Rabu, 01 Februari 2017

NUSYUZ

 

N U S Y U Z
Secara kebahasaan, nusyuz berasal dari akar kata an-nasyz atau an-nasyaaz yang berarti ”tempat tinggi”. [1] Berarti ”sikap tidak patuh dari salah seorang diantara suami dan isteri”, atau ”perubahan sikap suami atau isteri”. Berikut ini kita tampilkan beberapa penegrtian Nusyuz :
النُّشُوزِ وَهُوَ الْخُرُوجُ عَنْ الطَّاعَةِ، وَأَصْلُهُ الِارْتِفَاعُ، وَقَدْ يَكُونُ مِنْ الزَّوْجِ كَمَا يَكُونُ مِنْ الزَّوْجَةِ
Nusyuz adalah Keluar dari ketaatan (meninggalkan kewajiban bersuami isteri). Dan makna asalnya adalah ketinggian atau merasa lebih tinggi. Nusyuz terkadang datang dari pihak suami, sebagaimana juga terkadang datang dari pihak isteri.[2]  
وَالنُّشُوْزُ:هُوَ الْاِرْتِفَاعُ.فَالْمَرْأَةُ النَّاشِزُ هِيَ الْمُرْتَفِعَةُ عَلَى زَوْجِهَا،التَّارِكَةُ لِأَمْرِهِ،الْـمُعْرِضَةُ عَنْهُ،الْـمُبْغِضَةُ لَهُ
An-Nusyuz adalah merasa lebih tinggi. Berarti wanita yang nusyuz adalah wanita yang merasa tinggi di atas suami-nya dengan meninggalkan perintahnya, berpaling dan membencinya. [3]
أَصْل النُّشُوز الِارْتِفَاع وَنُشُوز الْمَرْأَة هُوَ بُغْضهَا لِزَوْجِهَا وَرَفْع نَفْسهَا عَنْ طَاعَته وَالتَّكَبُّر عَلَيْهِ
Makna asal kata Nusyuz adalah ketinggian. Wanita yang nusyuz adalah wanita yang marah terhadap suaminya, meninggikan diri dengan meninggalkan ketaatan terhadap suaminya, serta sombong kepadanya.[4]
Pemakaian kata an-nusyuuz kemudian berkembang menjadi ”Al-’Ishyaan” yang berarti ”durhaka”. Sikap ”durhaka” atau sikap tidak patuh adalah terjadi karena tidak menunaikan hak dan kewajiban dari salah seorang diantara suami dan isteri. Dan salah satu contoh nusyuz dari pihak suami ialah bersikap keras atau kasar terhadap isterinya; tidak mau menggaulinya dan tidak mau memberikan haknya; sedangkan nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya, dll.
Ketika nusyuz itu datang dari pihak isteri, maka Allah memerintahkan kepada suami untuk memberi pelajaran kepada isteri yang dikhawatirkan pembangkangannya. Dan yang pertama sekali harus dilakukan oleh suami adalah memberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat, barulah dipisahkan dari tempat tidur, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas, pukulan yang tidak berbahaya. Bila cara pertama telah ada manfaatnya, janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya. Firman Allah :
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا
wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. (QS. An-Nisa : 34)
Wanita yang nusyuz adalah wanita yang merasa tinggi di atas suami-nya dengan meninggalkan perintahnya, berpaling dan membencinya. Ketika tanda-tanda nusyuz itu timbul dari seorang isteri, maka segeralah sang suami memberikan nasehat dan mengingatkan sang isteri dengan azab Allah, jika durhaka kepada suaminya. Karena Allah telah mewajibkan atas isteri untuk memenuhi hak suami, dengan ketaatan kepada suami, serta mengharamkan durhaka kepadanya, karena keutamaan dan kelebihan yang dimiliki seorang suami atas isterinya.
Rasulullah saw menuturkan dalam sabdanya tentang kewajiab isteri untuk taat kepada  suaminya, antara lain : 
أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ ابْنِ عَجْلَانَ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ . (رواه النسائي : 3179 – سنن النسائي– المكتبة الشاملة – الجزء  10  صفحة : 333)
Telah mengabarkan kepada kami Qutaibah, ia berkata : Telah menceritakan kepda kami Al-Laits, dari Ibnu ‘Ajlan, dari Sa’id Al-Maqbari, dari Abi Hurairah, ia berkata : Rasulullah saw ditanya : Wanita yang bagaimanakah yang terbaik? Beliau menjawab yang menyenangkan suami tatkala melihatnya, taat tatkala suami memerintah, tidak menyalahi suaminya dalam mengurus diri dan harta, hingga melakukan yang tidak disenangi. (HR. An-Nasai : 3179, Sunan. An-Nasai, Al-Maktabah Asyamilah, juz 10, hal. 333)
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ حَدَّثَنَا النَّضْرُ بْنُ شُمَيْلٍ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا. (رواه الترمذي :1079 – سنن الترمذي – المكتبة الشاملة – الجزء 4  صفحة :386)
Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Ghailan, telah menceritakan kepada kami An-Nadlar bin Syumail, telah mengabarkan kepada kami Muhammad  bin ‘Amr, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, dari Nabi saw, beliau bersabda : Seandainya aku boleh menyuruh seorang sujud kepada seseorang, maka aku akan perintahkan seorang wanita sujud kepada suaminya. (HR. Tirmidzi : 1079, Sunan Tirmidzi, Al-Maktabah Asyamilah, juz 4, hal. 386)
Sujud merupakan bentuk ketundukan, sehingga hadits tersebut di atas mengandung makna bahwa suami mendapatkan hak terbesar atas ketaatan isteri kepadanya. Sedangkan kata : “Seandainya aku boleh…,” menunjukkan bahwa sujud kepada manusia tidak boleh (dilarang) dan hukumnya haram.
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ. (رواه  البخاري : 2998 صحيح البخاري– المكتبة الشاملة – الجزء  11  صفحة : 14)
Telah menceritakan kepad kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Al-A’masy, dari Abu Hazim, dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Rasulullah saw telah bersabda : Apabila seorang lelaki memanggil istrinya ke tempat tidur, kemudian si istri enggan  mendatanginya (menolak), lalu suaminya semalaman marah terhadapnya, maka para malaikat melaknatinya sampai pagi hari. (HR. Bukhari :  2998, shahih Bukhari, Al-Maktabah Asyamilah, juz 11, hal. 14)
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ حَدَّثَنَا أَبُو الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَا يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَلَا تَأْذَنَ فِي بَيْتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ نَفَقَةٍ عَنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَإِنَّهُ يُؤَدَّى إِلَيْهِ شَطْرُهُ. (رواه البخاري :  4796 -صحيح البخاري– المكتبة الشاملة – الجزء   16  صفحة :  199)
Telah menceritakan kepada kami Abu Al-Yaman, telah mengabarkan  kepada kami Syu’aib,  telah menceritakan kepada kami Abu Az-Zinad, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah ra. Bahwa Rasulullah saw bersabda : Tidak halal bagi seorang wanita untuk berpuasa (puasa sunnah),   sedangkan suaminya ada,  kecuali dengan izinnya. Tidak halal bagi seorang wanita untuk mengizinkan orang lain masuk ke rumahnya, kecuali dengan izinnya.  Apa yang wanita nafqahkan tanpa perintah  suaminya, maka setengahnya mesti dibayar pada suaminya. (HR. Bukhari : 4796, shahih Bukhari, Al-Maktabah Asyamilah, juz 16, hal. 199)
Suami yang nusyuz adalah suami yang menampakkan sikap tak acuh hingga berpisah ranjang daripadanya dan melalaikan pemberian nafkahnya, adakalanya karena marah atau karena matanya telah terpikat kepada wanita  lain, maka boleh bagi keduanya mengadakan perdamaian, perbaikan dan pendekatan secara baik-baik. Perhatikan firman Allah berikut :
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحَّ وَإِنْ تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. An-Nisa :128)
Asbabun Nuzul surah An-Nisa ayat 128
Suatu ketika  Saudah binti Zam’ah setelah berusia lanjut dan dalam hatinya timbul keragu-raguan dan khawatir diceraikan oleh Rasulullah Saw, dia berkata : “Wahai Rasulullah, hari giliranku aku hadiahkan kepada Aisyah”. Sehubungan dengan hal itu Allah Swt menurunkan ayat ke 128 sebagai ketegasan, bahwa seorang istri boleh menghadiahkan gilirannya kepada istri yang lain, sebagimana yang telah dilakukan Saudah binti Zam’ah istri Rasulullah Saw. (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Hakim dari Aisyah. Imam Tirmidzi meriwayatkan pula yang bersumber dari Ibnu Abbas).
