Selasa, 30 Oktober 2012
BANGUN MALAM
AMALAN DAN MANFAAT BANGUN DI MALAM HARI
حَدَّثَنَا صَدَقَةُ بْنُ الْفَضْلِ أَخْبَرَنَا الْوَلِيدُ هُوَ ابْنُ مُسْلِمٍ حَدَّثَنَا الْأَوْزَاعِيُّ قَالَ حَدَّثَنِي عُمَيْرُ بْنُ هَانِئٍ قَالَ حَدَّثَنِي جُنَادَةُ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ حَدَّثَنِي عُبَادَةُ بْنُ الصَّامِتِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ تَعَارَّ مِنْ اللَّيْلِ فَقَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ الْحَمْدُ لِلَّهِ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي أَوْ دَعَا اسْتُجِيبَ لَهُ فَإِنْ تَوَضَّأَ وَصَلَّى قُبِلَتْ صَلَاتُهُ. (رواه البخاري : 1086- صحيح البخاري – المكتبة الشاملة - بَاب فَضْلِ مَنْ تَعَارَّ مِنْ اللَّيْلِ فَصَلَّى – الجزء :4 - صفحة : 330)
Telah menceritakan kepada kami Shadaqah bin Al-Fadhal, telah mengabarkan kepada kami Al-Walid, yaitu Ibnu Muslim, telah menceritakan kepada kami Al-Awza’i, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ‘Umair bin Hani’, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Junadah bin Abi Umayyah, telah menceritakan kepadaku Ubadah bin Shamit, dari Nabi saw, beliau bersabda : Barangsiapa yang bangun di malam hari, lalu membaca kalimat :
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ - لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ - الْحَمْدُ لِلَّهِ - وَسُبْحَانَ اللَّهِ - وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ -وَاللَّهُ أَكْبَرُ - وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ
LAA ILAAHA ILLALLAAHU WAHDAHUU LAA SYARIIKA LAHUU – LAHUL MULKU WA LAHUL HAMDU WAHUWA ‘ALAA KULLI SYAI-IN QADIIR. ALHAMDU LILLAAHI – WA SUBHAANALLAAHI – WA LAA ILAAHA ILLALLAAHU - WALLAAHU AKBARU – WA LAA HAWLA WALAA QUWWATA ILLAA BILLAAHI.
(Tiada Tuhan yang pantas disembah kecuali Allah satu-satunya, tiada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya segala kerajaan, dan bagi-Nya pula segala puji. Dan Dia Berkuasa atas segala sesuatu. Segala puji kepunyaan Allah. Maha suci Allah. Dan tiada Tuhan yang pantas disembah kecuali Allah. Allah Maha Besar. Dan tiada daya dan upaya kecuali dengan kehendak dan pertolongan Allah.
Kemudian dilanjutkan dengan membaca :
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي
ALLAAHUM-MAGH-FIRLII
(Ya Allah, ampunilah dosaku)
Atau berdo’a, maka akan dikabulkan baginya. Jika dia berwudu’, lalu mengerjakan shalat, maka shalatnya diterima. (HR.Bukhari : 1086, Shahih Bukhari, Al-Maktabah As-Syamilah, bab Fadhli man ta’arra minal lail fashallaa, juz : 4, hal. 330)
MANTAPKAN IMAN
50 tips memantapkan Iman kita. Bila disertai niat kita ikhlas dan dengan perjuangan yang sungguh-sungguh, pasti Allah akan menolong kita.
01. Bersyukur apabila mendapat nikmat
02. Sabar apabila mendapat kesulitan
03. Tawakal apabila mempunyai rencana/program
04. Ikhlas dalam segala amal perbuatan
05. Jangan membiarkan hati dalam kesedihan
06. Jangan menyesal atas sesuatu kegagalan
07. Jangan putus asa dalam menghadapi kesulitan
08. Jangan irihati dengan kekayaan orang
09. Jangan hasad dan iri atas kesuksessan orang
10. Jangan sombong kalau memperoleh kesuksessan
11. Jangan tamak kepada harta
12. Jangan terlalu ego akan sesuatu kedudukan
13. Jangan hancur kerana kezaliman
14. Jangan goyah kerana fitnah
15. Jangan berkeinginan terlalu tinggi yang melebihi kemampuan diri.
16. Jangan campuri harta dengan harta yang haram
17. Jangan sakiti ayah dan ibu
18. Jangan usir orang yang meminta-minta
19. Jangan sakiti anak yatim
20. Jauhkan diri dari dosa-dosa yang besar
21. Jangan membiasakan diri melakukan dosa-dosa kecil
22. Banyak berkunjung ke rumah Allah (masjid)
23. Lakukan sholat dengan ikhlas dan khusyuk
24. Lakukan sholat fardhu di awal waktu, berjamaah di masjid
25. Biasakan sholat malam
26. Perbanyak dzikir dan do'a kepada Allah
27. Lakukan puasa wajib dan puasa sunat
28. Sayangi dan hormati fakir miskin
29. Jangan ada rasa takut kecuali hanya kepada Allah
30. Jangan marah berlebih-lebihan
31. Cintailah seseorang dengan tidak berlebih-lebihan
32. Bersatulah karena Allah dan berpisahlah kerana Allah
33. Berlatihlah konsentrasi fikiran
34. Penuhi janji apabila telah diikrarkan dan mintalah maaf apabila karena sesuatu sebab tidak dapat dipenuhi
35. Jangan mempunyai musuh, kecuali dengan iblis/syaitan
36. Jangan percaya ramalan manusia
37. Jangan terlampau takut miskin
38. Hormatilah setiap orang
39. Jangan terlampau takut kepada manusia
40. Jangan sombong, takabur dan degil
42. Berlakulah adil dalam segala urusan
43. Biasakan istighfar dan taubat kepada Allah
44. Bersihkan rumah dari patung-patung berhala
45. Hiasi rumah dengan bacaan Al-Quran
46. Eratkan hubuangan silaturrahim
47. Tutup aurat sesuai dengan petunjuk Islam
48. Berkata-kata pada perkara yang perlu
49. Beristeri/bersuami kalau sudah siap segala-galanya
50. Hargai waktu, disiplin waktu dan manfaatkan waktu
Rabu, 18 Juli 2012
6. HIDUP MEMBERI MANFAAT
Suatu ketika ada seseorang yang berkunjung kepada Rasulullah saw lalu bertanya : Wahai Rasulullah! Manusia manakah yang paling dicintai Allah? Maka Rasulullah saw - pun menjawab : Manusia yang paling dicintai Allah adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya. Dalam kesempatan yang berbeda Rasulullah saw menegaskan, bahwa sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling bermanfaat bagi
manusia lainnya.
Kita dilahirkan ke dunia agar berguna bagi manusia lainnya, menyeru kepada kebaikan (amar ma’ruf) dan ikut berperan aktif menyingkirkan kejahatan, kezaliman dan dosa-dosa lainnya (nahi munkar), sehingga pantaslah mendapatkan predikat sebagai manusia terbaik (Khairu ummah). Semua orang diberi kesempatan oleh Allah untuk menjadi manusia terbaik, yaitu manusia yang selalu berada dalam bimbingan-Nya, berjuang mencari keridhaan-Nya dan berbuat baik dengan memberikan manfaat bagi orang lain, sehingga kepadanya dibukalah pintu lebar menuju sukses.
Untuk dapat hidup memberi manfaat bagi manusia lainnya, kita pantas mengambil pelajaran dari alam, misalnya pohon pisang yang diabadikan oleh Allah di dalam kitab suci Al-Qur’an. Ia termasuk pohon yang unik, jika ia di tebang sebelum berbuah maka jangan diharap ia akan mati, melainkan akan tumbuh lagi dan tumbuh lagi. Begitu menghasilkan buah yang siap diambil faedahnya, secara otomatis pohon itu akan mati. Atau dengan kata lain, pohon pisang rela mati setelah dia menghasilkan buah (sesuatu yang berguna). Dan sebelum mati, ia selalu mewariskan keturunan dengan memunculkan tunas-tunas baru.
Dari rangkaian kata tentang pohon pisang di atas, kita dapat mengambil pelajaran yang sangat berguna dalam perjuangan menuju sukses. Di dalamnya terdapat sebuah pesan, agar kita tetap memiliki gairah (passion) dan tidak gampang menyerah menghadapi tantangan, terus bergerak dengan langkah yang jelas, teratur dan terencana untuk mewujudkan impian dengan semangat memberi faedah, bahwa hidup ini tidak bermakna tanpa memberikan manfaat. Hikmah lain yang dapat kita ambil dari pohon pisang adalah munculnya tunas-tunas baru sebelum pohon itu mati. Artinya, ia sudah mempersiapkan kader yang siap meneruskan perjuangannya untuk memberikan manfaat, sehingga tidak terjadi kekosongan ”generasi penerus”. Seoleh-oleh ia berpesan kepada kita agar terus memberikan faedah dalam hidup ini, tanpa mengenal waktu, tempat dan kondisi. Selalu ada dan selalu siap memberikan kebaikan, keuntungan dan kebahagiaan bagi orang lain.
Sesungguhnya aktivitas yang dapat mendatangkan manfaat sangat banyak, antara lain seperti yang Rasulullah saw tegaskan, bahwa petunjuk dan ilmu adalah bagaikan hujan yang jatuh membasahi bumi. Ada yang jatuh ke tanah subur yang dapat menyerap air, maka tumbuhlah padang rumput yang subur. Dan ada pula yang jatuh ke tanah keras, sehingga airnya menggenang, lalu air itu dimanfaatkan orang banyak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, menyiram kebun dan untuk keperluan binatang beternak. Demikian pula orang yang memahami agama Allah yang kemudian mendapat manfaat dari diutusnya Nabi Muhammad saw dengan apa yang beliau bawa berupa wahyu. Lalu dari wahyu itu terjadi saling memberi manfaat antara murid yang belajar dan guru yang mengajar.
Allah mengajarkan kepada kita agar hidup ini dapat memberikan manfaat sebanyak-banyaknya, misalnya, menafkahkan harta untuk kepentingan perjuangan, pembangunan perguruan, rumah sakit, usaha penelitian ilmiah, menyumbangkan pendapat, memberikan nasihat, perhatian, kasih sayang dan lain sebagainya. Dan bagi pelakunya, Allah berjanji akan memberikan ganjaran atau pahala yang berlipat ganda dari apa yang telah dikeluarkan.
Rasulullah saw mengajak kita agar senang memberi ”Walau hanya bersedakah dengan sepotong kurma”. Ungkapan Rasulullah saw ini, mungkin saja dinilai rendah oleh sebagian orang, namun Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik, tidak peduli amalan itu sedikit atau banyak, tetap akan diberi balasan yang lebih baik dari apa yang telah kita kerjakan. Untuk itu, sebagai tanda syukur kepada Allah, seharusnya kita menjadi manusia yang pandai menebar manfaat kepada banyak orang, dengan segala kelebihan yang Allah anugerahkan kepada kita, seperti berinfak, memberikan motivasi kepada orang lain agar lebih peka terahadp lingkungan, mengajak kepada kebaikan, mencegah dari perbuatan munkar dan senang menolong kaum dhuafa’, sehingga Allah-pun akan menolong kita, berkat doa dan keikhlasn orang-orang lemah itu, yaitu pertolongan berupa anugerah kehidupan yang penuh berkah.
Aktivitas lain yang dapat memberikan manfaat besar dalam perjuangan adalah kegiatan da’wah islamiah. Ketika Abu Dzar pertamakali bertemu Rasulullah saw dan telah masuk islam, maka yang utama dibicarakan beliau saw bersamanya adalah pendidikan da’wah dan usaha menyalurkan manfaatnya kepada diri sendiri dan orang lain, sebagaimana terpapar dalam sabdanya : “Apakah kamu bersedia menyampaikan ajaranku kepada kaummu? Semoga Allah ‘Azza wa Jalla memberikan manfaat kepada mereka dengan usahamu, dan memberimu pahala karena menyampailkan ajaranku kepada mereka”
Suatu ketika pada zaman Rasulullah saw ada seseorang yang mengadakan pengobatan dengan sengatan kalajengking, namun ia pernah mendengar beliau saw melarang melakukan pengobatan dari ruqyah (mantera), lalu dia menemui beliau saw seraya bertanya : Wahai Rasulullah! Sesungguhnya engkau telah melarang pengobatan dari Ruqyah (mantera), sedangkan aku bisa mengobati dengan ruqyah dari sengatan kalajengking. Beliau saw menjawab : “Barangsiapa yang sanggup di antara kalian memberi manfaat kepada saudaranya, maka hendaklah ia melakukannya.
Banyak sekali potensi diri yang terpendam, dan banyak pula sumber kebaikan yang tersimpan dalam diri seseorang, sehingga tidak mendatangkan manfaat dan tidak pula menyumbangkan faedah. Seorang yang ahli dalam bidang ilmu fiqih (faqih), ahli dalam bidang kesehatan (dokter), ahli dalam bidang ekonomi, atau ahli dalam berbagai disiplin ilmu lainnya, namun bila mereka enggan mengajarkan atau menyumbangkan ilmunya untuk kepentingan umat, maka hanya penderitaan jangka panjang yang akan mereka raih. Atau bahkan mungkin saja mereka lupa pula mengamalkan untuk dirinya sendiri, maka bagi mereka hanyalah kemurkaan Allah, karena keahliannya tidak dapat memberikan manfaat.
Dalam hidup bermasyarakat, ternyata mudah kita temukan seseorang yang enggan melakukan sesuatu yang jelas sangat berguna bagi umat. Salah satu contoh adalah Muhammad bin Maslamah yang dicela oleh Umar bin Khathab karena menghalangi Adh-Dhahhak bin Khalifah menggali saluran air yang akan dialirkan ke tanahnya yang melewati tanah Muhammad bin Maslamah. Umar berkata kepada Muhammad bin Maslamah : Kenapa kamu menghalangi saudaramu untuk sesuatu yang bermanfaat baginya dan bagimu juga, kamu bisa nyiram darinya yang pertama dan yang terakhir dan itu tidak membahayakanmu? Kita sebagai hamba Allah yang beriman seharusnya siap memberikan manfaat berupa pelayanan bagi umat atau menolak sesuatu yang akan membahayakannya, sebagaimana pesan Rasulullah saw kepada Abu Barzah setelah dia minta nasehatnya. Abu Barzah berkata : Wahai Rasulullah! ajarkanlah kepadaku sesuatu yang dengannya Allah memberi manfaat kepadaku. Beliau saw bersabda : Lihatlah sesuatu yang mengganggu atau menyakiti manusia di jalanan, maka singkirkanlah dari jalan mereka.
Kita sebagai hamba Allah yang beriman, kata Rasulullah saw, bagaikan pohon kurma yang daunnya tidak pernah gugur dan selalu memberikan manfaat kepada orang banyak. Semoga kita selalu hidup bermanfaat. Aamiin
Senin, 09 Juli 2012
HAL-HAL YANG DIBOLEHKAN DALAM SHALAT
1. Menangis
Menangis di dalam shalat dibolehkan, baik timbulnya karena sangat takut kepada Allah, atau karena sebab-sebab lain seperti membaca ayat-ayat azab, tertimpa suatu benda dan lain sebagainya, selama tidak dibuat-buat dan sulit untuk ditahan, berdasarkan firman Allah :
إِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ آيَاتُ الرَّحْمَنِ خَرُّوا سُجَّدًا وَبُكِيًّا [مريم: 58]
Apabila dibacakan ayat-ayat Allah yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.(QS.Maryam : 58)
Ayat ini berlaku umum, baik bagi orang yang sedang shalat atau lainnya yang tidak mengerjakan shalat. Hadits Nabi :
حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ سَلَّامٍ حَدَّثَنَا يَزِيدُ يَعْنِي ابْنَ هَارُونَ أَخْبَرَنَا حَمَّادٌ يَعْنِي ابْنَ سَلَمَةَ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ مُطَرِّفٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَفِي صَدْرِهِ أَزِيزٌ كَأَزِيزِ الرَّحَى مِن الْبُكَاءِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.(رواه ابو داود : 769 – سنن ابو داود – المكتبة الشاملة - بَاب الْبُكَاءِ فِي الصَّلَاةِ – الجزء : 3 – صفحة : 78)
Telah menceritakan kepadaku [Abdurrahman bin Muhammad bin Sallam], telah menceritakan kepada kami [Yazid] yaitu [[Ibnu Harun], telah mengabarkan kepada kami [Hammad] yaitu [Ibnu Salamah] dari [Tsabit] dari [Mutharrif] dari ayahnya, ia berkata : Saya melihat Rasulullah saw mengerjakan shalat, sedang dalam dadanya terdengar bunyi seperti batu penggiling gandum karena tangisan beliau saw. (HR.Abu Dawud : 769, Sunan Abu Dawud, Al-Maktabah Asy-Syamilah, babul bulkaai fishshalaati, juz : 3, hal. 78)
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ عَنْ حَارِثَةَ بْنِ مُضَرِّبٍ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ مَا كَانَ فِينَا فَارِسٌ يَوْمَ بَدْرٍ غَيْرُ الْمِقْدَادِ وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا فِينَا إِلَّا نَائِمٌ إِلَّا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَحْتَ شَجَرَةٍ يُصَلِّي وَيَبْكِي حَتَّى أَصْبَحَ.(رواه احمد : 973 – مسند احمد – المكتبة الشاملة - بَاب من مسند على بن ابي طالب - الجزء : 2 – صفحة : 479)
Telah menceritakan kepada kami [Abdurrahman bin Mahdi] dari [Syu’bah] dari [Abu Ishaq] dari [Haritsah bin Mudlarrib] dari [‘Ali ra] ia berkata : Pada waktu perang Badar, diantara kami tidak ada yang menunggang kuda kecuali Miqdad. Dan saya saksikan tidak ada diantara kami kecuali tertidur kecuali Rasulullah saw yang berada di bawah pohon mengerjakan shalat dan menangis sampai shubuh. (HR.Ahmad : 973, Musnad Ahmad, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Min Musnad Ali bin Abi Thalib, juz : 2, hal. 479)
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سُلَيْمَانَ قَالَ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ قَالَ حَدَّثَنِي يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ حَمْزَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّهُ أَخْبَرَهُ عَنْ أَبِيهِ قَالَ لَمَّا اشْتَدَّ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَجَعُهُ قِيلَ لَهُ فِي الصَّلَاةِ فَقَالَ مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ قَالَتْ عَائِشَةُ إِنَّ أَبَا بَكْرٍ رَجُلٌ رَقِيقٌ إِذَا قَرَأَ غَلَبَهُ الْبُكَاءُ قَالَ مُرُوهُ فَيُصَلِّي فَعَاوَدَتْهُ قَالَ مُرُوهُ فَيُصَلِّي إِنَّكُنَّ صَوَاحِبُ يُوسُفَ.(رواه البخاري : 641 - صحيح البخاري– المكتبة الشاملة - بَاب أَهْلُ الْعِلْمِ وَالْفَضْلِ أَحَقُّ بِالْإِمَامَةِ - الجزء : 3 – صفحة : 82)
Telah menceritakan kepada kami [Yahya bin Sulaiman], telah menceritaqkan kepadaq kami [Ibnu Wahab], ia berkata : Tealah memnceritakan kepadaku [Yunus] dari [Ibnu Syihab] dari [Hamzah bin Abdillah] dari bapaknya, ia berkata : Ketika Rasulullah saw semakin sangat sakitnya, dan disampaikan kepadanya tentang shalat berjama’ah. Maka beliau bersabda : Suruhlah Abu Bakar untuk memimpin shalat orang-orang. Aisyah berkata : Sesungguhnya Abu Bakar hatinya sangat lembut, jika membaca Al-Qur’an ia akan menangis. Lalu beliau bersabda lagi : Suruhlah dia untuk mempimpin shalat. Maka Aisyah mengulangi jawabannya. Beliau-pun bersabda lagi : Suruhlah dia untuk mempimpin shalat. Kalian ini seperti isteri-isteri Yusuf. (HR.Bukhari 641, Shahih Bukhari,,Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Ahlul ‘ilmi wal-Fadhli ahaqqu bil-Imaamati, juz : 3, hal.82)
Sikap Rasulullah saw mempertahankan Abu Bakar menjadi imam shalat, padahal dia sering menangis ketika baca ayat Al-Qur’an, menjadi alasan yang kuat bahwa menangis dalam shalat adalah boleh (mubah).
2. Menoleh Saat Perlu
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ يَحْيَى وَالطَّالَقَانِيُّ قَالَا حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ مُوسَى حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدِ بْنِ أَبِي هِنْدٍ عَنْ ثَوْرِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي يَلْتَفِتُ يَمِينًا وَشِمَالًا وَلَا يَلْوِي عُنُقَهُ خَلْفَ ظَهْرِهِ.(رواه احمد : 2355 – مسند احمد – المكتبة الشاملة - بَاب بدايه مسند عبد الله بن العباس - الجزء : 5 – صفحة : 387)
Telah menceritakan kepada kami [Al-Hasan bin Yahya Ath-Thalaqani], mereka berklata : Telah m,enceriktakan kepada kami [Al-Fadhl bin Musa], telah menceritakan kepada kami [Abdullah bin Sa’id bin Abi Hind] dari [Tsaur bin Zaid] dari [‘Ikrimah] dari [Ibnu Abbas] ia berkata : Pernah Nabi saw mengerjakan shalat sambil menoleh ke kiri dan ke kanan, namun beliau tidak memutar leherenya hingga menengok ke belakang. (HR.Ahmad : 2355, Musnad Ahmad, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Bidayah Musnad Abdullah bin Abbas, juz : 5, hal. 387)
حَدَّثَنَا الرَّبِيعُ بْنُ نَافِعٍ حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ يَعْنِي ابْنَ سَلَّامٍ عَنْ زَيْدٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا سَلَّامٍ قَالَ حَدَّثَنِي السَّلُولِيُّ هُوَ أَبُو كَبْشَةَ عَنْ سَهْلِ ابْنِ الْحَنْظَلِيَّةِ قَالَ ثُوِّبَ بِالصَّلَاةِ يَعْنِي صَلَاةَ الصُّبْحِ فَجَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي وَهُوَ يَلْتَفِتُ إِلَى الشِّعْبِ - قَالَ أَبُو دَاوُد وَكَانَ أَرْسَلَ فَارِسًا إِلَى الشِّعْبِ مِنْ اللَّيْلِ يَحْرُسُ.(رواه ابو داود :781 – سنن ابو داود – المكتبة الشاملة -بَاب الرُّخْصَةِ فِي ذَلِكَ-الجزء : 3 – صفحة : 97)
Telah menceritakan kepada kami [Ar-Rabi’ bin Nafi’], telah menceritakan kepada kami [Mu’awiyah] yaitu [Ibnu Salam] dari [Zaid], bahwa dia mendengar [Abu Salam] berkata : Telah menceritakan kepadaku [As-Saluli] yaitu [Abu Kabsyah] dari [Sahl bin Al-Handzalah] dia berkata : Iqamat shalat telah dikumandangkan, yaitu shalat shubuh, lalu Rasulullah saw berdiri untuk mengerjakan shalat (dalam shalatnya) beliau menoleh ke arah jalan setapak di kaki bukit. Abu Dawud berkata : Waktu itu beliau mengutus pasukan berkuda ke jalan setapak di bukit untuk berjaga-jaga di malam hari.(HR.Abu Dawud : 781, Sunan Abu Dawud, Al-Maktabah Asy-Syamilah, babur Rukhshah fii dzaalika, juz : 3, hal. 97)
Hanya saja kalau menoleh itu tanpa sesuatu kepentingan, maka hukumnya adalah makruh tanzih, karena menghalangi kekhusyukan dan perhatian penuh dalam mengahadap Allah, berdasarkan hadits Nabi berikut :
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو الْأَحْوَصِ قَالَ حَدَّثَنَا أَشْعَثُ بْنُ سُلَيْمٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ مَسْرُوقٍ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الِالْتِفَاتِ فِي الصَّلَاةِ فَقَالَ هُوَ اخْتِلَاسٌ يَخْتَلِسُهُ الشَّيْطَانُ مِنْ صَلَاةِ الْعَبْدِ.(رواه البخاري :709- صحيح البخاري– المكتبة الشاملة -بَاب الِالْتِفَاتِ فِي الصَّلَاةِ - الجزء :2– صفحة : 197)
Telah menceritakan kepada kami [Musaddad] ia berkata : Telah menceritakan kepada kami [Abu Al-Akhwash] ia berkata : Telah menceritakan kepada kami [Asy’ats bin Sulaim] dari ayahnya, dari [Masyruq] dari [Aisyah] ia berkata : Aku bertanya kepada Rasulullah saw tentang menoleh dalam shalat. Maka beliau menjawab : Itu adalah sambaran yang sangat cepat yang dilakukan oleh setan terhadap shalatnya hamba. (HR.Bukhari : 709, Shahih Bukhari,,Al-Maktabah Asy-Syamilah, babul iltifaat fish-SDhalaati, juz : 2, hal.197)
Dan juga dari Abu Darda’ diriwayatkan sebuah hadits marfu’, yaitu hadits yang sanadnya sampai kepada Nabi saw dan bersumber dari beliau, yaitu :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَكْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا مَيْمُونٌ يَعْنِي أَبَا مُحَمَّدٍ الْمَرَئِيَّ التَّمِيمِيَّ قَالَ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ يُوسُفَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَلَامٍ قَالَ صَحِبْتُ أَبَا الدَّرْدَاءِ ..... قَالَ أَبُو الدَّرْدَاءِ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِيَّاكُمْ وَالِالْتِفَاتَ فَإِنَّهُ لَا صَلَاةَ لِلْمُلْتَفِتِ فَإِنْ غُلِبْتُمْ فِي التَّطَوُّعِ فَلَا تُغْلَبُنَّ فِي الْفَرِيضَةِ.(رواه احمد : 26225 – مسند احمد – المكتبة الشاملة - بَاب من حديث ابي دردأ - الجزء : 56 – صفحة : 33)
Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Bakar] ia berkata : Telah menceritakan kepada kami [Maimun] yaitu [Abu Muhammad Al-M
Sabtu, 07 Juli 2012
Kamis, 24 Mei 2012
BAGAIKAN PENDAKI GUNUNG
Sumber kesuksesan lebih banyak
berasal dari dalam dirinya sendiri. Apabila dalam dirinya terdapat pondasi yang
kokoh, maka faktor-faktor yang datang dari luar, betapa-pun dahsyatnya, akan
mampu disikapi dan dikelola dengan baik. Dan salah satu pondasi yang mesti dipancangkan
dalam diri seseorang yang ingin maraih sukses
adalah 'sifat rendah hati'. Seseorang
yang memiliki sifat rendah hati bagaikan pendaki gunung, tubuhnya condong ke depan dan pandangan matanya
menunduk ke bawah, sehingga dengan mudah pendakian dapat dilakukan. Semakin
curam jalan yang didaki, tubuh sang pendaki akan semakin menunduk, bahkan
mungkin merayap. Dan ketika meraih sukses
mencapai puncak gunung, disana
akan diterpa hembusan angin yang kencang dan bertambah kencang. Dan agar ia
mampu bertahan terhadap terpaan angin yang begitu kencang itu, maka ia mesti berjalan
sambil membungkuk. Semakin anginnya berhembus kencang, berarti badan harus semakin membungkuk. Sungguh sangat
tidak mungkin seorang pendaki gunung dapat meraih sukses, ketika datang terpaan
angin kencang, lalu ia berjalan sambil membusungkan dada, menegakkan badan, mengangkatkan
pandangannya ke arah langit.
