Sabtu, 15 April 2017

THALAQ (CERAI)

THALAQ (CERAI)

Pengertian Thalaq

Thalaq menurut bahasa (حل القيد والإطلاق) yaitu melepaskan ikatan dan membebaskan. Menurut syara’  (إسم لحل قيد النكاح)  yaitu sebutan untuk melepaskan ikatan nikah.[1] Umpama : “Kamu telah aku thalaq” atau “Sekarang kamu sudah kuceraikan”.
Dalil  Bolehnya Thalaq
Allah swt berfirman :
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. (QS. Al-Baqarah: 229)
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar). (QS. Ath Thalaq : 1)
Apabila antara suami isteri terjadi perselisihan yang menimbulkan permusuhan, kebencian antar keduanya atau terhadap kaum kerabatnya, sehingga tidak ada jalan lain, sedang usaha damai sudah dilakukan, namun tidak menghasilkan kedamaian untuk melanjutkan ikatan pernikahan, maka thalaq (perceraian) itulah jalan satu-satunya yang dapat ditempuh. Menurut hukum asal, thalaq itu makruh adanya, berdasarkan hadits Nabi :
حَدَّثَنَا كَثِيرُ بْنُ عُبَيْدٍ الْحِمْصِيُّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ خَالِدٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ الْوَلِيدِ الْوَصَّافِيِّ عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَبْغَضُ الْحَلَالِ إِلَى اللَّهِ الطَّلَاقُ. (رواه ابن ماجه :  2008 – سنن ابن ماجه– المكتبة الشاملة –الجزء : 6صفحة : 175)
Telah menceritakan kepada kami Katsiir bin ‘Ubaid Alhimshi, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Khaalid, dari ‘Ubaidillah bin Al-Walid Al-Washshafi,  dari Muhaarib bin Ditsaar, dari Abdullah bin ‘Umar, ia berkata : Rasulullah saw bersabda : “Perkara halal yang dibenci Allah adalah thalaq (perceraian).” (HR.Ibnu Majah : 2008, Sunan Ibnu Majah, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz : 6, hal. 175)
Ketika suami mendapati akhlak isterinya buruk, maka Rasulullah memberikan pilihan antara menceraikan dan menahannya, sebagaimana hadits berikut :
أَخْبَرَنَا إِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَ حَدَّثَنَا النَّضْرُ بْنُ شُمَيْلٍ قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ قَالَ أَنْبَأَنَا هَارُونُ بْنُ رِئَابٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ تَحْتِي امْرَأَةً لَا تَرُدُّ يَدَ لَامِسٍ قَالَ طَلِّقْهَا قَالَ إِنِّي لَا أَصْبِرُ عَنْهَا قَالَ فَأَمْسِكْهَا. (رواه النسائي : 3411- سنن النسائي  – المكتبة الشاملة – باب ما جاء فى الخلع- الجز ء :  11- صفحة :   170)
Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami An-Nadlr bin Syumail, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Harun bin Ri-ab, dari Abdillah bin ‘Ubaid bin ‘Umair, dari Ibnu Abbas, bahwa seseorang lelaki bertanya kepada Nabi : Wahai Rasulullah, isteriku tidak menolak tangan lelekai yang menyentuhnya.  Nabi bersabda : Ceraikan dia! Lelaki itu berkata : Aku masih sayang padanya. Nabi menjawab : (kalau begitu) Pertahankan dia! (HR. An-Nasai : 3411, Sunan An-Nasai, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab Maa Jaa-a Fil-Khulu’i,  juz : 11, hal. 170)
Walaupun thalaq itu boleh, namun suami tidak boleh menjatuhkan thalaq sewaktu istrinya dalam keadaan haidh atau dalam keadaan suci setelah digaulinya, berdasarkan hadits berikut :
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ لِيُمْسِكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ ثُمَّ تَطْهُرَ ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِي أَمَرَ اللَّهُ أَنْ تُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ. (رواه البخاري:  4850 – صحيح البخاري– المكتبة الشاملة – باب قول الله تعالى يايها النبي اذا طلقتم- الجز ء : 16- صفحة :     292)
Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abdillah, ia berkata : Telah menceritakan kepada ku Maik, dari Nafi’,  dari ‘Abdullah bin ‘Umar ra, bahwasanya ia (Abdullah bin Umar)  pernah menthalaq isterinya dan isterinya dalam keadaan haidh, itu dilakukan di masa Rasulullah saw. Lalu ‘Umar bin Al-Khathab menanyakan masalah ini kepada Rasulullah saw. Beliau saw lantas bersabda : “Suruhlah ia (Abdullah bin Umar), hendaklah ia meruju’ isterinya kembali, lalu menahannya hingga isterinya suci, kemudian haidh hingga ia suci kembali. Kemudian sesudah itu, bila ia (Abdullah bin Umar) mau, maka boleh menahannya, dan bila ia (Abdullah bin Umar) mau, maka boleh menceraikannya dalam keadaan suci sebelum ia menggaulinya. Itulah Al-‘iddah sebagaimana yang telah diperintahkan Allah supaya perempuan dithalaq ketika itu. (HR. Bukhari :  4850, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab Qaulu Allaahu : Yaa Ayyuhan Nabiyyu Idzaa Thallaqtum,  juz : 16, hal. 292)
Hukum Thalaq
Dilihat dari kemaslahatan dan kemdharatannya,[2] maka hukum thalaq berlaku hukum taklifi (pembebanan) yang lima, yaitu :
1.  Thalaq hukumnya wajib, apabila dalam hubungan berumah tangga, pasangan suami istri sering bertikai. Kemudian seorang hakim mengutus dua orang juru damai dari kedua belah pihak untuk mendamaikan keadaan keduanya. Namun, setelah juru damai melihat keadaan keduanya, mereka berpendapat bahwa perceraian adalah jalan terbaik bagi keduanya. Maka, ketika itu suami wajib menceraikan istrinya.
2.  Thalaq hukumnya menjadi mustahab (dianjurkan), manakala seorang isteri melalaikan hak-hak Allah seperti shalat, puasa, dan yang semisalnya. Sementara suami tidak memiliki kemampuan lagi untuk memaksanya atau memperbaiki keadaannya. Thalaq seperti ini juga dapat dilakukan manakala isteri tidak bisa menjaga kehormatannya.
3.  Thalaq hukumnya menjadi mubah (diperbolehkan), ketika perceraian itu sendiri dibutuhkan. Misalkan suami mendapati akhlak istrinya buruk, sehingga suami merasa dipersulit olehnya. Sementara suami tidak mendapatkan harapan dari kebaikan istrinya. Hal ini berkaitan dengan sikap nusyuz (kedurhakaan) seorang istri terhadap suami.
4.  Thalaq hukumnya menjadi makruh, ketika tidak ada alasan kuat untuk menjatuhkan thalaq karena hubungan keduanya harmonis. Sebagaimana diriwayatkan dari ‘Amr bin Dinar ra, ia berkata : “Ibnu ‘Umar menceraikan istrinya, kemudian istrinya berkata, ‘Apakah kamu melihat sesuatu yang kamu benci dariku?’ ‘Tidak,’ jawabnya. Ia berkata, ‘Lalu kenapa kau menthalaq seorang muslimah yang menjaga kehormatannya?’ ‘Amr bin Dinar berkata, “Akhirnya beliau rujuk kembali dengannya.”
5.  Thalaq hukumnya menjadi haram, manakala seorang suami menthalaq isterinya dalam keadaan haidh atau dalam keadaan suci setelah menggaulinya.[3]
Ucapan Thalaq
Kalimat yang diguakan untuk perceraian ada dua macam, yaitu :
1.   Ucapan sharih   (صريح)yaitu ucapan yang jelas dan tegas, tidak mengandung keraguan, bahwa yang dimaksud adalah melepaskan ikatan perkawinan, seperti kata suami : “Saya ceraikan kamu” atau  “Engkau telah terthalaq”. Kalimat yang sharih ini tidak memerlukan niat. Artinya thalaq itu jatuh setelah mengucapkan dengan sengaja walaupun hatinya tidak berniat menthalaq istrinya.
2.   Ucapan kinayah (كناية) yaitu ucapan sindiran, tidak jelas, mengandung keraguan, mungkin ucapan itu maksudnya adalah melepaskan ikatan perkawinan (thalaq) atau mungkin untuk maksud yang lain, seperti : “Pulanglah engkau ke rumah orang tuamu”, atau “Pergilah dari sini” dan sebagainya. Ucapan thalaq kinayah memerlukan adanya niat. Thalaqnya itu baru sah dengan adanya niat, dan jika tidak disertai niat, maka thalaqnya belum jatuh.[4]
Bergurau Dipandang Sungguhan
Ada tiga hal ketika serius adalah dipandang sungguhan dan ketika berguraua-pun adalah dipandang sungguhan, yaitu nikah, thalaq, dan ruju’, sebagaimana ditegaskan dalam sebuah hadits :
حَدَّثَنَا الْقَعْنَبِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ يَعْنِي ابْنَ مُحَمَّدٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ حَبِيبٍ عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ عَنْ ابْنِ مَاهَكَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ ثَلَاثٌ جَدُّهُنَّ جَدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جَدٌّ النِّكَاحُ وَالطَّلَاقُ وَالرَّجْعَةُ.(رواه ابو داود :  187– سنن ابو داود – المكتبة الشاملة– باب فى الطلاق على الهزل– الجزء  6 –صفحة :  109)
