Kamis, 28 Maret 2013

BASMALAH




Di dalam Al-Quran ada 114 surah, semuanya dimulai dengan "Basmalah", kecuali surat At-Taubah. Di samping pada  permulaan surat, "Basmalah" juga  disebutkan satu kali di pertengahan surah An-Naml, yaitu ayat  30. Dengan demikian, "Basmalah" di dalam Al-Quran didapati sebanyak 114 kali.  Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang sebab tidak dituliskan  Basmalah di awal surat Bara-ah (At-Taubah). Dalam  tafsir Al-Qurthuby disebutkan lima pendapat, [1] yaitu : 
1.   Sudah menjadi kebiasaan orang-orang Arab zaman Jahiliyah apabila telah terjadi kesepakan dalam suatu perjanjian, dan mereka hendak membatalkan perjanjian itu, maka mereka menuliskan surat pembatalannya tanpa menuliskan  basmallah. Ketika surat Bara-ah turun sebagai pembatalan perjanjian antara Nabi saw dan orang-orang musyrik, maka beliau mengutus Ali bin Abi Thalib untuk membacakan surat bara-ah, dan dia membacanya tanpa basmalah sebagai sikap menjalankan kebiasaan orang-orang Arab zaman itu dalam membatalkan perjanjian. 
2.   Terdapat kesamaan kisah (isi) antara  surat Bara-ah dan  surat Al-Anfal, sehingga surat Bara-ah  diyakini oleh Utsman bin Affan sebagai  bagian dari surat Al-Anfal, sehingga surat Bara-ah digandengkan dengan surat Al-Anfal tanpa dituliskan basmalah sebagai pemisah antara keduanya. Pendapat ini berdasarkan sebuah hadits :    
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ وَابْنُ أَبِي عَدِيٍّ وَسَهْلُ بْنُ يُوسُفَ قَالُوا حَدَّثَنَا عَوْفُ بْنُ أَبِي جَمِيلَةَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ الْفَارِسِيُّ حَدَّثَنَا ابْنُ عَبَّاسٍ قَالَ قُلْتُ لِعُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ مَا حَمَلَكُمْ أَنْ عَمَدْتُمْ إِلَى الْأَنْفَالِ وَهِيَ مِنْ الْمَثَانِي وَإِلَى بَرَاءَةٌ وَهِيَ مِنْ الْمِئِينَ فَقَرَنْتُمْ بَيْنَهُمَا وَلَمْ تَكْتُبُوا بَيْنَهُمَا سَطْرَ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ وَوَضَعْتُمُوهَا فِي السَّبْعِ الطُّوَلِ مَا حَمَلَكُمْ عَلَى ذَلِكَ فَقَالَ عُثْمَانُ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِمَّا يَأْتِي عَلَيْهِ الزَّمَانُ وَهُوَ تَنْزِلُ عَلَيْهِ السُّوَرُ ذَوَاتُ الْعَدَدِ فَكَانَ إِذَا نَزَلَ عَلَيْهِ الشَّيْءُ دَعَا بَعْضَ مَنْ كَانَ يَكْتُبُ فَيَقُولُ ضَعُوا هَؤُلَاءِ الْآيَاتِ فِي السُّورَةِ الَّتِي يُذْكَرُ فِيهَا كَذَا وَكَذَا وَإِذَا نَزَلَتْ عَلَيْهِ الْآيَةَ فَيَقُولُ ضَعُوا هَذِهِ الْآيَةَ فِي السُّورَةِ الَّتِي يُذْكَرُ فِيهَا كَذَا وَكَذَا وَكَانَتْ الْأَنْفَالُ مِنْ أَوَائِلِ مَا أُنْزِلَتْ بِالْمَدِينَةِ وَكَانَتْ بَرَاءَةٌ مِنْ آخِرِ الْقُرْآنِ وَكَانَتْ قِصَّتُهَا شَبِيهَةً بِقِصَّتِهَا فَظَنَنْتُ أَنَّهَا مِنْهَا فَقُبِضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَمْ يُبَيِّنْ لَنَا أَنَّهَا مِنْهَا فَمِنْ أَجْلِ ذَلِكَ قَرَنْتُ بَيْنَهُمَا وَلَمْ أَكْتُبْ بَيْنَهُمَا سَطْرَ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ فَوَضَعْتُهَا فِي السَّبْعِ الطُّوَلِ. (رواه الترمذي : 3011 – سنن الترمذي – الكتبة الشاملة -  بَاب وَمِنْ سُورَةِ التَّوْبَةِ – الجزء : 10 – صفحة : 352)
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar, telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id, Muhammad bin Ja’far, Ibnu Abi ‘Ady dan Sahl bin Yusuf, mereka berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Auf bin Abi Jamilah, telah menceritakan kepada kami Yazid Al-farisy, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abbas, ia berkata kepada Utsman bin Affan : Apa yang mendorong kalian dengan sengaja menggolongkan  surat Al-Anfal kepada Al-Matsani (ayat yang dibaca berulang-ulang), menggolongkan surat Bara-ah (Taubah) kepada Al-Mi’iin (surat yang lebih dari seratus ayat), dan kalian telah menggandengkan keduanya tanpa ditulis Basmalah (sebagai pemisah), serta kalian meletakkan dua surat itu di deretan As-Sab’utthuwal (tujuh surat yang panjang), apa yang mendorong kalian melakukan demikian?. Utsman menjawab : Dulu Rasulullah saw terkadang memasuki suatu waktu yang diturunkan kepadanya sejumlah surat, karena itu, apabila diturunkan kepadanya suatu ayat, maka beliau memanggil orang yang bisa menulis, lalu bersabda :  Letakkanlah ayat-ayat ini pada surat yang di dalamnya disebutkan begini dan begitu. Dan apabila turun satu ayat lagi kepadanya,  beliau bersabda : Letakkanlah ayat ini di surat yang di dalamnya disebutkan  begini dan  begitu.  Surat Al-Anfal adalah termasuk surat yang pertama kali diturunkan di Madinah; dan surat Bara-ah termasuk surat Al-Qur’an yang terakhir diturunkan, sedangkan kisah (isi) surat Bara-ah mirip dengan kisah (isi)  surat Al-Anfal, sehingga saya yakin bahwa surat Bara-ah adalah bagian dari surat Al-Anfal. (Setelah itu) Rasulullah saw wafat, tetapi tidak menjelaskan kepada kami bahwa surat Bara-ah adalah bagian dari surat Al-Anfal. Oleh karena itu saya yang menggandengkan surat Bara-ah dan surat Al-Anfal, dan saya tidak menulis : “BISMILLAAHIR RAHMAANIR RAHIIM” sebagai pemisah di antara duanya, lalu saya meletakkannya di dalam deretan As-Sab’utthuwal (tujuh surat yang panjang). (HR.Tirmidzi : 3011, Sunan Tirmidzi, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab wamin suratit Taubah, juz : 10, hal. 352)
3.   Diriwayatkan dari Utsman. Malik mengatakan seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Wahab, Ibnu Al-Qasim dan Ibnu Abdil-Hakam, bahwa sesungguhnya telah terjadi penghapusan diawal surat bara-ah sehingga basmalahnya pun ikut terhapus bersamanya. Dari Ibn ‘Ajlaan, bahwa sesungguhnya surat bara-ah sebanding  atau berdekatan dengan surat Al-Baqarah, sehingga tidak dituliskan basmalah sebagai pemisah antara keduanya. Sa’id Bin Jubair berkata, bahwa surat bara-ah sama seperti surat Al-Baqarah.
4.   Kharijah, Abu ‘Ishmah dan lainnya berkata : Ketika dilakukan penulisan mushaf pada zaman kakhalifahan Utsman, terjadi perbedaan pendapat dikalangan para shahabat Rasulullah saw. Sebagian  menyatakan, bahwa antara surat Bara-ah dan surat Al-Anfaal adalah satu surat. Ada lagi yang beranggapan, bahwa keduanya adalah dua surat. Untuk mengambil jalan tengah dari dua pendapat tersebut, maka ditetapkan bahwa surah Bara-ah dan Al-Anfal adalah dua surah dengan tanpa menuliskan Basmallah di awal surat Bara-ah. Dua kelompok yang berbeda pendapat secara bersama-sama rela menerima jalan tengah ini, pendapat mereka tetap terlindungi dalam mushaf.
5.   Abdullah bin Abbas berkata : Saya pernah bertanya kepada Ali bin Abi Thalib : Mengapa basmalah tidak ditulis di permulaan surat Bara-ah?  Ali bin Abi Thalib  menjawab : "Basmalah adalah mengandung makna rasa aman dan damai; sedangkan surat Bara-ah turun dengan bayang-bayang pedang (peperangan), di dalamnya tidak ada rasa aman dan damai."[2] Dari Al-Mubarrad : “Tidak mungkin berkumpul antara Basmalah yang mengandung makna rahmah (kasih sayang), dengan surat Bara-ah yang diturunkan terkait dengan kejengkelan dan kemarahan”.  Sufyan bin Uyaynah berkata : “Basmalah tidak ditulis di permulaan surat Bara-ah karena Basmalah mengandung  makna rahmah (kasih sayang); sedangkan surat Bara-ah diturunkan sebagai kecaman terhadap orang-orang munafiq, dan dengan bayang-bayang pedang (peperangan),  dan tidak ada rasa aman dan damai bagi orang-orang munafik. Dan pendapat yang shahih, Basmalah tidak dituliskan dalam surat Bara-ah, karena memang malaikat Jibril tidak menyertakan Basmalah ketika surat tersebut diturunkan. Demikianlah menurut pendapat imam Al-Qusyairy.
BASMALAH DALAM  PERMULAAN SURAH
Para ulama telah sepakat bahwa Basmalah termasuk bagian dari ayat dalam surat An-Naml. Tetapi para ulama berbeda pendapat tentang Basmalah yang terletak di awal semua surat. Dalam hal ini, Sayid Sabiq dalam Fiqhussunnah mengemukan tiga pendapat yang terkenal,[3] yaitu : 
1.   Basmalah termasuk bagian dari surat Al-Fatihah, dan juga bagian dari setiap surat  (dalam Al-Qur’an). Dengan demikian, membaca Basmalah dalam surat Al-Fatihah   adalah wajib hukumnya sebagaimana hukum membaca Al-Fatihah itu sendiri (di dalam ibadah shalat), baik ketika dibaca pelan (sirr) maupun keras (jahr). Pendapat ini dikuatkan oleh hadits yang diriwayatkan dari Nu'aim Al-Mujmir :
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ الْحَكَمِ عَنْ شُعَيْبٍ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ حَدَّثَنَا خَالِدٌ عَنْ سَعِيدِ بْنِ أَبِي هِلَالٍ عَنْ نُعَيْمٍ الْمُجْمِرِ قَالَ صَلَّيْتُ وَرَاءَ أَبِي هُرَيْرَةَ فَقَرَأَ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ ثُمَّ قَرَأَ بِأُمِّ الْقُرْآنِ حَتَّى إِذَا بَلَغَ {غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ} فَقَالَ آمِينَ فَقَالَ النَّاسُ آمِينَ وَيَقُولُ كُلَّمَا سَجَدَ اللَّهُ أَكْبَرُ وَإِذَا قَامَ مِنْ الْجُلُوسِ فِي الِاثْنَتَيْنِ قَالَ اللَّهُ أَكْبَرُ وَإِذَا سَلَّمَ قَالَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنِّي لَأَشْبَهُكُمْ صَلَاةً بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. (رواه النسائي : 895 – سنن النسائي – المكتبة الشاملة – باب قِرَاءَةُ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ – الجزء :  3 – صفحة : 459)
Telah mengabarkan kepada kami [Muhammad bin Abdillah bin Abdil Hakim] dari [Syua’ib], telah menceritakan kepada kami [Khalid] dari [Sa’id bin Abi Hilal] dari [Nu’aim Al-Mujmir, ia berkata : Aku pernah  shalat dibelakang Abu Hurairah, kemudian dia membaca  “Bismillaahir Rahmaanir Rahiim”, lalu membaca Ummul Qur’an (surat Al-Fatihah), hingga tetkala sampai pada “Ghairil Maghdluubi ‘Alaihim Waladl-Dlaalliin”, dia mengucapkan Aamiin, lalu orang-orang-pun mengucapkan Aamiin. Dan dia (Abu Hurairah) juga mengucapkan Allahu Akbar setiap  hendak sujud, dan ketika bangun dari duduk pada rakaat kedua (tahiyyat awal). Dan setelah selesai salam, dia berkata : Demi Dzat yang jiwaku berada dalam kekuasaan-Nya, sesungguhnya aku adalah orang yang paling menyerupai Rasulullah saw dalam shalat. (HR.An-Nasai : 895, Sunan An-Nasai, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Qiraa-ati Bismillaahir Rahmaanir Rahiim, juz : 3, hal. 459)    
2.    Basmalah merupakan suatu ayat yang berdiri sendiri yang diturunkan untuk mengambil berkah dan pemisah di antara surat-surat, dan bahwa membacanya pada surat Al-Fatihah hukumnya boleh (mubah), bahkan sunat (mustahab), dan tidak disunatkan membacanya dengan keras (jahar). Hal ini berdasarkan hadits Anas :
