Kamis, 18 September 2014

PUASA SUNNAH KETIKA MENGHADIRI UNDANGAN


PUASA SUNNAH KETIKA MENGHADIRI UNDANGAN
Menghadiri undangan jamuan makan atau walimah merupakan suatu kewajiban bagi setiap Muslim, berdasarkan hadits : 
و حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ نَافِعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يَقُولُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا دَعَا أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيُجِبْ عُرْسًا كَانَ أَوْ نَحْوَهُ. (رواه مسلم :2578- صحيح مسلم – المكتبة الشاملة – باب الامر باجابة الداعي الى دعوة– الجزء : 7 – صفحة : 281)
Dan telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Rafi', telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah mengabarkan kepada kami Ma'mar, dari Ayyub, dari Nafi', bahwasannya Ibnu Umar pernah berkata, dari Nabi saw, (beliau bersabda) : "Jika salah seorang dari kalian mengundang saudaranya, hendaknya ia penuhi undangan tersebut, baik undangan perniakahan atau semisalnya." (HR.Muslim : 2578, Shahih Muslim,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab  Al-Amri bi-ijabatid Daa’ii ilaa da’wah,   juz : 7, hal. 281)
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ سُفْيَانَ قَالَ حَدَّثَنِي مَنْصُورٌ عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ أَبِي مُوسَى عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : فُكُّوا الْعَانِيَ وَأَجِيبُوا الدَّاعِيَ وَعُودُوا الْمَرِيضَ.(رواه البخاري : 4776- صحيح البخاري – المكتبة الشاملة – باب حق اجابة الوليمة والدعوة– الجزء :16 – صفحة : 164)
Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Sufyan, ia berkata : telah menceritakan kepadaku Manshur, dari Abu Wa`il, dari Abu Musa, dari Nabi saw,  beliau bersabda : "Lepaskanlah tawanan, penuhilah undangan dan jenguklah orang sakit." (HR.Bukhari : 4776,  Shahih Bukhari,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Haqqu ijaabatil walimah wadda’wah,   juz : 16, hal. 164)
Namun boleh memilih antara makan dan tidak makan makanan yang dihidangkan, berdasarkan hadits berikut :
و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ ح و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى طَعَامٍ فَلْيُجِبْ فَإِنْ شَاءَ طَعِمَ وَإِنْ شَاءَ تَرَكَ. (رواه مسلم :  2583- صحيح مسلم – المكتبة الشاملة – باب الامر باجابة الداعي الى دعوة– الجزء : 7 – صفحة :  286)
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna, telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Mahdi. Dan diriwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah bin Numair, telah menceritakan kepada kami ayahku, dia berkata; telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abu Az Zubair, dari Jabir, dia berkata; Rasulullah saw,  bersabda : "Jika kalian diundang ke jamuan makan, hendaknya ia mendatanginya, jika ia menghendaki, silakan makan, dan jika ia tidak menghendaki, ia boleh meninggalkannya." (HR.Muslim : 2583, Shahih Muslim,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab  Al-Amri bi-ijabati d Daa’ii ilaa da’wah,   juz : 7, hal. 286)
Hadits di atas mengandung perintah wajib menghadiri undangan. Tidak ada perbedaan tentang wajibnya menghadiri undangan antara orang yang berpuasa atau tidak. Akan tetapi diperbolehkan bagi orang yang sedang berpuasa untuk menghadirinya saja tanpa menyantap hidangan yang disediakan. Orang yang menjalankan puasa sunnah lebih berhak atas dirinya untuk menyempurnakan puasanya atau membatalkannya, yaitu  “boleh memilih” antara keduanya berdasarkan hadits :
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ كُنْتُ أَسْمَعُ سِمَاكَ بْنَ حَرْبٍ يَقُولُ أَحَدُ ابْنَيْ أُمِّ هَانِئٍ حَدَّثَنِي فَلَقِيتُ أَنَا أَفْضَلَهُمَا وَكَانَ اسْمُهُ جَعْدَةَ وَكَانَتْ أُمُّ هَانِئٍ جَدَّتَهُ فَحَدَّثَنِي عَنْ جَدَّتِهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَيْهَا فَدَعَى بِشَرَابٍ فَشَرِبَ ثُمَّ نَاوَلَهَا فَشَرِبَتْ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَمَا إِنِّي كُنْتُ صَائِمَةً فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّائِمُ الْمُتَطَوِّعُ أَمِينُ نَفْسِهِ إِنْ شَاءَ صَامَ وَإِنْ شَاءَ أَفْطَرَ. (رواه  الترمذي :  664 – سنن الترمذي – المكتبة الشاملة – باب ما جاء في  افطار الصائم المتطوع-الجزء :    3 – صفحة : 182)
Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Ghailan, telah menceritakan kepada kami Abu Daud, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dia berkata : Saya pernah mendengar Simak bin Harb berkata : Salah seorang cucu Ummu Hani' yang bernama Ja'dah, telah menceritakan kepadaku dan Ummu Hani' adalah neneknya, maka neneknya telah menceritakan kepadaku, bahwasanya Rasulullah saw, datang ke rumahnya dan meminta air lalu meminumnya, kemudian beliau menyodorkan kepadanya, lalu dia meminumnya, dia (Ummu Hani' ra) berkata : Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya sedang berpuasa, maka Rasulullah saw,  bersabda : " Orang yang berpuasa sunnah lebih berhak atas dirinya, jika ia ingin, maka boleh ia berpuasa (menyempurnakan puasanya) dan jika ia ingin, maka boleh ia berbuka (membatalkan puasanya).”  (HR.Tirmidzi : 664, Sunan Tirmidzi, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab maa jaa-a fii iftharis shaim Al-Mutathawwi’,   juz :3,  hal. 182)
Bahkan untuk orang yang berpuasa sunah ketika menghadiri undangan dibolehkan untuk tetap mempertahankan puasanya, berdasarkan hadits Nabi :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَمْرٌو النَّاقِدُ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ قَالُوا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ رِوَايَةً و قَالَ عَمْرٌو يَبْلُغُ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ و قَالَ زُهَيْرٌ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى طَعَامٍ وَهُوَ صَائِمٌ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ. (رواه مسلم : 1940- صحيح مسلم – المكتبة الشاملة – باب الصائم اذا دعي لطعام  فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ – الجزء :  6 – صفحة : 11)
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah dan Amru An-Naqid dan Zuhair bin Harb, mereka berkata : Telah menceritakan kepada kami Sufyan bin Uyainah, dari Abu Zinad, dari Al-A'raj, dari Abu Hurairah ra,  -Abu Bakr bin Abu Syaibah berkata- dan telah berkata Amru hingga sampai kepada Nabi saw,  -sementara Zuhair berkata- dari Nabi saw,  beliau bersabda : Apabila salah seorang dari kalian diundang makan padahal ia sedang berpuasa, maka hendaklah ia mengatakan : Sesungguhnya saya sedang berpuasa. (HR.Muslim : 1940, Shahih Muslim,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, babushaim idzaa du’iyua ilaa thaamin,  juz : 6, hal. 11)
Dari  kalimat : “hendaklah ia mengatakan : Sesungguhnya saya sedang berpuasa“ dalam matan hadits di atas juga dapat dipahami, bahwa menampakkan ibadah sunah itu boleh (tidak termasuk riya’ dalam ibadah), bila ada hajat; dan bila tidak ada hajat adalah sunah merahasiakannya (merahasiakan ibadah lebih utama). Kemudian mengenai yang lebih utama antara berbuka dan tetap  berpuasa; dijelaskan dalam kitab Syarhun Nawawi ‘Alaa Muslim  : Jika seandainya tetap berpuasa (tidak makan) itu dapat menimbulkan keadaan yang tidak baik bagi pemilik makanan (orang yang mengundang), maka yang lebih utama bagi orang yang berpuasa sunah adalah berbuka (menghentikan puasa).[1]
Dianjurkan Mendo’akan Orang Yang Mengundang
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ عَنْ هِشَامٍ عَنْ ابْنِ سِيرِينَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ فَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَلِّ وَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ.  (رواه مسلم : 2584- صحيح مسلم – المكتبة الشاملة – باب الامر باجابة الداعي الى دعوة– الجزء : 7 – صفحة :  287)
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah, telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Ghiyats, dari Hisyam, dari Ibnu Sirin, dari Abu Hurairah, dia berkata; Rasulullah saw, bersabda : "Jika salah seorang dari kalian diundang, hendaknya ia penuhi undangan tersebut, jika ia sedang berpuasa, maka hendaklah ia mendo'akannya, dan jika ia sedang tidak berpuasa, hendaknya ia memakannya."  (HR.Muslim : 2584, Shahih Muslim,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Al-Amru bi ijabati daa’I ilaa da’watin,   juz : 7, hal. 287)
Sementara mayoritas ‘ulama berpendapat,  bahwa makna  shalat dalam hadis di atas adalah mendo’akan orang yang mengundang dengan memohonkan ampunan atau keberkahan atau semacamnya. Dan makna kata shalat menurut bahasa  adalah do’a.[2]
 Orang yang bertamu juga dibolehkan untuk tetap mempertahankan puasa sunahnya ketika disuguhi makanan, berdasarkan hadits :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى قَالَ حَدَّثَنِي خَالِدٌ هُوَ ابْنُ الْحَارِثِ حَدَّثَنَا حُمَيْدٌ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ  دَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أُمِّ سُلَيْمٍ فَأَتَتْهُ بِتَمْرٍ وَسَمْنٍ قَالَ أَعِيدُوا سَمْنَكُمْ فِي سِقَائِهِ وَتَمْرَكُمْ فِي وِعَائِهِ فَإِنِّي صَائِمٌ. (رواه البخاري : 1846 - صحيح البخاري – المكتبة الشاملة – باب من زار قوما فلم يفطر عندهم– الجزء : 7 – صفحة :   100)
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Mutsanna, ia berkata : Telah menceritakan kepada saya Khalid, dia adalah anak Al-Harits, telah menceritakan kepada kami Humaid, dari Anas ra;  Nabi saw,  datang menemui Ummu Sulaim, kemudian Ummu Sulaim menyuguhkan kurma dan mentega untuk Beliau. Beliau berkata : "Simpanlah mentega-mentega kalian untuk suguhan minuman dan kurma-kurma kalian untuk makanannya karena aku sedang berpuasa". (HR.Bukhari : 1846,  Shahih Bukhari,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Man Zaara Qauman Falam yufthir ‘Indahum,   juz : 7, hal. 100)


[1].  Baca Syarah An-Nawawi ‘Alaa Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Ash-Shaim Yud’aa litha’aamin Falyaqul “Innii Shaaim”, juz : 4, hal. 150
[2]. Baca Syarah An-Nawawi ‘Alaa Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab  Al-Amru bi ijabati daa’I ilaa da’watin, juz : 5, hal. 154

Kamis, 04 September 2014

AL-QUR'AN SURAT AL-BAQARAH AYAT 4

Setelah selesai  membahas tiga sifat orang-orang yang bertakwa pada ayat 3 surat  Al-Baqarah di atas, yaitu beriman kepada yang ghaib dan iman  kepada yang ghaib itu diikuti  dengan menegakkan ibadah shalat, kemudian setelah shalat itu ditegakkan diikuti pula dengan kebiasaan berinfaq, memberi, berderma, bersedekah, membantu dan tolong menolong, karena adanya kesadaran yang mendalam,  bahwa orang bertakwa itu tidak mungkin hidup sendiri-sendiri (nafsi-nafsi) di dunia ini.  Setelah itu, maka selanjutnya kita bahas lagi 2 (dua) sifat orang yang bertakwa, yaitu iman kepada kitab suci (sifat yang ke-4) dan iman kepada hari akhir (sifat yang ke-5), seperti yang termaktub pada ayat 4 berikut ini :

        وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآَخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ
Dan mereka yang beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-Kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. (QS.Al-Baqarah : 4)

4. Beriman Kepada Kitab Suci

Awal ayat 4 berbunyi : وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ   (Dan mereka yang beriman kepada apa  yang telah diturunkan kepadamu). Kalimat yang berbunyi : “apa yang telah diturunkan kepadamu”, maksudnya  adalah kitab suci Al-Qur’an.[1] Jadi, sifat orang yang bertakwa pada bagian yang ke-4 (empat) adalah beriman kepada kitab suci Al-Qur’an.  

Kata “Al-Qur’an” menurut bahasa, antara lain  :  (1)  berarti “bacaan”; (2) berarti “mengumpulkan atau menyusun”  dan (3) berarti “menyampaikan”.[2]  Dan menurut istilah, banyak definisi yang dikemukana oleh para ‘ulama,  diantaranya  oleh Muhammad Sayyid Thanthawi dalam tafsir Al-Wasith :  “Al-Qur’an adalah firman Allah yang mengandung kemukjizatan, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, ditulis dalam mushaf, disampaikan secara mutawatir, dan membacanya memiliki nilai ibadah”.[3]

Dalam Al-Qur’an itu sendiri, surat Asy-Syu’araa’ ayat 192-195, Allah menegaskan, bahwa Al-Qur’an itu diturunkan oleh Allah, dibawa oleh malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw, dengan bahasa Arab yang jelas :

وَإِنَّهُ لَتَنْزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ  - نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ - عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ - بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ
Dan sesungguhnya Al-Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam,- Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), - ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, - dengan bahasa Arab yang jelas. (QS.Asy-Syu’araa’ : 192 -195)

Allah menurunkan wahyu mungkin langsung seperti yang terjadi kepada Nabi Musa as, atau mungkin  dibelakang tabir, yaitu seorang dapat mendengar firman Allah akan tetapi dia tidak dapat melihat-Nya, atau mungkin Allah menurunkan wahyu dengan mengutus seorang utusan (malaikat). Hal ini ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya :

وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ
Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. (QS.Asy-Syuura : 51)

Kandungan Al-Qur’an sangat luar biasa, di dalamnya ada kisah tentang peristiwa terdahulu sebelum kita,  ada kisah peristiwa yang akan datang setelah kita,  ada hukum untuk perkara yang sedang terjadi diantara kita. Ia adalah firman yang memisahkan antara yang hak dan yang bathil,  ia adalah jalan yang lurus, ia adalah petunjuk, dan ia tidak akan pernah usang meski sering diulang-ulang. Hal tersebut tergambar dalam sebuah hadits  yang diriwayatkan oleh imam Tirmidzi berikut ini :

حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ الْجُعْفِيُّ قَال سَمِعْتُ حَمْزَةَ الزَّيَّاتَ عَنْ أَبِي الْمُخْتَارِ الطَّائِيِّ عَنْ ابْنِ أَخِي الْحَارِثِ الْأَعْوَرِ عَنْ الْحَارِثِ قَالَ مَرَرْتُ فِي الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ يَخُوضُونَ فِي الْأَحَادِيثِ فَدَخَلْتُ عَلَى عَلِيٍّ فَقُلْتُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ أَلَا تَرَى أَنَّ النَّاسَ قَدْ خَاضُوا فِي الْأَحَادِيثِ قَالَ وَقَدْ فَعَلُوهَا قُلْتُ نَعَمْ قَالَ أَمَا إِنِّي قَدْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَلَا إِنَّهَا سَتَكُونُ فِتْنَةٌ فَقُلْتُ مَا الْمَخْرَجُ مِنْهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ كِتَابُ اللَّهِ فِيهِ نَبَأُ مَا كَانَ قَبْلَكُمْ وَخَبَرُ مَا بَعْدَكُمْ وَحُكْمُ مَا بَيْنَكُمْ وَهُوَ الْفَصْلُ لَيْسَ بِالْهَزْلِ مَنْ تَرَكَهُ مِنْ جَبَّارٍ قَصَمَهُ اللَّهُ وَمَنْ ابْتَغَى الْهُدَى فِي غَيْرِهِ أَضَلَّهُ اللَّهُ وَهُوَ حَبْلُ اللَّهِ الْمَتِينُ وَهُوَ الذِّكْرُ الْحَكِيمُ وَهُوَ الصِّرَاطُ الْمُسْتَقِيمُ هُوَ الَّذِي لَا تَزِيغُ بِهِ الْأَهْوَاءُ وَلَا تَلْتَبِسُ بِهِ الْأَلْسِنَةُ وَلَا يَشْبَعُ مِنْهُ الْعُلَمَاءُ وَلَا يَخْلَقُ عَلَى كَثْرَةِ الرَّدِّ وَلَا تَنْقَضِي عَجَائِبُهُ هُوَ الَّذِي لَمْ تَنْتَهِ الْجِنُّ إِذْ سَمِعَتْهُ حَتَّى قَالُوا : إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا يَهْدِي إِلَى الرُّشْدِ فَآمَنَّا بِهِ  : مَنْ قَالَ بِهِ صَدَقَ وَمَنْ عَمِلَ بِهِ أُجِرَ وَمَنْ حَكَمَ بِهِ عَدَلَ وَمَنْ دَعَا إِلَيْهِ هَدَى إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ خُذْهَا إِلَيْكَ يَا أَعْوَرُ.(رواه الترمذي : 2831- سنن الترمذي – المكتبة الشاملة – باب ما جاء في فضل القرآن – الجزء : 10 – صفحة : 147)
Telah menceritakan kepada kami Abdu bin Humaid, telah menceritakan kepada kami Husain bin Ali Al Ju'fi, ia berkata : Aku mendengar Hamzah Az-Zayyat, dari Abu Al- Mukhtar Ath-Tha`I, dari Ibnu Akhi Al-Harits Al-A'war, dari Al-Harits, ia berkata : "Aku pernah lewat masjid, sedangkan orang-orang tengah larut dalam pembicaraan yang bathil, lalu aku menemui ‘Ali, aku berkata : "Wahai Amirul Mukminin, apa anda tidak melihat orang-orang tengah larut dalam pembicaraan yang bathil (dengan mengabaikan membaca Al-Qur'an)?, " Ali bertanya; "Apakah mereka telah melakukannya?" Aku menjawab; "Ya." Ali berkata; "Ingatlah, aku pernah mendengar Rasulullah saw,  bersabda : "Ingatlah, sesungguhnya akan terjadi fitnah." Lalu aku bertanya; "Bagaimana solusinya wahai Rasulullah?" beliau menjawab: "Kitab Allah, di dalamnya ada kisah tentang peristiwa sebelum kalian, dan setelah kalian, hukum perkara diantara kalian, ia adalah (firman) yang memisahkan (antara yang hak dan yang bathil), bukan senda gurau, barangsiapa meninggalkannya karena bersikap sombong, maka Allah akan membinasakannya, dan barangsiapa mencari petunjuk pada selainnya, maka Allah akan menyesatkannya, ia adalah tali Allah yang kokoh, ia adalah peringatan yang bijaksana, ia adalah jalan yang lurus, dengannya keinginan-keinginan tidak akan menyimpang dan dengannya lisan-lisan tidak akan samar, ulama tidak pernah puas darinya, tidak usang meski sering diulang-ulang dan keajaiban-keajaibannya tidak kunjung habis, ia juga yang menyebabkan jin-jin tidak berhenti mendengarnya hingga mereka berkata; "Sesungguhnya kami telah mendengarkan Al-Qur`an yang menakjubkan, (yang) memberi petunjuk kapada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya." (Al-Jinn: 1-2), barangsiapa berkata dengannya, maka ia benar, barangsiapa mengamalkannya, maka ia diberi pahala, barangsiapa memutuskan perkara dengannya, maka ia adil dan barangsiapa menyeru kepadanya, maka ia diberi petunjuk menuju jalan yang lurus, ambillah ia untukmu, wahai A'war."  (HR.Tirmidzi : 2831, Sunan Tirmidzi, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab maa jaa-a fii fadlil Qur’an, juz : 10, hal. 147)

Beriman kepada kitab suci Al-Qur’an harus dibuktikan dengan cinta membaca, memahami (mentadabburi) dan mengamalkan kandungannya.  Perintah membaca Al-Qur’an banyak terdapat  dalam Al-Qur’an dan hadits Nabi, antara lain :

اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al-kitab (Al-Quran)….(Qs.Al-‘Ankabut : 45)
وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلا
 Dan bacalah Al-Quran itu dengan perlahan-lahan.(Tartil). (QS. Al-Muzammil : 4)
Hadits Nabi antara lain :

حَدَّثَنِي الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْحُلْوَانِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو تَوْبَةَ وَهُوَ الرَّبِيعُ بْنُ نَافِعٍ حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ يَعْنِي ابْنَ سَلَّامٍ عَنْ زَيْدٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا سَلَّامٍ يَقُولُ حَدَّثَنِي أَبُو أُمَامَةَ الْبَاهِلِيُّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لِأَصْحَابِهِ - اقْرَءُوا الزَّهْرَاوَيْنِ الْبَقَرَةَ وَسُورَةَ آلِ عِمْرَانَ فَإِنَّهُمَا تَأْتِيَانِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَأَنَّهُمَا غَمَامَتَانِ أَوْ كَأَنَّهُمَا غَيَايَتَانِ أَوْ كَأَنَّهُمَا فِرْقَانِ مِنْ طَيْرٍ صَوَافَّ تُحَاجَّانِ عَنْ أَصْحَابِهِمَا - اقْرَءُوا سُورَةَ الْبَقَرَةِ فَإِنَّ أَخْذَهَا بَرَكَةٌ وَتَرْكَهَا حَسْرَةٌ وَلَا تَسْتَطِيعُهَا الْبَطَلَةُ. (رواه مسلم : 1337- صحيح مسلم – المكتبة الشاملة – باب فضل قراءة القرآن وسورة البقرة – الجزء : 4 – صفحة : 231)
Telah menceritakan kepadaku Al Hasan bin Ali Al Hulwani, telah menceritakan kepada kami Abu Taubah, ia adalah Ar-Rabi' bin Nafi', telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah, yakni Ibnu Sallam, dari Zaid, bahwa ia mendengar Abu Sallam berkata, telah menceritakan kepadaku Abu Umamah Al-Bahili, ia berkata; Saya mendengar Rasulullah saw, bersabda : "Bacalah Al-Qur`an, karena ia akan datang memberi syafa'at kepada para pembacanya pada hari kiamat nanti. Bacalah Zahrawain, yakni surat Al-Baqarah dan Ali Imran, karena keduanya akan datang pada hari kiamat nanti, seperti dua tumpuk awan menaungi pembacanya, atau seperti dua kelompok burung yang sedang terbang dalam formasi hendak membela pembacanya. Bacalah Al-Baqarah, karena dengan membacanya akan memperoleh barokah, dan dengan tidak membacanya akan menyebabkan penyesalan, dan pembacanya tidak dapat dikuasai (dikalahkan) oleh tukang-tukang sihir." (HR. Muslim : 1337, Shahih Muslim,Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Fadlu Qiraa-ati Al-Qur’an wa suuratil Baqarati, juz : 4, hal. 231)

حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ يَعْنِي ابْنَ عَطَاءٍ أَنْبَأَنَا أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ اللَّيْثِيُّ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ دَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَسْجِدَ فَإِذَا فِيهِ قَوْمٌ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ قَالَ اقْرَءُوا الْقُرْآنَ وَابْتَغُوا بِهِ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ قَوْمٌ يُقِيمُونَهُ إِقَامَةَ الْقِدْحِ يَتَعَجَّلُونَهُ وَلَا يَتَأَجَّلُونَهُ. (رواه احمد : 14326– مسند احمد - المكتبة الشاملة –– باب مسند جابر بن عبد الله  – الجزء :29 – صفحة :  375)
Telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab bin 'Atha' yaitu Ibnu'Atha', telah memberitakan kepada kami Usamah bin Zaid Al-Laitsi, dari Muhammad bin Al-Munkadir, dari Jabir bin Abdullah, ia berkata; Nabi saw, masuk masjid dan ternyata ada sekelompok orang yang membaca Al-Qur'an. (Rasulullah saw) bersabda : Bacalah Al Qur'an dan carilah ridha Allah Azza wa Jalla sebelum datangnya suatu  kaum yang membacanya sebagaimana dia menegakkan bejana, mereka mengharapkan pahala yang disegerakan (materi-duniawi) dan tidak mengharapkan pahala yang ditangguhkan (akhirat). (HR. Ahmad : 14326, Musnad Ahmad, Al-Maktabah Asy-Syamilah, , bab Musnad Jabir bin Abdillah,  juz : 29, hal. 375)

حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ هِشَامٍ يَعْنِي الدَّسْتُوَائِيَّ قَالَ حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ أَبِي رَاشِدٍ الْحَبْرَانِيِّ قَالَ قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ شِبْلٍ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اقْرَءُوا الْقُرْآنَ وَلَا تَغْلُوا فِيهِ وَلَا تَجْفُوا عَنْهُ وَلَا تَأْكُلُوا بِهِ وَلَا تَسْتَكْثِرُوا بِهِ. (رواه احمد :  14981– مسند احمد - المكتبة الشاملة –– باب زيادة عبد الرحمن بن شبل – الجزء : 31 – صفحة :   109)
Telah menceritakan kepada kami Isma'il bin Ibrahim, dari Hisyam yaitu Ad-Dastuwa'i, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Yahya bin Abu Katsir, dari Abu Rasyid Al-Habrani, ia berkata : Abdur Rahman bin Syibl berkata : Saya telah mendengar Rasulullah saw, bersabda : "Bacalah Al-Qur'an, janganlah berlebihan di dalamnya, jangan terlalu kaku, janganlah makan dari bacaannya dan jangan pula memperbanyak (harta) dengannya." (HR. Ahmad : 14981, Musnad Ahmad, Al-Maktabah Asy-Syamilah, , bab Ziyadah Abdurahman din Syibel,   juz : 31, hal. 109)

Bersamaan dengan perjuangan memperbaiki bacaan Al-Qur’an, agar mampu membacanya dengan Tartil, terdapat juga perjuangan melaksanakan perintah “memahami”, mentadabburi serta  merenungkan makna kandungan Al-Qur’an. Dan memahami Al-Qur’an hukumnya adalah wajib berdasarkan ayat berikut :
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آَيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan (mentadabburi) ayat-ayat-Nya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran. (QS. Shad : 29)

Menafsirkan ayat ke-29 surat Shad di atas, imam Al-Qurthubi mengatakan :  “Ayat ini menjadi dalil kewajiban mengetahui makna-makna Al-Qur’an, dan juga menjadi dalil bahwa membaca secara tartil (perlahan-lahan dengan penuh penghayatan) itu lebih utama dari membaca secara sangat cepat, sebab membaca secara sangat cepat tidak mungkin bisa bertadabbur .” [4]

Secara halus, Allah mengisyaratkan bahwa hanya orang-orang yang hatinya terkunci oleh gembok-gembok penghalang petunjuk sajalah yang tidak mau mentadabburi Al-Qur’an. Firman Allah :
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
Maka mengapakah mereka tidak mau mentadabburi Al-Qur'an? Apakah karena hati mereka terkunci mati? (QS Muhammad : 24)

Setelah memahami kandungan Al-Qur’an, maka kewajiban kita berikutnya adalah  “mengamalkan” dalam kehidupan sehari-hari. Al-Qur’an  merupakan pedoman utama, sumber hidayah, kunci keselamatan, dan penjaga dari kesesatan. Hampir tidak terhitung banyaknya dalil-dalil dari Al-Qur’an dan hadits yang mewajibkan untuk mengamalkan kandungan  Al-Qur’an. Firman Allah :

اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ
Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya). (QS. Al-A’raf : 3)

Dalam Tafsir Al-Qurthubi dijelaskan, bahwa yang dimaksud dengan : “Apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu” adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah.[5] Kemudian di dalam Tafsir Ath-Thabari dijelaskan, bahwa kata “Ikutilah” pada ayat di atas, maksudnya adalah “mengamalkan” semua keterangan, petunjuk yang datang dari Allah.[6] Dalam ayat yang lain Allah berfirman :

وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ بَغْتَةً وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ 
Dan ikutilah Sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya,(QS. Az-Zumar  : 55)

Tidak diragukan lagi bahwa Al-Qur’an adalah sebaik-baik apa yang telah diturunkan Allah kepada kita. Allah  mengancam siapa saja yang enggan mengikuti (mengamalkan) Al-Qur’an dengan firman-Nya, “…sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya,(QS. Az-Zumar  : 55)

 Semoga kita dikaruniai kesungguhan dan keistiqamahan untuk senantiasa membaca, mentadaburi, memahami dan mengamalkan Al-Qur’an.
Pertengahan ayat 4 berbunyi : وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ (dan kitab-Kitab yang telah diturunkan sebelummu). Maksudnya adalah orang yang bertakwa itu juga wajib beriman kepada kitab-Kitab yang telah diturunkan kepada para Nabi sebelum Nabi Muhammad saw, seperti Taurat, Injil, Zabur dan shuhuf-shuhuf yang diturunkan kepada para Nabi.[7]

Adapun cara beriman kepada kitab-kitab dapat kita kelompokkan menjadi dua bagian, yaitu :

1.    Cara Beriman Kepada Kitab-Kitab Sebelum Al-Qur'an
Beriman kepada kitab-Kitab sebelum Al-Qur'an adalah meyakini, bahwa kitab-kitab itu benar-banar wahyu Allah, bukan karangan rasul-rasul-Nya dan meyakini isi kandungannya adalah benar (haq), sebelum terjadi penyelewengan.

2.    Cara Beriman Kepada Al-Qur'an
Beriman kepada Al-Qur’an adalah meyakini Al-Qur'an sebagai wahyu Allah, bukan karangan Nabi Muhammad saw, meyakini kebenaran Al-Qur'an, tanpa ada keraguan sedikit pun, dan keyakinan itu diikuti dengan mempelajari cara membaca, memahami, menghayati dan mengamalkan isi kandungannya dalam kehidupan sehari-hari.

Perbedaan cara beriman tersebut disebabkan karena masa berlaku kitab-kitab sebelum Al-Qur'an sudah selesai. Kitab-kitab sebelum Al-Qur'an hanya berlaku pada suatu umat , masa, dan wilayah tetentu. Dan kandungan pokok kitab-kitab sebelum Al-Qur'an telah tercantum dalam Al-Qur;an, yang meliputi ajaran keesaan Allah (Tauhid), tuntunan keimanan (aqidah), hukum, perintah, larangan, imbalan, janji dan ancaman, dan sejarah.

5. Yakin  Kepada Hari Akhir
 Akhir ayat 4 berbunyi : وَبِالْآَخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ  (serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat). Sifat orang bertakwa yang ke 5 (lima) adalah beriman kepada adanya hari akhir. “Akhirat” lawan dari "Dunia". "Negeri akhirat" ialah Negeri tempat manusia berada  setelah dunia ini lenyap. "Yakin akan adanya negeri akhirat" ialah benar-benar yakin akan adanya hidup yang kedua setelah dunia ini berakhir. Yakin akan adanya hari ba’ats, kiamat, surga, neraka, hisab dan mizan.[8]

Orang-orang yang mempunyai sifat-sifat yang lima (5) di atas adalah orang orang yang disebut “Muttaqin”, yaitu orang-orang yang bertakwa. Mereka oleh Allah, dinyatakan telah mendapatkan petunjuk dan bimbingan-Nya, yang firman-Nya diabadikan dalam ayat berikutnya, yaitu surat Al-Baqarah ayat 5.


[1]. Lihat Tafsir Jalalain oleh Imam Jalaluddin Al-Mahalli/Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz : 1, hal. 10

[2]. Lihat Kamus Arab - Indonesia oleh Prof. DR. H.Mahmud Yunus, PT.Hidakarya Agung, Jakarta, 1990,  hal. 335

[3]. Lihat Tafsir Al-Wasith oleh Muhammad Sayyid Thanthawi, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab :183, juz : 1, hal. 305

[4]. Lihat Tafsir Al-Qurthubi, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab : 15, juz : 15, hal.  152 

[5]. Lihat Tafsir Al-Qurthubi, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab : 7, juz : 7, hal. 161

[6]. Lihat tafsir Ath-Thabari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab : 2, juz : 12, hal. 298

[7]. Lihat Tafsir Al-Khazin, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab : 4, juz : 1, hal. 11

[8]. Lihat Tafsir Fathul Qadir, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab : 4, juz : 1, hal. 27

PUASA YANG TERLARANG

   BERPUASA YANG DILARANG
Ada beberapa puasa yang dilarang untuk dilakukan, yaitu :

1.  Dua Hari Raya
Para ‘ulama’ sepakat atas haramnya berpuasa pada dua hari raya, yaitu hari Raya ‘Idul Fitri (1 Syawal) dan  pada hari Raya ‘Idul Adha (10 Zulhijjah), baik puasa wajib ataupun puasa sunat,[1] agar semua umat Islam dapat ikut merasakan kegembiraan dalam  merayakan dua hari raya tersebut,  berdasarkan hadits Nabi saw :
و حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى بْنِ حَبَّانَ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ صِيَامِ يَوْمَيْنِ يَوْمِ الْأَضْحَى وَيَوْمِ الْفِطْرِ. (رواه مسلم : 1921- صحيح مسلم – المكتبة الشاملة - باب النهي عن صوم يوم الفطر ويوم الاضحى – الجزء :5 – صفحة : 486)
Dan telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya, ia berkata : Saya telah membacakan kepada Malik, dari Muhammad bin Yahya bin Habban, dari Al A'raj, dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw,  telah melarang berpuasa pada dua hari, yaitu pada hari ‘Iedul Adlha dan ‘Iedul Fithr. (HR.Muslim : 1821, Shahih Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, babub Nahyi an whaumi yaumil fithri wa yaumil adhha, juz : 5, hal. 486)
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَهَذَا حَدِيثُهُ قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي عُبَيْدٍ قَالَ شَهِدْتُ الْعِيدَ مَعَ عُمَرَ فَبَدَأَ بِالصَّلَاةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ ثُمَّ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ صِيَامِ هَذَيْنِ الْيَوْمَيْنِ أَمَّا يَوْمُ الْأَضْحَى فَتَأْكُلُونَ مِنْ لَحْمِ نُسُكِكُمْ وَأَمَّا يَوْمُ الْفِطْرِ فَفِطْرُكُمْ مِنْ صِيَامِكُمْ. (رواه ابو داود : 2063- سنن ابو داود – المكتبة الشاملة -  باب في صوم العيدين– الجزء :  6 – صفحة : 387)
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id, serta Zuhair bin Harb, dan ini adalah haditsnya, mereka berdua mengatakan; telah menceritakan kepada kami Sufyan,  dari  Az-Zuhri, dari Abu 'Ubaid, ia berkata; aku menghadiri 'Ied bersama Umar, beliau memulai shalat sebelum berkhutbah kemudian berkata; sesungguhnya Rasulullah saw,  melarang dari berpuasa pada dua hari ini (hari ‘Iedul Adlha dan ‘Iedul Fithr), adapun hari Adlha, maka kalian makan sebagian dari daging sembelihan kalian, adapun hari Fithri maka merupakan berbuka kalian dari puasa. (HR.Abu Daud : 2063, Sunan Abu Daud,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab fii shaumil ‘iedain,  juz : 6, hal.387) 

2.      Hari Tasyriq
Dilarang berpuasa pada hari-hari Tasyriq (11, 12, dan 13 Dzulhijjah). Pada tiga hari tersebut  umat Islam masih dalam suasana perayaan hari Raya ‘Iedul Adlha sehingga masih diharamkan untuk berpuasa. Hadits Nabi :
حَدَّثَنَا عَبْد اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي أَبُو مُوسَى الْعَنَزِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَثْمَةَ قَالَ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ بَشِيرٍ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ أَبِي الشَّعْثَاءِ عَنْ يُونُسَ بْنِ شَدَّادٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  نَهَى عَنْ صَوْمِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ.(رواه  احمد : 16107- مسند احمد – المكتبة الشاملة – باب حديث يونس بن شَدَّادٍ -الجزء : 34 – صفحة :  46)
Telah menceritakan kepada kami Abdullah, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Abu Musa Al-‘Anazi, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Atsmah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sa’id bin Basyir, dari Qatadah, dari Abu Qilabah, dari Abu Asy-Sya’tsa’, dari Yunus bin Syaddad, Bahwa Rasulullah saw, melarang berpuasa pada hari-hari tasyeriq  (11, 12, dan 13 Zulhijjah). (HR.Ahmad : 16107, Sunan Ahmad, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab hadits Yunus bin Syaddad, jua : 34,  hal. 46)
حَدَّثَنَا رَوْحٌ حَدَّثَنَا صَالِحٌ حَدَّثَنَا ابْنُ شِهَابٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ حُذَافَةَ يَطُوفُ فِي مِنًى أَنْ لَا تَصُومُوا هَذِهِ الْأَيَّامَ فَإِنَّهَا أَيَّامُ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ. (رواه  احمد :  10496- مسند احمد – المكتبة الشاملة – باب مسند ابي هريرة -الجزء :  22 – صفحة :   40)
Telah menceritakan kepada kami Rauh, telah menceritakan kepada kami Shalih, telah menceritakan kepada kami Ibnu Syihab, dari Sa'id Ibnul Musayyab, dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah saw,  mengutus Abdullah bin Hudzafah berkeliling Mina (untuk mengumumkan;) agar kalian tidak berpuasa pada hari-hari ini, karena hari-hari ini (11, 12, dan 13 Zulhijjah) adalah hari-hari makan dan minum serta dzikir kepada Allah 'azza wajalla." (HR.Ahmad : 10496, Musnad Ahmad, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab musnad Abu Hurairah,   juz : 22,  hal. 40)
Sahabat-sahabat imam Syafi’I membolehkan puasa pada hari-hari tasyriq, jika ada sebab seperti puasa karena ada nadzar, kafarat atau karena mengqadha’.[2]

3.    Larangan Puasa Khusus Hari Jum’at
Jamhur ‘Ulama’ berpendapat bahwa berpuasa secara khusus pada hari jum’at dilarang dengan larangan makruh, bukan larangan haram. Namun, apabila berpuasa sehari sebelum atau sesudahnya atau sesuai dengan kebiasaannya, atau bertepatan dengan hari ‘Arafah atau ‘Asyura, maka tidaklah makruh berpuasa pada hari jum’at itu. [3] Hadits Nabi :
و حَدَّثَنِي أَبُو كُرَيْبٍ حَدَّثَنَا حُسَيْنٌ يَعْنِي الْجُعْفِيَّ عَنْ زَائِدَةَ عَنْ هِشَامٍ عَنْ ابْنِ سِيرِينَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَا تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِي وَلَا تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الْأَيَّامِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ فِي صَوْمٍ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ. (رواه مسلم : 1930-صحيح مسلم – المكتبة الشاملة  – باب كراهية صوم يوم  الجمعة منفردا– الجزء :5 –صفحة: 497)
Dan telah menceritakan kepadaku Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Husain yakni Al-Ju'fani, dari Za`idah, dari Hisyam, dari Ibnu Sirin, dari Abu Hurairah ra,  dari Nabi saw,  beliau bersabda : "Janganlah kalian mengkhususkan malam Jum'at dengan shalat malam di antara malam-malam yang lain, dan jangan pula dengan puasa, kecuali memang bertepatan dengan hari puasanya." (HR.Muslim : 1821, Shahih Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, babub Nahyi an whaumi yaumil fithri wa yaumil adhha, juz : 5, hal. 486)
حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ عَنْ أَبِي بِشْرٍ مُؤَذِّنِ دِمَشْقَ عَنْ عَامِرِ بْنِ لُدَيْنٍ الْأَشْعَرِيِّ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ عَنْ صَوْمِ الْجُمُعَةِ فَقَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ يَوْمُ عِيدٍ فَلَا تَجْعَلُوا يَوْمَ عِيدِكُمْ يَوْمَ صِيَامٍ إِلَّا أَنْ تَصُومُوا قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَهُ.(رواه  احمد :   10470- مسند احمد – المكتبة الشاملة – باب مسند ابي هريرة -الجزء :   14 – صفحة :    22)
Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Khalid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah, dari Abu Bisyr seorang muadzin di Damaskus, dari 'Amir bin Ludain Al-Asy'ari, ia berkata; Aku bertanya kepada Abu Hurairah tentang puasa pada hari jumat, maka ia menjawab; Nabi saw, bersabda: "Hari Jumat adalah hari raya, maka janganlah kalian jadikan hari raya kalian untuk berpuasa, kecuali jika engkau berpuasa sebelum atau sesudahnya." (HR.Ahmad : 10470, Musnad Ahmad, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab musnad Abu Hurairah,   juz : 14,  hal. 22)
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا سَعِيدٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَى جُوَيْرِيَةَ بِنْتِ الْحَارِثِ وَهِيَ صَائِمَةٌ فِي يَوْمِ جُمُعَةٍ فَقَالَ لَهَا أَصُمْتِ أَمْسِ فَقَالَتْ لَا قَالَ أَتُرِيدِينَ أَنْ تَصُومِي غَدًا فَقَالَتْ لَا قَالَ فَأَفْطِرِي إِذًا. (رواه  احمد :   6482- مسند احمد – المكتبة الشاملة – باب مسند عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو -الجزء  14 – صفحة :    20)
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja'far, telah menceritakan kepada kami Sa'id, dari Qotadah, dari Sa'id bin Al-Musayyab, dari Abdullah bin 'Amru, dia berkata; bahwa Rasulullah saw,  pernah mengunjungi Juwairiyyah binti Al Harits yang saat itu sedang berpuasa pada hari Jum'at, maka beliaupun bertanya kepadanya : "Apakah kamu kemarin juga berpuasa?" "Tidak", jawabnya. Beliau bertanya : "Apakah besok kamu juga akan berpuasa lagi?" "Tidak", jawabnya. Beliau berkata: "Kalau begitu berbukalah (batalkanlah puasamu)."(HR.Ahmad : 6482, Musnad Ahmad, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab musnad Abdullah bin Amr, juz : 14,  hal. 20)
حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَا تَصُومُوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ إِلَّا وَقَبْلَهُ يَوْمٌ أَوْ بَعْدَهُ يَوْمٌ.(رواه  احمد :  10021- مسند احمد – المكتبة الشاملة – باب مسند ابي هريرة -الجزء :   21 – صفحة :    65)
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair, dia berkata; telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah, dia berkata; Rasulullah saw,  bersabda: "Janganlah kalian berpuasa pada hari jum'at kecuali ia telah berpuasa satu hari sebelum atau sesudahnya."   (HR.Ahmad : 10021, Musnad Ahmad, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab musnad Abu Hurairah,   juz : 21,  hal. 65)

4.    Larangan Puasa Khusus Hari Sabtu
Larangan mengkhushushkan berpuasa pada hari sabtu termasuk larangan makruh, karena hari itu diagungkan oleh orang-orang Yahudi .[4]  Larangan tersebut berdasarkan hadits Nabi :
حَدَّثَنَا عَتَّابُ بْنُ زِيَادٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ يَعْنِي ابْنَ مُبَارَكٍ قَالَ أَخْبَرَنِي عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عُمَرَ بْنِ عَلِيٍّ قَالَ حَدَّثَنَا أَبِي عَنْ كُرَيْبٍ أَنَّهُ سَمِعَ أُمَّ سَلَمَةَ تَقُولُ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ يَوْمَ السَّبْتِ وَيَوْمَ الْأَحَدِ أَكْثَرَ مِمَّا يَصُومُ مِنْ الْأَيَّامِ وَيَقُولُ إِنَّهُمَا عِيدَا الْمُشْرِكِينَ فَأَنَا أُحِبُّ أَنْ أُخَالِفَهُمْ.(رواه  احمد : 25525- مسند احمد – المكتبة الشاملة – باب حديث ام سلمة زوج النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -الجزء :  54– صفحة :187)
Telah menceritakan kepada kami 'Attab bin Ziyad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abdullah -yakni Ibnu Mubarak, ia berkata : Telah mengabarkan kepadaku Abdullah bin Muhammad bin 'Umar bin 'Ali, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami bapakku, dari Kuraib, bahwa ia mendengar Ummu Salamah berkata : "Rasulullah saw,  dulu lebih sering berpuasa pada hari sabtu dan ahad daripada hari-hari yang lain, dan beliau bersabda : "Sesungguhnya kedua hari itu adalah hari besar orang musyrik, dan aku hanya ingin menyelisihi mereka."(HR.Ahmad : 25525, Musnad Ahmad, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Haditrs Ummu Salamah Zaujun Nabiyyi saw,   juz : 54,  hal. 187)
حَدَّثَنَا حُمَيْدُ بْنُ مَسْعَدَةَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ حَبِيبٍ عَنْ ثَوْرِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُسْرٍ عَنْ أُخْتِهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَا تَصُومُوا يَوْمَ السَّبْتِ إِلَّا فِيمَا افْتَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ أَحَدُكُمْ إِلَّا لِحَاءَ عِنَبَةٍ أَوْ عُودَ شَجَرَةٍ فَلْيَمْضُغْهُ. (رواه الترمذي : 675- سنن الترمذي – المكتبة الشاملة -  باب ما جاء في صوم يوم السبت– الجزء : 3– صفحة :  202)
Telah menceritakan kepada kami Humaid bin Mas'adah, telah menceritakan kepada kami Sufyan bin Habib, dari Tsaur bin Yazid, dari Khalid bin Ma'dan, dari Abdullah bin Busr, dari saudarinya, bahwasanya Rasulullah saw, bersabda: "Janganlah kalian berpuasa hanya pada hari sabtu kecuali jika Allah mewajibkan berpuasa pada hari tersebut, jika pada hari itu kalian tidak mendapati kecuali sebutir anggur atau sebatang pohon maka kunyahlah ia". (HR.Tirmidzi : 675, Sunan Tirmidzi, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab maa jaa-a fii shawmi yaumis sabti,  juz :3,  hal.202)
Berdasarkan hadits tersebut, golongan Hanafi, Syafi’I dan Hanbali berpendapat, bahwa berpuasa hanya pada hari sabtu secara khusus adalah makruh.[5] 

5.    Berpuasa Pada Hari Syak (Hari Yang Diragukan)
Diharamkan berpuasa pada hari syak (Hari Yang Diragukan), yaitu hari terakhir bulan Sya’ban yang diragukan datangnya awal bulan, berdasarkan hadits :
حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ الْأَشَجُّ حَدَّثَنَا أَبُو خَالِدٍ الْأَحْمَرُ عَنْ عَمْرِو بْنِ قَيْسٍ الْمُلَائِيِّ عَنْ أَبِي إِسْحَقَ عَنْ صِلَةَ بْنِ زُفَرَ قَالَ كُنَّا عِنْدَ عَمَّارِ بْنِ يَاسِرٍ فَأُتِيَ بِشَاةٍ مَصْلِيَّةٍ فَقَالَ كُلُوا فَتَنَحَّى بَعْضُ الْقَوْمِ فَقَالَ إِنِّي صَائِمٌ فَقَالَ عَمَّارٌ : مَنْ صَامَ الْيَوْمَ الَّذِي يَشُكُّ فِيهِ النَّاسُ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. (رواه  الترمذي : 622 – سنن الترمذي – المكتبة الشاملة – باب ما جاء في كراهية صوم يوم الشك-الجزء :    3 – صفحة :    109)
Telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Abdullah bin Sa'id Al-Asyajj, telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al-Ahmar, dari Amru bin Qais Al-Mula'I, dari Abu Ishaq, dari Shilah bin Zufar, dia berkata : Ketika kami bersama 'Ammar bin Yasir lalu dihidangkan kambing yang telah dibakar, kemudian dia berkata : Makanlah. Lantas sebagian orang beranjak mundur sambil berkata, saya sedang berpuasa. ‘Ammar berkata :  Barang siapa yang berpuasa pada hari syak (hari yang diragukan apakah tanggal tiga puluh sya'ban atau awal Ramadlan), maka dia telah durhaka terhadap Abul Qasim saw, (yaitu Rasulullah). (HR.Tirmidzi : 622,  Sunan Tirmidzi, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab  ma jaa-a fii karaahiyati shaumi yaumisy-Syakki,  juz : 7, hal. 67)
Dalam kitab Fathul Bari karya  Ibnu Hajar ditegaskan, bahwa hadits ini menjadi dalil diharamkannya  berpuasa pada hari syak (yaitu hari yang diragukan, apakah tanggal tiga puluh sya'ban atau awal Ramadlan).[6] Namun bagi seseorang yang biasa puasa sunat, lalu kebetulan  bertepatan harinya dengan hari itu, maka tidak mengapa meneruskan puasanya, berdasarkan hadits berikut :
حَدَّثَنَا مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ  : لَا تُقَدِّمُوا صَوْمَ رَمَضَانَ بِيَوْمٍ وَلَا يَوْمَيْنِ إِلَّا أَنْ يَكُونَ صَوْمٌ يَصُومُهُ رَجُلٌ فَلْيَصُمْ ذَلِكَ الصَّوْمَ. (رواه ابو داود : 1988- سنن ابو داود – المكتبة الشاملة -  باب فيمن يصل شعبان برمضان– الجزء :  6 – صفحة :  275)
Telah menceritakan kepada kami Muslim bin Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Hisyam, dari Yahya bin Abu Katsir,. dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, dari Nabi saw,  beliau bersabda : "Janganlah kalian mendahului puasa Ramadhan satu hari atau dua hari, kecuali puasa yang biasa dilakukan oleh seseorang, maka silahkan ia melakukan puasa tersebut!" (HR.Abu Daud : 1988, Sunan Abu Daud,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab fii yashilu sya’baana biramadlaana, juz : 6, hal.275) 

6.    Puasa Wishal
Dilarang berpuasa terus menerus, bersambung (puasa wishal), yaitu  berpuasa di siang hari dan malam hari,  tanpa berbuka di malam hari.[7]  Dalam syarhun Nawawi ‘Alaa Muslim ditegaskan, bahwa larangan puasa wishal adalah berpuasa dua hari atau lebih tanpa makan dan minum antara keduanya.[8] Larangan ini  berdasarkan hadits Nabi:
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَن الْوِصَالِ قَالُوا إِنَّكَ تُوَاصِلُ قَالَ إِنِّي لَسْتُ مِثْلَكُمْ إِنِّي أُطْعَمُ وَأُسْقَى. (رواه البخاري :   1826- صحيح البخاري – المكتبة الشاملة – باب الوصال-الجزء :   7 – صفحة :  67)
Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Yusuf, telah mengabarkan kepada kami Malik, dari Nafi', dari 'Abdullah bin 'Umar ra,  ia berkata : Rasulullah saw,  melarang puasa wishal. Orang-orang berkata: "Namun, bukankah anda sendiri melakukan puasa wishal?" Beliau bersabda : "Aku tidak sama dengan keadaan seorang dari kalian karena aku diberi makan dan minum". (HR.Bukhari : 1826, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Al-Wishal, juz : 7, hal. 67)
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ حَدَّثَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْوِصَالِ فِي الصَّوْمِ فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ إِنَّكَ تُوَاصِلُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ وَأَيُّكُمْ مِثْلِي إِنِّي أَبِيتُ يُطْعِمُنِي رَبِّي وَيَسْقِينِ فَلَمَّا أَبَوْا أَنْ يَنْتَهُوا عَنْ الْوِصَالِ وَاصَلَ بِهِمْ يَوْمًا ثُمَّ يَوْمًا ثُمَّ رَأَوْا الْهِلَالَ فَقَالَ لَوْ تَأَخَّرَ لَزِدْتُكُمْ كَالتَّنْكِيلِ لَهُمْ حِينَ أَبَوْا أَنْ يَنْتَهُوا. (رواه البخاري :   1829- صحيح البخاري – المكتبة الشاملة – باب التنكيل لمن اكثر الوصال - -الجزء :   7 – صفحة :   71)
Telah menceritakan kepada kami Abu Al-Yaman, telah mengabarkan kepada kami Syu'aib, dari Az-Zuhriy, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Abu Salamah bin 'Abdurrahman, bahwa Abu Hurairah ra, berkata; Rasulullah saw  melarang wishal dalam berpuasa. Kemudian ada seseorang dari kalangan Kaum Muslimin yang berkata kepada Beliau : "Bukankah anda melakukan puasa wishal, wahai Rasulullah?" Maka beliau bersabda :  "Siapa dari kalian yang keadaannya sama denganku? Aku tidak sama dengan keadaan seorang kalian karena Tuhanku selalu memberiku makan dan minum". Tatkala mereka enggan menghentikan kebiasaan puasa wishal, maka beliau melakukan puasa wishal bersama mereka hari demi hari, kemudian mereka melihat hilal. Maka ketika itu beliau bersabda : "Kalau hilal itu terlambat pasti aku akan menambah lagi puasa wishal bersama kalian". Ucapan ini beliau sampaikan sebagai bentuk sindiran kepada mereka ketika mereka enggan menghentikan puasa wishal. (HR.Bukhari : 1829, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab At-Tankil liman aktsaral washal,  juz : 7, hal. 67)
Al-Khath-Thabi berkata : Puasa wishal adalah kekhususan yang dibolehkan buat Rasulullah saw, dan diharamkan terhadap umatnya.[9] Akan tetapi, imam Ahmad, Ishaq, Ibnu Mundzir membolehkan puasa Wishal sampai waktu sahur selama tidak memberatkan bagi yang berpuasa,[10] berdasarkan hadits berikut ini :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ حَدَّثَنِي ابْنُ الهَادِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ خَبَّابٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : لَا تُوَاصِلُوا فَأَيُّكُمْ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُوَاصِلَ فَلْيُوَاصِلْ حَتَّى السَّحَرِ قَالُوا فَإِنَّكَ تُوَاصِلُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ إِنِّي لَسْتُ كَهَيْئَتِكُمْ إِنِّي أَبِيتُ لِي مُطْعِمٌ يُطْعِمُنِي وَسَاقٍ يَسْقِينِ.(رواه البخاري : 1827-صحيح البخاري – المكتبة الشاملة– باب الوصال-الجزء :   7–صفحة :68)
Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Yusuf, telah menceritakan kepada saya Al-Laits, telah menceritakan kepada saya Ibnu Al Hadi, dari 'Abdullah bin Khabbab, dari Abu Sa'id ra,  bahwa dia mendengar Nabi saw, bersabda: "Janganlah kalian melaksanakan puasa wishal, maka siapa dari kalian yang mau melakukan puasa wishal hendaklah dia melakukannya hingga (makan) sahur". Orang-orang berkata : "Bukankah anda sendiri melakukan puasa wishal, wahai Rasulullah?" Beliau bersabda : "Aku tidak sama dengan keadaan kalian karena saat aku tidur akan ada pemberi makan yang datang kepadaku lalu memberi aku makan dan datang pemberi minum lalu memberi aku minum". (HR.Bukhari : 1827, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Al-Wishal,  juz : 7, hal. 68) 

7.    Puasa Sepanjang Masa
Haram hukumnya berpuasa sepanjang tahun tanpa meninggalkan hari-hari yang dilarang berpuasa, berdasarkan hadits :
حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا حَبِيبُ بْنُ أَبِي ثَابِتٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا الْعَبَّاسِ الْمَكِّيَّ وَكَانَ شَاعِرًا وَكَانَ لَا يُتَّهَمُ فِي حَدِيثِهِ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّكَ لَتَصُومُ الدَّهْرَ وَتَقُومُ اللَّيْلَ فَقُلْتُ نَعَمْ قَالَ إِنَّكَ إِذَا فَعَلْتَ ذَلِكَ هَجَمَتْ لَهُ الْعَيْنُ وَنَفِهَتْ لَهُ النَّفْسُ لَا صَامَ مَنْ صَامَ الدَّهْرَ صَوْمُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ صَوْمُ الدَّهْرِ كُلِّهِ قُلْتُ فَإِنِّي أُطِيقُ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ قَالَ فَصُمْ صَوْمَ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا وَلَا يَفِرُّ إِذَا لَاقَى. (رواه البخاري : 1843 – صحيح البخاري – المكتبة الشاملة – باب صوم داود عليه السلام – الجزء : 7 – صفحة : 95)
Telah menceritakan kepada kami Adam, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, telah menceritakan kepada kami Habib bin Abu Tsabit, ia berkata, aku mendengar Abu Al 'Abbas Al-Makkiy, seorang ahli sya'ir yang tidak dianggap buruk dalam menyampaikan hadits, ia berkata : Aku mendengar 'Abdullah bin 'Amru bin Al-'Ash ra,  berkata : Nabi saw,  bersabda :  "Apakah benar kamu berpuasa dahr (puasa sepanjang masa) dan shalat sepanjang malam?" Aku jawab : "Benar". Beliau berkata : "Jika kamu kerjakan itu nanti matamu akan mengantuk dan fisikmu menjadi lemah. Tidak ada nilai puasa bagi siapa yang mengerjakan puasa sepanjang masa. Puasa tiga hari (dalam sebulan) sama nilainya dengan puasa sepanjang jaman". 'Abdullah bin 'Amru berkata : "Sungguh aku mampu lebih dari itu". Beliau berkata : "Kalau begitu puasalah dengan puasanya Nabi Daud 'as,  yang dia berpuasa sehari dan berbuka sehari sehingga dia tidak akan kabur ketika berjumpa dengan musuh".  (HR.Bukhari : 1843, Shahih Buklhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab shaumu Dauda As,  juz : 7, hal. 95)
Imam Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari mengomintari Sabda Nabi saw yang artinya : “Tidak ada nilai puasa bagi siapa yang mengerjakan puasa sepanjang masa”. Hadits ini menunjukkan “makruh” berpuasa sepanjang masa. [11] Imam Tirmidzi berkata : Segolongan Ulama menganggap “makruh” berpuasa sepanjang masa, jika pada hari raya Faitri, Adlha dan hari-hari tasyriq tidak berbuka (tetap berpuasa). Namun apabila pada hari-hari yang terlarang tersebut berbuka (tidak berpuasa), maka terlepaslah dari hukum “makruh”, dan puasanya tidak disebut puasa sepanjang masa. Pendapat seperti ini juga diriwayatkan dari imam Malik, Syafi’I, Ahmad dan Ishaq.[12] 

8.    Puasa Setelah Tanggal 15 Sya’ban
Sebagian Ulama’ menganggap bahwa setelah pertengahan bulan Sya’ban tidak dibolehkan berpuasa karena ada beberapa hadits yang melarang, antara lain adalah :
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ قَدِمَ عَبَّادُ بْنُ كَثِيرٍ الْمَدِينَةَ فَمَالَ إِلَى مَجْلِسِ الْعَلَاءِ فَأَخَذَ بِيَدِهِ فَأَقَامَهُ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ إِنَّ هَذَا يُحَدِّثُ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ فَلَا تَصُومُوا. (رواه ابو داود :  1990- سنن ابو داود – المكتبة الشاملة -  باب في كراهية ذالك– الجزء :  6 – صفحة :  278)
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Muhammad, ia berkata : 'Abbad bin Katsir datang ke Madinah kemudian ia datang ke Majelis Al 'Ala` dan menggandeng tangannya dan mengajaknya berdiri, kemudian berkata : Ya Allah, orang ini telah menceritakan dari ayahnya, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw,  bersabda : "Apabila telah berlalu setengah dari bulan Sya'ban, maka janganlah kalian berpuasa!" (HR.Abu Daud : 1990, Sunan Abu Daud,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab fii karrahiyati dzaalik,  juz : 6, hal.278)
Syaikh Al-Albani menilai hadits tersebut sebagai hadits shahih.[13] Dan ada lagi hadits yang senada dengan hadits tersebut di atas, yaitu :
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدَةَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ ح و حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثَنَا مُسْلِمُ بْنُ خَالِدٍ قَالَا حَدَّثَنَا الْعَلَاءُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا كَانَ النِّصْفُ مِنْ شَعْبَانَ فَلَا صَوْمَ حَتَّى يَجِيءَ رَمَضَانُ. (رواه ابن ماجه : 1641- سنن اب ن ماجه – المكتبة الشاملة -  باب ما جاء فى النهي عن ان يتقدم– الجزء :  5– صفحة : 150)
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Abdah, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Muhammad. (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepada kami Hisyam bin Ammar, telah menceritakan kepada kami Muslim bin Khalid, keduanya berkata : Telah menceritakan kepada kami Al 'Ala bin 'Abdurrahman, dari bapaknya, dari Abu Hurairah, ia berkata, "Rasulullah saw,  bersabda: "Jika tiba pertengahan sya'ban maka tidak ada puasa hingga datang bulan ramadlan." (HR.Ibnu Majah : 1641,  Sunan Ibnu Majah,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab fii  maa Jaa-a Finnahyi ‘an An yataqaddam, juz : 5, hal. 150)
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو الْعُمَيْسِ عُتْبَةُ عَنِ الْعَلَاءِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَعْقُوبَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا كَانَ النِّصْفُ مِنْ شَعْبَانَ فَأَمْسِكُوا عَنْ الصَّوْمِ حَتَّى يَكُونَ رَمَضَانُ.(رواه احمد : 9330-مسند احمد–المكتبة الشاملة-باب مسند ابي هيرة-الجزء : 19–صفحة: 373)
Telah menceritakan kepada kami Waki', ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abul 'Umais 'Utbah, dari Al 'Ala` bin Abdurrahman bin Ya'qub, dari bapaknya, dari Abu Hurairah, ia berkata : Rasulullah saw, bersabda : "Jika bulan sya'ban telah sampai pertengahan, maka tahanlah diri dari berpuasa hingga datang bulan Ramadhan." (HR.Ahmad : 9330, Musnad Ahmad,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Musnad Abu Hurairah,  juz : 19, hal.373)
Hadits-hadits  di atas, sepintas lalu bertentangan dengan beberapa hadits lain yang menegaskan, bahwa Nabi saw yang paling banyak berpuasa selain di bulan Ramadlan adalah di bulan Sya’ban, bahkan beliau pernah berpuasa di bulan Sya'ban penuh satu bulan dan dilanjutkan dengan puasa bulan Ramadlan, seperti hadits berikt ini :
حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ فَضَالَةَ حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنْ يَحْيَى عَنْ أَبِي سَلَمَةَ أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا حَدَّثَتْهُ قَالَتْ لَمْ يَكُنْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ وَكَانَ يَقُولُ خُذُوا مِنْ الْعَمَلِ مَا تُطِيقُونَ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَمَلُّ حَتَّى تَمَلُّوا وَأَحَبُّ الصَّلَاةِ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا دُووِمَ عَلَيْهِ وَإِنْ قَلَّتْ وَكَانَ إِذَا صَلَّى صَلَاةً دَاوَمَ عَلَيْهَا. (رواه البخاري :    1834 - صحيح البخاري – المكتبة الشاملة – باب صوم  شعبان – الجزء : 7 – صفحة :  78)
Telah menceritakan kepada kami Mu'adz bin Fadhalah, telah menceritakan kepada kami Hisyam, dari Yahya, dari Abu Salamah, bahwa 'Aisyah ra, menceritakan kepadanya, katanya : "Rasulullah saw,  tidak pernah melaksanakan puasa lebih banyak dalam sebulan selain bulan Sya'ban, yang beliau melaksanakan puasa  bulan Sya'ban seluruhnya. Beliau bersabda : "Lakukanlah amal-amal yang kalian sanggup melaksanakannya, karena Allah tidak akan berpaling (dalam memberikan pahala) sampai kalian yang lebih dahulu berpaling (dari mengerjakan amal) ". Dan shalat yang paling Nabi saw,  cintai adalah shalat yang dijaga kesinambungannya sekalipun sedikit. Dan Beliau bila sudah biasa melaksanakan shalat (sunnat) beliau menjaga kesinambungannya".(HR.Bukhari : 1834, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab shaumu Sya’ban,   juz : 7, hal. 78)
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ أَبِي النَّضْرِ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لَا يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لَا يَصُومُ فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلَّا رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ.(رواه البخاري : 1833–صحيح البخاري – المكتبة الشاملة – باب صوم  شعبان – الجزء :7 – صفحة :  78)
Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Yusuf, telah mengabarkan kepada kami Malik, dari Abu An-Nadhar, dari Abu Salamah, dari 'Aisyah ra,  ia berkata : "Rasulullah saw,  sedemikian sering melaksanakan puasa hingga kami mengatakan seolah-olah beliau tidak pernah berbuka, namun beliau juga sering berbuka (tidak puasa) sehingga kami mengatakan seolah-olah beliau tidak pernah puasaDan aku tidak pernah melihat Rasulullah saw,  menyempurnakan puasa selama sebulan penuh kecuali puasa Ramadhan dan aku tidak pernah melihat beliau paling banyak melaksanakan puasa (sunnat) kecuali di bulan Sya'ban". (HR.Bukhari : 1833, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab shaumu Sya’ban,   juz : 7, hal. 78)
            Dari beberapa hadis di atas, kita mendapatkan dua macam kelompok hadits  yang zahirnya bertentangan, yaitu (1) Dilarang melakukan puasa sunah setelah pertengahan bulan Syaban, dan (2) Nabi saw,  melakukan puasa di bulan Sya’ban hampir sebulan penuh, dan dipastikan setelah pertengahan bulan Sya’ban ke atas. Akan tetapi,  jika kita perhatikan, tidak ada pertentangan dari hadis-hadis di atas.  Imam Al-Qurthubi menjelaskan tentang cara mengkompromikan hadis, hadis tersebut :
قَالَ الْقُرْطُبِيّ : لَا تَعَارُض بَيْن حَدِيث النَّهْي عَنْ صَوْم نِصْف شَعْبَان الثَّانِي وَالنَّهْي عَنْ تُقَدَّم رَمَضَان بِصَوْمِ يَوْم أَوْ يَوْمَيْنِ وَبَيْن وِصَال شَعْبَان بِرَمَضَان وَالْجَمْع مُمْكِن بِأَنْ يُحْمَل النَّهْي عَلَى مَنْ لَيْسَتْ لَهُ عَادَة بِذَلِكَ وَيُحْمَل الْأَمْر عَلَى مَنْ لَهُ عَادَة حَمْلًا لِلْمُخَاطَبِ بِذَلِكَ عَلَى مُلَازَمَة عَادَة الْخَيْر حَتَّى لَا يَقْطَع.
Imam Al-Qurthubi berkata : “Tidak ada pertentangan antara hadis yang melarang puasa setelah memasuki pertangahan kedua bulan Sya’ban, serta hadis yang melarang mendahului Ramadhan dengan puasa sehari atau dua hari sebelumnya, dengan hadis yang menceritakan bahwa Nabi saw, menyambung puasa Sya’ban dengan puasa Ramadan. Kompromi memungkinkan untuk dilakukan, dengan memahami bahwa hadis larangan puasa berlaku untuk orang yang tidak memiliki kebiasaan berpuasa sunah. Sementara keterangan untuk rajin puasa di bulan Sya’ban dipahami untuk orang yang memiliki kebiasaan puasa sunah, agar tetap istiqamah dalam menjalankan kebiasaan baiknya, sehingga tidak terputus.” [14]
Sebenarnya,  kompromi semacam ini telah dijelaskan dalam hadis Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh imam Abu Daud di atas, tentang larangan berpuasa sehari atau dua hari menjelang ramadhan. Dalam hadis itu, Rasulullasaw, memberikan pengecualian, “kecuali seseorang yang punya kebiasaan puasa sunah, maka bolehlah ia berpuasa.” Puasa sunah ini mencakup puasa sunah selama setahun, seperti puasa Syawal, puasa senin-kamis, puasa ‘Arafah, puasa ‘Asyura, puasa Daud, puasa 3 hari tiap bulan, atau puasa sunah sya’ban yang sudah dirutinkan sejak awal. Sementara bagi mereka yang tidak memiliki kebiasaan puasa sunah, baik puasa sunah tahunan atau dia tidak ada keinginan untuk rajin berpuasa selama Sya’ban, maka tidak dibolehkan baginya untuk berpuasa setelah memasuki pertengahan sya’ban.

9. Puasa Sunnah Bagi Wanita Tanpa Izin Suaminya
Seorang isteri bila akan mengerjakan puasa sunnah, maka harus meminta izin kepada suaminya terlebih dahulu. Bila mendapatkan izin, maka boleh dia berpuasa. Sedangkan bila tidak diizinkan, tetapi tetap dia berpuasa, maka puasanya haram secara syar‘i, berdasarkan hadits Nabi berikut :
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ حَدَّثَنَا أَبُو الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَا يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَلَا تَأْذَنَ فِي بَيْتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ نَفَقَةٍ عَنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَإِنَّهُ يُؤَدَّى إِلَيْهِ شَطْرُهُ. (رواه البخاري :4796–صحيح البخاري – المكتبة الشاملة – باب لا تأذن المرأة في بيت زوجها – الجزء : 16 – صفحة :   199)
Telah menceritakan kepada kami Abul Yaman, telah mengabarkan kepada kami Syu'aib, telah menceritakan kepada kami Abu Zinad, dari Al-A'raj, dari Abu Hurairah ra,  bahwa Rasulullah saw,  bersabda : "Tidak halal bagi seorang wanita untuk berpuasa sementara suaminya ada di rumah, kecuai dengan seizinnya. Dan tidak boleh mengizinkan seseorang masuk ke dalam rumahnya kecuali dengan seizinnya. Dan sesuatu yang ia infakkan tanpa seizinnya, maka setengahnya harus dikembalikan pada suaminya." (HR.Bukhari :4796, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Laa ta’dzan Al-mar-ata fii baiti zaijihaa,  juz : 16, hal.199)

[1]. Baca Fiqhus Sunnah oleh Sayyid Sabiq, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab/juz : 1, hal. 445
[2].  Baca kitab Fiqhus Sunnah oleh Sayid Sabiq, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab/juz : 1, hal. 45
[3]. Baca Fiqhus Sunnah oleh Sayyid Sabiq, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab/juz : 1, hal. 445 - 446
[4]. Lihat Sunan Tirmidzi, hadits no. 675, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab maa jaa-a fii shawmi yaumis sabti,  juz :3,  hal.202)
[5]. Baca kitab Fiqhus Sunnah oleh Sayid Sabiq, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab/juz : 1, hal. 447
[6]. Lihat kitab Fathul Bari oleh Ibnu Hajar, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Qaulun Nabiyyi saw, juz : 6, hal. 147
[7]. Baca Muqaddimah Al-Fathi [Fathul Bari Ibnu Hajar], Al-Maktabah Asy-=Syamilah, Bab  Muqaddimah Al-Fathi, juz : 1, hal. 200
[8].  Baca Syarah An-Nawawi ‘Alaa Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab An-Nahyu ‘anil wishal fish-Shaumi, juz : 4, hal. 80
[9]. Baca Syarah An-Nawawi ‘Alaa Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab An-Nahyu ‘anil wishal fish-Shaumi, juz : 4, hal. 80
[10].  Baca kitab Fiqhus Sunnah oleh Sayid Sabiq, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab/juz : 1, hal. 449
[11]. Lihat Fathul Bari oleh Ibnu Hajar, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Haqqul Ahlio Fish-Shawm, juz : 6 ha. 250
[12].  Baca kitab Fiqhus Sunnah oleh Sayid Sabiq, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab/juz : 1, hal. 448
[13]. Muhammad bin Abdillah Al-Khathib At-Tabrizi, Misykatul Mashabih, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Ru’yatul Hilal, juz : 1, hal. 445.  
[14]. Lihat Kitab ‘Aunul Ma’bud, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Fii karahiyati Dzaalik, juz : 5, hal. 214