N U S Y U Z
Secara kebahasaan, nusyuz
berasal dari akar kata an-nasyz atau an-nasyaaz yang berarti
”tempat tinggi”. [1] Berarti
”sikap tidak patuh dari salah seorang diantara suami dan isteri”, atau
”perubahan sikap suami atau isteri”. Berikut ini kita tampilkan beberapa
penegrtian Nusyuz :
النُّشُوزِ
وَهُوَ الْخُرُوجُ عَنْ الطَّاعَةِ، وَأَصْلُهُ الِارْتِفَاعُ، وَقَدْ يَكُونُ
مِنْ الزَّوْجِ كَمَا يَكُونُ مِنْ الزَّوْجَةِ
Nusyuz adalah Keluar
dari ketaatan (meninggalkan kewajiban bersuami isteri). Dan makna asalnya
adalah ketinggian atau merasa lebih tinggi. Nusyuz terkadang datang dari pihak
suami, sebagaimana juga terkadang datang dari pihak isteri.[2]
وَالنُّشُوْزُ:هُوَ
الْاِرْتِفَاعُ.فَالْمَرْأَةُ النَّاشِزُ هِيَ الْمُرْتَفِعَةُ عَلَى زَوْجِهَا،التَّارِكَةُ
لِأَمْرِهِ،الْـمُعْرِضَةُ عَنْهُ،الْـمُبْغِضَةُ لَهُ
An-Nusyuz adalah merasa lebih tinggi. Berarti wanita yang
nusyuz adalah wanita yang merasa tinggi di atas suami-nya dengan meninggalkan
perintahnya, berpaling dan membencinya. [3]
أَصْل النُّشُوز
الِارْتِفَاع وَنُشُوز الْمَرْأَة هُوَ بُغْضهَا لِزَوْجِهَا وَرَفْع نَفْسهَا
عَنْ طَاعَته وَالتَّكَبُّر عَلَيْهِ
Makna asal kata Nusyuz adalah ketinggian. Wanita yang
nusyuz adalah wanita yang marah terhadap suaminya, meninggikan diri dengan
meninggalkan ketaatan terhadap suaminya, serta sombong kepadanya.[4]
Pemakaian kata an-nusyuuz
kemudian berkembang menjadi ”Al-’Ishyaan” yang berarti ”durhaka”. Sikap
”durhaka” atau sikap tidak patuh adalah terjadi karena tidak menunaikan hak dan
kewajiban dari salah seorang diantara suami dan isteri. Dan salah satu contoh nusyuz dari pihak suami ialah bersikap keras atau kasar
terhadap isterinya; tidak mau menggaulinya dan tidak mau memberikan haknya;
sedangkan nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin
suaminya, dll.
Ketika nusyuz itu datang dari pihak isteri, maka Allah memerintahkan
kepada suami untuk memberi pelajaran kepada isteri yang dikhawatirkan
pembangkangannya. Dan yang pertama sekali harus dilakukan oleh suami adalah
memberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat, barulah dipisahkan dari tempat
tidur, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul dengan pukulan
yang tidak meninggalkan bekas, pukulan yang tidak berbahaya. Bila cara pertama
telah ada manfaatnya, janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya.
Firman Allah :
وَاللَّاتِي
تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ
وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا
wanita-wanita
yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka
di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu,
maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. (QS. An-Nisa : 34)
Wanita yang nusyuz adalah wanita yang merasa tinggi di
atas suami-nya dengan meninggalkan perintahnya, berpaling dan membencinya. Ketika
tanda-tanda nusyuz itu timbul dari seorang isteri, maka segeralah sang suami
memberikan nasehat dan mengingatkan sang isteri dengan azab Allah, jika durhaka
kepada suaminya. Karena Allah telah mewajibkan atas isteri untuk memenuhi hak
suami, dengan ketaatan kepada suami, serta mengharamkan durhaka kepadanya,
karena keutamaan dan kelebihan yang dimiliki seorang suami atas isterinya.