Telah menceritakan kepada kami Alqa’nabi, Telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz, yzitu Ibnu Muhammad, dari Abdurrahman bin Habib, dari ‘Atha’ bin Abi Rabah, dari Ibnu Mahak, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda : Ada tiga perkara seriusnya adalah sungguhan dan gurauannya juga adalah sungguhan, yaitu nikah, thalaq, dan ruju’. (HR.Abu Daud : 1875, Sunan Abu Daud, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Fith-Thalaq ‘alal hazl, juz : 6, hal. 109).
  Belum Jatuh Thalaq  
Walaupun sudah kuat sekali keinginan menceraikan isteri, rumah tangga sudah berantakan dan suami isteri sudah tidak serumah lagi, tetapi apabila belum diucapkan, maka ikatan suami isteri masih tetap, sebagaimana dinyatakan di dalam hadits :
حَدَّثَنَا عَمْرٌو النَّاقِدُ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ قَالَا حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ ح و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُسْهِرٍ وَعَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ ح و حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُثَنَّى وَابْنُ بَشَّارٍ قَالَا حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عَدِيٍّ كُلُّهُمْ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي عَرُوبَةَ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ زُرَارَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ تَجَاوَزَ لِأُمَّتِي عَمَّا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَكَلَّمْ بِهِ. (رواه  مسلم : 182- صحيح مسلم – المكتبة الشاملة -  باب  تجاوز الله عن حديث النفس والخواطر بالنفس- الجزء :   1- صفحة :   317)
Telah menceritakan  kepada kami Amr An-Naqid dan Zuhair bin Harb, mereka berkat : Telah menceritakan  kepada kami Ismail bin Ibrahim, dan telah menceritakan  kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah, telah menceritakan  kepada kami Ali bin Mushir dan ‘Abdah bin Sulaiman, dan telah menceritakan  kepada kami Ibnu Al-Mutsanna dan Ibnu Basysyar, mereka berkata : Telah menceritakan  kepada kami Ibnu Abi ‘Adi, semuanya dari Sa’id Abi Abi ‘Arubah, dari Qatadah, dari Zurarah, dari Abu Hurairah, ia berkata : Rasulullah saw bersabda : "Sesungguhnya Allah 'azza wajalla mengampuni umatku apa yang dibisikkan dan dikatakan oleh hati mereka selama tidak melakukan atau mengucapkannya”. (HR.Muslim : 182, Shahih Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah,  bab  Tajawazu Allah ‘an haditsin nafsi wal khawathir bil qalbi, juz : 1, hal. 317)
Cerai Tidak Dipaksa
Cerai tidak boleh dipaksa oleh siapapun, dan bila dipaksa oleh orang lain, hukumnya sama dengan kinayah yaitu kalau memang hatinya membenarkan, maka jatuhlah thalaq itu dan kalau tidak membenarkan, maka thalaq itu belum dianggap jatuh. Hadits Nabi :
حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ يُوسُفَ الْفِرْيَابِيُّ حَدَّثَنَا أَيُّوبُ بْنُ سُوَيْدٍ حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ الْهُذَلِيُّ عَنْ شَهْرِ بْنِ حَوْشَبٍ عَنْ أَبِي ذَرٍّ الْغِفَارِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ. (رواه ابن ماجه : 2033– سنن ابن ماجه– المكتبة الشاملة طلاق المكره والناسي–الجزء : 6صفحة :  215)
Telah menceritakan  kepada kami Ibrahim bin Muhammad bin Yusuf Al-Firyani, telah menceritakan  kepada kami  Ayyub bin Suwaid, telah menceritakan  kepada kami Abu Bakar Al-Hudzali, dari Syahr bin Hausyab, dari Abi Dzar Al-Ghifari, ia berkata : Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya Allah telah mema’afkan kesalahan-kesalahan uamtku yang tidak disengaja, karena lupa dan yang dipaksa melakukannya”. (HR.Ibnu Majah : 2033, Sunan Ibnu Majah, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Thalaqul Mukrah wan-Nasi, juz : 6, hal. 215)





[1]. Baca kitab Kifayatul Akhyar oleh Imam Taqiyuddin, Darul Ilmi, Surabaya, tanpa tahun,  juz 2, hal. 68
[2]. Baca Fiqh Islam oleh H. Sulaiman Rasjid, PT. Sinar Baru Bandung, cetakan 32, tahun 1998, hal.402 - 403
[3]. http://akieftakaful.blogspot.co.id/2011/03/talak-menurut-agama-islam.html
[4]. Op Cit,  Kifayatul Akhyar oleh Imam Taqiyuddin, juz 2, hal. 68

Tidak ada komentar:

Posting Komentar