POLIGAMI ATAU
MONOGAMI
Ayat Al-Qur’an yang mengizinkan poligami hanya terdapat satu
ayat, yaitu dalam surat An-Nisa’ ayat 3 sebagai berikut :
وَإِنْ خِفْتُمْ
أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ
مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil
terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kalian mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kalian senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika
kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kalian miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya. (QS. An-Nisa’ : 3)
Ayat 3 surat
An-Nisa’ ini sebagai kelanjutan dari ayat 2 sebelumnya yang membicarakan
tentang tata cara memelihara anak yatim, agar tidak terdapat kecurangan dan
kezaliman terhadap hak-hak si yatim itu. Curang atau aniaya terhadap anak yatim
sungguh sangat berat dosanya. Boleh jadi terbersit dalam hati kita : “Si
Yatim ini lebih baik aku nikahi biar tetap berada dalam rumahku, kecantikannya
dapat aku persunting, hartanya akan tetap aman dalam genggamanku dan
maskawinnya dapat aku bayar dengan murah atau bahkan aku cukup menyebut dengan
angka-angka saja.” Sunggah amat nista bila kita mempunyai pikiran
seperti itu. Bila pemikiran kotor itu telah terlukis dalam dada, biar si yatim
tidak menjadi korban, lebih baik mencari saja wanita lain yang disenangi : dua,
tiga atau empat.
Untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih jelas, baiklah
kita cermati goresan pena imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya yang menyinggung
penjelasan ‘Aisyah, salah seorang isteri Rasulullah saw. Suatu ketika Urwah bin
Zubair bertanya kepada ‘Aisyah tentang asal mula datangnya ayat ini. ‘Aisyah
menjawab : Wahai keponakanku! Ayat ini berkenaan dengan seorang anak perempuan
yatim yang berada dalam asuhan walinya, hartanya bercampur dengan harta sang
wali. Dan sang wali tergiur akan harta dan kecantikannya, sehingga timbul
hasrat hendak menikahinya, tanpa membayar maskawin secara adil sebagaimana
pembayaran yang diberikan terhadap perempuan lainnya. Oleh karena niat yang
buruk itu, maka dilaranglah sang wali melangsungkan pernikahan dengan sang anak
asuhnya itu, kecuali jika dia dapat membayar maskawinnya secara adil, dan
sampai kepada tingkatan yang layak seperti yang diberikan kepada perempuan
lain. Dan daripada berbuat seperti niatnya yang buruk itu, dia dianjurkan menikahi
perempuan lain yang disenangi walaupun sampai empat.[1] Ayat
ini membatasi poligami sampai empat orang saja.
Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat
tertentu, antara lain yang tegas dan sangat berat langsung disebutkan oleh
Allah dalam Al-Qur’an yaitu “ADIL”. Sebelum kita melakukan poligami,
coba kita merenung sejenak, seberapa besar kemampuan kita untuk berbuat “ADIL”,
kemudian renungkan secara mendalam firman Allah surat An-Nisa’ ayat 129 berikut
ini :
وَلَنْ
تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا
تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا
وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
Dan kalian
sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (kalian),
walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kalian terlalu
cenderung (kepada yang kalian cintai), sehingga kalian biarkan yang lain
terkatung-katung. Dan jika kalian mengadakan perbaikan dan memelihara diri
(dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(QS. An-Nisa’ : 129)
Sebelum turun ayat ini, poligami sudah ada, dan bahkan