Rasulullah saw menuturkan dalam sabdanya tentang kewajiab
isteri untuk taat kepada suaminya,
antara lain :
أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ
ابْنِ عَجْلَانَ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ
وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ . (رواه النسائي : 3179 – سنن النسائي– المكتبة الشاملة – الجزء 10 –
صفحة : 333)
Telah mengabarkan kepada kami Qutaibah, ia berkata :
Telah menceritakan kepda kami Al-Laits, dari Ibnu ‘Ajlan, dari Sa’id
Al-Maqbari, dari Abi Hurairah, ia berkata : Rasulullah saw ditanya : Wanita
yang bagaimanakah yang terbaik? Beliau menjawab yang menyenangkan suami tatkala
melihatnya, taat tatkala suami memerintah, tidak menyalahi suaminya dalam
mengurus diri dan harta, hingga melakukan yang tidak disenangi. (HR. An-Nasai : 3179, Sunan. An-Nasai, Al-Maktabah Asyamilah, juz 10,
hal. 333)
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ حَدَّثَنَا النَّضْرُ
بْنُ شُمَيْلٍ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ
تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا. (رواه الترمذي :1079 – سنن الترمذي – المكتبة الشاملة – الجزء 4 – صفحة :386)
Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Ghailan, telah menceritakan
kepada kami An-Nadlar bin Syumail, telah mengabarkan kepada kami Muhammad bin ‘Amr, dari Abu Salamah, dari Abu
Hurairah, dari Nabi saw, beliau bersabda : Seandainya aku boleh menyuruh
seorang sujud kepada seseorang, maka aku akan perintahkan seorang wanita sujud
kepada suaminya. (HR.
Tirmidzi : 1079, Sunan Tirmidzi, Al-Maktabah Asyamilah, juz 4, hal. 386)
Sujud merupakan bentuk ketundukan,
sehingga hadits tersebut di atas mengandung makna bahwa suami mendapatkan hak
terbesar atas ketaatan isteri kepadanya. Sedangkan kata : “Seandainya aku
boleh…,” menunjukkan bahwa sujud kepada manusia tidak boleh (dilarang) dan
hukumnya haram.
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ
الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَعَا الرَّجُلُ
امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا
الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ. (رواه البخاري
: 2998 صحيح البخاري– المكتبة الشاملة – الجزء 11 –
صفحة : 14)
Telah menceritakan kepad kami Musaddad, telah menceritakan
kepada kami Abu ‘Awanah dari Al-A’masy, dari Abu Hazim, dari Abu Hurairah ra,
ia berkata: Rasulullah saw telah bersabda : Apabila seorang lelaki memanggil
istrinya ke tempat tidur, kemudian si istri enggan mendatanginya (menolak), lalu suaminya
semalaman marah terhadapnya, maka para malaikat melaknatinya sampai pagi hari.
(HR. Bukhari : 2998, shahih
Bukhari, Al-Maktabah Asyamilah, juz 11, hal. 14)
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ
حَدَّثَنَا أَبُو الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَا يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا
شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَلَا تَأْذَنَ فِي بَيْتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَمَا
أَنْفَقَتْ مِنْ نَفَقَةٍ عَنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَإِنَّهُ يُؤَدَّى إِلَيْهِ
شَطْرُهُ. (رواه البخاري : 4796 -صحيح البخاري– المكتبة الشاملة – الجزء 16 – صفحة : 199)
Telah menceritakan kepada kami Abu Al-Yaman, telah mengabarkan kepada kami Syu’aib, telah menceritakan kepada kami Abu Az-Zinad, dari Al-A’raj,
dari Abu Hurairah ra. Bahwa Rasulullah saw bersabda : Tidak halal bagi
seorang wanita untuk berpuasa (puasa sunnah), sedangkan suaminya ada, kecuali dengan izinnya. Tidak halal bagi
seorang wanita untuk mengizinkan orang lain masuk ke rumahnya, kecuali dengan
izinnya. Apa yang wanita nafqahkan tanpa
perintah suaminya, maka setengahnya mesti dibayar pada suaminya. (HR. Bukhari : 4796, shahih
Bukhari, Al-Maktabah Asyamilah, juz 16, hal. 199)
Suami yang nusyuz adalah suami
yang menampakkan sikap tak acuh hingga berpisah ranjang daripadanya dan
melalaikan pemberian nafkahnya, adakalanya karena marah atau karena matanya
telah terpikat kepada wanita lain, maka
boleh bagi keduanya mengadakan perdamaian, perbaikan dan pendekatan secara
baik-baik. Perhatikan firman Allah berikut :
وَإِنِ امْرَأَةٌ
خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ
يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ
الشُّحَّ وَإِنْ تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ
خَبِيرًا
Dan jika seorang wanita khawatir
akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi
keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih
baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu
bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan
sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan. (QS. An-Nisa :128)
Asbabun Nuzul surah An-Nisa ayat 128
Suatu ketika Saudah binti Zam’ah setelah berusia lanjut dan
dalam hatinya timbul keragu-raguan dan khawatir diceraikan oleh Rasulullah Saw,
dia berkata : “Wahai Rasulullah, hari giliranku aku hadiahkan kepada Aisyah”.
Sehubungan dengan hal itu Allah Swt menurunkan ayat ke 128 sebagai ketegasan,
bahwa seorang istri boleh menghadiahkan gilirannya kepada istri yang lain,
sebagimana yang telah dilakukan Saudah binti Zam’ah istri Rasulullah Saw. (Diriwayatkan
oleh Abu Dawud dan Hakim dari Aisyah. Imam Tirmidzi meriwayatkan pula yang
bersumber dari Ibnu Abbas).
Dalam riwayat
yang lain, ada seorang wanita datang kepada suaminya seraya berkata : “Aku
ridla mendapat nafkah lahiriah saja darimu, sekalipun tidak mendapat giliran nafkah
batin, asalkan tidak diceraikan. Sehubungan dengan kata-kata seorang istri itu
Allah Swt menurunkan ayat ini sampai akhir ayat, yang dengan tegas memberikan
keterangan bahwa seorang istri diperbolehkan memberikan gilirannya kepada istri
yang lain atau mempersilahkan suaminya menikah lagi, sekiranya si istri sudah
tidak mampu melayani hubungan seksual, dengan mengajukan permohonan agar tidak
diceraikan. Sebagai suami seharusnya mengabulkan permohonan istrinya untuk
tidak menceraikan. (Diriwayatkan Ibnu
Jarir yang bersumber dari Sa’id bin Jubair)[5]
Suami
Nusyuz Kepada Istri
Perilaku durhaka (nusyuz)
suami kepada istri sangat banyak bentuknya, antara lain sebagai berikut :
Tidak mau melunasi hutang mahar (mas kawin), menarik kembali mahar tanpa
keridloan istri, menelantarkan belanja istri, tidak menyediakan tempat tinggal
buat istri/menelantarkan istri, tidak memberi kebutuhan seksual istri, memperlakukan
istri dengan kasar, mengajak istri berbuat dosa, membebani kerja istri diluar kemampuannya, tidak
adil dalam memberikan nafkah lahir dan bathin istri–istrinya (bagi yang
berpoligami), mengusir istri dari rumahnya, melimpahkan tanggungjawab suami
kepada istri, menuduh istri berbuat zina tanpa bukti sah, menceraikan istri
dengan sewenang-wenang, tanpa alasan yang dibenarkan oleh Syar’i, menyebarkan
rahasia hubungan suami istri kepada orang lain (membeberkan kelemahan istri
kepada orang lain), mencari-cari kesalahan istri, melupakan jasa baik istri, membanding-bandingkan
istri dengan orang lain (merendahkan martabat istri di depan orang), tidak
memberi nafkah istri saat dalam masa iddah, dan lain sebagainya.[6]
Perilaku durhaka (Nusyuz) suami terhadap istri diatas sudah sering kita
saksikan dalam kehidupan sehari-hari atau bahkan secara tidak sadar, mungkin kita
pernah khilaf melakukannya. Masih ada waktu untuk memperbaiki diri, menjadikan keluarga kita sebagai sarana ibadah
demi mencari ridha Allah.
KESIMPULAN
Nusyuz yaitu meninggalkan
kewajiban bersuami istri. Jika terjadi nusyuz suami-istri sebaiknya menempuh langkah
yang terbaik, yaitu diadakan perdamaian diantara keduanya. Karena memberi maaf
dan perdamaian itu adalah perbuatan yang lebih baik. Kita merujuk dari ajaran
islam yang menjunjung tinggi ajaran yang penuh kasih sayang, damai, tanpa ada kekerasan.
Kalau pasangan suami istri menyadari hal itu akan terwujud keluarga yang
sejahtera seperti apa yang diidam-idamkannya, yaitu keluarga yang sakinah,
mawadah wa rahmah.
[1]. Kamus Arab – Indonesia oleh Prof. DR. H. Mahmud Yunus,
PT.Hidakarya Agung Jakarata, tanpa tahun, hal. 452
[2]. Baca kitab Syarai’ul Islam fi mk asailil halal, Imamiyyah, , Al-Maktbah Asy-Syamilah, juz 2, hal. 499
[3]. Baca tafsir Ibnu Katsir, Al-Maktbah Asy-Syamilah, juz 2, hal. 294
[4]. Baca Syarah hadits ‘Awnul Ma’buud, Al-Maktbah Asy-Syamilah, juz 5, hal. 30
[5]. Baca kitab Asbabun Nuzul oleh Imam As-Suyuthy, Darul Fajr
Lit-Turats, Kairo Mesir, 2002M,hal. 146
[6]. https://hermanaalwi.wordpress.com/2013/05/28/30-ciri-suami-durhakanusyuz-kepada-istri/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar