Selasa, 02 Februari 2016

MENERIMA ATAU MENOLAK PINANGAN



Menerima atau menolak pinangan/lamaran adalah hak dari pihak-pihak yang dipinang/dilamar. Tetapi, agar tidak menimbulkan fitnah, tentu penolakan hendaknya dilakukan dengan sikap arif, cara yang halus dan lembut, tanpa menyinggung perasaan, namun si pelamar itu bisa memahami dan menerima maksud dan tujuan dari rangkaian kata yang disampaikan, yaitu penolakan. Sehingga fitnah yang dikhawatirkan tidak terjadi. Di antara kemuliaan yang Allah berikan kepada kaum wanita setelah datang Islam adalah bahwa mereka mempunyai hak penuh dalam menerima atau menolak suatu lamaran, yang mana hak ini dulunya tidak dimiliki oleh kaum wanita di zaman jahiliah. Karenanya, tidak boleh bagi seorang wali memaksa wanita yang diwalikan untuk menikahi lelaki yang tidak disenangi. Rasulullah saw memberikan bimbingan kepada kita dengan tegas, bahwa wali tidak boleh menikahkan seorang janda sebelum dimusyawarahkan dengannya dan tidak boleh pula menikahkan anak gadis atau perawan sebelum mendapatkan  izin darinya. Hadits Nabi :  
حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ فَضَالَةَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنْ يَحْيَى عَنْ أَبِي سَلَمَةَ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ حَدَّثَهُمْ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَا تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلَا تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ إِذْنُهَا قَالَ أَنْ تَسْكُتَ. (رواه البخاري : 4741- صحيح البخاري – المكتبة الشاملة - باب لا ينكح الأب وغيره البكر والثيب إلا بإذنها- الجزء : 16- صفحة : 100)
Telah menceritakan kepada kami Mu'adz bin Fadlalah, telah menceritakan kepada kami Hisyam, dari Yahya, dari Abu Salamah, bahwa Abu Hurairah menceritakan kepada mereka bahwasanya; Nabi saw bersabda: "Seorang janda tidak boleh dinikahi hingga ia dimintai pendapatnya, sedangkan gadis tidak boleh dinikahkan hingga dimintai izinnya." Para sahabat bertanya : "Wahai Rasulullah, seperti apakah izinnya?" beliau menjawab: "Bila ia diam tak berkata." (HR.Bukhari : 4741, shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab laa yankihul abu wa ghairuhu al-bikra wats-Tsayyiba illaa bi-idzniha, juz : 16, hal. 100)
Dalam riwayat yang lain, Rasulullah saw menegaskan, bahwa "Keridlaan seorang gadis  adalah diamnya." Ketika seorang gadis itu ditanya, apakah dia suka, senang atau ridla menerima lamaran dari seorang lelaki yang sedang meminangnya, dan ternyata dia diam, tidak menjawab pertanyaan, maka berarti dia suka dan ridla menerma pinangan dari lelaki itu. Hadits Nabi :
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ الرَّبِيعِ بْنِ طَارِقٍ قَالَ أَخْبَرَنَا اللَّيْثُ عَنْ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنْ أَبِي عَمْرٍو مَوْلَى عَائِشَةَ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ الْبِكْرَ تَسْتَحِي قَالَ رِضَاهَا صَمْتُهَا. (رواه البخاري :  4742- صحيح البخاري – المكتبة الشاملة - باب لا ينكح الأب وغيره البكر والثيب إلا بإذنها- الجزء : 16- صفحة :  101)
Telah menceritakan kepada kami Amru bin Ar Rabi' bin Thariq, ia berkata : Telah mengabarkan kepada kami Al-Laits, dari Ibnu Abu Mulaikah, dari Abu Amru, bekas budak Aisyah, dari Aisyah, bahwa ia berkata : "Wahai Rasulullah, sesungguhnya seorang gadis itu pemalu." Beliau pun bersabda : "Keridla`annya adalah diamnya." (HR.Bukhari : 4742, shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab laa yankihul abu wa ghairuhu al-bikra wats-Tsayyiba illaa bi-idzniha, juz : 16, hal. 101)
Untuk menikahkan seorang gadis, maka seorang wali harus mendapatkan persetujuan dari anak gadisnya, dan tanda izin dari wanita yang masih gadis atau perawan cukup dengan diamnya, karena biasanya perawan malu untuk mengungkapkan keinginannya. Sedangkan  seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya. Tanda izin dari seorang yang sudah janda adalah dengan cara mengucapkannya.  Hadits  Nabi  :
و حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ زِيَادِ بْنِ سَعْدٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْفَضْلِ سَمِعَ نَافِعَ بْنَ جُبَيْرٍ يُخْبِرُ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَالْبِكْرُ تُسْتَأْمَرُ وَإِذْنُهَا سُكُوتُهَا. (رواه  مسلم :   2546- صحيح مسلم – المكتبة الشاملة -  باب استئذان الثيب فى النكاح- الجزء :  7- صفحة :  242)
Dan telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Ziyad bin Sa'ad, dari Abdullah bin Fadll, bahwa dia mendengar Nafi' bin Jubair mengabarkan, dari Ibnu Abbas, bahwasannya Nabi saw  bersabda : "Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan perawan (gadis) harus dimintai izin darinya, dan diamnya adalah izinnya." (HR.Muslim : 2546, Shahih Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah,  bab Isti’dzanuts Tsayyib fnnikah, juz : 7, hal. 242)
Menurut jumhurul ulama’, yang dimaksud dengan “seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya” adalah hanya dalam hal izin saja.[1] Artinya, wali dapat menikahkannya setelah mendapatkan izinnya. Jika seorang wali menikahkan putrinya, sementara si putri tidak suka, tidak  senang, maka nikahnya tertolak, berdasarka hadits Nabi saw, dari Khansa’ binti Khidzam Al-Anshariyah ra :
- حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ قَزَعَةَ حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ وَمُجَمِّعٍ ابْنَيْ يَزِيدَ بْنِ جَارِيَةَ الْأَنْصَارِيِّ عَنْ خَنْسَاءَ بِنْتِ خِذَامٍ الْأَنْصَارِيَّةِ أَنَّ أَبَاهَا زَوَّجَهَا وَهِيَ ثَيِّبٌ فَكَرِهَتْ ذَلِكَ فَأَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَدَّ نِكَاحَهَا. (رواه البخاري :  6432- صحيح البخاري – المكتبة الشاملة - باب لا يجوز نكاح المكره - الجزء :  21- صفحة : 273)
Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Qaza'ah, telah menceritakan kepada kami Malik, dari 'Abdurrahman bin Al Qasim, dari ayahnya, dari 'Abdurrahman dan Mujamma', dua anak Yazid bin Jariyah Al-Anshari, dari Khansa' binti Khidzam Al-Anshariyah; bahwa ayahnya mengawinkannya -ketika itu ia janda- dengan lak-laki yang tidak disukainya, kemudian dia menemui Nabi saw dan beliau membatalkan pernikahannya. (HR. Bukhari : 6432,  shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah,  bab laa yajuuzu nikahul mukrah,   juz : 21, hal. 273)
Menurut Imam Syafi’i, Ahmad dan Abu Tsaur : Apabila seorang wali menikahkan putrinya tanpa izin dari padanya, maka pernikahannya adalah batal, berdasarkan perbuatan Nabi saw yang telah membatalkan pernikahan Khansa'.[2] Artinya, seorang wali tidak boleh memaksakan kehendaknya untuk menikahkan putrinya, sementara si putri tidak suka, tidak  senang, dan apabila pernikahan dilaksanakan juga dengan cara paksa, maka  pernikahnya batal.[3] Wali disyariatkan untuk memberikan masukan atau saran-saran yang baik, lalu meminta pendapat dan izin dari wanita yang bersangkutan sebelum menikahkannya.
 Lalu bagaimana dengan hdits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Abu Huraurah ra : "Jika seseorang melamar (anak perempuan dan kerabat) kalian, sedangkan kalian ridha agama dan akhlaknya (pelamar tersebut), maka nikahkanlah dia (dengan anak perempuan atau kerabat kalian). Jika tidak, niscaya akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar." (HR.Tirmdzi)- Dan hadits dari Abu Hatim Al-Muzani, ia berkata; Rasulullah saw   bersabda: "Jika seseorang datang melamar (anak perempuan dan kerabat) kalian, sedang kalian ridha pada agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Jika tidak kalian lakukan, niscaya akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan." Para shahabat bertanya : Wahai Rasulullah, "Meskipun dia tidak kaya." Beliau bersabda : "Jika seseorang datang melamar (anak perempuan) kalian, kalian ridha pada agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia." Beliau mengatakannya tiga kali. (HR.Tirmidzi)
Adapun hadits di atas yang menyebutkan akan terjadi fitnah bila seorang wanita menolak lamaran laki-laki yang shalih, tentu harus dipahami dengan lengkap dan jernih. Hadits itu bukan dalam posisi untuk menetapkan bahwa sebuah lamaran dari laki-laki yang shalih itu haram ditolak. Tidak demikian kandungan hukumnya. Puteri seorang raja atau pembesar, tentu tidak berdosa bila menolak lamaran dari seorang lelaki yang tidak disukainya, mungkin keduanya tidak sekufu atau memang tidak saling cocok satu dengan yang lainnya. Bahkan di dalam syariah Islam, seorang wanita yang sudah menikah, namun merasa tidak cocok dengan suaminya, masih punya hak untuk bercerai dari suaminya. Apa lagi baru sekedar lamaran. Hadits Nabi :
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ الْوَاسِطِيُّ حَدَّثَنَا خَالِدٌ عَنْ خَالِدٍ الْحَذَّاءِ عَنْ عِكْرِمَةَ أَنَّ أُخْتَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أُبَيٍّ بِهَذَا وَقَالَ تَرُدِّينَ حَدِيقَتَهُ قَالَتْ نَعَمْ فَرَدَّتْهَا وَأَمَرَهُ يُطَلِّقْهَا وَقَالَ إِبْرَاهِيمُ بْنُ طَهْمَانَ عَنْ خَالِدٍ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَطَلِّقْهَا وَعَنْ أَيُّوبَ بْنِ أَبِي تَمِيمَةَ عَنْ عِكْرِمَةَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ جَاءَتْ امْرَأَةُ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي لَا أَعْتِبُ عَلَى ثَابِتٍ فِي دِينٍ وَلَا خُلُقٍ وَلَكِنِّي لَا أُطِيقُهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ قَالَتْ نَعَمْ (رواه البخاري :   4868- صحيح البخاري – المكتبة الشاملة - باب الخلع وكيف الطلاق فيه- الجزء : 16- صفحة :  321)
Telah menceritakan kepada kami Ishaq Al-Wasithi, telah menceritakan kepada kami Khalid, dari Khalid Al-Hadzdza`, dari Ikrimah, bahwa saudara perempuan Abdullah bin Ubay dengan ini beliau berkata : "Kembalikanlah kebun miliknya." Ia berkata, "Ya." Lalu ia pun mengembalikannya, dan beliau memerintahkan agar menceraikannya. Dan telah berkata Ibrahim bin Thahman, dari Khalid, dari Ikrimah, dari Nabi saw, beliau bersabda : "Dan ceraikanlah ia." Dan dari Ayyub bin Abu Tamimah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa ia berkata : Isteri Tsabit bin Qais datang kepada Rasulullah saw  dan berkata : "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tidak mencela Tsabit atas agama atau pun akhlaknya. Akan tetapi, aku tak kuasa untuk hidup bersamanya." Maka Rasulullah saw  bersabda : "Kalau begitu, kembalikanlah kebun miliknya." Ia menjawab, "Ya." (HR.Bukhari : 4868, shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab  Al-Khulu’ wa kaifa Ath-Thalaqu fih, juz : 16, hal. 321)


[1]. Baca Syarhun Nawawi ‘Alaa Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Isti’dzanuts Tsayyib Fin-Nikah Bin-Nuthqi wal-Bikri, juz : 5, hal. 123
[2].  Baca Syarah Ibnu Bathal, Al-Maktabah Asy-Syamilah, jua 13, hal. 251
[3]. Baca Syarah Ibnu Bathal, Al-Maktabah Asy-Syamilah, jua 15, hal. 327

Rabu, 13 Januari 2016

SURAT AL-BAQARAH AYAT 30



Al-Baqarah Ayat 30
Dua ayat berturut-turut telah berlalu, yaitu ayat 28 dan 29, yang menyadarkan kita sebagai hamba Allah. Pertama, bagaimana kita akan kufur kepada Allah, padahal dari mati kita dihidupkan oleh-Nya. Kemudian Dia matikan kembali, setelah itu akan dihidupkan-Nya kembali untuk mempertanggung jawabkan amal yang telah dikerjakan pada kehidupan yang pertama di dunia yang fana ini. Kedua, bagaimana kita akan kufur kepada-Nya, padahal seluruh isi bumi telah disediakan untuk kita.  Untuk menerima kedatangan kita di muka bumi ini, terlebih dahulu telah Allah siapkan persediaan untuk memenuhi kebutuhan hidup kita. Kemudian datanglah ayat tentang berita khalifah (penguasa) di muka bumi :
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat : "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata : "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman : "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Pada ayat ini Allah mengabarkan karunia-Nya kepada anak Adam (manusia) sebelum mereka diciptakan, yaitu berupa penghormatan kepada mereka dengan membicarakan mereka dihadapan makhluk yang tinggi (para malaikat), dengan firman-Nya :
Awal ayat 30 : وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً  - Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat : "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."  Maksudnya adalah wahai Muhammad, ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, dan ceritakan pula hal itu kepada kaummu, bahwa sesungguhnya Allah hendak menjadikan seorang khalifah (penguasa) di muka bumi, yaitu suatu kaum yang akan menggantikan kaum lainnya, abad demi abad, dan generasi demi generasi. Khalifah yang dimaksudkan dalam ayat ini bukanlah hanya Nabi Adam saja,[1] sebagaimana pengartian dalam ayat 165 surat Al-An’am :
وَهُوَ الَّذِي جَعَلَكُمْ خَلَائِفَ الْأَرْضِ وَرَفَعَ بَعْضَكُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آَتَاكُمْ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ الْعِقَابِ وَإِنَّهُ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ
Dan Dia lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah (penguasa-penguasa) di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Khalifah dalam ayat 30 surat Al-Baqarah ini, menurut Ibnu Jarir, arti firman Allah  : Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi dari-Ku yang menjadi pengganti-ku dalam memutuskan perkara secara adil diantara semua makhluk-Ku. Khalifat tersebut adalah Adam dan orang-orang yang menempati posisinya dalam ketaatan kepada Allah dan pengambilan keputusan secara adil di tengah-tengah umat manusia. Adapun orang-orang yang suka mengadakan pengrusakan dan pertumpahan darah tidaklah termasuk khalifah-khalifah Allah di muka bumi ini.
Adapun tugas manusia sebagai khalifah di muka bumi secara umum banyak kita jumpai dalam Al-Qur’an, antara lain :
Untuk Memakmurkan Bumi  
(QS.Huud : 61)
وَإِلَى ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الْأَرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَاسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ إِنَّ رَبِّي قَرِيبٌ مُجِيبٌ (هود :61)
Dan kepada Tsamud (kami utus) saudara mereka shaleh. Shaleh berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku Amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)."
Untuk Amar Ma’ruf Nahi Munkar
(QS.Al-Hajj : 41)
الَّذِينَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِي الْأَرْضِ أَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآَتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوا بِالْمَعْرُوفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ وَلِلَّهِ عَاقِبَةُ الْأُمُورِ. (الحج :41)
(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.
Setelah  nampak dengan jelas di awal  ayat, bahwa Allah telah berfirman kepada malaikat dengan menyatakan maksud hendak mengangkat khalifah di muka bumi ini, maka kemudian malaikat merespon dengan  kalimat pertanyaan ingin mengetahui hikmahnya, seperti pertengahan ayat berikut :
Tengah ayat 30 : قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ - Mereka berkata : "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?"   
Pertengahan ayat ini dilontarkan malaikat setelah Allah menyatakan maksud-Nya, yaitu akan mengangkat khalifah di muka bumi, maka malaikat-pun memohon penjelasan, bukan dimaksudkan untuk menentang dan memperotes Allah, dan juga bukan karena dengki atau iri kepada manusia, tetapi merupakan kalimat pertanyaan meminta informasi dan pengetahuan tentang hikmah yang terkandung dalam penciptaan khalifah ini. Para malaikat mengatakan : Wahai Tuhan kami, apakah hikmah yang terkandung dalam penciptaan mereka, padahal diantara mereka ada orang-orang yang suka membuat kerusakan di muka bumi dan pertumpahan darah? Jikalau yang dimaksudkan agar Engkau disembah, maka kami selalu bertasbih, memuji dan menyucikan Engkau, yakni kami selalu beribadah kepada-Mu.[2]
Menurut imam Ath-Thabary, pertanyaan malaikat : “"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,” sebenarnya malaikat tidak mempunyai pengetahuan yang dapat mengetahui hal-hal gaib, namun mereka hanya sekedar menduga-duga, tidak berdasarkan ilmu yang penuh keyakinan[3].
  Malaikat sebagai makhluk, tentu saja pengetahuannya tidak seluas pengetahuan Allah, namun malaikat bersama Iblis pernah di utus oleh Allah untuk menumpas kejahatan yang dilakukan golongan Jin sebagai makhluk yang pertama kali menjadi penghuni bumi dan membuat kerusakan serta pertumpahan darah di dalamnya,  sebagiamana dikisahkan oleh Ibnu Jarir, yang berasal dari Ibnu Abbas, ia berkata : Sesungguhnya yang pertama kali menghuni bumi adalah makhluk Jin, lalu mereka membuat kerusakan, mengadakan pertumpahan darah dan bunuh membunuh satu sama lainnya. Ibnu Abbas meneruskan perkataannya, setelah itu Allah mengutus Iblis untuk menumpas mereka. Akhirnya Iblis bersama para malaikat berhasil menumpas mereka, dan kengejar hingga ke pulau-pulau yang ada diberbagai laut dan bahkan sampai ke puncak-puncak gunung. Setelah itu baru Allah  menciptakan Adam dan menempatkannya di bumi. Untuk itulah Allah  berfirman : "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." [4]
Dari peristiwa yang dialami, malaikat-malaikat rupanya ada sedikit pengetahuan, bahwasanya yang akan diangkat menjadi khalifah itu adalah satu jenis makhluk yang apabila  telah ramai, seperti kisah golongan Jin di atas,  akan berebut kepentingan. Akhirnya  satu orang dengan orang lainnya atau satu golongan dengan golongan lainnya saling berebut kepentingan, maka kemudian muncullah pertentangan, dan dengan demikian timbullah kerusakan bahkan akan timbul juga pertumpahan darah. Itulah sebabnya, malaikat bertanya untuk mendapatkan penjelasan dari Allah. Para Malaikat tidak  mungkin menentang atau memprotes Allah, karena  mereka dinyatakan Allah  sebagai makhluk yang tidak pernah membangkang perintah-Nya  dan bahkan senantiasa taat melaksanakan apa pun yang diperintahkan-Nya, sebagaiman dalam Al-Qur’an ayat 6 surat At-Tahrim :
 ......عَلَيْهَا مَلائِكَةٌ غِلاظٌ شِدَادٌ لا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. Lalu Allah menjawab : "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
Akhir ayat 30 : قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ  Tuhan berfirman : "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."- Allah bermaksud menyadarkan para malaikat-Nya bahwa sesungguhnya Dia mengetahui kemaslahatan dan hikmah sesuatu yang tidak mereka ketahui. Termasuk dalam penciptaan seorang khalifah, tentu ada suatu hikmah yang boleh jadi tidak mereka ketahui. Kalimat pertanyaan para Malaikat dijawab oleh Allah, bahwa semua itu sudah diperhitungkan secara matang atas dasar Kemahatahuan-Nya yang melampaui pengetahuan semua makhluk-Nya, termasuk para malaikat. Semua yang akan Allah  lakukan atas makhluk-Nya sudah dirancang dengan penuh detil yang tidak ada cacatnya.  Jawaban Allah terhadap pertanyaan malaikat, tidaklah terdapat bantahan, hanya saja Allah menjelaskan bahwasanya pendapat dan ilmu mereka (para malaikat) tidaklah seluas dan sejauh pengetahuan Allah. Allah-pun tidak memungkiri bahwa kerusakan-pun akan timbul dan darah-pun akan tertumpah. Dalam jawaban Allah yang demikian, malaikat-pun menerimalah dengan penuh khusyu dan taat.


[1]. Bac tafsir Ibnu Katsir, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz 1, hal. 216  
[2]. Bac tafsir Ibnu Katsir, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz 1, hal. 216
[3]. Bac tafsir Ath-Thabary,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz 1, hal. 458 dan 462
[4]. Bac tafsir Ibnu Katsir, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz 1, hal. 218