Menerima atau menolak pinangan/lamaran adalah hak dari pihak-pihak
yang dipinang/dilamar. Tetapi, agar tidak menimbulkan fitnah, tentu penolakan hendaknya dilakukan dengan sikap
arif, cara yang halus dan lembut, tanpa menyinggung perasaan, namun
si pelamar itu bisa memahami dan menerima maksud dan tujuan dari rangkaian kata
yang disampaikan, yaitu penolakan. Sehingga fitnah yang dikhawatirkan tidak terjadi. Di antara kemuliaan yang Allah
berikan kepada kaum wanita setelah datang Islam adalah bahwa mereka mempunyai
hak penuh dalam menerima atau menolak suatu lamaran, yang mana hak ini dulunya
tidak dimiliki oleh kaum wanita di zaman jahiliah. Karenanya, tidak boleh bagi seorang
wali memaksa wanita yang diwalikan untuk menikahi lelaki yang tidak disenangi.
Rasulullah saw memberikan bimbingan kepada kita dengan tegas, bahwa wali tidak boleh menikahkan
seorang janda sebelum dimusyawarahkan dengannya dan tidak boleh pula menikahkan
anak gadis atau perawan sebelum mendapatkan
izin darinya. Hadits Nabi :
حَدَّثَنَا
مُعَاذُ بْنُ فَضَالَةَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنْ يَحْيَى عَنْ أَبِي سَلَمَةَ
أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ حَدَّثَهُمْ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ : لَا تُنْكَحُ
الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلَا تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ
قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ إِذْنُهَا قَالَ أَنْ تَسْكُتَ. (رواه البخاري : 4741- صحيح البخاري – المكتبة الشاملة - باب لا
ينكح الأب وغيره البكر والثيب إلا بإذنها- الجزء : 16- صفحة : 100)
Telah
menceritakan kepada kami Mu'adz bin Fadlalah, telah menceritakan kepada kami
Hisyam, dari Yahya, dari Abu Salamah, bahwa Abu Hurairah menceritakan kepada
mereka bahwasanya; Nabi saw bersabda: "Seorang janda tidak
boleh dinikahi hingga ia dimintai pendapatnya, sedangkan gadis tidak boleh
dinikahkan hingga dimintai izinnya." Para sahabat bertanya : "Wahai
Rasulullah, seperti apakah izinnya?" beliau menjawab: "Bila ia diam
tak berkata." (HR.Bukhari : 4741, shahih
Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab laa yankihul abu wa ghairuhu al-bikra
wats-Tsayyiba illaa bi-idzniha, juz : 16, hal. 100)
Dalam riwayat yang lain, Rasulullah saw menegaskan, bahwa
"Keridlaan seorang gadis adalah
diamnya." Ketika seorang gadis itu ditanya, apakah dia suka, senang
atau ridla menerima lamaran dari seorang lelaki yang sedang meminangnya, dan
ternyata dia diam, tidak menjawab pertanyaan, maka berarti dia suka dan ridla
menerma pinangan dari lelaki itu. Hadits Nabi :
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ الرَّبِيعِ بْنِ طَارِقٍ قَالَ
أَخْبَرَنَا اللَّيْثُ عَنْ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ أَبِي عَمْرٍو مَوْلَى
عَائِشَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ الْبِكْرَ تَسْتَحِي
قَالَ رِضَاهَا صَمْتُهَا. (رواه البخاري : 4742- صحيح البخاري – المكتبة
الشاملة - باب لا ينكح الأب وغيره البكر والثيب إلا بإذنها- الجزء : 16- صفحة : 101)
Telah
menceritakan kepada kami Amru bin Ar Rabi' bin Thariq, ia berkata : Telah
mengabarkan kepada kami Al-Laits, dari Ibnu Abu Mulaikah, dari Abu Amru, bekas
budak Aisyah, dari Aisyah, bahwa ia berkata : "Wahai Rasulullah,
sesungguhnya seorang gadis itu pemalu." Beliau pun bersabda :
"Keridla`annya adalah diamnya." (HR.Bukhari : 4742, shahih Bukhari, Al-Maktabah