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ قَالَ صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَخَلْفَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ وَكَانُوا لَا يَجْهَرُونَ بْ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ. (رواه احمد :  12380 – مسند احمد -المكتبة الشاملة – باب مسند انس بن مالك - الجزء 25:– صفحة : 426)
Telah menceritakan kepada kami [Waki’], telah menceritakan kepada kami [Syu’bah], dari [Qatadah], dari [Anas], ia berkata : Saya pernah shalat di belakang Rasulullah saw, di belakang Abu Bakar, Umar dan Utsman, dan mereka tidak membaca dengan suara keras (jahar) bacaan Bismillaahir Rahmaanir Rahiim. (HR. Ahmad : 12380, Musnad Ahmad, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Musnad Anas bin Malik, juz : 25, hal. 426)
3.       Basmalah bukan merupakan suatu ayat dari surat Al-Fatihah atau dari surat lainnya, dan bahwa membacanya dimakruhkan baik secara sir maupun jahar, pada shalat fardhu ataupun sunat. Mazhab ini tidak kuat. [4]

Dalam  Tafsir Ibnu Katsir[5] dipaparkan pula perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang bacaan basmalah dalam shalat, apakah dibaca dengan suara keras (Jahar) ataukah dibaca dengan suara pelan (sir). 

1.   Imam Malik, Imam Abu Hanifah dan pengikut-pengikutnya berpendapat, bahwa "Basmalah" bukanlah satu ayat dari surat Al-Fatihah dan juga bukan  ayat dari surat yang lain. Sebab itu menurut mazhab Imam Abu Hanifah, Ats-Tsawry dan Ahmad bin Hanbal, "Basmalah" tidak dikeraskan membacanya dalam shalat, bahkan Imam Malik tidak membaca Basmalah sama sekali, baik sir maupun jahar. 

2.   Imam Syafii, sebagian pengikutnya berpendapat, bahwa "Basmalah"  adalah satu ayat dari surat Al-Fatihah dan bukan ayat dari surat yang lain. Dan sebagian pengikut lainnya  berpendapat, bahwa basmalah adalah salah satu ayat dari surat Al-Fatihah, dan satu ayat dari permulaan setiap surat lainnya. Sebab itu Menurut mazhab Imam Syafii "Basmalah" itu dibaca dengan suara keras (Jahar) dalam shalat. 

Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa surat Al-Fatihah terdiri dari tujuh ayat. Oleh karenanya, bagi golongan yang berpendapat bahwa basmalah bukan  ayat dari surat Al-Fatihah, maka mereka memandang :  غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ  adalah satu ayat dari surat Al-Fatihah, dengan demikian ayat dalam surat tersebut tetap berjumlah tujuh ayat.[6]
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Memahami makna yang terkandung dalam Basmalah, sangat penting terlebih dahulu mengenal huruf Ba’ dalam بِسْمِ اللَّهِ yaitu  huruf Jarr yang menunjuk kepada arti “dengan” yang terkenal dengan istilah الإلصاق (Al-Ilshaq) [7] dan dikaitkan dengan kata  “memulai” atau “ibtida’”.[8]  Untuk itu,  بِسْمِ اللَّهِ yang diterjemahkan :  "Dengan menyebut nama Allah", maksudnya adalah "dengan menyebut nama Allah saya memulai melaksanakan ketaatan".[9]  Atau “Saya memulai dengan menyebut nama Allah sebelum melaksanakan segala sesuatu”.[10] Seolah-olah berkata : Saya memulai membaca, saya memulai duduk, saya memulai berdiri, saya memulai melakukan pekerjaan (dan seterusnya) dengan menyebut nama Allah, bukan dengan menyebut nama yang lain, sebab suatu keberhasilan dapat diraih hanya karena “pertolongan” Allah. Huruf Ba’ juga mempunyai arti “memohon pertolongan” atau dikenal dengan “isti’anah”[11] dalam bahasa Arab. Dengan arti ini, seseorang yang memulai aktivitasnya dengan Basmalah, pada hakikatnya sedang bermunajat kepada Allah agar memperoleh pertolongan-Nya, dengan menggunakan sebuah kalimat yang apabila dipahami dan dihayati dapat berbunyi : “Dengan menyebut nama Allah, saya memohon pertolongan kepada-Mu agar meraih sukses dalam melakukan pekerjaan ini”.
Memulai Aktivitas Dengan Basmalah
Dalam mengarungi kehidupan di alam fana ini selalu dihadapkan dengan beragam aktivitas, sehingga Rasulullah saw memberikan bimbingan agar dalam beraktivitas hendaknya dimulai dengan basmalah, sebegaiamana tergambar dalam sabdanya :
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ آدَمَ حَدَّثَنَا ابْنُ مُبَارَكٍ عَنِ الْأَوْزَاعِيِّ عَنْ قُرَّةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ كَلَامٍ أَوْ أَمْرٍ ذِي بَالٍ لَا يُفْتَحُ بِذِكْرِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ فَهُوَ أَبْتَرُ أَوْ قَالَ أَقْطَعُ. (رواه احمد : 8355 – مسند احمد – المكتبة الشاملة – الباب مسند ابي هريرة رضي الله عنه – الجزء : 17- صفحة : 397)
Telah menceritakan kepada kami [Yahya bin Adam], telah menceritakan kepada kami [Ibnu Mubarak], dari [Al-Auza’i], dari [Qurrah bin Abdurrahman], dari [Az-Zuhri], dari [Abu Salamah], dari [Abu Hurairah], ia berkata : Rasulullah saw bersabda : Setiap perkataan atau urusan yang penting yang tidak dibuka dengan menyebut nama Allah Azza wa Jalla, maka ia “terputus” atau beliau katakan “terpotong”. (HR. Ahmad : 8355, Musnad Ahmad, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Musnad Abu Hurairah, juz : 17, hal. 397) 
Matan hadits yang berbeda, tetapi mempunyai maksud yang sama, dipaparkan dalam Tafsir Al-Alusi oleh Syihabuddin Mahmud bin Abdillah Al-Husaini Al-Alusi, yaitu :
كُلُّ  أَمْرٍ ذِيْ  بَالٍ لاَ يُبْدَأُ فِيْهِ بِبِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ فَهُوَ أَقْطَعُ
Setiap perkara penting yang tidak dimulai  dengan Bismillaahir Rahmaanir Rahiim, maka perkara itu terpotong.[12]  
Kata أَبْتَرُ “Abtaru” dan أَقْطَعُ “Aqtha’u” pada hadits di atas diterjemahkan dengan “terputus” dan “terpotong”. Maknanya, yang pertama adalah “terputus dzikirnya kepada Allah”.[13] Dan makna lain adalah  “hilang berkahnya”.[14] Sementara kata "berkah" juga berasal dari bahasa Arab yaitu بَرَكَةُ yang berarti "berkat, bahagia dan untung”.[15] Dari makna tersebut, menjadi sangat jelas, bahwa aktivitas yang tidak diawali dengan basmalah, berarti di dalamnya tidak terdapat dzikrullah, sehingga pelakunya tidak merasa bahwa dalam melakukan kegiatan selalu diawasi oleh Allah, dan pada akhirnya akan mudah jatuh ke lembah dosa dan maksiat. Ketika telah berada dalam lembah dosa,  bukan kebahagian, untung atau sukses yang penuh berkah yang akan diraih, tetapi kegelisahan, penderitaan dan menyesakkan dada, sebagaimana sabda Nabi :
 حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ حَاتِمِ بْنِ مَيْمُونٍ حَدَّثَنَا ابْنُ مَهْدِيٍّ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ صَالِحٍ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّوَّاسِ بْنِ سِمْعَانَ الْأَنْصَارِيِّ قَالَ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْبِرِّ وَالْإِثْمِ فَقَالَ الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ وَالْإِثْمُ مَا حَاكَ فِي صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ. (رواه مسلم : 4632 – صحيح مسلم – المكتتة الشاملة - بَاب تَفْسِيرِ الْبِرِّ وَالْإِثْمِ –الجزء : 12- صفحة : 403)
Telah menceritakan kepadaku [Muhammad bin Hatim bin Maimun], telah menceritakan kepada kami [Ibnu Mahdi], dari [Mu'awiyah bin Shalih], dari [Abdur Rahman bin Jubair bin Nufair], dari Bapaknya dari [An-Nawwas bin Mis'an Al-Anshari], dia berkata :  "Aku pernah bertanya kepada Rasulullah saw, tentang arti kebajikan dan dosa. Beliau bersabda : "Kebajikan itu ialah budi pekerti yang baik. Sedangkan dosa ialah perbuatan atau tindakan yang menyesakkan dada, dan engkau sendiri benci jika perbuatanmu itu diketahui orang lain." (HR.Muslim : 4632, Shahih Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab tafsiril birri wal itsmi, juz : 12, hal. 403)
Sebaliknya, orang yang mengawali aktivitasnya dengan basmalah, terjagalah hubungannya dengan Allah, sehingga kadar imannya akan bertambah baik, serta akan menumbuh suburkan rasa malu kepada-Nya bila melakukan perbuatan dosa dan maksiat, malu kepada-Nya bila tidak taat menjalankan perintahnya. Itulah sebenarnya hakikat rasa malu yang disebutkan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya :
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى رَجُلٍ مِنْ الْأَنْصَارِ وَهُوَ يَعِظُ أَخَاهُ فِي الْحَيَاءِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنْ الْإِيمَانِ. (رواه البخاري : 23 – صحيح البخاري–المكتبة الشاملة-بَاب الْحَيَاءُ مِنْ الْإِيمَانِ–الجزء : 1- صفحة :40)
Telah menceritakan kepada kami [Abdullah bin Yusuf] ia berkata : Telah mengabarkan kepada kami [Malik bin Anas] dari [Ibnu Syihab] dari [Salim bin Abdullah] dari bapaknya, bahwa Rasulullah saw, berjalan melewati seorang sahabat Anshar yang saat itu sedang memberi pengarahan kepada saudaranya tentang malu. Maka Rasulullah saw, bersabda : "Tinggalkanlah dia, karena sesungguhnya malu adalah bagian dari iman". (HR.Bukhari : 23, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Babul Hayaa’u minal iimaan. Juz : 1, hal. 40)
Munculnya rasa malu kepada Allah karena dirinya merasa yakin selalu diawasi dan dilihat oleh-Nya. Karena merasa diawasi dan dilihat, maka selalu berhati-hati dalam berbuat, agar tidak terpeleset pada lembah jurang kemaksiatan.  Demikianlah gambaran seorang hamba yang memiliki akhlak mulia, indah dan baik, atau disebut dengan “IHSAN” seperti yang ditegaskan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya :
حَدَّثَنِي إِسْحَاقُ عَنْ جَرِيرٍ عَنْ أَبِي حَيَّانَ عَنْ أَبِي زُرْعَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَوْمًا بَارِزًا لِلنَّاسِ إِذْ أَتَاهُ رَجُلٌ يَمْشِي.....قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْإِحْسَانُ قَالَ الْإِحْسَانُ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ .....(رواه البخاري :  4404– صحيح البخاري – المكتبة الشاملة - بَاب قَوْلِهِ إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ  – الجزء :  14- صفحة :452)  
Telah menceritakan kepadaku [Ishaq] dari [Jarir] dari [Abu Hayyan] dari [Abu Zur'ah] dari [Abu Hurairah ra], bahwa Rasulullah saw bersabda : "Pada suatu hari Rasulullah saw, muncul kepada para sahabat, lalu datanglah seorang laki-laki (malaikat Jibril) dengan berjalan kaki..... Laki-laki itu  bertanya : "Wahai Rasulullah,  apakah Ihsan itu?" beliau menjawab: "Engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak dapat melihat-Nya sesungguhnya Dia melihatmu....... ". (HR.Bukhari : 4404, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Babu Qaulihii “Innallaaha ‘Indahuu ‘Ilmus Saa’ati,  Juz : 14, hal. 452)
Orang yang selalu mengucapkan basmalah dengan sepenuh hati, tidak akan melakukan penyelewengan atau penyimpangan dari koridor syari’ah Islam, karena hati dan perasaannya terikat dan terkait dengan Allah. Bahkan dia merasa selalu akan mendapatkan pertolongan Allah, sehingga  dia  memiliki sikap optimisme dan tidak akan takut dalam perjuangan menegakkan kebenaran, karena ketika dia mengucapkan basmalah pada hakikatnya adalah berdo’a agar memperoleh pertolongan-Nya. Dan Allah berjanji akan mengabulkan do’a setiap hamba yang berdo’a hanya kepada-Nya :
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
Dan Tuhanmu berfirman : "Berdo'alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku (berdo'a kepada-Ku) akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina".(QS.Al-Mukmin : 60)
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ  
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS.Al-Baqarah : 186)
Mengamalkan basmalah dalam melakukan aktivitas, berarti telah muncul kesadaran yang tinggi untuk meraih pertolongan Allah yang merupakan energi penggerak agar dapat pula mengalirkan pertolongan kepada orang lain dalam mengarungi kehdupan di alam fana ini. Sikap ini merupakan salah satu indikasi telah mengamalkan basmalah dengan cara yang lebih bermanfaat, sehingga kehidupan yang penuh berkah dapat diraihnya. Allah  bersumpah dengan kemuliaan dan keagungan-Nya bahwa Dia akan memberikan berkah kepada sesuatu (segala macam aktivitas) yang dilakukan dengan mengumandangkan nama-Nya. 
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ قَالَ : لَمَّا نَزَلَ {بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} هَرَبَ الْغَيْمُ إِلَى الْمَشْرِقِ وَسَكَنَتِ الرِّيَاحُ وَ هَاجَ الْبَحْرُ وَأَصْغَتِ الْبَهَائِمُ بِآذَانِهَا وَرُجِمَتِ الشَّيَاطِيْنُ مِنَ السَّمَاءِ وَ حَلَفَ اللهُ تَعَالَى بِعِزَّتَهِ وَ جَلاَلِهِ أَلاَّ يُسَمَّى إِسْمُهُ عَلَى شَيْئٍ إِلاَّ بَارَكَ فِيْهِ.(تفسير ابن كثير)
Dari Jabir bin Abdillah, ia berkata : Ketika ‘Bismillaahir Rahmaanir Rahiim’ turun; mendung berlari ke Timur; angin-angin diam; lautan mengombak; binatang-binatang memasang telinga mereka; syaitan-syaitan dilempari dari langit; Allah Ta’ala bersumpah : Demi Kemulian-Nya dan keagungan-Nya, bahwa tiada seorangpun yang menyebutkan nama-Nya atas sesuatu  melainkan  Allah memberikan berkah  padanya. (Tafsir Ibnu Katsir)[16]
Banyak anjuran untuk mengamalkan basmalah dalam memulai aktivitas, antara lain adalah sebagai berikut :
 عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رسولَ الله صلى اللهُ عليه وسلَّمَ قال: إِذَا أَتَيْتَ أَهْلَكَ فَسَمِّ اللهَ فَإِنَّهُ إِنْ وُلِدَ لَكَ وَلَدٌ كُتِبَ لَكَ بِعَدَدِ أَنْفَاسِهِ وَأَنْفَاسِ ذُرِّيَتِهِ حَسَنَاتٌ.(تفسير ابن كثير)
Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw bersabda : Apabila kamu mendatangi keluargamu (mengadakan hubungan suami isteri), maka bacalah basmalah, karena jika dari hubungan itu lalu melahirkan seorang anak, maka setiap nafas dari anak itu, dan nafas dari keturunannya dicatat sebagai kebaikan- kebaikan buatmu. (Tafsir Ibnu Katsir)[17]