masyarakat Jahiliyah berbangga diri bila mempunyai isteri banyak, karena pintu
memperoleh anak banyak-pun terbuka lebar. Dan mempunyai anak banyak merupakan
kebanggan tersendiri bagi mereka. Poligami pernah pula dijalankan oleh para
Nabi sebelum Nabi Muhammad saw. Akan tetapi, pantaslah kita merenung, kenapa
Rasulullah saw, tidak suka putrinya yang bernama Fathimah di madu. Perhatikan sabda
Nabi saw berikut ini :
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يُونُسَ
وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ كِلَاهُمَا عَنْ اللَّيْثِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ ابْنُ
يُونُسَ حَدَّثَنَا لَيْثٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ
أَبِي مُلَيْكَةَ الْقُرَشِيُّ التَّيْمِيُّ أَنَّ الْمِسْوَرَ بْنَ مَخْرَمَةَ
حَدَّثَهُ أَنَّهُ
سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ
وَهُوَ يَقُولُ إِنَّ
بَنِي هِشَامِ بْنِ الْمُغِيرَةِ اسْتَأْذَنُونِي أَنْ يُنْكِحُوا ابْنَتَهُمْ
عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ فَلَا آذَنُ لَهُمْ ثُمَّ لَا آذَنُ لَهُمْ ثُمَّ لَا
آذَنُ لَهُمْ إِلَّا أَنْ يُحِبَّ ابْنُ أَبِي طَالِبٍ أَنْ يُطَلِّقَ ابْنَتِي
وَيَنْكِحَ ابْنَتَهُمْ فَإِنَّمَا ابْنَتِي بَضْعَةٌ مِنِّي يَرِيبُنِي مَا
رَابَهَا وَيُؤْذِينِي مَا آذَاهَا.(رواه
مسلم :4482- صحيح مسلم– المكتبة الشاملة– الجزء : 1- صفحة:202)
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Abdillah bin
Yunus dan Qutaibah bin Sa’id, keduanya dari Al-Laits bin S’ad. Ibnu Yunus
berkata : Telah menceritakan kepada kami Laits, telah menceritakan kepada kami
Abdullah bin Ubaidillah bin Abi Mulaikah Al-Qurasyi At-Taimy, bahwa Miswar bin Makhramah telah menceritakannya,
bahwa ia mendengar Rasululah saw, bersabda pada saat beliau sedang berada di
atas mimbar : Sesungguhnya Bani Hisyam bin
Mughirah telah meminta izin kepadaku untuk menikahkan putri-putrinya dengan Ali
bin Abi Thalib, maka saya tidak memberikan izin kepada mereka, kemudian saya
tidak memberikan izin kepada mereka, kemudian saya tidak memberikan izin kepada
mereka (beliau mengulangi sampai tiga kali), kecuali Ibnu Abi Thalib mau menceraikan
putriku (Fathimah), lalu silahkan menikahi putri-putri mereka. Maka
sesungguhnya putriku itu adalah bagian dariku, dapat menggelisahkan aku apa
yang menggelisahkan dia, dan dapat menyakiti aku apa yang menyakiti dia. (HR. Muslim : 4482, shahih Muslim,
Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz : 1, hal. 202).
Kita kembali kepada surat An-Nisa’ ayat 3 yang
berada pada bagian ujung yang tidak boleh kita lupakan : “Kemudian jika
kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya”. Sangat jelas bagi kita, jika takut tidak adil lebih
baik satu saja. Artinya, sebelum menambah isteri kita disuruh berpikir matang
terlebih dahulul. Dan dibagian paling ujung sangat jelas pula, bahwa Allah
memberikan pujian bagi orang yang beristeri satu, karena lebih dekat kepada
tidak berbuat aniaya. Dengan kata lain, beristeri lebih dari satu berpotensi
terjadinya penganiayaan, dan penganiayaan itu sangat dibenci oleh Allah. Kita
tinggal memilih, mau mendekat kepada pujian Allah atau sebaliknya.
Pernikahan yang ideal adalah
monogamy, bukan poligami. Pernikahan yang mendapatkan pengesahan dari Allah
sebagai perjanjian yang kuat (mitsaaqan ghalizhan)
antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan agar “supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan
sayang” (Baca QS. Ar-Ruum ayat 21). Ketenteraman sulit untuk dirasakan
dengan hanya sibuk menyelesaikan masalah isteri-isteri yang banyak itu.