Dalam
perjuangan meraih sukses, sikap rendah hati merupakan salah satu faktor
terpenting yang harus kita miliki. Ketika sikap rendah hati sudah mewarnai
kehidupan kita, baik dalam tutur kata
maupun sikap dan perbuatan, maka berarti kita telah siap menerima berbagai
macam hal baru yang datang kepada kita. Termasuk
kesiapan menerima berbagai macam ilmu yang baru kita kenal, sehingga kita telah
siap menghadapi perubahan zaman yang selalu tumbuh dinamis. Dengan demikian
kita akan lebih cepat dapat memahami kondisi lingkungan, sehingga lebih mudah untuk
beradaptasi dimana kita menginjakkan kaki. Dan msyarakat-pun akan lebih gampang
dan lapang menerima kedatangan kita.
Ketika sikap
rendah hati telah kita memiliki, berarti kita telah memiliki salah satu faktor
yang dapat menggiring kita kepada kesuksesaan yang bernuansa ketakwaan. Dan
ketakwaan itulah yang berperan sebagai filter yang dapat menyaring antara yang
halal dan haram, baik dan buruk, manfaat dan madarat, sehingga sukses yang kita
raih tetap berada dalam naungan rido Allah. Dan ketika
kita ingin mencapai derajat sebagai insan yang bertakwa, maka rendah hati
merupakan syarat pertama yang mesti dimiliki. Karena ia merupakan puncak dari
akhlak seorang mukmin. Ia tidak mungkin diraihnya hanya dengan ilmu, tetapi
harus dipesandingkan dengan iman yang mesti diikuti dengan amal perbuatan.[1] Ia
harus dimiliki dalam setiap kondisi, tingkatan dan kedudukan, dimanapun kita berada.
Ketika kita ingin menjadi seorang
yang hebat (manusia super), maka rendah hati juga yang harus disandangnya.
Karena ia memiliki pandangan hidup yang berazaskan manfaat. Rasulullah saw, memberikan
informasi kepada kita, bahwa manusia super (khairunnas) adalah manusia yang
memberikan manfaat bagi manusia lainnya.[2] Dalam
bahasa mitaforis, manusia super bagaikan sebiji benih tanaman padi yang
dibenamkan dalam tanah. Lalu tumbuh bersemi, dedaunan hijau yang menyejukkan
pandangan mata bergerak dengan pasti dalam posisi tegak lurus ke atas. Waktu
demi waktu terus berjalan, bulir-bulir mulai berisi, tidak lagi tegak lurus ke
atas, tetapi mulai merunduk, dan terus merunduk ke bawah, yang pada akhirnya memberikan
banyak manfaat bagi kehidupan manusia. Janji Allah pasti, dan salah satu
janji-Nya adalah akan mengangkat derajat orang yang bersikap rendah hati ke tinggkat
yang lebih tinggi. [3]
Sementara terdapat dugaan dari
orang yang merasa dirinya tergolong cerdik panadai, bahwa rendah hati itu
merupakan sifat yang merugikan, karena dapat membentuk pribadi yang lemah
lembut dan kasih sayang. Hal ini dipandang sebagai sikap yang akan mudah
dipermainkan orang lain. Dugaan tersebut sungguh amat keliru. Justeru
sebaliknya, yaitu : "Sesorang yang rendah hati, berarti kesuksesan telah
menunggunya". Dia akan mendapatkan pertolongan langsng dari Allah; harkat,
martabat dan kedudukannya akan dinaikkan ke posisi yang tertinggi.[4]
Dan kebenaran janji Allah yang pasti itu
akan disikapi dengan mantapnya iman, yaitu : “Semua keberhasilan hanya datang
dari Allah". Sikap ini membuat, ia lebih mampu mengenal diri dan menerima
kelebihan serta kekurangannya secara lebih jernih. Ia dapat melihat orang lain
dengan mata hati yang bersih, objektif serta terbuka. Ia tidak akan
mengedepankan ego dan ambisinya. Ia
tidak akan mudah terhempas karena ada tekanan dari orang lain. Di sini dapatlah
dikatakan bahwa rendah hati merupakan
kunci mewujudkan kesuksesan plus dalam hidup, yaitu sukses dunia dan
akhirat.
Dapat
ditemukan pula dampak positif yang luar biasa dari sikap rendah hati, yaitu hilangnya
kesombongan dan kezaliman.[5]
Untuk itulah Allah swt memerintahkan agar kita senantiasa
bersikap rendah hati, sehingga tidak terdapat korban yang direndahkan karena kesombongan,
dan tidak ada penderitaan karena kezaliman.[6] Kesombongan
adalah sumber kehancuran yang mesti kita singkirkan dari diri kita, karena ia merupakan
penyakit hati yang amat barbahaya. Ia akan menjauhkan kita dari sahabat sejati.
Ia akan menciptakan permusuhan. Ia akan menghilangkan sekian banyak relasi. Ia
hanya berfungsi sebagai perisai untuk menutupi kekurangan, kelemahan, dan
ketidakmampuannya menghadapi masalah yang datang, sehingga tidak ada
keterbukaan dan tidak ada kesiapan mental untuk menerima berbagai macam hal
baru yang datang dari luar dirinya, dan
pada akhirnya beku, buntu dan tidak berkembang.
Apabila kita telah mempunyai
perasaan mempunyai berbagai kelebihan tertentu dibandingkan orang lain, lalu
membuat kita merasa paling mulia, paling
pantas untuk dihormati dan dihargai dari pada orang lain, maka mulai saat
itulah kita sedang mengidap penyakit hati yang amat berbahaya, yaitu
"sombong". Rasulullah saw, mengingatkan kita melalui sabdabya : "Barang siapa bersikap rendah hati
karena Allah, niscaya Allah akan meninggikan derajatnya. Ia merasa dirinya
kecil kurang berarti, akan tetapi di mata masyarakat dipandang sebagai orang
yang mulia dan terhormat. Dan barang siapa yang bersikap sombong, niscaya Allah
menghinakannya, sehingga masyarakat memandangnya sebagai orang yang hina,
walaupun ia merasa sebagai orang besar".[7]
Seseorang dapat dengan mudah terjangkit
penyakit sombong, antara lain karena adanya
penilaian yang keliru akan kemuliaan manusia. Seseorang dipandang mulia
atau terhormat karena memiliki harta yang melimpah dan jabatan yang lebih tinggi
dibandingkan manusia lainnya, walaupun dia jauh dari aturan Allah. Orang yangg
hidup dalam kondisi seperti ini akan mudah terjangkit penyakit sombong dengan
merendahkan dan meremehkan orang lain. Sebab lain adalah kebiasaan suka membanding-bandingkan
nikmat yang diperolehnya dengan yang diperoleh orang lain, tanpa ingat kepada
yang memberi nikmat, yaitu Allah. Ketika ia bercakap-cakap dengan sahabatnya,
ia katakan : Hartaku lebih banyak daripada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih
kuat dari pengikutmu, dan seterusnya, sehingga tertangkap kesan bahwa dirinya "serba
paling" dibandingkan orang lain.[8] Adakalanya
yang memicu munculnya kesombongan adalah karena lebih unggul dari pada yang
lain dalam banyak didang, seperti ilmunya
lebih tinggi, hartanya lebih banyak, dan seterusnya. Keunggulan-keunggulan
semata tidak ada artinya di hadapan Allah bila tidak disertai dengan sikap
rendah hati. Bahkan sebagai pengantar munculnya kehancuran dan kegagalan. Rasullullah
saw telah mengingatkan kita : Tidak masuk surga orang yg di dalam hatinya
terdapat seberat zarrah dari kesombongan.[9]
Allah mengingatkan kita : "Dan
janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya
kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan
sampai setinggi gunung."[10]
Salah satu cara memupuk sikap
rendah hati dan menghilangkan kesombongan adalah menumbuh suburkan rasa senang duduk-duduk
bersama kaum dhu'afa' (orang-orang lemah), bahkan suka makan dan minum bersama
mereka. Suka merenungkan semua nikmat
Allah dari yang paling kecil hingga yang
paling besar, termasuk dirinya dan alam semesta, sehingga menjadi seorang yang
pandai bersyukur. Lalu ia bersungguh-sungguh dalam mentaati aturan Allah,
karena ketaatan yang dilakukan
semata-mata mencari ridha Allah, akan dapat membersihkan diri dari
penyakit-penyakit hati, bahkan akan meningkat ke derajat yang lebih tinggi. Semua
itu adalah anugerah Allah. Dia yang kuasa untuk memberi dan Dia pula yang kuasa
mencabutnya.
Seorang yang rendah hati
digambarkan oleh Allah dalam firman-Nya yang artinya :
"Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang
berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa
mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang mengandung kedamaian, dan orang-orang yang melalui malam hari
dengan bersujud dan berdiri untuk Tuhan mereka, dan orang-orang yang berkata :
"Ya Tuhan kami, jauhkan azab Jahannam dari kami, sesungguhnya azabnya itu
adalah kebinasaan yang kekal". Sesungguhnya Jahannam itu seburuk-buruk
tempat menetap dan tempat kediaman, dan orang-orang yang apabila membelanjakan
(harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah
(pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.[11] "SELAMAT MERAIH
SUKSES BERSAMA SIKAP RENDAH HATI, DAN SELAMAT TINGGAL KESOMBONGAN"
[1] - يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا
إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا فِي الْمَجَالِسِ فَافْسَحُوا يَفْسَحِ اللَّهُ لَكُمْ
وَإِذَا قِيلَ انْشُزُوا فَانْشُزُوا يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ
وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
(11)
Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu:
"Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah
akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah
kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat. Dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS.Al-Mujaadilah :
11)
[2] - عن جابر قال : قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم : وَ خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ. (رواه الطبراني –
المعجم الأوسط للطبراني – المكتبة الشاملة – باب الميم من اسمه محمد- الجزء : 13-
صفحة : 27))
Dari Jabir, ia berkata : Rasulullah aw berabda : Dan
sebaik-baik manusia adalah mereka yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.
(HR.Thabrani, Al-Mu'jam Al-Awsath Lith-Thabrani, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab
Mim Min Ismuhu Muhammad, juz : 13, hal. 27)
[3] - عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ
وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ ِللهِ
إِلاَّ رَفَعَهُ اللهُ. (رواه مسلم-4689- صحيح مسلم- المكتبة الشاملة - بَاب اسْتِحْبَابِ الْعَفْوِ
وَالتَّوَاضُعِ – الجزء-12- صفحة :473)
Dari Abu Hurairah, diterima dari
Rasulullah saw, beliau bersabda : sedekah itu tidaklah mengurangi harta, Allah
tidak menambahkan kepada seorang hamba yang pemaaf kecuali kemuliaan, dan
tidaklah seorang hamba bersikap rendah hati (tawadhu‘) kecuali Allah pasti
mengangkat (derajatnya). (HR Muslim : 4689, Shahih Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab Istihbab Li’afwin
Wat-Tawadhu’i, juz 12, hal.474)
[4] - عَنْ أَوْسِ بْنِ خَوْلِيٍّ أنه دخل على رسول الله صلى الله
عليه وسلم فقال : يا أوس : مَنْ تَوَاضَعَ ِللهِ رَفَعَهُ اللهُ وَمَنْ تَكَبَّرَ
وَضَعَهُ اللهُ. (رواه ابو نعيم : 914 - معرفة الصحابة لأبي نعيم
الأصبهاني- المكتبة الشاملة - باب من
اسمه أوس- الجزء : 3- صفحة : 160)
Dari Aus bin Khawly, bahwasanya ia datang
kepada Rasulullah saw, lalu beliau bersabda : WahaiAus! : Barangsiapa yang
rendah hati karena Allah, maka Allah akan mengangkat (derajat)-nya; da
barangsiapa yang sombong, maka Allah akan menjatuhkan (derajat)nya. (HR Abu
Nu‘aim : 914, Ma'rifatush-Shahabah Liabi Nu'am Al-Ashbahani, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab Man ismuh Aus, juz 3,
hal.160)
-[5]عَنْ أَبِي
سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ
تَوَاضَعَ ِللهِ دَرَجَةً رَفَعَهُ اللهُ دَرَجَةً حَتَّى يَجْعَلَهُ فِي
عِلِّيِّينَ وَمَنْ تَكَبَّرَ عَلَى اللهِ دَرَجَةً وَضَعَهُ اللهُ دَرَجَةً
حَتَّى يَجْعَلَهُ فِي أَسْفَلِ السَّافِلِينَ.(رواه احمد : 11299 -باب مسند أَبِي
سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ - المكتبة الشاملة – الجزء :
23- صفحة : 344
Dari Abu Sa’id Al-Khudri, ia berkata :
Rasulullah saw bersabda : Barangsiapa yang rendah hati karena Allah satu
derajat, maka Allah mengangkatnya satu derajat pula hingga ia ditempatkan pada
tempat yang setinggi-tingginya. Dan barangsiapa yang sombong kepada Allah satu
derajat, maka Allah menjatuhkannya satu derajat pula, hingga ia ditempatkan
pada tempat yang serendah rendahnya. (HR.Ahmad : 11299, Bab Musnad Abu Sa’id
Al-Khudry, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz 23, hal.344)
[6] - عَنْ قَتَادَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطَبَ ذَاتَ يَوْمٍ وَ قَالَ : إِنَّ اللهَ أَوْحَى
ِإلَيَّ أَنْ تَوَاضَعُوْا حَتَّى لاَ يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلاَ يَبْغِى أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ.(رواه مسلم- 5109 - صحيح مسلم- المكتبة الشاملة -بَاب الصِّفَاتِ الَّتِي يُعْرَفُ بِهَا فِي الدُّنْيَا
أَهْلُ الْجَنَّةِ وَأَهْلُ النَّارِ –
الجزء- 14- صفحة : 24)
Dari Qatadah, bahwasanya pada suatu hari Rasulullah saw berkhutbah, beliau
bersabda : Sesungguhnya Allah swt telah mewahyukan
kepadaku agar kalian bersikap rendah hati, sehingga tidak seorang pun
menyombongkan diri kepada yang lain, atau seseorang tiada menganiaya kepada
yang lainnya. (HR Muslim : 5109, Shahih Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Babush-Shifatillatii yu'rafu fiddunya alul-Jannati wa
ahlun-Naar, juz 14, hal.24)
[7] - عن عابس بن ربيعة قال : قال عمر وهو على المنبر : أيها الناس تواضعوا
فإني سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول : من تواضع لله رفعه الله ، فهو في نفسه
صغير وفي أعين الناس عظيم - ومن تكبر وضعه الله ، فهو في أعين الناس صغير وفي نفسه كبير، حتى لهو أهون عليهم من كلب أو خنزير.(رواه
البيهقي : 7917 –شعب الإيمان للبيهقي –المكتبة الشاملة- فصل فى التواضع- الجزء : 17- صفحة : 182)
Dari 'Abis bin
Rabi'ah, ia berkata : Umar menyampaikan khutbah di atas mimbar : Wahai manusia,
bersikap rendah hatilah kalian, karena aku pernah mendengar Rasulullah saw,
bersabda : Barang siapa bersikap rendah
hati karena Allah, niscaya Allah akan meninggikan derajatnya. Ia merasa dirinya
kecil kurang berarti, akan tetapi di mata masyarakat sebagai orang yang mulia
dan terhormat. Dan barang siapa yang bersikap sombong, niscaya Allah
menghinakannya, sehingga masyarakat memandangnya sebagai orang hina, walaupun
ia merasa sebagai orang besar, sampai-sampai di mata masyarakat ia lebih hina
dibanding anjing atau babi. (HR. Baihaqi : 7917, Syu'abul
Iman Kik-Baihaqi, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Fashl Fittawadgu', juz : 17, hal.
182)
[8].
Lihat Al-Qur'an surat Al-Kahfi ayat 34
[9] - عَنْ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ
كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ. (رواه مسلم- 133- صحيح مسلم- المكتبة الشاملة -بَاب تَحْرِيمِ
الْكِبْرِ وَبَيَانِهِ- الجزء- 1 - صفحة : 249)
Dari Abdullah, diterima dari Nabi saw, beliau beraabda :
Tidak masuk surga orang yg di dalam hatinya terdapat seberat zarrah dari
kesombongan. (HR
Muslim : 133, Shahih Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab Tahrimil Kibri wa
bayanih, juz 1, hal. 249)
[10].
Lihat Al-Qur'an surat Al-Isra' ayat 37
[11]. Lihat Al-Qur'an surat Al-Furqan ayat 63-67
Jumat, 18 Mei 2012
Shalat Jamak
Kata “Jamak” menurut bahasa berarti “mengumpulkan
atau menggabungkan”. Jadi, yang dimaksud dengan shalat jamak ialah
mengumpulkan atau menggabungkan dua shalat fardhu dikerjakan dalam satu waktu.
Contohnya adalah shalat dzuhur dan ashar dikerjakan di waktu dzuhur atau di
waktu ashar, shalat maghrib dan ‘isya dikerjakan di waktu maghrib atau di waktu
‘isya. Shalat shubuh tetap dikerjakan pada waktunya, tidak boleh dikerjakan di
waktu shalat yang lain. Shalat ashar tidak boleh digabungkan di waktu shalat
maghrib atau sebaliknya. Dalil tentang shalat jamak adalah
hadits Nabi :
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ حَبِيبٍ الْحَارِثِيُّ حَدَّثَنَا خَالِدٌ يَعْنِي ابْنَ الْحَارِثِ حَدَّثَنَا
قُرَّةُ حَدَّثَنَا أَبُو الزُّبَيْرِ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ جُبَيْرٍ حَدَّثَنَا
ابْنُ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَمَعَ بَيْنَ الصَّلَاةِ فِي سَفْرَةٍ سَافَرَهَا فِي غَزْوَةِ
تَبُوكَ فَجَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ. قَالَ
سَعِيدٌ فَقُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ مَا حَمَلَهُ عَلَى ذَلِكَ قَالَ أَرَادَ أَنْ لَا
يُحْرِجَ أُمَّتَهُ. (رواه مسلم : 1148- صحيح مسلم –
المكتبة الشاملة - بَاب الْجَمْعِ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ فِي الْحَضَرِ- الجزء :
4- صفحة : 7)
Telah
menceritakan kepada kami [Yahya bin Habib Al-Haritsy], telah menceritakan
kepada kami [Khalid] yaitu [Ibnul Harits], telah menceritakan kepada kami
[Qurrah], telah menceritakan kepada kami [Abuz Zubair], telah menceritakan
kepada kami [Sa’id bin Jubair], telah menceritakan kepada kami [Ibnu ‘Abbas], bahwa Rasulullah saw menjamak
shalat di perjalanan yang beliau lakukan dalam perang Tabuk. Beliau menjamak
shalat zhuhur dan ‘ashar, shalat maghrib dan ‘isya’. Sa’id berkata : Aku
bertanya kepada Ibnu ‘Abbas : Apakah yang mendorong Rasulullah saw mengerjakan
hal itu. Ibnu ‘Abbas menjawab : Beliau saw berkehendak supaya tidak memberatkan umatnya. (HR.Muslim : 1148, Shahih Muslim,
Al-Maktabah Asy-Syamilah, babul jam’I bainash shalatain fil Hadhar, juz : 4,
hal. 7)
حَدَّثَنَا الْقَعْنَبِيُّ عَنْ مَالِكٍ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ
الْمَكِّيِّ عَنْ أَبِي الطُّفَيْلِ عَامِرِ بْنِ وَاثِلَةَ أَنَّ مُعَاذَ بْنَ
جَبَلٍ أَخْبَرَهُمْ أَنَّهُمْ
خَرَجُوا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزْوَةِ
تَبُوكَ فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْمَعُ
بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ فَأَخَّرَ الصَّلَاةَ
يَوْمًا ثُمَّ خَرَجَ فَصَلَّى الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا ثُمَّ دَخَلَ ثُمَّ
خَرَجَ فَصَلَّى الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ جَمِيعًا.(رواه ابو داود : 1020 – سنن ابو داود- المكتبة الشاملة - بَاب
الْجَمْعِ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ- الجزء : 3 – صفحة : 445)
Telah menceritakan kepada kami [Al-Qa’naby] dari [Malik]
dari [Abiz Zuybair Al-makki] dari [Abu Thufail ‘Amir bin Watsilah], bahwasanya [Mu’adz
bin Jabal] mengabarkan
kepada mereka, bahwasanya mereka keluar bersama Rasululllah saw dalam perang
Tabuk. Beliau menjamak shalat zhuhur dan ashar, maghrib dan ‘isya. Kemudian pada
suatu hari beliau mengakhirkan shalat, lalu pergi, kemudian mengerjakan shalat
zhuhur dan ashar semuanya dengan jamak, kemudian beliau masuk (ke kemah),
kemudian beliau keluar mengerjakan shalat maghrib dan ‘isya semuanya dengan jamak. (HR. Abu Dawud : 1020,
Sunan Abu Dawud, Al-Maktabah Asy-Syamilah, babul jam’I bainash shalatain, juz :
3, hal. 445)
Pembagian Shalat Jamak
Berdasarkan hadits di atas, shalat jamak terbagi menjadi dua bagian,
yaitu jamak Taqdim dan Jamak Ta’khir dengan penjelasan sebagai berikut :
1. Jamak Taqdim, yakni
menggabungkan dua shalat fardhu dalam satu waktu yang dikerjakan pada waktu shalat
yang pertama. Misalnya, mengerjakan shalat dzuhur dengan ashar pada waktu
dzuhur; mengerjakan shalat maghrib dengan
isya pada waktu maghrib.
2. Jamak Ta’khir,
yaitu mengerjakan dua shalat fardhu pada satu waktu dan dikerjakn pada waktu
yang kedua. Misalnya, mengerjakan shalat dzuhur dengan ‘ashar pada waktu ashar; mengerjakan shalat
maghrib dengan ‘isya pada waktu shalat
‘isya.
Syarat
Shalat Jamak
Syarat shalat jamak yang harus dipenuhi untuk shalat
jamak taqdim ada tiga hal[1] sebagai berikut :
1.
Hendaklah memulai shalat dengan shalat yang pertama, yaitu
mengerjakan shalat dzuhur sebelum shalat ‘ashar, dan mengerjakan shalat maghrib
sebelum shalat ‘isya, karena waktu yang ada adalah milik shalat yang pertama,
dan shalat yang kedua adalah pengikut, sedangkan
sesuatu yang mengikuti tidak boleh mendahului yang diikuti. Oleh karenanya,
apabila shalat yang kedua di dahulukan, maka tidak sah shalatnya, dan wajib
mengulanginya setelah shalat yang
pertama.
2.
Hendaklah
niat shalat jamak pada waktu shalat yang pertama,
yaitu ketika takbiratul ihram, atau di tengah-tengah shalat yang pertama,
menurut qaul yang azhhar. Jadi, tidak boleh niat jamak setelah salam shalat
yang pertama.
3. Berturut-turut atau beriringan antara shalat yang pertama dan
shalat yang kedua, sebab shalat yang kedua itu mengikuti, sedangkan segala
sesuatu yang mengikuti tidak boleh terpisah dari yang diikuti.
Adapun
jamak ta’khir tidak disyaratkan adanya tertib antara dua shalat, tidak
disyaratkan pula berniat jamak ketika shalat, tetapi niat jamak dilakukan pada
waktu shalat yang pertama, dan tidak disyaratkan pula
beriringan/berturut-turut. [2]
Sebab-Sebab Yang Membolehkan Shalat Jamak
Shalat jamak dapat dilakukan apabila terdapat salah satu
dari sebab-sebab sebagai berikut :
1. Shalat Jamak
Sebab Safar (Bepergian)
Menjamak shalat dalam safar (bepergian) hukumnya mubah
(boleh), baik di waktu dalam perjalanan atau sewaktu berhenti. Hadits Nabi :
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ قَالَ أَخْبَرَنَا ابْنُ
جُرَيْجٍ قَالَ أَخْبَرَنِي حُسَيْنُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُبَيْدِ اللَّهِ
بْنِ عَبَّاسٍ عَنْ عِكْرِمَةَ وَعَنْ كُرَيْبٍ أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ قَالَ أَلَا
أُحَدِّثُكُمْ عَنْ صَلَاةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فِي السَّفَرِ؟ قَالَ قُلْنَا بَلَى قَالَ كَانَ إِذَا زَاغَتْ الشَّمْسُ فِي
مَنْزِلِهِ جَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ يَرْكَبَ وَإِذَا
لَمْ تَزِغْ لَهُ فِي مَنْزِلِهِ سَارَ حَتَّى إِذَا حَانَتْ الْعَصْرُ نَزَلَ
فَجَمَعَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَإِذَا حَانَتْ الْمَغْرِبُ فِي
مَنْزِلِهِ جَمَعَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ الْعِشَاءِ وَإِذَا لَمْ تَحِنْ فِي
مَنْزِلِهِ رَكِبَ حَتَّى إِذَا حَانَتْ الْعِشَاءُ نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا.(رواه احمد : 3300– مسند احمد-
المكتبة الشاملة - بَاب بداية مسند عبد الله بن العباس- الجزء : 7– صفحة : 333)
Telah
menceritakan kepada kami [Abdur Razaaq], ia berkata : Telah menceritakan kepada
kami [Ibnu Juraij], ia berkata : Telah memngabarkan kepada kami [Husain bin
Abdullah bin ‘Ubaidillah bin ‘Abbas] dari [‘Ikrimah] dari [Kuraib], bahwasanya
[Ibnu ‘Abbas] berkata : Maukah
aku ceritakan kepada kalian tentang shalat Rasulullah saw ketika dalam
perjalanan? Ia berkata : Kami menjawab : Tentu kami mau. Ia berkata : Apabila
matahari telah tergelincir ketika beliau masih di rumahnya, maka beliau
menjamak shalat zhuhur dan ‘ashar sebelum menaiki kendaraannya (sebelum
berangkat). Dan apabila matahari belum tergelincir ketika masih di rumahnya,
maka beliau berangkat, hingga bila datang waktu ‘ashar, maka beliau berhenti
(singgah) lalu menjamak shalat zhuhur dan ‘ashar. Dan apabila masuk waktu maghrib
ketika beliau masih di rumahnya, maka beliau menjamak shalat maghrib dan ‘isya.
Dan apabila belum masuk wktu maghrib ketika beliau masih di rumahnya, maka
beliau menaiki kendaraannya (berangkat) hingga apabila waktu ‘isya telah masuk,
maka beiau berhenti (singgah) lalu menjamak shalat maghrib dan ‘isya. (HR. Ahmad :
3300, Musnad Ahmad, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Bab Bidayah Musnad Abdullah bin
‘Abbas, juz : 7, hal. 333)
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ أَخْبَرَنَا اللَّيْثُ
عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ عَنْ أَبِي الطُّفَيْلِ عَامِرِ بْنِ وَاثِلَةَ
عَنْ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ إِذَا ارْتَحَلَ
قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ حَتَّى يَجْمَعَهَا إِلَى
الْعَصْرِ فَيُصَلِّيَهُمَا جَمِيعًا وَإِذَا ارْتَحَلَ بَعْدَ زَيْغِ الشَّمْسِ
صَلَّى الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا ثُمَّ سَارَ وَكَانَ إِذَا ارْتَحَلَ
قَبْلَ الْمَغْرِبَ أَخَّرَ الْمَغْرِبَ حَتَّى يُصَلِّيَهَا مَعَ الْعِشَاءِ
وَإِذَا ارْتَحَلَ بَعْدَ الْمَغْرِبِ عَجَّلَ الْعِشَاءَ فَصَلَّاهَا مَعَ
الْمَغْرِبِ. (رواه ابو داود : 1031 – سنن ابو داود-
المكتبة الشاملة - بَاب الْجَمْعِ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ- الجزء : 3 – صفحة : 456)
Telah
menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id, telah mengabarkan kepada kami
[Al-Laits] dari [Zaid bin Abi Habib] dari [Ath-Thufail, ‘Amir bin Watsilah]
dari [Mu’adz bin jabal], bahwasanya
Nabi saw dalam perang Tabuk,[3] apabila beliau berangkat sebelum tergelincir matahari,
beliau mengakhirkan shalat dzuhur hingga beliau kumpulkan ke ‘ashar, beliau
shalat untuk keduanya (dzuhur dan ashar di waktu ashar) semuanya, dan apabila
beliau berangkat sesudah tergelincir matahari, beliau kerjakan shalat dzuhur
dan ‘ashar (di waktu dzuhur) semuanya,
kemudian beliau berjalan (pergi). Apabila beliau berangkat sebelum
(masuk waktu) maghrib, beliau ta’khirkan maghrib hingga beliau lakukan shalat
maghrib beserta ‘isya, dan apabila beliau berangkat sesudah masuk waktu
maghrib, beliau segerakan shalat ‘isya, dan beliau shalatkan ‘isya dengan
shalat maghrib. (HR. Abu Dawud : 1031,
Sunan Abu Dawud, Al-Maktabah Asy-Syamilah, babul jam’I bainash shalatain, juz :
3, hal. 456)
2. Shalat Jamak Sebab
Ada Keperluan
Dalam syarah Shahih Muslim imam
Nawawi berkata : Beberapa imam membolehkan shalat jamak bagi orang yang tidak bepergian
(bukan musafir), bila ada suatu keperluan, asalkan tidak dijadikan suatu
kebiasaan. Ini merupakan pendapat Ibnu Sirin dan Asyhab dari golongan
pengikut imam Malik. Dan demikian pula menurut Al-Khaththabi dari
Al-Qaffal dan Asy-Syasyi Al-Kabir dari golongan pengikut imam Syafi’i.
Dan juga dari Ishaq Al-Marwazi dari jama’ah ahli hadits. Dan inilah yang dipilh
oleh imam Ibnul Mundzir. Hal ini dikuatkan oleh zahirnya perkataan Ibnu ‘Abbas,
bahwa jamak itu dimaksudkan agar tidak menyulitkan umat. Jadi tidak dijelaskan
apakah karena sakit atau sebab-sebab lainnya.[4]
Hadits Ibnu ‘Abbas yang dimaksud adalah sebagai berikut :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَأَبُو
كُرَيْبٍ قَالَا حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ وَأَبُو
سَعِيدٍ الْأَشَجُّ وَاللَّفْظُ لِأَبِي كُرَيْبٍ قَالَا حَدَّثَنَا وَكِيعٌ
كِلَاهُمَا عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ حَبِيبِ بْنِ أَبِي ثَابِتٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ
جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ
قَالَ جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ
الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ
خَوْفٍ وَلَا مَطَرٍ. فِي
حَدِيثِ وَكِيعٍ قَالَ قُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ لِمَ فَعَلَ ذَلِكَ قَالَ كَيْ لَا يُحْرِجَ أُمَّتَهُ - وَفِي حَدِيثِ أَبِي مُعَاوِيَةَ قِيلَ لِابْنِ
عَبَّاسٍ مَا أَرَادَ إِلَى ذَلِكَ قَالَ أَرَادَ أَنْ
لَا يُحْرِجَ أُمَّتَهُ. (رواه مسلم : 1151- صحيح مسلم – المكتبة الشاملة - بَاب الْجَمْعِ
بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ فِي الْحَضَرِ- الجزء : 4- صفحة : 10)
Telah menceritakan kepada kami
[Abu Bakar bin Abi Syaibah] dan [Abu Kuraib], mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami [Abu Kuraib]
dan [Abu Sa’id Al-Asyajj]. Dan lafz hadits milik Abu Kuraib, mereka berdua
berkata : Telah menceritakan kepada kami [Waki’], keduanya dari [Al-A’masy],
dari [Habib bin Abi Tsabit], dari [Sa’id bin Jubair], dari [Ibnu ‘Abbas], ia
berkata : Rasulullah saw pernak menjamak shalat zhuhur dan ‘ashar, shalat
maghrib dan ‘isya di Madinah, bukan karena ketakutan dan bukan pula karena
hujan. Dalam hadiots Waki’ katanya, aku tanyakan kepada Ibnu ‘Abbas :
Mengapa beliau lakukan hal itu? Ibnu ‘Abbas menjawab : Agar supaya tidak
memberatkan umatnya. Dan dalam
hadits Abu Mu’awiyah ditanyakan kepada Ibnu ‘Abbas : Kenapa belioau saw berbuat
itu? Ibnu Abbas menjawab : Beliau saw berkehendak supaya tidak memberatkan umatnya. (HR.Muslim : 1151, Shahih Muslim,
Al-Maktabah Asy-Syamilah, babul jam’I bainash shalatain fil Hadhar, juz : 4,
hal. 10)
حَدَّثَنَا
أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ وَعَوْنُ بْنُ سَلَّامٍ جَمِيعًا عَنْ زُهَيْرٍ قَالَ ابْنُ
يُونُسَ حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا أَبُو الزُّبَيْرِ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ
صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا بِالْمَدِينَةِ
فِي غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا سَفَر. قَالَ أَبُو الزُّبَيْرِ فَسَأَلْتُ سَعِيدًا لِمَ فَعَلَ ذَلِكَ
فَقَالَ سَأَلْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ كَمَا سَأَلْتَنِي فَقَالَ أَرَادَ أَنْ لَا يُحْرِجَ
أَحَدًا مِنْ أُمَّتِهِ. (رواه مسلم : 1147- صحيح مسلم –
المكتبة الشاملة - بَاب الْجَمْعِ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ فِي الْحَضَرِ- الجزء :
4- صفحة : 6)
Telah
menceritakan kepada kami [Ahmad bin Yunus] dan[ ‘Aun bin Salim], semuanya dari
[Zuhari], berkatalah [Yunus] : Telah menceritakan kepada kami [Zuhair], telah
menceritakan kepada kami [Abuz Zubair], dari [Sa’id bin Jubair] dari [Ibnu
‘Abbas] berkata : Rasulullah
saw shalat zhuhur dan ‘ashar sekaligus
(jamak) di Madinah bukah karena khauf (ketakutan) dan bukan pula karena safar
(bepergian). Abuz Zubair berkata : Aku bertanya kepada Sa’id : Mengapa
Rasulullahsaw melakukan hal itu? Dia menjawab : Aku bertanya kepada Ibnu ‘Abbas
seperti yang engkau tanyakan kepadaku, lalu dia menjawab : Beliau
saw berkehendak supaya tidak memberatkan (menyulitkan) seseorangpun dari
umatnya. (HR.Muslim :
1146, Shahih Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, babul jam’I bainash shalatain
fil Hadhar, juz : 4, hal. 5)
3.
