WALI
Kedudukan wali dalam pernikahan
adalah sebagai rukun sebagaimana telah dibahas terdahulu dalam rukun nikah.
Artinya tidak sah pernikahan tanpa wali.
Untuk itu, wali harus ada dalam setiap pernikahan/perkawinan, paling
tidak, harus ada wakil yang telah mendapatkan wewenang untuk menikahkan,
apabila wali yang sebenarnya tidak bisa hadir karena beberapa sebab. Hadits
Nabi saw :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ قُدَامَةَ بْنِ أَعْيَنَ
حَدَّثَنَا أَبُو عُبَيْدَةَ الْحَدَّادُ عَنْ يُونُسَ وَإِسْرَائِيلَ عَنْ أَبِي
إِسْحَقَ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي مُوسَى أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ : لَا نِكَاحَ
إِلَّا بِوَلِيٍّ. (رواه ابو داود : 1785 – سنن ابو داود –
المكتبة الشاملة – باب فى الولي – الجزء 5 – صفحة : 478)
Telah menceritakan kepada kami
Muhammad bin Qudamah bin A'yan, telah menceritakan kepada kami Abu 'Ubaidah Al
Haddad, dari Yunus, dan Israil, dari Abu Ishaq, dari Abu Burdah, dari Abu Musa,
bahwa Nabi saw bersabda : "Tidak
ada (tidak sah) pernikahan kecuali dengan wali." (HR.Abu Daud :
1785, Sunan Abu Daud, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Filwaliyyi, juz : 5, hal.
478).
Apabila mempelai wanita itu tidak
mempunyai wali, maka ia dinikahkan oleh wali hakim. Rasulullah saw bersabda:
حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي عُمَرَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ
ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مُوسَى عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ
إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا
بَاطِلٌ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَا الْمَهْرُ بِمَا اسْتَحَلَّ مِنْ فَرْجِهَا
فَإِنْ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ. (رواه الترمذي : 1021- سنن الترمذي – المكتبة
الشاملة- باب ما جاء لا نكاح الا بولي- الجزء 4 – صفحة : 288)
Telah
menceritakan kepada kami Ibnu Abu Umar, telah menceritakan kepada kami Sufyan
bin 'Uyainah, dari Ibnu Juraij, dari Sulaiman bin Musa, dari Az Zuhri, dari
'Urwah, dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah saw
bersabda : "Wanita
manapun yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya adalah batal, nikahnya
adalah batal, nikahnya adalah batal. Jika dia telah digauli maka dia berhak
mendapatkan mahar, karena suami telah menghalalkan kemaluannya. Jika terjadi
pertengkaran di antara mereka, maka penguasalah (sultan) yang menjadi wali atas
orang yang tidak punya wali." (HR.Tirmidzi : 1021, Sunan Tirmidzi,
Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab maa jaa-a Laa nikaaha illa biwaliyyin, juz 4,
hal. 288)
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا
مُعَاذُ بْنُ مُعَاذٍ حَدَّثَنَا ابْنُ جُرَيْجٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مُوسَى
عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَيُّمَا امْرَأَةٍ لَمْ يُنْكِحْهَا
الْوَلِيُّ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ
فَإِنْ أَصَابَهَا فَلَهَا مَهْرُهَا بِمَا أَصَابَ مِنْهَا فَإِنْ اشْتَجَرُوا
فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ. (رواه ابن ماجه : 1869 - سنن ابن ماجه - المكتبة الشاملة- باب لا
نكاح الا بولي- الجزء 5– صفحة : 486)
Telah
menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah berkata, telah menceritakan
kepada kami Mu'adz bin Mu'adz, ia berkata, telah menceritakan kepada kami Ibnu
Juraij, dari Sulaiman bin Musa, dari Az Zuhri, dari Urwah, dari 'Aisyah, ia
berkata :
"Rasulullah saw bersabda : "Wanita
mana saja yang tidak dinikahkan oleh walinya, maka nikahnya adalah batil.
Nikahnya adalah batil. Jika suaminya telah menyetubuhinya, ia berhak
mendapatkan maharnya karena persetubuhan tersebut. Jika mereka berselisih, maka
penguasa (Sultan) adalah wali bagi yang tidak mempunyai wali." (HR. Ibnu
Majah : 1869, Sunan Ibnu Majah, Al Maktabah Asy-Syamilah, bab Laa nikaaha illaa
biwaliyyin, juz : 5, hal. 486)
Susunan
Wali
Yang dapat menjadi wali nikah adalah
dari mempelai wanita dari pihak ayah. Tidak ada perwalian dari pihak ibu atau
saudara perempuan, seperti kakek dari ibu, paman dari ibu, saudara seibu,
sepupu dari keluarga ibu, atau keponakan dari saudara perempuan. Susunan Wali sebagai
secara tertib berikut:
1. Ayah/bapak
kandung
2. Datuk/kakek
dari pihak bapak, yaitu ayahnya ayah ke
atas
3. Saudara
laki-laki sekandung yang seayah-seibu
4. Saudara
laki-laki yang seayah
5. Anak
laki-laki dari saudara laki-laki yang seiayah-seibu
6. Anak
laki-laki dari saudara laki-laki yang seayah
7. Paman
dari pihak bapak
8. Anak
laki-laki dari paman yang dari pihak bapak
9. Jika semua wali di atas tidak ada, maka
yang menjadi wali ialah penguasa (sultan)
menjadi Wali Hakim, sebagaimana sabda Rasulullah
saw yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan Ibnu Majah di atas.
Daftar urutan wali di atas tidak
boleh dilangkahi atau diacak-acak, sehingga bila ayah kandung masih hidup, maka
tidak boleh hak kewaliannya itu diambil alih oleh wali pada nomor urut
berikutnya. Apabila wali pertama tidak ada, hendaklah diambil wali yang kedua
dan jika wali kedua tidak ada hendaklah diambil wali ketiga dan begitulah
seterusnya secara tertib. Pernikahan yang diwalikan oleh wali yang lebih jauh hubungannya
dengan mempelai wanita, sedangkan Wali yang paling dekat hubungannya dengan
mempelai wanita masih ada, maka pernikahan
itu tidak sah.[1]
Penting diketahui bahwa seorang
wali berhak mewakilkan hak perwaliannya itu kepada orang lain, meski tidak
termasuk dalam daftar para wali. Hal itu biasa sering dilakukan di tengah
masyarakat dengan meminta kepada tokoh ‘ulama setempat untuk menjadi wakil dari
wali yang syah. Dan untuk itu harus ada akad antara wali dan orang yang
mewakilkan. Hak perwalian itu tidak boleh dirampas atau diambil begitu saja
tanpa izin dari wali yang sesungguhnya. Bila hal itu dilakukan, maka pernikahan
itu tidak sah.
[1]. Baca Kifayatul Akhyar,
oleh Imam Taqiyuddin, Darul ‘Ilmi, Surbaya Indonesia, tanpa tahun, juz 2, bab Nikah, halaman : 43