Dalam riwayat yang lain, ada seorang wanita datang kepada suaminya seraya berkata : “Aku ridla mendapat nafkah lahiriah saja darimu, sekalipun tidak mendapat giliran nafkah batin, asalkan tidak diceraikan. Sehubungan dengan kata-kata seorang istri itu Allah Swt menurunkan ayat ini sampai akhir ayat, yang dengan tegas memberikan keterangan bahwa seorang istri diperbolehkan memberikan gilirannya kepada istri yang lain atau mempersilahkan suaminya menikah lagi, sekiranya si istri sudah tidak mampu melayani hubungan seksual, dengan mengajukan permohonan agar tidak diceraikan. Sebagai suami seharusnya mengabulkan permohonan istrinya untuk tidak menceraikan. (Diriwayatkan  Ibnu Jarir yang bersumber dari Sa’id bin Jubair)[5]
Suami Nusyuz Kepada Istri
Perilaku durhaka (nusyuz) suami  kepada istri sangat banyak bentuknya, antara lain sebagai berikut : Tidak mau melunasi hutang mahar (mas kawin), menarik kembali mahar tanpa keridloan istri, menelantarkan belanja istri, tidak menyediakan tempat tinggal buat istri/menelantarkan istri, tidak memberi kebutuhan seksual istri, memperlakukan istri dengan kasar, mengajak istri berbuat dosa,  membebani kerja istri diluar kemampuannya, tidak adil dalam memberikan nafkah lahir dan bathin  istri–istrinya (bagi yang berpoligami), mengusir istri dari rumahnya, melimpahkan tanggungjawab suami kepada istri, menuduh istri berbuat zina tanpa bukti sah, menceraikan istri dengan sewenang-wenang, tanpa alasan yang dibenarkan oleh Syar’i, menyebarkan rahasia hubungan suami istri kepada orang lain (membeberkan kelemahan istri kepada orang lain), mencari-cari kesalahan istri, melupakan jasa baik istri, membanding-bandingkan istri dengan orang lain (merendahkan martabat istri di depan orang), tidak memberi nafkah istri saat dalam masa iddah, dan lain sebagainya.[6] Perilaku durhaka (Nusyuz) suami terhadap istri diatas sudah sering kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari atau bahkan secara tidak sadar, mungkin kita pernah khilaf melakukannya. Masih ada waktu untuk memperbaiki diri,  menjadikan keluarga kita sebagai sarana ibadah demi mencari ridha Allah.
KESIMPULAN
Nusyuz yaitu meninggalkan kewajiban bersuami istri. Jika terjadi nusyuz suami-istri sebaiknya menempuh langkah yang terbaik, yaitu diadakan perdamaian diantara keduanya. Karena memberi maaf dan perdamaian itu adalah perbuatan yang lebih baik. Kita merujuk dari ajaran islam yang menjunjung tinggi ajaran yang penuh kasih sayang, damai, tanpa ada kekerasan. Kalau pasangan suami istri menyadari hal itu akan terwujud keluarga yang sejahtera seperti apa yang diidam-idamkannya, yaitu keluarga yang sakinah, mawadah wa rahmah.



[1]. Kamus Arab – Indonesia oleh Prof. DR. H. Mahmud Yunus, PT.Hidakarya Agung Jakarata, tanpa tahun, hal. 452
[2]. Baca kitab Syarai’ul Islam fi mk asailil halal, Imamiyyah, ,  Al-Maktbah Asy-Syamilah, juz 2, hal. 499   
[3]. Baca tafsir Ibnu Katsir, Al-Maktbah Asy-Syamilah, juz 2, hal. 294  
[4]. Baca Syarah hadits ‘Awnul Ma’buud,  Al-Maktbah Asy-Syamilah, juz 5, hal. 30  
[5]. Baca kitab Asbabun Nuzul oleh Imam As-Suyuthy, Darul Fajr Lit-Turats, Kairo Mesir, 2002M,hal. 146
[6]. https://hermanaalwi.wordpress.com/2013/05/28/30-ciri-suami-durhakanusyuz-kepada-istri/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar