PERBUATAN ALLAH
DAN MANUSIA.
Teori Asy’ariyah menyatakan :
الكسب هوتعلق قدرة العبد وارادته بالفعل المقدور
المحدث من الله على الحقيقة
Kasb adalah
tergantungnya kudrat dan iradah (kehendak) manusia kepada perbuatan yang terjadinya itu ditakdirkan
oleh Allah pada hakekatnya.
Menurut Al-Asy’ari dalam kitabnya Al-Ibanah An Ushul
Ad Diyanah ia
membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya Allah adalah
pencipta (Khaliq) perbuatan
manusia, sedangkan manusia sendiri mengupayakannya )muktasib). Hanya Allahlah yang mampu menciptakan segala sesuatu termasuk keinginan
manusia.[1]
Argumen yang
diajukan oleh Al-Asy’ari untuk membela keyakinannya adalah firman Allah:
وَاللَّهُ
خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.
(QS.Ash-Shaffat : 96)
Dengan demikian ayat ini mengandung
arti Allah menciptakan
kamu dan perbuatan-perbuatanmu. Dengan kata lain, dalam paham Asy’ari, yang mewujudkan kasb atau perbuatan
manusia sebenarnya adalah Allah sendiri.[2]
Menurut irfat abd. al-Hamid dalam
kitab dirasat
fi Al Firaq wa Al-Aqoid al-Islamiyah Pada prinsipnya, Aliran Asy’ariyah berpendapat
bahwa perbuatan manusia
diciptakan Allah, sedangkan daya
manusia tidak mempunyai efek untuk mewujudkannya. Allah menciptakan perbuatan untuk manusia
dan menciptakan pula
pada diri manusia- daya untuk melahirkan perbuatan tersebut. Jadi perbutan disini adalah ciptaan Allah dan
merupakan kasb (perolehan) bagi manusia. Dengan demikian kasb mempunyai pengertian penyertaan perbuatan
dengan daya manusia yang baru.[3]
Menurut Harun Nasution ”Teori al-kasb (perolehan) dapat dijelaskan sebagai berikut, ”Segala sesuatu
terjadi dengan
perantara daya yang diciptakan, sehingga menjadi perolehan bagi muktasib yang memperoleh kasab untuk
melakukan perbuatan.[4]
Menurut Imam al-Asy’ari : ”Sesungguhnya manusia
itu berusaha untuk melakukan
suatu perbuatan. Namun sering terjadi bahwa hasil perbuatannya itu bukan seperti apa yang
dikehendaki dan apa yang diusahakan. Ini berarti bahwa manusia itu tidak menciptakan perbuatannya”.
Asy’ariyah mengkaitkan perbuatan
manusia dengan hasil yang diperolehnya. Dalil-dalil naqli yang diungkapkan Asy’ariyah hampir
semuanya mengarah kesana. Diantaranya
ayat yang menyatakan :
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآَمَنَ مَنْ فِي
الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا
Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka
bumi seluruhnya. (QS.Yunus : 99)
Menurut Al-Asy’ari, manusia punya kudrah dan
iradah untuk berbuat, hanya saja ia bergantung kepada takdir dari Allah. Orientasi
perbuatan manusia al-Asy’ari
adalah hubungan antara perbuatan manusia dengan hasilnya: keberhasilannya
atau kegagalannya. Apa yang dikerjakan manusia kepastian hasilnya tidak ditentukan oleh manusia
melainkan oleh ”perbuatan” Allah.[5]
IMAM AL-BAQILANI BERBEDA DENGAN AL-ASY’ARI
Sementara Itu Imam al-Baqilani tidak sepaham dengan
al-Asy’ari mengenai Paham
perbuatan manusia. Kalau bagi al-Asy’ari perbuatan manusia adalah diciptakan Allah seluruhnya,
menurut al-Baqillani manusia mempunyai sumbangan yang efektif dalam perwujudan perbuatannya.
Yang diwujudkan Allah ialah gerak yang terdapat dalam diri manusia,
adapun bentuk atau sifat
dari gerak itu dihasilkan oleh manusia itu sendiri. Dengan lain kata, gerak dalam diri manusia mengambil
berbagai bentuk, duduk, berdiri, berbaring, berjalan dan
sebagainya. Gerak sebagai genus (jenis) adalah ciptaan Allah, tetapi duduk, berdiri, berbaring, berjalan
dan sebagainya
yang merupakan species (نوع) dari gerak, adalah perbuatan manusia. Manusialah yang membuat
gerak, yang diciptakan Allah itu, mengambil bentuk sifat duduk, berdiri dan
sebagainya. Dengan demikian
kalau bagi Al-Asy’ari daya manusia dalam kasb tidak mempunya efek, bagi al-Baqillani daya itu
mempunyai efek.[6]
Daya yang ada pada manusia dalam pendapat
al-Juwaini juga mempunyai efek. Tetapi efeknya serupa dengan efek yang terdapat
antara sebab dan musabab.
Wujud perbuatan tergantung pada daya yang ada pada manusia, wujud
daya ini bergantung pula pada sebab lain, dan wujud sebab ini bergantung pula pada sebab lain lagi dan demikianlah seterusnya
sehingga sampai kepada sebab dari segala sebab yaitu Allah.[7]
Secara umum Perbuatan manusia menurut faham
Asy’ariyah adalah diciptakan
Tuhan, bukan diciptakan oleh manusia itu sendiri. Untuk mewujudkan suatu perbuatan, manusia
membutuhkan dua daya, yaitu daya Allah
dan daya manusia.
Hubungan perbuatan manusia dengan kehendak Allah yang mutlak dijelaskan melalui teori Kasb, yakni berbarengnya kekuasaan manusia
dengan perbuatan Allah. Al-Kasb mengandung arti keaktifan. Karena itu, manusia
bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya.[8]
Menurut faham Asy’ariyah, bahwa segala sesuatu itu
dijadikan Allah, tetapi Allah juga menciptakan IKHTIAR dan KASAB bagi manusia.
Sesuatu yang diperbuat
manusia adalah PERTEMUAN IKHTIAR MANUSIA DENGAN TAKDIRNYA. Ikhtiar dan kasab adalah sebagai
sebab saja, bukan yang mengadakan atau menciptakan sesuatu. Umpamanya, kalau sesuatu benda
disentuh api, maka ia
terbakar. Bila orang makan maka kenyanglah. Tetapi bukan api yang membakarnya dan bukan
nasi yang mengenyangkannya, semua adalah Allah semata. Kadang-kadang terjadi sebaliknya
bila Allah menghendakinya. Banyak benda yang disentuh api
tetapi tidak terbakar. Banyak orang berusaha sekuat tenaga tetapi sial dan kemalangan yang
diperoleh. Kalau obat
itu mesti dapat menyembuhkan penyakit, tentu tidak ada orang yang mati. Kenyataan menunjukan banyak penyakit
tidak dapat disembuhkan.[9]
Manusia memperoleh hukuman karena ikhtiar dan
kasabnya yang tidak baik dan akan diberi pahala atas ikhtiar dan kasabnya yang baik.
Firman Allah :
لَهَا مَا
كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ
Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat
siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.(QS.Al-Baqarah : 286)
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ
بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan
tangan manusia. (QS.Ar-Ruum : 41)