Shalat
Jamak Sebab Hujan
Rasulullah saw pernah menjamak shalat ketika
terjadi hujan lebat, sebagaimana yang terdapat dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh imam Bukhari berikut ini :
حَدَّثَنَا أَبُو النُّعْمَانِ قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ
هُوَ ابْنُ زَيْدٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ صَلَّى بِالْمَدِينَةِ سَبْعًا وَثَمَانِيًا الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ
وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ فَقَالَ أَيُّوبُ لَعَلَّهُ فِي لَيْلَةٍ مَطِيرَةٍ
قَالَ عَسَى.(رواه
البخاري : 510 – صحيح البخاري- المكتبة
الشاملة -بَاب تَأْخِيرِ الظُّهْرِ إِلَى الْعَصْرِ- الجزء : 2- صفحة : 374)
Telah menceritakan kepadakami [Abu Nu’man], ia berkata :
Telah menceritakan kepada kami [Hammad], yaitu [Ibnu Zaid] dari [‘Amr bin
Dinar] dari [Jabir bin Zaid] dari [Ibnu ‘Abbas], bahwasanya
Nabi saw pernah mengerjakan shalat di Madinah tujuh dan delapan rakaat, yaitu
shalat zhuhur dan ‘ashar, shalat maghrib dan ‘isya. Ayyub berkata : Barangkali
hal tersebut terjadi pada malam itu hujan. Ibnu ‘Abbas berkata : Bisa jadi.
(HR.Bukhari : 510, Shahih Bukhari, Al-Maktabah
Asy-Syamilah, bab ta’khirizh zhuhri ilal ‘ashri, , juz : 2, hal. 374)
Terdapat
Beda Pendapat
1. Mazhab
Syafi’i membolehkan seorang yang muqim menjamak shalat zhuhur dengan ‘ashar
dan maghrib dengan ‘isya secara taqdim saja, dengan syarat adanya hujan
ketika membaca takbiratul Ihram dalam shalat yang pertama sampai selesai, dan
hujan masih turun ketika memulai shalat yang kedua.
2. Mazhab Maliki
membolehkan menjamak taqdim antara maghrib dengan ‘isya disebabkan adanya
hujan yang telah atau akan turun; juga dibolehkan karena banyak lumpur di
tengah jalan dan malam sangat gelap. Sedangkan menjamak shalat zhuhur dengan
‘ashar karena hujan dimakruhkan.
3. Mazhab Hanbali
membolehkan menjamak shalat maghrib dengan ‘isya saja, baik secara taqdim
atau ta’khir, disebabkan adanya salju, lumpur, dingin yang sangat serta
hujan yang membasahi pakaian. Keringanan ini hanya berlaku bagi orang yang
biasa mengerjakan shalat berjama’ah di mesjid dan datang dari tempat yang jauh.[5]
4.
Shalat
Jamak Sebab Sakit Atau ‘Udzur
1. Imam Ahmad,
Qadhi Husein, Al-Khaththabi dan Al-Mutawalli dari golongan mazhab Syafi’i
membolehkan menjamak, baik taqdim atau
ta’khir disebabkan sakit, dengan alasan : Kesukaran di waktu sakit lebih berat
dari kesukaran di waktu hujan. Imam Nawawi berkata : Dari segi alasan, pendapat
ini adalah kuat.
2. Golongan
mazhab imam Hanbali memperluas ruang lingkup sebab-sebab bolehnya menjamak
shalat, yaitu karena berbagai macam halangan, seperti orang yang sedang
menyusui bila terdapat kesulitan untuk mencuci pakaiannya ketika hendak shalat,
wanita yang sedang istihadhah, orang yang kencing terus, khawatir akan ada bahaya
bagi dirinya, harta dan kehormatannya.
3. Ibnu Taimiyah
berkata : Mazhab yang paling luas dalam masalah shalat jamak adalah mazhab imam
Ahmad, sebab ia membolehkan menjamak bagi
seseorang yang sedang sibuk bekerja, juru masak atau pembuat roti dan
orang-orang lainnya yang takut hartanya menjadi rusak.[6]
Qamat Satu Kali
Dalam shalat jamak hanya dilakukan
satu kali qamat sebagaiman yang terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh
imam Muslim :
حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ
الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا الثَّوْرِيُّ عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ عَنْ سَعِيدِ
بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ
الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِجَمْعٍ صَلَّى الْمَغْرِبَ ثَلَاثًا وَالْعِشَاءَ
رَكْعَتَيْنِ بِإِقَامَةٍ وَاحِدَةٍ. (رواه مسلم : 2268- صحيح مسلم –
المكتبة الشاملة - بَاب الإفاضة من عرفات الى المزدلفة - الجزء : 6- صفحة :
404)
Telah
menceritakan kepada kami [‘Abd bin Humaid], telah mengabarkan kepada kami
[Abdurrazzaq], telah mengabarkan kepada kami [Atstsauri] dari [Salamah bin
Kuhail] dari [Sa’id bin Jubair] dari [Ibnu ‘Umar], ia berkata : Rasululullah saw
menggabungkan antara shalat maghrib dan
‘isya dengan shalat jamak. Beliau kerjakan shalat maghrib tiga rakaat , dan
‘isya dua rakaat dengan satu kali qamat. (HR.Muslim : 2268, Shahih Muslim,
Al-Maktabah Asy-Syamilah, babu Al-Ifadhah min ‘araffatin ilaa mudzdalifah, juz : 6, hal. 404)
Jamak Dan Qashar
Seseorang
boleh menjamak shalat sekaligus mengqasharnya apabila syarat-syaratnya
terpenuhi seperti yang terdapat pada bahasan terdahulu. Hadits Nabi :
حَدَّثَنِي
حَرْمَلَةُ بْنُ يَحْيَى أَخْبَرَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي يُونُسُ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ أَنَّ عُبَيْدَ
اللَّهِ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَخْبَرَهُ أَنَّ أَبَاهُ قَالَ جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِجَمْعٍ لَيْسَ بَيْنَهُمَا
سَجْدَةٌ وَصَلَّى الْمَغْرِبَ ثَلَاثَ رَكَعَاتٍ وَصَلَّى الْعِشَاءَ رَكْعَتَيْنِ. (رواه مسلم : 2266- صحيح مسلم –
المكتبة الشاملة - بَاب الإفاضة من عرفات الى المزدلفة - الجزء : 6- صفحة
:402)
Telah menceritakan kepadaku
[Harmalah bin Yahya], telah mengabarkan kepada kami [Ibnu Wahab], telah mengabarkan
kepadaku [Yunus] dari [Ibnu Syihab], bahwa [‘Ubaidillah bin Abdillah bin Umar] mengabarkan
kepadanya, bahwa ayahnya berkata : Rasululullah saw
menggabungkan antara shalat maghrib dan
‘isya dengan shalat jamak, diantara keduanya tidak ada
sujud (shalat sunat). Beliau
kerjakan shalat maghrib tiga rakaat, dan ‘isya dua rakaat. (HR.Muslim :
2266, Shahih Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, babu Al-Ifadhah min ‘araffatin
ilaa mudzdalifah, juz : 6, hal. 402)
[1].Taqiyuddin, Kifayatul Akhyar, Juz : 1, Darul
Ilmi, Surabaya Indonesia, hal. 117,-
[2]. Ibid, hal. 117,-
[3]. Perang Tabuk terjadi pada tahun kesembilan
Hijriyah. (Lihat dalam kitahb Fiqhussunnah oleh Sayid sabiq, Al-Maktabah
Asy-Syamilah, bab/juz : 1, hal. 290)
[4]. Syarah An-Nawawi ‘alaa Muslim, Al-Maktabah
Asy-Syamilah, bab Al-Jam’u bainash shalataini fil-Hadlar, juz : 3, hal : 17
[5]. Sayid sabiq, Fiqhussunnah, Al-Maktabah
Asy-Syamilah, bab/juz : 1, hal. 290-291
[6]. Ibid, hal. 291
Langganan:
Postingan (Atom)