Asy-Syamilah, bab laa yankihul abu wa ghairuhu al-bikra wats-Tsayyiba illaa
bi-idzniha, juz : 16, hal. 101)
Untuk menikahkan seorang
gadis, maka seorang wali harus mendapatkan persetujuan dari anak gadisnya, dan tanda izin dari wanita yang masih gadis atau
perawan cukup dengan diamnya, karena biasanya perawan malu untuk mengungkapkan
keinginannya. Sedangkan seorang janda lebih
berhak atas dirinya daripada walinya. Tanda
izin dari seorang yang sudah janda adalah dengan cara mengucapkannya. Hadits Nabi :
و حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ
عَنْ زِيَادِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْفَضْلِ سَمِعَ نَافِعَ بْنَ
جُبَيْرٍ يُخْبِرُ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ
وَلِيِّهَا وَالْبِكْرُ تُسْتَأْمَرُ وَإِذْنُهَا سُكُوتُهَا. (رواه مسلم : 2546- صحيح مسلم – المكتبة الشاملة - باب استئذان الثيب فى النكاح- الجزء : 7- صفحة : 242)
Dan
telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id, telah menceritakan kepada
kami Sufyan, dari Ziyad bin Sa'ad, dari Abdullah bin Fadll, bahwa dia mendengar
Nafi' bin Jubair mengabarkan, dari Ibnu Abbas, bahwasannya Nabi saw bersabda : "Seorang janda lebih berhak
atas dirinya daripada walinya, sedangkan perawan (gadis) harus dimintai izin
darinya, dan diamnya adalah izinnya." (HR.Muslim
: 2546, Shahih Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Isti’dzanuts Tsayyib fnnikah, juz : 7,
hal. 242)
Menurut jumhurul ulama’, yang dimaksud dengan
“seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya” adalah hanya
dalam hal izin saja.[1] Artinya, wali
dapat menikahkannya setelah mendapatkan izinnya. Jika seorang wali menikahkan
putrinya, sementara si putri tidak suka, tidak senang, maka nikahnya tertolak, berdasarka
hadits Nabi saw, dari Khansa’ binti Khidzam Al-Anshariyah ra :
- حَدَّثَنَا يَحْيَى
بْنُ قَزَعَةَ حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ عَنْ
أَبِيهِ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَمُجَمِّعٍ ابْنَيْ يَزِيدَ بْنِ جَارِيَةَ
الْأَنْصَارِيِّ عَنْ خَنْسَاءَ
بِنْتِ خِذَامٍ الْأَنْصَارِيَّةِ أَنَّ أَبَاهَا زَوَّجَهَا وَهِيَ ثَيِّبٌ
فَكَرِهَتْ ذَلِكَ فَأَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّ
نِكَاحَهَا. (رواه البخاري : 6432- صحيح البخاري – المكتبة الشاملة - باب لا يجوز نكاح المكره - الجزء : 21- صفحة : 273)
Telah
menceritakan kepada kami Yahya bin Qaza'ah, telah menceritakan kepada kami
Malik, dari 'Abdurrahman bin Al Qasim, dari ayahnya, dari 'Abdurrahman dan
Mujamma', dua anak Yazid bin Jariyah Al-Anshari, dari Khansa' binti
Khidzam Al-Anshariyah; bahwa ayahnya mengawinkannya -ketika itu ia janda- dengan
lak-laki yang tidak disukainya, kemudian dia menemui Nabi saw dan beliau
membatalkan pernikahannya. (HR. Bukhari
: 6432, shahih Bukhari, Al-Maktabah
Asy-Syamilah, bab
laa yajuuzu nikahul mukrah, juz : 21,
hal. 273)
Menurut Imam Syafi’i, Ahmad dan Abu Tsaur : Apabila
seorang wali menikahkan putrinya tanpa izin dari padanya, maka pernikahannya
adalah batal, berdasarkan perbuatan Nabi saw yang telah membatalkan pernikahan Khansa'.[2]
Artinya, seorang wali tidak boleh memaksakan
kehendaknya untuk menikahkan putrinya, sementara si putri tidak suka,
tidak senang, dan apabila pernikahan dilaksanakan
juga dengan cara paksa, maka pernikahnya
batal.[3]
Wali disyariatkan untuk memberikan masukan atau saran-saran yang baik, lalu
meminta pendapat dan izin dari wanita yang bersangkutan sebelum menikahkannya.
Lalu bagaimana dengan hdits Nabi
saw yang diriwayatkan oleh Abu Huraurah ra : "Jika
seseorang melamar (anak perempuan dan kerabat) kalian, sedangkan kalian ridha
agama dan akhlaknya (pelamar tersebut), maka nikahkanlah dia (dengan anak
perempuan atau kerabat kalian). Jika tidak, niscaya akan terjadi fitnah di muka
bumi dan kerusakan yang besar." (HR.Tirmdzi)- Dan hadits
dari Abu Hatim Al-Muzani, ia berkata; Rasulullah saw bersabda: "Jika seseorang datang
melamar (anak perempuan dan kerabat) kalian, sedang kalian ridha pada agama dan
akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Jika tidak kalian lakukan, niscaya akan
terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan." Para shahabat bertanya : Wahai
Rasulullah, "Meskipun dia tidak kaya." Beliau bersabda : "Jika
seseorang datang melamar (anak perempuan) kalian, kalian ridha pada agama dan
akhlaknya, maka nikahkanlah dia." Beliau mengatakannya tiga kali. (HR.Tirmidzi)
Adapun hadits di atas yang menyebutkan akan
terjadi fitnah bila seorang wanita menolak lamaran laki-laki yang shalih, tentu
harus dipahami dengan lengkap dan jernih. Hadits itu bukan dalam posisi untuk
menetapkan bahwa sebuah lamaran dari laki-laki yang shalih itu haram ditolak.
Tidak demikian kandungan hukumnya. Puteri seorang raja atau pembesar, tentu
tidak berdosa bila menolak lamaran dari seorang lelaki yang tidak disukainya, mungkin
keduanya tidak sekufu atau memang tidak saling cocok satu dengan yang lainnya. Bahkan
di dalam syariah Islam, seorang wanita yang sudah menikah, namun merasa tidak
cocok dengan suaminya, masih punya hak untuk bercerai dari suaminya. Apa lagi
baru sekedar lamaran. Hadits Nabi :
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ الْوَاسِطِيُّ حَدَّثَنَا خَالِدٌ
عَنْ خَالِدٍ الْحَذَّاءِ عَنْ عِكْرِمَةَ أَنَّ أُخْتَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
أُبَيٍّ بِهَذَا وَقَالَ تَرُدِّينَ حَدِيقَتَهُ قَالَتْ نَعَمْ فَرَدَّتْهَا
وَأَمَرَهُ يُطَلِّقْهَا وَقَالَ إِبْرَاهِيمُ بْنُ طَهْمَانَ عَنْ خَالِدٍ عَنْ
عِكْرِمَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَطَلِّقْهَا
وَعَنْ أَيُّوبَ بْنِ أَبِي تَمِيمَةَ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ
أَنَّهُ قَالَ جَاءَتْ امْرَأَةُ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي لَا
أَعْتِبُ عَلَى ثَابِتٍ فِي دِينٍ وَلَا خُلُقٍ وَلَكِنِّي لَا أُطِيقُهُ فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ
حَدِيقَتَهُ قَالَتْ نَعَمْ (رواه البخاري : 4868- صحيح البخاري – المكتبة الشاملة - باب الخلع
وكيف الطلاق فيه- الجزء : 16- صفحة : 321)
Telah
menceritakan kepada kami Ishaq Al-Wasithi, telah menceritakan kepada kami
Khalid, dari Khalid Al-Hadzdza`, dari Ikrimah, bahwa saudara perempuan Abdullah bin Ubay dengan ini beliau
berkata : "Kembalikanlah kebun miliknya." Ia berkata, "Ya."
Lalu ia pun mengembalikannya, dan beliau memerintahkan agar menceraikannya. Dan telah berkata Ibrahim bin Thahman, dari Khalid,
dari Ikrimah, dari Nabi saw, beliau bersabda : "Dan ceraikanlah
ia." Dan dari Ayyub bin Abu Tamimah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas,
bahwa ia berkata : Isteri Tsabit bin Qais datang kepada Rasulullah saw dan berkata : "Wahai Rasulullah,
sesungguhnya aku tidak mencela Tsabit atas agama atau pun akhlaknya. Akan
tetapi, aku tak kuasa untuk hidup bersamanya." Maka Rasulullah saw bersabda : "Kalau begitu, kembalikanlah
kebun miliknya." Ia menjawab, "Ya." (HR.Bukhari : 4868, shahih Bukhari,
Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Al-Khulu’
wa kaifa Ath-Thalaqu fih, juz : 16, hal. 321)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar