orang yang mengerti dapat memikirkan”.[16]

Di sisi lain, dalam Al-Qur’an terdapat anjuran memikirkan, mengkaji dan meneliti alam semesta __ yang juga termasuk ayat-ayat Allah yang lazim disebut dengan ayat kauniah __ atau lebih tepat kita katakan sebagai anjuran melakukan research. Firman Allah : “”Maka apakah mereka tidak memikirkan unta bagaimana ia diciptakan, dan langit bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan? Dan bumi bagaimana ia dihamparkan?[17] Perlu diketahui, bahwa Allah sekali-kali tidak merasa malu membuat pemisalan atau metafora, untuk mengajarkan kepada manusia tentang kebesaran-Nya. Firman Allah : “Sesunggunya Allah tidak segan-segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau lebih rendah daripada itu. Adapun orang-orang yang beriman, mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar datang dari Tuhan mereka…..”[18]

3
Mahir mengamalkan Al-Qur’an dalam kehidupan kita sehari-hari. Kitab suci Al-Qur’an sebagai sumber pedoman hidup harus dipahami dan selanjutkan diamalkan dengan penuh keyakinan, bahwa Allah akan memberikan kenikmatan yang penuh berkah. Rasulullah saw. memberikan informasi yang diriwayatkan oleh Ali bin Abi Thalib : “Barangsiapa membaca Al-Qur’an dan memliharanya dengan cara mengamalkan kandungannya, Allah pasti akan memasukkannya ke dalam surga, dan kepadanya diberikan syafaat (pertolongan) untuk sepuluh orang penghuni rumahnya”.[19]

Membaca sabda Nabi di atas sangat jelas, bahwa mengamalkan isi kandungan Al-Qur’an tidak hanya memberikan manfaat bagi dirinya sendiri, tetapi juga memberikan manfaat bagi orang lain. Dalam sabda yang lain Rasulullah saw. menegaskan : “Barangsiapa membaca Al-Qur’an dan mengamalkan isi kandungannya, maka di hari kiamat nanti akan dipakaikan mahkota kepada kedua orang tuanya, yang cahayanya lebih indah dari cahaya matahari di rumah-rumah dunia”.[20]

Apabila kita berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mahir membaca, memahami dan mengamalkan Al-Qur’an, berarti kita telah berada dalam medan perjuangan untuk menjadi ahli-ahli Al-Qur’an yang akan mendapatkan pengakuan Allah sebagai keluarga-Nya, serta akan mendapatkan perlakukan istimewa dalakm menggapai rido-Nya. Rasulullah saw. Bersabda : “Sesunggunya Allah mempunyai keluarga dari kalangan manusia, Mereka bertanya : Wahai Rasulullah! Siapaka mereka itu? Beliau menjawab : Mereka itu adalah ahli Al-Qur’an, itulah keluarga Allah dan orang-orang istimewa-Nya”.[21]

Sungguh sangat rugi, bila janji Allah dan Rasul-Nya tidak kita respon positif, Marilah kita terus berjuang menjadi hamba Allah yang ahli Al-Qur’an. Selama perjuangan terus berlangsung, pasti Allah akan membukakan pintu meraih sukses dan rido-Nya pasti akan dilimpahkan buat kita 






[1]. Abi ‘Isa Muhammad bin ‘Isa, Ibnu Saurah Al-Tirmidzi, jilid 5, Dar Al- Kutub Al-Ilmiah, Beirut, Lebanon, 1977 M / 1408 H, hal. 180.
عن عبد الله بن عمرٍو قال : قلتُ : يا رسولَ اللهِ فِيْ كَم أقرَأُ القرﺁنَ؟ قال : اَخْتِمْهُ في شَهْرٍ. قلتُ : إِنِّيْ أُطِيْقُ أفضلَ مِن ذلك. قال : اَخْتِمْهُ في عِشْرِيْنَ. قلتُ : إِنِّيْ أُطِيْقُ أفضلَ مِن ذلك. قال : اَخْتِمْهُ في خَمسةَ عشرَ. قلتُ : إِنِّيْ أُطِيْقُ أفضلَ مِن ذلك. قال : اَخْتِمْهُ في عَشْر. قلتُ : إِنِّيْ أُطِيْقُ أفضلَ مِن ذلك. قال : اَخْتِمْهُ في خَمْسٍ. قلتُ : إِنِّيْ أُطِيْقُ أفضلَ مِن ذلك. قال : فَمَا رَخَّصَ لِيْ - رواه الترمذي
[2]. Abu Daud Sulaiman bin Al-Asy’ats Al-Sajastani, Sunan Abu Daud, jilid1, Dar Al-Fikr, Beirut Lebanon, 1994 M / 1414 H, hal. 340.
عن ابي هريرة عن النبي r قال : ما اجتمع قومٌ في بيتٍ مِنْ بيوتِ اللهِ يتلونَ كتابَ اللهِ ويتدارسون بينهم إلاَّ نزَلت عليهم السكينةُ وحفَّتْهُم الملائكةُ وذكرهم الله ُ فيمن عنده - رواه ابو داود
[3]. Ibid, jilid 1, hal. 340
عَنْ عَائِِشَةَ عن النبي r قال : الذي يقرءُ القرﺁنَ وهو ماهرٌ به مع السّفرةِ الكِرم البررةِ، والذي يقرأه وهو شاقٌّ عليه فله اجران - رواه ابو داود
[4]. QS. Al-Ankabut [29] : 69
[5]. QS. Al-Muzammil [73] : 4
[6]. Saurah Al-Tirmidzi, jilid 5, Op cit, hal. 163.
عن عبد الله بن عمرٍو عن النبي r قال : يُقَالُ لصاحب القرﺁن "اِقرَأْ وارتَقِ ورتِّل كما كنتَ تُرتِّلُ في الدنيا فان منـزلتَك عندَ ﺁخرِ ﺁيةٍ تقرأ بِها - رواه الترمذي
[7]. QS. Yunus [10] : 57, Al-Isra’ [17] : 82, dan Fush-Shilat [41] : 44
[8]. Abu Daud, Op cit, jilid 1, hal. 343
عن البَّرَّاءِ بن عازِبٍ قال : قال رسول الله r : زيِّنوا القرﺁنَ باصواتكم - رواه ابو داود

[9]. Sunan Al-Tirmidzi, jilid 5, Op cit, hal. 138.
عن ابي موسى الأشعري قال : قال رسول الله r : مثل المؤمن الذي يقرأ القرﺁنَ كمثل الأُتْرُجَّةِ ريحها طيب وطعمها طيب, و مثل المؤمن الذي لا يقرأ القرﺁنَ كمثل التمرة لا ريح لَها وطعمها حُلوٌ, , و مثل المنافق الذي يقرأ القرﺁنَ كمثل الرَّيْحانة ريحها طيب وطعمها مر, و مثل المنافق الذي لا يقرأ القرﺁنَ كمثل الحنظلة ريحها مُرٌّ وطعمها مر - رواه الترمذي
[10]. Ibid, jilid 5, hal 145
عن ابي هريرة ان رسول الله r قال : لاتجعلوا بيوتكم مقابر وإن البيت الذي تقرأ فيه البقرة لا يدخله الشيطان - رواه الترمذي
[11]. Ibid, jilid 5, hal 162
عن ابن عباس قال : قال رسول الله r : إن الذي ليس في جوفه شيء من القرﺁنَ كا البيت الْخَرِبِ- رواه الترمذي
[12]. Abi Abdillah Muhammad bin Yazid Al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, jilid1, Dar Ahya’ Al-Kutub Al- Arabiah Al-Babi Al-Halabi, tanpa tahun, hal.23
عن جندب بن عبد الله قال كنا مع النبي r ونحن فتيان حَزَاوِرَةٌ فتعلَّمْنا الإيمانَ قبل أن تعلَّمْنا القرﺁنَ, ثم تعلَّمْنا القرﺁنَ, فازدَدْنا به ايمانا – رواه ابن ماجه
[13]. Renungkan firman Allah QS. At-Taubah [9] : 122
[14]. Sunan Ibnu Majah, jilid1, Op cit, hal. 79
عن ابي ذرٍّ قال : قال لي رسول الله r : يا ابا ذرٍّ! لأن تغدوا فتعلم ﺁ يةً من كتاب الله خيرٌ لك من ان تصلي مائةَ ركعةٍ. و لأن تغدوا فتعلم بابا من العلم عُمِلَ به اولم يُعْمَلْ خيرٌ لك من ان تصلي الفَ ركعةٍ– رواه ابن ماجه

[15]. QS. Muhammad [47] : 24
[16]. QS. Shad [38] : 29
[17]. QS. Al-Ghasyiyah [88] : 17 - 20
[18]. QS. Al-Baqara [2] : 26
[19]. Sunan Ibnu Majah, jilid1, Op cit, hal. 78
عن علي ابن ابي طالب قال : قال رسول الله r : من قرأ القرﺁنَ وحفظه ادخله الله الجنة وشفعه في عشرة من اهل بيته – رواه ابن ماجه

[20]. Abu Daud, Op cit, jilid 1, hal. 340
عن سهل ابن معاذ الجهني عن ابيه ان رسول الله r قال : من قرأ القرﺁنَ وعمل لما فيه البس والداه تاجا يوم القيامة ضوؤه احسن من ضوء الشمس في بيوت الدنيا- رواه ابو داود
[21]. Sunan Ibnu Majah, jilid1, Op cit, hal. 78
عن انس بن مالك قال : قال رسول الله r : إن ِلله أهلين من الناس, قالوا : يا رسول الله! من هم؟ قال : هم اهل القرﺁن, هم اهل الله وخاصته– رواه ابن ماجه

0 komentar: