“Minal ‘Aaidin Wal Fa izin”, lazim diucapkan kepada sanakkeluarga, sahabat dan kerabat pada Idul Fitri. Ungkapan itu sebenarnya adalah do’a, yang bila kita terjemahkan terbentuklah kalimat do’a yang cukup panjang, yaitu :“Minal ‘Aa-idiin” : “Ya Allah, jadikanlah hamba-Mu ini termasuk bahagian dari orang-orang yang kembali kepada kesucian (fithrah)”. “Wal Faa-iziin” : “Ya Allah, dan jadikanlah pula hamba-Mu ini termasuk bahagian dari orang-orang yang beruntung”.
Kata : “Aa-idiin” kita tidak dapat merujuk kepada Al-Qur’an, karena kata itu tidak ditemukan di dalamnya. Berbeda dengan kata “Faa-iziin” yang berarti “keberuntungan” dan berasal dari kata “Fawz” yang dalam berbagai macam bentuknya ditemukan dalam Al-Qur’an sebanyak 29 kali, dan hanya satu kali yang menerangkan keberuntungan yang bersifat material, yaitu surat An-Nisa’ [4] ayat 73. Sedang selebihnya menerangkan keberunbtungan yang bersifat ruhaniah, yaitu berupa pengampunan dan rido Allah, sehingga meraih kenikmatan surgawi.
Syarat untuk meraih hal tersebut adalah sikap lapang dada dan senang memafkan, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an surat An-Nur [24] ayat 22 yang artinya : “dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema'afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
Menurut sejarah, latar belakang turunnya ayat ini berhubungan dengan sumpah Abu Bakar bahwa dia tidak akan memberi bantuan apa-pun kepada kerabatnya ataupun orang lain yang terlibat dalam menyiarkan berita bohong tentang diri 'Aisyah yang dibuat oleh Abdullah bin Ubay bin salul. Gosip yang beredar adalah 'Aisyah situduh selingkuh dengan Shafwan bin Al-Mu’aththal. Diantara yang terlibat menyebarkan fitnah itu adalah Misthah yang selalu mendapatkan nafkah dari Abu Bakar karena kerabat dan kefakirannya. Begitu marahnya terhadap orang yang terlibat menyebarkan fitnah itu, Abu bakar bersumpah : “Demi Allah, aku tidak akan memberi nafkah lagi kepada Misthah karena ucapannya tentang ‘Aisyah. Maka turunlah ayat ini yang melarang melaksanakan sumpahnya, dan menyuruhnya “mema'afkan” dan “berlapang dada”.
Menyikapi firman Allah yang turun kepada Rasulullah, Abu Bakar bersumpah : “Demi Allah, sesungguhnya aku mengharapkan ampunan Allah”. Dia lalu mema’afkan Misthah dan memberi nafkah kembali seperti biasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar