Selasa, 01 September 2015

MUNAKAHAT



NIKAH

Pengertian Nikah

Nikah menurut bahasa adalah berkumpul dan bergabung (اَلضَّمُّ وَالْجَمْعُ).[1] Sedangkan menurut Imam Zakaria Al-Anshari dalam Fathul Wahab : Nikah  menurut bahasa adalah berkumpul  dan hubungan seksual(اَلضّمُّ وَالْوَطْئُ)   . Dan  menurut syara’ adalah Aqad yang memperbolehkan hubungan seksual dengan kata menikahkan atau kata semisalnya (عقد يتضمن إباحة وطئ بلفظ إنكاح أو نحوه).[2]
Kata Nikah Dalam Al Qur’an
Kata “Nikah” dalam Al-Qur’an dan As-Sunah  bisa berarti  akad nikah”, dan  juga bisa berarti hubungan seksual. Contoh kata nikah yang artinya “akad nikah” adalah firman Allah :
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka lakukanlah akad nikah dengan wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (lakukanlah akad nikah dengan) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS.An-Nisa’ : 3)
وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آَبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا
Dan janganlah kamu lakukan akad nikah dengan wanita-wanita yang telah melakukan akad nikah dengan ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). (QS.An-Nisa’ : 22)
Adapun contoh kata nikah yang artinya melakukan hubungan seksual adalah firman dalam surat Al-Baqarah ayat 230 :   
فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia nikah (melakukan hubungan seksual) dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.(QS.Al-Baqarah : 230)
Imam Ar-Razi dalam tafsirnya mengtakan, bahwa kata nikah ketika disandarkan kepad pasangan (suami-isteri), maka artinya adalah Al-Wath-u الوطء (melakukan hubungan seksual), bukan akad, karena seseorang itu tidak mungkin menikah (melakukan akad nikah) dengan isterinya sendiri.[3]
Nikah dalam arti melakukan hubungan seksual pada ayat di atas dikuatkan oleh hadist Aisyah radhiyallaahu ‘anhaa :
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا أَبُو مُعَاوِيَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ الْأَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ رَجُلٍ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ يَعْنِي ثَلَاثًا فَتَزَوَّجَتْ زَوْجًا غَيْرَهُ فَدَخَلَ بِهَا ثُمَّ طَلَّقَهَا قَبْلَ أَنْ يُوَاقِعَهَا أَتَحِلُّ لِزَوْجِهَا الْأَوَّلِ قَالَتْ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَحِلُّ لِلْأَوَّلِ حَتَّى تَذُوقَ عُسَيْلَةَ الْآخَرِ وَيَذُوقَ عُسَيْلَتَهَا. (رواه ابو داود : 1965- سنن ابو داود – المكتبة الشاملة – باب المبتوتة لا يرجع اليها زوجها حتى تنكح – الجزء : 6 – صفحة : 239)
Telah menceritakan kepada kami [Musaddad], telah menceritakan kepada kami [Abu Mu'awiyah] dari [Al-A'masy] dari [Ibrahim] dari [Al-Aswad], dari [Aisyah], ia berkata; Rasulullah saw  ditanya mengenai seorang laki-laki yang mencerai isterinya tiga kali, kemudian wanita tersebut menikah dengan laki-laki yang lain dan bertemu muka dengannya kemudian ia mencerainya sebelum mencampuri, maka apakah ia halal bagi suaminya yang pertama? Aisyah berkata; tidak. Nabi saw  berkata: "Ia tidak halal bagi suaminya yang pertama hingga ia merasakan manisnya (hubungan seksual) dengan suaminya yang lain, dan ia (sang suami) juga merasakan manisnya (hubungan seksual)  dengannya." (HR.Abu Daud : 1965, Sunan Abu Daud, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Al-Mabtutah laa yarji’u ilaihaa zaujuhaa hattaa tankiha, juz : 6, hal. 239)
Contoh dari hadits yang menunjukan bahwa arti nikah adalah melakukan hubungan seksual adalah sabda Rasulullah saw :
و حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ حَدَّثَنَا ثَابِتٌ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ الْيَهُودَ كَانُوا إِذَا حَاضَتْ الْمَرْأَةُ فِيهِمْ لَمْ يُؤَاكِلُوهَا وَلَمْ يُجَامِعُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ فَسَأَلَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى {وَيَسْأَلُونَكَ عَنْ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ} إِلَى آخِرِ الْآيَةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلَّا النِّكَاحَ. (رواه مسلم : 455 – صحيح مسلم– المكتبة الشاملة – باب جواز غسل الحائض رأس زوجها وترجيله – الجزء :   2– صفحة :  167)
Telah menceritakan kepadaku [Zuhair bin Harb] telah menceritakan kepada kami [Abdurrahman bin Mahdi] telah menceritakan kepada kami [Hammad bin Salamah] telah menceritakan kepada kami [Tsabit] dari [Anas] bahwa kaum Yahudi dahulu apabila kaum wanita mereka haidh, mereka tidak memberinya makan dan tidak mempergaulinya di rumah. Maka para sahabat Nabi saw  bertanya kepada Nabi saw. Lalu Allah menurunkan ayat yang artinya : "Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah : 'Haidh itu adalah suatu kotoran'. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri." (al-Baqarah: 222) maka Rasulullah saw bersabda : "Perbuatlah segala sesuatu kecuali nikah, yaitu jima’ ". (HR.Muslim : 455, Shahih Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab jawazu ghaslil haaidh ra’sa zaujihaa wa tarjilihii, juz : 2, hal. 167)
 Setelah kita mengetahui bahwa nikah mempunyai dua arti, yaitu akad nikah dan hubungan seksual, maka pertanyaan yang muncul adalah bagaimana kita membedakan antara dua arti tersebut? Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini di dalam Kifayah al-Akhyar menampilkan perkataan  Al- Farisi :  Untuk membedakan antara keduanya adalah sebagai berkut :  Jika dikatakan bahwa seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan, yaitu fulanah binti fulan, maka artinya bahwa laki-laki tersebut melakukan akad  nikah dengannya. Jika dikatakan bahwa seorang laki-laki  menikah dengan isterinya, maka artinya bahwa laki-laki tersebut melakukan hubungan seksual dengannya.[4]
Anjuran Menikah
Banyak anjuran untuk menikah, baik di dalam Al-Qur’an maupun hadits, antara lain adalah sebagai berikut :
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَى مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian[5] diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.(QS.An-Nur : 32)
.....فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ.....
.....Maka kawinilah wanita-wanita yang kamu senangi..... (QS.An-Nisa’ : 3)
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْأَزْهَرِ حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ مَيْمُونٍ عَنْ الْقَاسِمِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِي فَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي وَتَزَوَّجُوا فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ الْأُمَمَ وَمَنْ كَانَ ذَا طَوْلٍ فَلْيَنْكِحْ وَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَعَلَيْهِ بِالصِّيَامِ فَإِنَّ الصَّوْمَ لَهُ وِجَاءٌ. (رواه ابن ماجه : 1836 – سنن ابن ماجه– المكتبة الشاملة – باب ما جاء في فضل النكاح– الجزء :  5صفحة :   439)
Telah menceritakan kepada kami [Ahmad bin Al Azhar] berkata, telah menceritakan kepada kami [Adam] berkata, telah menceritakan kepada kami [Isa bin Maimun] dari [Al Qasim] dari ['Aisyah] ia berkata, "Rasulullah saw  bersabda : "Menikah adalah sunnahku, barangsiapa tidak mengamalkan sunnahku berarti bukan dari golonganku. Hendaklah kalian menikah, sungguh dengan jumlah kalian aku akan berbanyak-banyakkan umat. Siapa memiliki kemampuan harta hendaklah menikah, dan siapa yang tidak hendaknya berpuasa, karena puasa itu merupakan tameng yang dapat meredakan nafsunya."(HR.Ibnu Majah : 1836, Sunan Ibnu Majah, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab maa jaa fii fadhlin Nikah,  juz : 5, hal. 439)
حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصِ بْنِ غِيَاثٍ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ قَالَ حَدَّثَنِي عُمَارَةُ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ قَالَ دَخَلْتُ مَعَ عَلْقَمَةَ وَالْأَسْوَدِ عَلَى عَبْدِ اللَّهِ فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَبَابًا لَا نَجِدُ شَيْئًا فَقَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ. (رواه البخاري : 4678صحيح   البخاري – المكتبة الشاملة – باب من لم يستطع الباءة فليصم – الجزء : 15– صفحة :  498)
Telah menceritakan kepada kami [Amru bin Hafsh bin Ghiyats], telah menceritakan kepada kami [bapakku], telah menceritakan kepada kami [Al-A'masy] ia berkata; Telah menceritakan kepadaku [Umarah], dari [Abdurrahman bin Yazid] ia berkata; Aku, Al-Qamah dan Al-Aswad pernah menemui [Abdullah], lalu ia pun berkata; Pada waktu muda dulu, kami pernah berada bersama Nabi saw. Saat itu, kami tidak ada sesuatu pun, maka Rasulullah saw bersabda kepada kami : "Wahai sekalian pemuda, siapa diantara kalian telah mempunyai kemampuan, maka hendaklah ia menikah, karena menikah itu dapat menundukkan pandangan, dan juga lebih bisa menjaga kemaluan. Namun, siapa yang belum mampu, hendaklah ia berpuasa, sebab hal itu merupakan tameng yang dapat meredakan nafsunya." (HR. Bukhari : 4678, Shahih Bukhari,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab man yastathi’ Al-Baa-ata fal-Yashum,   juz : 15, hal. 498)
حَدَّثَنَا حَسَنٌ حَدَّثَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ حَدَّثَنِي حُيَيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحُبُلِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ انْكِحُوا أُمَّهَاتِ الْأَوْلَادِ فَإِنِّي أُبَاهِي بِهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه احمد : 6310 – مسند احمد– المكتبة الشاملة – باب مسند عبد الله بن عمرو بن العاص – الجزء :  13– صفحة : 348)
Telah menceritakan kepada kami [Hasan], telah menceritakan kepada kami [Ibnu Lahi'ah], telah menceritakan kepadaku [Huyai Ibnu Abdullah], dari [Abu Abdurrahman Al Hubuli], dari [Abdullah bin 'Amru], bahwa Rasulullah SAW  bersabda : "Nikahilah ibu-ibu dari anak-anak (yaitu wanita-wanita yang bisa melahirkan) karena sesungguhnya aku akan membanggakan mereka pada hari kiamat." (HR. Ahmad : 6310, Musnad Ahmad,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Musnad Abdullah bin Amr bin Al-sh,   juz : 13, hal. 348)
حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ آدَمَ وَزَيْدُ بْنُ أَخْزَمَ قَالَا حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ هِشَامٍ حَدَّثَنَا أَبِي عَنْ قَتَادَةَ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ سَمُرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ التَّبَتُّلِ زَادَ زَيْدُ بْنُ أَخْزَمَ وَقَرَأَ قَتَادَةُ [وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً]. (رواه ابن ماجه :  1839 – سنن ابن ماجه– المكتبة الشاملة – باب النهي عن التبتل– الجزء :  5– صفحة :  443)
Telah menceritakan kepada kami [Bisyr bin Adam] dan [Zaid bin Akhzam] keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami [Mu'adz bin Hisyam] berkata, telah menceritakan kepada kami [Bapakku] dari [Qatadah] dari [Al Hasan] dari [Samurah] berkata : "Rasulullah saw melarang hidup membujang." Zaid bin Akhzam menambahkan, "Qatadah membaca ayat : "Dan telah Kami utus rasul-rasul sebelum kamu, dan Kami jadikan bagi mereka isteri-isteri dan keturunan." (QS. Ar Ra'ad: 38). (HR.Ibnu Majah : 1836, Sunan Ibnu Majah, Al-Maktabah Asy-Syamilah, babnnahy ‘anit tabattul,  juz : 5, hal. 443)


[1]. Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, Kifayatul Al-Akhyar, juz 2, Darul ‘ilmi, Surabaya Indonesia, anpa tahun, halaman : 31
[2].  Zakaria Al-Anshari, Fathul Wahab, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz 2, halaman 53
[3]. Baca tafsir Ar-Razi, Al-Maktabah Asy-Syamilah,  juz 5, hal. 124  
[4].  Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, Kifayatul Al-Akhyar, juz 2, Darul ‘ilmi, Surabaya Indonesia, anpa tahun, halaman : 31
[5]. Maksudnya: hendaklah laki-laki yang belum kawin atau wanita- wanita yang tidak bersuami, dibantu agar mereka dapat kawin.

Sabtu, 23 Mei 2015

AL-QUR'AN SURAT AL-BAQARAH AYAT 23 -24


AL-BAQARAH AYAT 23
وَإِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِمَّا نَزَّلْنَا عَلَى عَبْدِنَا فَأْتُوا بِسُورَةٍ مِنْ مِثْلِهِ وَادْعُوا شُهَدَاءَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al-Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al-Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. (QS.Al-Baqarah : 23)
Dalam ayat ini Allah swt menantang orang-orang musyrik, munafik dan orang-orang kafir yang meragukan kebenaran Al-Qur’an dengan menyatakan : “Jika kamu sekalian masih ragu ragu tentang kebenaran Al-Qur’an dan menyatakan Al-Qur’an itu buatan Muhammad, maka cobalah membuat sebuah kitab yang serupa dengan Al-Qur'an, walaupun hanya satu surat saja.  Kalau benar Muhammad yang membuatnya, tentu kamu sanggup pula membuatnya karena kamu pasti sanggup melakukan segala perbuatan yang sanggup dibuat oleh manusia. Ajak pulalah penolong-penolong kamu, berhala-berhala yang kamu sembah, pembesar-pembesarmu, bersama-sama dengan kamu membuatnya karena kamu mengakui kekuasaan dan kebesaran berhala-berhala dan pembesar-pembesarmu itu[1]. Dalam ayat lain, Allah menegaskan tantangannya :
أَمْ يَقُولُونَ افْتَرَاهُ قُلْ فَأْتُوا بِعَشْرِ سُوَرٍ مِثْلِهِ مُفْتَرَيَاتٍ وَادْعُوا مَنِ اسْتَطَعْتُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Bahkan mereka mengatakan: "Muhammad telah membuat-buat Al-Quran itu", Katakanlah : "(Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar".(QS.Huud: 13)
Pada permulaan surat Al-Baqarah ayat 2,  Allah telah menyatakan bahwa kitab suci Al-Qur’an itu tidak ada lagi keraguan padanya. Ia adalah wahyu yang benar-benar datang dari Allah. Ia adalah mu’jizat yang di dalamnya terdapat petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.[2] Al-Qur’an sebagai wahyu dan mu’jizat bagi Nabi Muhammad saw, tidak akan dapat ditiru oleh siapapun, meskipun manusia  itu mengerahkan semua ahli sastera.
Walaupun sejak zaman dahulu, baik  di Mekkah maupun  Madinah, hingga  dewasa ini, bangsa Arab mempunyai pujangga-pujangga besar, ahli-ahil sastera yang ulung, yang mampu merangkai kata-kata indah, namun mereka tidak sanggup mengadakan tandingan terhadap  kemu’jizatan Al- Qur’an itu.
Tetapi dalam kenyataan, masih ada manusia yang memiliki keraguan terhadap kebenaran Al-Qur’an, bahkan mereka menyatakan bahwa Al-Qur’an itu hanyalah karangan Nabi Muhammad saw. Padahal beliau tidak terkenal sebagai seorang yang sanggup menyusun rangkaian kata yang begitu tinggi mutunya atas kehendaknya sendiri, dan tidak pula terkenal sebagai seorang penyair yang sanggup menyusun rangkaian kata sastra. Beliau adalah Nabi yang Ummi yang tidak bisa menulis.[3]  Firman Allah :
الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ.....
(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka….. (QS.Al-A’raaf : 157)
Lalu datanglah “Tantangan” (TAHADDI) dari Allah terhadap orang-orang yang meragukan kebenaran Al-Qur’an, agar mereka membuat sebuah karya, walau hanya satu surat yang sebanding dengan surat yang ada dalam kitab suci Al-Qur’an yang di bawa oleh Nabi yang Ummi, yaitu Nabi Muhammad saw. Dan Allah menyatakan, kalau mereka itu tidak sanggup untuk membuat satu surat yang sebanding dengan Al-Qur’an, Allah mempersilahkan  mereka memanggil para penolong dan para ahli untuk membuktikan kebenaran mereka, bahwa mereka mampu menandingi Al-Qur’an. Mereka boleh mencoba, mungkin para ahli itu bisa. Akan tetapi Allah menegaskan dalam ayat berikutnya, bahwa mereka tidak akan sanggup membuatnya. 
            AL-BAQARAH AYAT 24
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا وَلَنْ تَفْعَلُوا فَاتَّقُوا النَّارَ الَّتِي وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ
Maka jika kamu tidak dapat membuat(nya) - dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya), peliharalah dirimu dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir. (QS.Al-Baqarah : 24)
Ayat ini menegaskan bahwa semua makhluk Allah tidak akan sanggup membuat tandingan terhadap satu ayat-pun dari ayat-ayat Al-Qur’an. Karena itu, hendaklah manusia memelihara dirinya dari api neraka dengan cara mengikuti petunjuk-petunjuk Al-Qur’an.
Kalau sudah nyata tidak sanggup menandingi Al-Qur’an, dan memang selamanya tidak akan pernah sanggup, baik rangkaian kata ataupun makna yang terkandung di dalamnya, maka lebih baik tunduk dan patuh, dan menerima dengan tulus dan ikhlas. Jangan dilanjutkan sikap keraguan terhadap kebenaran Al-Qur’an itu.  Karena meneruskan keraguan terhadap perkara yang sudah nyata kebenarannya, akibatnya hanyalah penderitaan, tentu nerakalah ujungnya yang terakhir. Neraka yang apinya dinyalakan dengan manusia dan batu, lalu manusia itu dihukum dimasukkan ke dalamnya bercampur dengan batu-batu itu yang oleh Allah disediakan bagi orang-orang suka menentang kebenaran.
Dalam ayat lain, Allah telah menyatakan, bahwa mereka tidak akan sanggup  membuat sebuah ayat, apalagi sebuah surat yang sebanding dengan  Al-Qur’an. Dan Allah memastikan itu, walaupun bergotong-royong seluruh makhluk sekalipun, pasti tidak akan dapat membuatnya. Firman Allah : 
قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الإنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْآنِ لا يَأْتُونَ بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا  (الإسراء : 88)
Katakanlah: "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa Al-Qur’an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi sebagian yang lain". (QS.Al-Isra’ : 88)
Tantangan (Tahaddi) yang datang dari Allah dalam ayat di atas,  tetap berlaku terus, namun sampai saat ini belum ada yang mampu membuat satu surat-pun semisal surat-surat yang ada dalam Al-Qur’an tersebut. Hal ini sebagai bukti kebenaran dari firman-Nya : “dan pasti kamu tidak akan dapat membuat(nya)”. Dan sekaligus penegasan akan  kelemahan manusia untuk membuat satu surat saja semisal surat-surat yang ada dalam Al-Qur’an Al-Karim.
Banyak di antara pemimpin-peminpin dan ahli sastera Arab yang mencoba dan meniru Al-Qur’an, bahkan kadang-kadang ada yang mendakwakan dirinya sebagai Nabi, seperti Musailamah Al-Kadzdzab, Thulaihah,  Habalah bin Ka’ab dan lain-lain. Akan tetapi mereka semuanya menemui kegagalan, bahkan mendapat cemooh dan hinaan dari masyarakat. Sebagai contoh di bawah ini kata-kata Musailamah Al-Kadzdzab yang dianggapnya dapat menandingi sebagian ayat-ayat Al-Qur’an.
يَا ضِفْدَعُ بِنْتَ ضِفْدَعَيْنِ، نَقِّيْ مَا تَنِقِّيْنَ، أَعْلاَكِ فِى الْمَاءِ وَاَسْفَلَكِ فِى الطِّيْنِ.
Hai katak (kodok) anak dari dua katak, berkuaklah sesukamu, bahagian atas engkau di air dan bahagian bawah engkau di tanah.
Seorang sasterawan Arab yang masyhur, yaitu Al-Jahiz telah memberikan penilaiannya atas gubahan Musailamah ini dalam bukunya yang bernama Al-Hayawan sebagai berikut : “Saya tidak mengerti apakah gerangan yang menggerakkan jiwa Musailamah menyebut katak (kodok) dan sebagainya itu. Alangkah kotornya gubahan yang dikatakannya sebagai ayat Al-Quir’an itu yang turun kepadanya sebagai wahyu.”
Dan untuk dapat merasakan betapa hebatnya kemu’jizatan Al-Qur’an, sehingga mereka tidak sanggup menandinginya dan bahkan bungkam seribu bahasa menghadapi tantangan itu, sebaiknya kita mengerti bahasa Arab (bahasa Al-Qur’an) secara lebih mendalam, sehingga  dapat membaca, mentadabburi Al-Qur’an dan sekaligus dapat merasakan kemu’jizatannya, baik dari aspek bahasa maupun makna  kandungannya.   


[1]. Baca Tafsir Ath-Thabari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz 1, hal. 373 - 376
[2]. Baca Tafsir Ar-Razi,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz 1, hal. 284
[3].  Baca Tafsir  Ibnu Abi Hatim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz 6, hal. 217
 حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى، أَنْبَأَ الْعَبَّاسُ بْنُ الْوَلِيدِ، ثنا يَزِيدُ، عَنْ سَعِيدٍ، عَنْ قَتَادَةَ، قَوْلُهُ: " الرَّسُولَ النَّبِيَّ الأُمِّيَّ " : هُوَ نَبِيُّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ أُمِّيًّا لا يَكْتُبُ