Tidak pantaslah kita berdalih karena
hendak mengikuti “Sunnah” Rasulullah saw dan para sahabatnya yang umumnya
beristeri lebih dari satu. Kalau hendak mengikuti sunnah Rasulullah saw,
ikutilah tata cara beliau berlaku adil dalam banyak hal, sebab beliau ternyata tidak suka putrinya di
madu.
Rangkaian kata sebagai bahan
renungan : Menceburkan diri dalam poligami tanpa pemikiran yang matang,
bagaikan seekor kambing jantan yang digembalakan diantara dua ekor kambing
betina. Bagaikan seekor kambing jantan yang berkeliling di antara dua ekor
serigala. Keridlaan yang satu akan memicu kemarahan lainnya. Satu malam untuk
yang ini dan satu malam untuk yang itu. Pada kedua malam, celaan akan selalu
menerpa.
Lain lagi bila keadaan yang
menghendaki terjadinya “poligami”, misalnya : isteri tidak dapat memenuhi
kewajiban terhadap suami, isteri sakit yang berlarut-larut tak kunjung sembuh,
atau isteri mandul, apa boleh buat, “Pintu Cadangan” boleh kita buka.
Namun perlu adanya kejujuran dan sikap ridla sama ridla antara keduanya.
Seorang suami yang mempunyai
isteri lebih dari seseorang wajib menjaga keadilan antara isteri-isterinya
dengan seadil-adilnya, terutama menurut lahiriyahnya, berdasarkan firman Allah surat An-Nisa’ ayat 129 berikut ini :
وَلَنْ
تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا
تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا
وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
Dan kalian
sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (kalian),
walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kalian
terlalu cenderung (kepada yang kalian cintai), sehingga kalian biarkan yang
lain terkatung-katung. Dan jika kalian mengadakan perbaikan dan memelihara diri
(dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(QS. An-Nisa’ : 129)
Apabila kecintaan itu cenderung ditampakkan kepada
salah seorang isteri, tentu isteri yang lain akan disia-siakan, apalagi sampai tidak
dikunjungi. Nasib isteri yang tidak dikunjungi itu seperti perempuan yang digantung tidak
bertali. Dikatakan bersuami, tidak ada suami, dikatakan janda
ternyata masih bersuami. Oleh karena itu, jika berdamai, karena takut
melanggar, itulah yang lebih baik.[2]
Hadits Rasulullah saw menyatakan :
حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ الطَّيَالِسِيُّ حَدَّثَنَا
هَمَّامٌ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ النَّضْرِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ بَشِيرِ بْنِ
نَهِيكٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ كَانَتْ
لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
وَشِقُّهُ مَائِلٌ.
(رواه ابو داود : 1821- سنن ابو داود – المكتبة الشاملة – الجزء : 6 – صفحة : 33)
Telah menceritakan kepada kami Abu
Al-Walid Ath-Thayalisi, telah menceritakan kepada kami Hammam, telah
menceritakan kepada kami Qatadah, dari An-Nadlr bin Anas, dari Basyir bin
Nahik, dari Abu
Hurairah, dari Nabi saw, beliau bersabda : “Barangsiapa yang beristeri dua
orang, lalu ia cenderung kepada salah seorang antara keduanya (tidak adil), ia
datang di hari kiamat dengan badan miring.” (HR. Abu Dawud : 1821, Sunan Abu
Dawud, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz : 6, hal.33)
Dalam tafsir Al-Maraghi dapat
disimpulkan mengenai keadilan berpoligami yang terkandung dalam Surat An-Nisa’
ayat 129, bahwa diwajibkan bagi suami memelihara keadilan semaksimal mungkin
diantara para isterinya. Meskipun merupakan hal yang mustahil ditegakkan tetapi
hendaklah berusaha bersikap adil semaksimal mungkin sehingga tidak membuat para
isteri diabaiakan. Keadilan yang dibebankan oleh Allah disesuaikan dengan
kemampuan suami yaitu memperlakukan para isteri dengan baik dan tidak
mengutamakan sebagian yang lain dalam hal-hal yang termasuk dalam ikhtiar,
seperti pembagian giliran dan nafkah. Dan Allah swt akan mengampuni dalam
selain hal tersebut seperti kecintaan, kelebihan penyambutan dan lain sebagainya.[3]
Yang dimaksud dengan pembagian yang seadil-adilnya, ialah
dalam hal pembagian giliran dan pemberian nafkah. Nafkah sendiri meliputi :
biaya hidup (nafaqah), pakaian (kiswa), dan tempat tinggal (maskan).[4] Dalam hal ini Allah swt berfirman :
.....وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ
بِالْمَعْرُوفِ.....
“…Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma'ruf…” (QS. Al-Baqarah : 228)
Adapun perkara membagi kecintaan
dan kasih sayang, tidak seorangpun dibebani, sebab soal menjatuhkan cinta dan
kasih sayang di dalam hati, bukanlah urusan manusia, tetapi urusan Allah. Oleh
sebab itu, soal cinta dan kasih sayang boleh berlebih bagi yang lain, sebab
berada diluar kekuasaan manusia. Maka apa yang dinyatakan Allah dalam ayat di
atas : “Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di
antara isteri-isteri (kalian)”, yaitu dalam perkara cinta, dan cinta itu bukanlah
keadilan lahiriah. Hadits Rasulullah saw menyebutkan sebagai berikut :
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَعِيلَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ
عَنْ أَيُّوبَ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَزِيدَ
الْخَطْمِيِّ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَقْسِمُ فَيَعْدِلُ وَيَقُولُ اللَّهُمَّ هَذَا قَسْمِي فِيمَا أَمْلِكُ فَلَا
تَلُمْنِي فِيمَا تَمْلِكُ وَلَا أَمْلِكُ. (رواه ابو داود : 1822 - سنن ابو داود – المكتبة الشاملة – الجزء : 6 –
صفحة : 34)
Telah menceritakan kepada kami
Musa bin Isma’il, telah menceritakan kepada kami Hammad, dari Ayyub, dari Abu
Qilabah, dari Abdullah bin Yazid Al-Khathmi, dari ’Aisyah, ia berkata : Rasulullah saw selalu membagi (sesuatu) terhadap para istrinya dengan adil. Beliau bersabda :
"Ya Allah, inilah pembagianku sesuai dengan yang aku miliki, maka
janganlah Engkau mencela dengan apa yang Engkau miliki (kecintaan di
daam hati), dan aku tidak memiliknya. (HR. Abu Dawud : 1822, Sunan Abu
Dawud, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz : 6, hal. 34)
Adil Dalam
Pembagian Giliran
Salah satu pembagian yang penting
dilakukan oleh suami terhadap para isterinya ialah pembagian giliran. Hadits Rasulullah
saw menyatakan :
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا عَبْدُ
الرَّحْمَنِ يَعْنِي ابْنَ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ
أَبِيهِ قَالَ قَالَتْ عَائِشَةُ يَا ابْنَ أُخْتِي كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
لَا يُفَضِّلُ بَعْضَنَا عَلَى بَعْضٍ فِي الْقَسْمِ مِنْ مُكْثِهِ عِنْدَنَا
وَكَانَ قَلَّ يَوْمٌ إِلَّا وَهُوَ يَطُوفُ عَلَيْنَا جَمِيعًا فَيَدْنُو مِنْ
كُلِّ امْرَأَةٍ مِنْ غَيْرِ مَسِيسٍ حَتَّى يَبْلُغَ إِلَى الَّتِي هُوَ
يَوْمُهَا فَيَبِيتَ عِنْدَهَا وَلَقَدْ قَالَتْ سَوْدَةُ بِنْتُ زَمْعَةَ حِينَ
أَسَنَّتْ وَفَرِقَتْ أَنْ يُفَارِقَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ يَوْمِي لِعَائِشَةَ فَقَبِلَ ذَلِكَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهَا. (رواه ابو داود : 1823
- سنن ابو داود – المكتبة الشاملة – الجزء : 6 –
صفحة : 35)
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus, telah
menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Abu Az-Zinad, dari Hisyam bin 'Urwah
dari ayahnya, ia berkata; Aisyah berkata : Wahai anak saudariku, Rasulullah
saw tidak melebihkan sebagian kami atas sebagian
