Rabu, 13 Januari 2016

SURAT AL-BAQARAH AYAT 30



Al-Baqarah Ayat 30
Dua ayat berturut-turut telah berlalu, yaitu ayat 28 dan 29, yang menyadarkan kita sebagai hamba Allah. Pertama, bagaimana kita akan kufur kepada Allah, padahal dari mati kita dihidupkan oleh-Nya. Kemudian Dia matikan kembali, setelah itu akan dihidupkan-Nya kembali untuk mempertanggung jawabkan amal yang telah dikerjakan pada kehidupan yang pertama di dunia yang fana ini. Kedua, bagaimana kita akan kufur kepada-Nya, padahal seluruh isi bumi telah disediakan untuk kita.  Untuk menerima kedatangan kita di muka bumi ini, terlebih dahulu telah Allah siapkan persediaan untuk memenuhi kebutuhan hidup kita. Kemudian datanglah ayat tentang berita khalifah (penguasa) di muka bumi :
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat : "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata : "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman : "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Pada ayat ini Allah mengabarkan karunia-Nya kepada anak Adam (manusia) sebelum mereka diciptakan, yaitu berupa penghormatan kepada mereka dengan membicarakan mereka dihadapan makhluk yang tinggi (para malaikat), dengan firman-Nya :
Awal ayat 30 : وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً  - Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat : "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."  Maksudnya adalah wahai Muhammad, ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, dan ceritakan pula hal itu kepada kaummu, bahwa sesungguhnya Allah hendak menjadikan seorang khalifah (penguasa) di muka bumi, yaitu suatu kaum yang akan menggantikan kaum lainnya, abad demi abad, dan generasi demi generasi. Khalifah yang dimaksudkan dalam ayat ini bukanlah hanya Nabi Adam saja,[1] sebagaimana pengartian dalam ayat 165 surat Al-An’am :
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلَائِفَ الْأَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آَتَاكُمْ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ الْعِقَابِ وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ
Dan Dia lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah (penguasa-penguasa) di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Khalifah dalam ayat 30 surat Al-Baqarah ini, menurut Ibnu Jarir, arti firman Allah  : Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi dari-Ku yang menjadi pengganti-ku dalam memutuskan perkara secara adil diantara semua makhluk-Ku. Khalifat tersebut adalah Adam dan orang-orang yang menempati posisinya dalam ketaatan kepada Allah dan pengambilan keputusan secara adil di tengah-tengah umat manusia. Adapun orang-orang yang suka mengadakan pengrusakan dan pertumpahan darah tidaklah termasuk khalifah-khalifah Allah di muka bumi ini.
Adapun tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi secara umum banyak kita jumpai dalam Al-Qur’an, antara lain :
Untuk Memakmurkan Bumi  
(QS.Huud : 61)
وَإِلَى ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَاسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ إِنَّ رَبِّي قَرِيبٌ مُجِيبٌ (هود :61)
Dan kepada Tsamud (kami utus) saudara mereka shaleh. Shaleh berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku Amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)."
Untuk Amar Ma’ruf Nahi Munkar
(QS.Al-Hajj : 41)
الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآَتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ. (الحج :41)
(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.
Setelah  nampak dengan jelas di awal  ayat, bahwa Allah telah berfirman kepada malaikat dengan menyatakan maksud hendak mengangkat khalifah di muka bumi ini, maka kemudian malaikat merespon dengan  kalimat pertanyaan ingin mengetahui hikmahnya, seperti pertengahan ayat berikut :
Tengah ayat 30 : قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ - Mereka berkata : "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?"   
Pertengahan ayat ini dilontarkan malaikat setelah Allah menyatakan maksud-Nya, yaitu akan mengangkat khalifah di muka bumi, maka malaikat-pun memohon penjelasan, bukan dimaksudkan untuk menentang dan memperotes Allah, dan juga bukan karena dengki atau iri kepada manusia, tetapi merupakan kalimat pertanyaan meminta informasi dan pengetahuan tentang hikmah yang terkandung dalam penciptaan khalifah ini. Para malaikat mengatakan : Wahai Tuhan kami, apakah hikmah yang terkandung dalam penciptaan mereka, padahal diantara mereka ada orang-orang yang suka membuat kerusakan di muka bumi dan pertumpahan darah? Jikalau yang dimaksudkan agar Engkau disembah, maka kami selalu bertasbih, memuji dan menyucikan Engkau, yakni kami selalu beribadah kepada-Mu.[2]
Menurut imam Ath-Thabary, pertanyaan malaikat : “"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,” sebenarnya malaikat tidak mempunyai pengetahuan yang dapat mengetahui hal-hal gaib, namun mereka hanya sekedar menduga-duga, tidak berdasarkan ilmu yang penuh keyakinan[3].
  Malaikat sebagai makhluk, tentu saja pengetahuannya tidak seluas pengetahuan Allah, namun malaikat bersama Iblis pernah di utus oleh Allah untuk menumpas kejahatan yang dilakukan golongan Jin sebagai makhluk yang pertama kali menjadi penghuni bumi dan membuat kerusakan serta pertumpahan darah di dalamnya,  sebagiamana dikisahkan oleh Ibnu Jarir, yang berasal dari Ibnu Abbas, ia berkata : Sesungguhnya yang pertama kali menghuni bumi adalah makhluk Jin, lalu mereka membuat kerusakan, mengadakan pertumpahan darah dan bunuh membunuh satu sama lainnya. Ibnu Abbas meneruskan perkataannya, setelah itu Allah mengutus Iblis untuk menumpas mereka. Akhirnya Iblis bersama para malaikat berhasil menumpas mereka, dan kengejar hingga ke pulau-pulau yang ada diberbagai laut dan bahkan sampai ke puncak-puncak gunung. Setelah itu baru Allah  menciptakan Adam dan menempatkannya di bumi. Untuk itulah Allah  berfirman : "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." [4]
Dari peristiwa yang dialami, malaikat-malaikat rupanya ada sedikit pengetahuan, bahwasanya yang akan diangkat menjadi khalifah itu adalah satu jenis makhluk yang apabila  telah ramai, seperti kisah golongan Jin di atas,  akan berebut kepentingan. Akhirnya  satu orang dengan orang lainnya atau satu golongan dengan golongan lainnya saling berebut kepentingan, maka kemudian muncullah pertentangan, dan dengan demikian timbullah kerusakan bahkan akan timbul juga pertumpahan darah. Itulah sebabnya, malaikat bertanya untuk mendapatkan penjelasan dari Allah. Para Malaikat tidak  mungkin menentang atau memprotes Allah, karena  mereka dinyatakan Allah  sebagai makhluk yang tidak pernah membangkang perintah-Nya  dan bahkan senantiasa taat melaksanakan apa pun yang diperintahkan-Nya, sebagaiman dalam Al-Qur’an ayat 6 surat At-Tahrim :
 ......عَلَيْهَا مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدَادٌ لا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. Lalu Allah menjawab : "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Akhir ayat 30 : قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ  Tuhan berfirman : "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."- Allah bermaksud menyadarkan para malaikat-Nya bahwa sesungguhnya Dia mengetahui kemaslahatan dan hikmah sesuatu yang tidak mereka ketahui. Termasuk dalam penciptaan seorang khalifah, tentu ada suatu hikmah yang boleh jadi tidak mereka ketahui. Kalimat pertanyaan para Malaikat dijawab oleh Allah, bahwa semua itu sudah diperhitungkan secara matang atas dasar Kemahatahuan-Nya yang melampaui pengetahuan semua makhluk-Nya, termasuk para malaikat. Semua yang akan Allah  lakukan atas makhluk-Nya sudah dirancang dengan penuh detil yang tidak ada cacatnya.  Jawaban Allah terhadap pertanyaan malaikat, tidaklah terdapat bantahan, hanya saja Allah menjelaskan bahwasanya pendapat dan ilmu mereka (para malaikat) tidaklah seluas dan sejauh pengetahuan Allah. Allah-pun tidak memungkiri bahwa kerusakan-pun akan timbul dan darah-pun akan tertumpah. Dalam jawaban Allah yang demikian, malaikat-pun menerimalah dengan penuh khusyu dan taat.


[1]. Bac tafsir Ibnu Katsir, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz 1, hal. 216  
[2]. Bac tafsir Ibnu Katsir, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz 1, hal. 216
[3]. Bac tafsir Ath-Thabary,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz 1, hal. 458 dan 462
[4]. Bac tafsir Ibnu Katsir, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz 1, hal. 218

Selasa, 29 Desember 2015

KHITBAH (LAMARAN)



KHITHBAH (LAMARAN)
Setelah ditentukan pilihan pasangan yang akan dinikahi sesuai dengan kriteria yang ditetapkan, langkah selanjutnya adalah penyampaian kehendak untuk menikahi calon pilihannya itu. Penyampaian kehendak untuk menikahi seseorang itu dinamakan dengan  khitbah (خطبة)  atau dalam bahasa indonesia dikenal dengan istilah “lamaran / pinangan”.
Kata khitbah (خطبة) berasal dari bahasa Arab yang terdapat dalam Al-Qur’an dan hadits Nabi. Khitbah berarti pinangan, yaitu melamar untuk menyatakan permitaan atau ajakan mengikat perjodohan, dari seorang laki-laki dengan seorang perempuan calon pasangannya. Adapun dalil yang memperbolehkan khitbah adalah firman Allah :
وَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا عَرَّضْتُمْ بِهِ مِنْ خِطْبَةِ النِّسَاءِ أَوْ أَكْنَنْتُمْ فِي أَنْفُسِكُمْ
Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu[1] dengan sindiran[2] atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. (QS.Al-Baqarah : 235)
Diantara peristiwa khithbah yang terjadi pada masa Rasulullah saw, adalah yang dilakukan oleh sahabat beliau, bernama Abdurrahman Bin ‘Auf yang mengkhithbah Ummu Hakim Binti Qarizh. Hadits riwayat Bukhari menjelaskannya sebagai berikut :
وَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ لِأُمِّ حَكِيمٍ بِنْتِ قَارِظٍ أَتَجْعَلِينَ أَمْرَكِ إِلَيَّ؟ قَالَتْ نَعَمْ فَقَالَ قَدْ زَوَّجْتُكِ. (رواه البخاري – صحيح البخاري– المكتبة الشاملة – باب اذا كان الولي هو الخاطب- الجز ء : 16- صفحة :   90)
Dan ‘Abdurrahman Bin ‘Auf berkata kepada Ummu Hakim Binti Qarizh : ”Maukah kamu menyerahkan urusanmu kepadaku?” Ia menjawab ”Baiklah!”, maka Ia (Abdurrahman Bin ‘Auf) berkata: “Kalau begitu, baiklah kamu saya nikahi.” (HR.Bukhari, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab idzaa kaanal waliyyu huwal khatibu, juz 16, hal. 90).
Abdurrahman Bin ‘Auf dan Ummu Hakim keduanya merupakan sahabat Rasulullah saw. Ketika itu Ummu Hakim statusnya sebagai seorang janda karena suaminya telah gugur dalam medan perang. Kemudian Abdurrahman Bin Auf (yang masih sepupunya) datang kepadanya secara langsung untuk mengkhitbah sekaligus menikahinya. Dan Rasulullah saw tidak menegur atau menyalahkan Abdurrahman Bin ‘Auf atas kejadian ini. Peristiwa ini menunjukan, bahwa seorang laki-laki boleh meminang secara langsung calon istrinya tanpa didampingi oleh orang tua atau walinya.
Selain itu, seorang wanita juga diperbolehkan untuk meminta seorang laki-laki agar menjadi suaminya, berdasarkan pada sebuah riwayat berikut :
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْمِقْدَامِ حَدَّثَنَا فُضَيْلُ بْنُ سُلَيْمَانَ حَدَّثَنَا أَبُو حَازِمٍ حَدَّثَنَا سَهْلُ بْنُ سَعْدٍ كُنَّا عِنْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جُلُوسًا فَجَاءَتْهُ امْرَأَةٌ تَعْرِضُ نَفْسَهَا عَلَيْهِ فَخَفَّضَ فِيهَا النَّظَرَ وَرَفَعَهُ فَلَمْ يُرِدْهَا. (رواه البخاري: 4737 – صحيح البخاري– المكتبة الشاملة – باب اذا كان الولي هو الخاطب- الجز ء : 16- صفحة :    92)
Telah menceritakan kepada kami [Ahmad bin Al Miqdam], telah menceritakan kepada kami [Fudlail bin Sulaiman], telah menceritakan kepada kami [Abu Hazim], telah menceritakan kepada kami [Sahl bin Sa'd] ia berkata; Suatu ketika, kami duduk di sisi Nabi saw, lalu beliau didatangi oleh seorang wanita yang hendak menawarkan diri pada beliau, maka beliau pun memandangi wanita itu dengan cermat, namun beliau belum juga memberi jawaban. (HR.Bukhari :4737, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab idzaa kaanal waliyyu huwal khatibu, juz 16, hal. 92).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat difahami bahwa khithbah merupakan jalan untuk mengungkapkan maksud seorang kepada lawan jenisnya terkait dengan tujuan membangun sebuah kehidupan berumah tangga, baik dilakukan secara langsung (kepada calon) ataupun melalui perwakilan pihak lain.
Hukum meminang menurut imam Al-Ghazali adalah sunah berdalil dengan perbuatan Nabi saw, namun di dalam kitab-kitab para pengikut imam Syafi’i dituturkan dengan hukum jawaz (mubah), dengan keterangan sebagai berkut :
(1)   Perempuan yang tidak terikat oleh akad nikah dan tidak pula dalam masa 'iddah, boleh dipinang dengan bahasa sindiran (ta’ridl-تعريض) atau terang terangan (tashrih-تصريح).
(2)    Perempuan yang berada dalam masa ‘iddah, haram dipinang dengan terang terangan (tashrih-تصريح) secar mutlak. 
(3)   Perempuan yang berada dalam masa ‘iddah talaq raj’i (رجعي), haram dipinang dengan  sindiran (ta’ridl-تعريض).
(4)   Perempuan yang berada dalam masa ‘iddah karena suaminya wafat,  tidak haram (boleh) dipinang dengan  sindiran (ta’ridl-تعريض).
(5)   Perempuan yang berada dalam masa ‘iddah dengan keadaan hamil, tidak boleh dipinang, baik dengan bahasa sindiran (ta’ridl-تعريض) atau terang terangan (tashrih-تصريح).[3] 
Tidak boleh melamar perempuan yang sudah dipinang orang lain, berdasarkan hadits Nabi :
و حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى جَمِيعًا عَنْ يَحْيَى الْقَطَّانِ قَالَ زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ أَخْبَرَنِي نَافِعٌ عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَا يَبِعْ الرَّجُلُ عَلَى بَيْعِ أَخِيهِ وَلَا يَخْطُبْ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ إِلَّا أَنْ يَأْذَنَ لَهُ. (رواه مسلم : 2531– صحيح مسلم– المكتبة الشاملة – باب تحر يم الخطبة عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ إِلَّا أَنْ يَأْذَنَ لَهُ - الجز ء :7- صفحة :  324)
Telah menceritakan kepada kami [Zuhair bin Harb] dan [Muhammad bin Al Mutsanna] semuanya dari [Yahya Al Qatthan], [Zuhair] mengatakan; telah menceritakan kepada kami [Yahya] dari [Ubaidillah], telah mengabarkan kepadaku [Nafi'] dari [Ibnu Umar] dari Nabi saw, beliau bersabda : "Janganlah seseorang membeli barang yang telah ditawar oleh saudaranya, dan janganlah seseorang meminang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya kecuali telah mendapatkan izin darinya." (HR. Muslim : 2531,  Shahih Muslim,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab  Tahrimul khitbah ‘alaa khitbati akhihi illaa ayya’dzana lahu,   juz : 7, hal. 324)
Melihat calon pasangan
Disunatkan melihat perempuan yang akan dinikahi, agar tidak menyesl dikemudian hari. Bahkan boleh melihat secara berulang-ulang agar kondisinya lebih jelas, baik melihatnya medapat izin atau tidak. Dan demikian pula bagi perempuan, dibolehkan melihat caoln suaminya.[4] Sabda Nabi saw:
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي زَائِدَةَ قَالَ حَدَّثَنِي عَاصِمُ بْنُ سُلَيْمَانَ هُوَ الْأَحْوَلُ عَنْ بَكْرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْمُزَنِيِّ عَنْ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ أَنَّهُ خَطَبَ امْرَأَةً فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :  انْظُرْ إِلَيْهَا فَإِنَّهُ أَحْرَى أَنْ يُؤْدَمَ بَيْنَكُمَا.(رواه الترمذي : 1007- سنن الترمذي– المكتبة الشاملة – باب فى الرجل ينظر الى المرأة يريد تزويجها- الجز ء :  4- صفحة : 265)
Telah menceritakan kepada kami [Ahmad bin Mani'], telah menceritakan kepada kami [Ibnu Abu Za`idah] berkata; telah menceritakan kepadaku ['Ashim bin Sulaiman Al Ahwal] dari [Bakr bin Abdullah Al Muzani] dari [Al Mughirah bin Syu'bah], dia meminang seorang wanita. Nabi saw  bersabda : "Lihatlah dia! karena hal itu akan lebih melanggengkan perkawinan kalian berdua." (HR. Tirmidzi : 1007, Sunan Tirmidzi,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, birrajuli yanzhuru ilal mar’ati yuridu tazwijiha,  juz : 4, hal. 265)
 حَدَّثَنَا حَسَنُ بْنُ مُوسَى حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عِيسَى عَنْ مُوسَى بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ أَوْ حُمَيْدَةَ الشَّكُّ مِنْ زُهَيْرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ   :إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمْ امْرَأَةً فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا إِذَا كَانَ إِنَّمَا يَنْظُرُ إِلَيْهَا لِخِطْبَتِهِ وَإِنْ كَانَتْ لَا تَعْلَمُ. (رواه احمد : 22496- مسند احمد – المكتبة الشاملة – باب حديث ابي حميد الساعدي- الجز ء :  48- صفحة : 92)
Telah menceritakan kepada kami [Hasan bin Musa], telah menceritakan kepada kami [Zuhair] dari [Abdullah bin Isa] dari [Musa bin Abdullah] dari [Abu Humaid atau Humaidah], keraguan ada pada Zuhair, dia berkata; Rasulullah saw  bersabda: "jika seseorang dari kalian melamar seorang wanita, maka tidak mengapa baginya untuk melihat wanita tersebut, hanya saja dia melihatnya untuk melamarnya saja meskipun wanita tersebut tidak mengetahuinya. (HR. Ahmad : 22496, Musnad Ahmad, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab hadits Abu Humaid As-Sa’idi ra, juz : 48, hal. 92)
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ زِيَادٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَقَ عَنْ دَاوُدَ بْنِ حُصَيْنٍ عَنْ وَاقِدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ يَعْنِي ابْنَ سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا خَطَبَ أَحَدُكُمْ الْمَرْأَةَ فَإِنْ اسْتَطَاعَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى مَا يَدْعُوهُ إِلَى نِكَاحِهَا فَلْيَفْعَلْ.(رواه ابو داود : 1783- سنن ابو داود– المكتبة الشاملة – باب فى الرجل ينظر الى المرأة يريد تزويجها- الجز ء : 5- صفحة :   475)
Telah menceritakan kepada kami [Musaddad], telah menceritakan kepada kami [Abdul Wahid bin Ziyad], telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Ishaq], dari [Daud bin Hushain], dari [Waqid bin Abdurrahman bin Sa'd bin Mu'adz] dari [Jabir bin Abdullah], ia berkata; Rasulullah saw  bersabda: "Apabila salah seorang di antara kalian meminang seorang wanita, jika ia mampu untuk melihat sesuatu yang mendorongannya untuk menikahinya hendaknya ia melakukannya." (HR. Abu Daud : 1783, Sunan Abu Daud,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab  Firrajuli yanzhuru ilal Mar-ati yuridu tazwijuha,   juz : 5, hal. 475)
Adapun batas-batas anggota yang boleh dilihat  menurut jamhurul ulama’ : Tidak boleh melihat  selain wajah dan telapak tangannya. Menurut Imam Al-Auza’i : Boleh melihat dengan sungguh-sungguh kecuali auratnya. Imam Ibnu Hazam berkata : Boleh melihat  bagian depan dan bagian belakangnya.[5] Kebolehan melihat calon mempelai tidak hanya berlaku bagi pihak laki-laki saja, tetapi pihak perempuan-pun boleh melihat, bahkan boleh mengamati laki-laki yang meminagnya.  Dengan demikian, kedua calon mempelai itu telah mempunyai kepastian tentang keadaan keaadan calon mereka masing-masing.
Jangan Menolak Pinangan Lelaki Shaleh
Jangan menolak pinangan lelaki shaleh, karena apabila di tolak akan terjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar. Hadits Nabi :
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْحَمِيدِ بْنُ سُلَيْمَانَ عَنْ ابْنِ عَجْلَانَ عَنْ ابْنِ وَثِيمَةَ النَّصْرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:  إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوهُ إِلَّا تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيضٌ.(رواه الترمذي : 1004- سنن الترمذي – المكتبة الشاملة –بَاب مَا جَاءَ إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ فَزَوِّجُوهُ - الجز ء : 4- صفحة :  260)
Telah mengabarkan kepada kami [Qutaibah], telah menceritakan kepada kami [Abdul Hamid bin Sulaiman] dari [Ibnu 'Ajlan] dari [Ibnu Watsimah An Nashri] dari [Abu Hurairah] berkata: Rasulullah saw  bersabda: "Jika seseorang melamar (anak perempuan dan kerabat) kalian, sedangkan kalian ridha agama dan akhlaknya (pelamar tersebut), maka nikahkanlah dia (dengan anak perempuan atau kerabat kalian). Jika tidak, niscaya akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar." (HR.Tirmidzi : 1004, Sunan Tirmidzi, Al-Maktabah Asy-Syamilah,  bab maa jaa-a idzaa jaa-akum man tardlauna diinahu fazawwijuuhu, juz 4, hal. 260)
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو السَّوَّاقُ الْبَلْخِيُّ حَدَّثَنَا حَاتِمُ بْنُ إِسْمَعِيلَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُسْلِمِ بْنِ هُرْمُزَ عَنْ مُحَمَّدٍ وَسَعِيدٍ ابْنَيْ عُبَيْدٍ عَنْ أَبِي حَاتِمٍ الْمُزَنِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَأَنْكِحُوهُ إِلَّا تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنْ كَانَ فِيهِ قَالَ إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَأَنْكِحُوهُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ .(رواه الترمذي :  1005- سنن الترمذي – المكتبة الشاملة –بَاب مَا جَاءَ إِذَا جَاءَكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ فَزَوِّجُوهُ - الجز ء : 4- صفحة :  261)
Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin 'Amr bin As Sawwaq Al Balkhi], telah menceritakan kepada kami [Hatim bin Isma'il] dari [Abdullah bin Muslim bin Hurmuz] dari [Muhammad] dan [Sa'id] anak laki-laki 'Ubaid, dari [Abu Hatim Al Muzani] berkata; Rasulullah saw   bersabda: "Jika seseorang datang melamar (anak perempuan dan kerabat) kalian, sedang kalian ridha pada agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Jika tidak kalian lakukan, niscaya akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan." Para shahabat bertanya : Wahai Rasulullah, "Meskipun dia tidak kaya." Beliau bersabda : "Jika seseorang datang melamar (anak perempuan) kalian, kalian ridha pada agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia." Beliau mengatakannya tiga kali. (HR.Tirmidzi : 1005, Sunan Tirmidzi, Al-Maktabah Asy-Syamilah,  bab maa jaa-a idzaa jaa-akum man tardlauna diinahu fazawwijuuhu, juz 4, hal. 261)


[1].  Wanita-wanita yang suaminya telah meninggal dan masih dalam 'iddah.
[2]. Wanita yang boleh dipinang secara sindiran ialah wanita yang dalam 'iddah karena meninggal suaminya, atau karena Talak Bain, sedang wanita yang dalam 'iddah Talak Raji'i tidak boleh dipinang walaupun dengan sindiran.
[3]. Baca kitab Raudlatut Thalibin Wa ‘Umdatul Muftin (روضة الطالبين وعمدة المفتين),  Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Lifashlirrabi’ filkhitbah, juz 2, hal. 458
[4]. Baca kitab Raudlatut Thalibin Wa ‘Umdatul Muftin (روضة الطالبين وعمدة المفتين),  Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Lifashlirrabi’ filkhitbah, juz 2, hal. 455
[5]. Baca Fathul Bari oleh Ibnu Hajar, Al-Maktabah,  Asy-Syamilah, bab An-Nadharu ilal Mar’ati qablat tazwij, juz : 14, hal. 379