MACAM-MACAM TALAK
Sengketa dalam rumah tangga sering kali
menjadi penyebab bagi pasangan suami istri untuk memilih jalan talak (cerai).
Akan tetapi, setelah perceraian itu terjadi banyak pasangan yang akhirnya
menyesal dan ingin kembali membina rumah tangga seperti sedia kala. Talak dalam agama Islam ada yang masih bisa membuat
pasangan suami istri itu kembali kepada pernikahan yang ada sebelum perceraian
atau dikenal dengan rujuk, dan ada pula
yang tidak boleh kembali lagi, sehingga talak itu dibagi menjadi dua macam, dengan
penjelasan sebagai berikut :
1.
Talak Raj’iy
Talak Raj’iy, yaitu talak yang masih memungkinkan bagi
suami yang menalak isterinya untuk kembali (rujuk) selama masih dalam ‘iddah. (‘Iddah
adalah waktu atau masa
tertentu bagi seorang wanita yang ditalak atau ditinggal mati oleh suami untuk menangguhkan
perkawinan dengan laki-laki lain). Bila seorang suami telah menalak istrinya, maka ia boleh, bahkan
dianjurkan untuk kembali (rujuk). Dengan
syarat keduanya sudah betul-betul hendak mengadakan perbaikan. Talak Raj’iy terdiri dari :
a. Talak Satu, yaitu suami telah menjatuhkan talak satu pada
istrinya. Talak yang pertama ini suami masih boleh kembali (rujuk) kepada istrinya.
b. Talak Dua, yaitu suami telah menjatuhkan talak lagi untuk
yang kedua kalinya kepada istrinya. Talak yang kedua ini suami masih boleh
kembali (rujuk) kepada istrinya.
Rujuk menurut syara’ adalah ungkapan tentang
kembali kepada pernikahan sesudah terjadi talak (cerai) yang bukan talak
baain (talak tiga) dengan cara tertentu.[1] Dasar atau landasan
tentang rujuk adalah Al-Qur’an dan hadits Nabi sebagai berikut :
وَإِذَا
طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ
سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَلَا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا وَمَنْ
يَفْعَلْ ذَلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ..... الآية
Apabila kalian
menalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah
mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf
(pula). Dan janganlah kalian rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena
dengan demikian kalian menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka
sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. (QS.
Al-Baqarah : 231)
Kata “Imsak” dalam
kalimat فَأَمْسِكُوهُنَّ (Fa-amsikuu Hunna), dan تُمْسِكُوهُنَّ وَلَا (walaa Tumsikuu hunna), bermakna
“Rujuk” (kembali).[2]
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا
إِصْلَاحًا
Dan suami-suaminya berhak
merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki
ishlah. (QS. Al-Baqarah : 228)
Kata “Radd” dalam
kalimat بِرَدِّهِنَّ (Biraddihinna), bermakna “Rujuk”
(kembali), dengan kesepakatan para ahli tafsir. [3]
Rasulullah saw pernah menalak Hafshah putri Umar bin Khathab,
kemudian beliau saw merujukinya, sebagaimana dalam hadits dari Umar berikut ini
:
حَدَّثَنَا سَهْلُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ الزُّبَيْرِ الْعَسْكَرِيُّ
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ زَكَرِيَّا بْنِ أَبِي زَائِدَةَ عَنْ صَالِحِ بْنِ
صَالِحٍ عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ
عَبَّاسٍ عَنْ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
طَلَّقَ حَفْصَةَ ثُمَّ رَاجَعَهَا. (رواه
ابو داود : 1943-
سنن ابو داود – المكتبة الشاملة – باب فى المراجعة - الجز ء : 6- صفحة : 206)
Telah menceritakan kepada kami
Sahl bin Muhammad bin Al-Zubair Al-‘Askariy, telah menceritakan kepada kami
Yahya bin Zakariya bin Abi Zaidah, dari Shalih bin Shalih, dari Salamah bin
Kuhail, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas, dari Umar, sesungguhnya
Rasulullah saw menceraikan Hafshah kemudian merujuknya. (HR. Abu Dawud
: 1943, Sunan Abu Dawud, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Fil-Muraja’ah, juz 6,
hal. 206)
Dalam kisah
tentang Ibnu Umar, Rasulullah saw bersabda kepada Umar agar putranya (Abdullah
bin Umar) disuruh rujuk (kembali) kepada isterinya, sebagaiman yang termaktub
dalam hadits berikut :
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ
حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ
طَلَّقَ امْرَأَتَهُ وَهِيَ حَائِضٌ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا. (رواه
البخاري: 4850 – صحيح البخاري– المكتبة
الشاملة – باب قول الله تعالى يايها النبي اذا طلقتم- الجز ء : 16- صفحة : 292)
Telah
menceritakan kepada kami Isma’il bin Abdillah, ia berkata : Telah menceritakan
kepada ku Maik, dari Nafi’, dari ‘Abdullah bin ‘Umar ra, bahwasanya ia (Abdullah bin Umar) pernah menalak isterinya dan isterinya dalam
keadaan haidh, itu dilakukan di masa Rasulullah saw. Lalu ‘Umar bin Al-Khathab menanyakan masalah ini kepada
Rasulullah saw. Beliau saw lantas bersabda : Suruhlah dia (Abdullah bin Umar), hendaklah
ia merujuki isterinya. (HR. Bukhari :
4850, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab Qaulu Allaahu : Yaa
Ayyuhan Nabiyyu Idzaa Thallaqtum, juz :
16, hal. 292)
Dalam melakukan rujuk hendaklah memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1.
Istri yang dapat dirujuk
selama ia masih dalam keadaan ‘Iddah.
2.
Istri yang dapat dirujuk adalah istri yang sudah dicampuri,
karena yang belum dicampuri tidak mempunyai ‘iddah.
3.
Istri yang dirujuk itu harus jelas (ditentukan). Jika suami
menalak beberapa orang istrinya, kemudian ia rujuk kepada salah seorang dari
mereka dengan tidak ditentukan siapa yang dirujukinya, maka rujuknya itu tidaak sah.
4.
Suami
melakukan rujuk atas kehendaknya sendiri, bukan dipaksa oleh siapapun.
5.
Rujuk tidak
disyaratkan ada saksi menurut qaul yang shahih. Namun ada pendapat sebagian
ulama, bahwa adanya saksi adalah sunat, bahkan ada yang berpendapat wajib.
6.
Lafaz
atau rangkaian kata (kalimat) yang digunakan untuk rujuk harus jelas/terang
(Sharikh), bagi yang mampu. Contoh : “Saya
kembali kepada istri saya” atau “Saya kembali kepada istri saya sebagai
seorang suami” atau “Saya rujuk (kembali) kepadamu” dll.
7.
Rujuk
tidak dapat menerima ta’liq (digantungkan); umapama : Seorang laki-laki berkata
kepada istri yang telah dithalaq : Aku rujuk (kembali) kepadamu, “Kalau
Engkau Mau” atau “Kalau Si Anu Datang”, lalu si wanita
berkata : “Iya Aku Mau”
atau “Iya Aku Terima”. Rujuk yang digantungkan (ta’liq) seperti
itu tidak sah.
2.
Talak Baain
Talak baain adalah talak
yang dijatuhkan suami, dan bekas suami tidak boleh merujuk (kembali), kecuali
dengan jalan akad nikah baru, dengan memenuhi seluruh syarat dan rukunnya.
Talak baain ada 2 macam :
a.
Talak Baain
Shughra (kecil) adalah talak yang
dijatuhkan oleh seorang suami, tetapi suami tidak melakukan rujuk hingga habis
masa 'iddah. Dengan demikian, suami tidak boleh rujuk (kembali), tetapi boleh melakukan akad nikah baru. Demikian pula dalam talak
tebus (Khulu’), suami tidak boleh rujuk, tetapi boleh menikah lagi dengan akad
nikah baru, baik dalam ‘iddah ataupun sesudah habis masa ‘iddahnya.
b.
Talak Baain Kubra (besar) adalah Talak yang sudah jatuh tiga kali. Jika talak
sudah jatuh tiga kali, maka suami tidak boleh rujuk (kembali) kepada istrinya, bahkan
tidak sah nikah lagi dengan mantan istrinya itu, kecuali istrinya sudah dinikahi
oleh laki-laki lain, sudah bercampur, sudah diceraikan dan sudah habis pula masa
‘iddahnya. [4]
Catatan
penting : Kalau seorang suami berkata
kepada istrinya yang sudah dicampurinya : ‘Engkau tertalak, Engkau
tertalak, Engkau tertalak’. Apakah dengan kalimat itu jatuh thalaq
tiga? Kita perhatikan uraian berikut ini :
1. Kalau suami
diam sejenak lebih dari sekedar bernafas diantara dua kalimat talak, maka jatuh
thalaq tiga.
2. Kalau suami
tidak diam dan bermaksud untuk menguatkan kalimat talak sebelumnya, maka jatuh
thalaq satu.
3. Kalau suami
bermaksud menyambung ucapannya, maka jatuh talak tiga.
4. Kalau suami
berkata : Engkau tertalak tiga, maka jatuh talak tiga.
[1]. Baca kitab Kifayatul Akhyar oleh Imam Taqiyuddin, Darul Ilmi,
Surabaya, tanpa tahun, juz 2, hal. 86
[2]. Baca tafsir Ath-Thabary, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz 5, hal. 7
[3]. Baca tafsir Ath-Thabary, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz 4, hal.
529. Dan Baca pula kitab Kifayatul Akhyar oleh Imam Taqiyuddin, Darul Ilmi,
Surabaya, tanpa tahun, juz 2, hal. 86
[4]. Baca kitab Kifayatul Akhyar oleh Imam Taqiyuddin, Darul Ilmi,
Surabaya, tanpa tahun, juz 2, hal. 87 –
Dan baca juga Fiqih Islam, oleh H. Sulaiman Rasjid, cetakan ke 32, PT.Sinar
baru Algensindo, Bandung, 1998, hal. 418 - 420.
[5]. Baca kitab Kifayatul Akhyar oleh Imam Taqiyuddin, Darul Ilmi,
Surabaya, tanpa tahun, juz 2, hal. 86