yang lain dalam membagi waktu tinggalnya bersama kami. Setiap hari beliau
mengelilingi kami semua dan mendekat kepada seluruh isteri tanpa menyentuh
hingga sampai kepada rumah isteri yang hari itu merupakan bagiannya, kemudian
beliau bermalam padanya. Sungguh Saudah binti Zam'ah ketika telah berusia
lanjut dan takut ditinggalkan Rasulullah saw, ia berkata : Wahai Rasulullah,
hariku untuk Aisyah. Dan Rasulullah saw menerima
hal tersebut. (HR. Abu
Dawud : 1822, Sunan Abu Dawud, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz : 6, hal. 35
Bahkan apabila Rasulullah saw hendak bepergian, beliau mengundi antara
isteri-isterinya, dan siapa yang undiannya keluar, maka beliau keluar
bersamanya, sebagaimana tertuang dalam hadits :
حَدَّثَنَا حِبَّانُ بْنُ مُوسَى أَخْبَرَنَا
عَبْدُ اللَّهِ أَخْبَرَنَا يُونُسُ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ سَفَرًا أَقْرَعَ بَيْنَ نِسَائِهِ فَأَيَّتُهُنَّ خَرَجَ
سَهْمُهَا خَرَجَ بِهَا مَعَهُ. (رواه البخاري : 2404 – صحيح البخاري – المكتبة الشاملة – الجزء : 9
– صفحة : 48)
Telah
menceritakan kepada kami Hibban bin Musa, telah mengabarkan kepada kami
Abdullah, telah mengabarkan kepada kami Yunus, dari Az-Zuhri, dari 'Aisyah
ra, berkata : Rasulullah saw bila
ingin bepergian, beliau mengundi antara istri-istrinya, maka siapa yang
undiannya keluar, beliau keluar bersamanya. (HR. Bukhari : 2404, Shahih Bukhari,
Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz : 9, hal. 48)
Adil Atas
Biaya Hidup Dan Pakaian
Kewajiban menafkahi bagi seorang
suami selanjutnya ialah dalam hal biaya untuk kebutuhan hidup dan pakaian bagi
isteri. Allah swt berfirman :
وَعَلَى
الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ
إِلَّا وُسْعَهَا
“Dan kewajiban seorang ayah memberi makan dan pakaian
kepada ibu (isteri) dengan cara yang baik. Seseorang tidak dibebani melainkan
menurut kadarnya.” (QS.
Al-Baqarah: 233)
Memeberikan nafkah menurut kadar
kemampuannya, sesuai dengan yang diisyaratkan oleh Al-Qur’an :
لِيُنْفِقْ ذُو
سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا
آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا سَيَجْعَلُ
اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
Hendaklah orang yang mampu memberi
nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah
memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak
memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan
kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (QS.Al-Thalaq : 7).
[1]. Baca tafsir Ibnu Katsir, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz 2, hal.
209
[2]. Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin S. Fiqih Madzhab Syafi’i (Edisi
lengkap) Buku 2, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007, Hal. 327
[3]. Ahmad
Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Toha Putra: Semarang, 1993, hal.
289-290.
[4]. Syekh Abu Bakar Syatho al-Dimyathiy,
I’anatu al-Tholibin Juz 3, Beirut: Dar al-Fikr, 1422 H/2002 M, hal. 421.