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ مَنْصُورٍ عَنْ سَالِمِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ عَنْ كُرَيْبٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ يَبْلُغُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا أَتَى أَهْلَهُ قَالَ بِاسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبْ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا فَقُضِيَ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ لَمْ يَضُرُّهُ. (رواه البخاري :  138 - صحيح البخاري – المكتبة الشاملة -بَاب التَّسْمِيَةِ عَلَى كُلِّ حَالٍ وَعِنْدَ الْوِقَاعِ – الجزء : 1- صفحة :244) 
Telah menceritakan kepada kami ['Ali bin 'Abdullah] berkata : Telah menceritakan kepada kami [Jarir], dari [Manshur], dari [Salim bin Abu Al Ja'd], dari [Kuraib], dari [Ibnu 'Abbas] dan sampai kepada Nabi saw, beliau bersabda : Jika salah seorang dari kalian ingin mendatangi isterinya (untuk bersetubuh), maka hendaklah ia membaca basmalah, lalu berdo’a yang artinya : Ya Allah, jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau rizkikan (anak) kepada kami). Jika dikaruniai anak dari hubungan keduanya maka setan tidak akan dapat mencelakakan anak itu. (HR.Bukhari : 138, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Babut Tasmiyah ‘alaa kulli haalin wa ‘indal wiqq’i,  Juz : 1, hal. 244)
حَدَّثَنَا وَهْبُ بْنُ بَقِيَّةَ عَنْ خَالِدٍ يَعْنِي ابْنَ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ خَالِدٍ يَعْنِي الْحَذَّاءَ عَنْ أَبِي تَمِيمَةَ عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ عَنْ رَجُلٍ قَالَ كُنْتُ رَدِيفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَعَثَرَتْ دَابَّةٌ فَقُلْتُ تَعِسَ الشَّيْطَانُ فَقَالَ لَا تَقُلْ تَعِسَ الشَّيْطَانُ فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ ذَلِكَ تَعَاظَمَ حَتَّى يَكُونَ مِثْلَ الْبَيْتِ وَيَقُولُ بِقُوَّتِي وَلَكِنْ قُلْ بِسْمِ اللَّهِ فَإِنَّكَ إِذَا قُلْتَ ذَلِكَ تَصَاغَرَ حَتَّى يَكُونَ مِثْلَ الذُّبَابِ. (رواه ابو داود : 4330 – سنن ابو داود : المكتبة الشاملة - بَاب لَا يُقَالُ خَبُثَتْ نَفْسِي – الجزء :13- صفحة : 161)
Telah menceritakan kepada kami [Wahb bin Baqiyyah], dari [Khalid] - maksudnya [bin Abdullah], dari [Khalid] - maksudnya [Khalid bin Al Hadzdza], dari [Abu Tamimah], dari [Abul Malih], dari seorang laki-laki ia berkata : "Aku membonceng di belakang Nabi saw, maka ketika hewan tunggangan beliau lambat saat berjalan aku berkata : 'Celakalah setan ini'. beliau lalu bersabda : "Jangan engkau berkata : 'Celakalah setan ini', sebab jika engkau berkata seperti itu, ia (setan) akan semakin besar hingga seperti rumah seraya berkata 'demi kekuatanku'. Tetapi hendaklah engkau katakan : 'Bismillah’ (dengan menyebut nama Allah). Jika engkau ucapkan itu maka setan akan semakin kecil hingga seperti lalat." (HR.Abu Dawud : 4330, Sunan Abu Dawud, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab laa yuqaalu Khabutsat nafsi, juz : 13, hal. 161)
 حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ قَالَ الْوَلِيدُ بْنُ كَثِيرٍ أَخْبَرَنِي أَنَّهُ سَمِعَ وَهْبَ بْنَ كَيْسَانَ أَنَّهُ سَمِعَ عُمَرَ بْنَ أَبِي سَلَمَةَ يَقُولُ كُنْتُ غُلَامًا فِي حَجْرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَتْ يَدِي تَطِيشُ فِي الصَّحْفَةِ فَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا غُلَامُ سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ فَمَا زَالَتْ تِلْكَ طِعْمَتِي بَعْدُ.(رواه البخاري :4957– صحيح البخاري – المكتبة الشاملة - بَاب التَّسْمِيَةِ عَلَى الطَّعَامِ وَالْأَكْلِ بِالْيَمِينِ– الجزء :16- صفحة :470) 
Telah menceritakan kepada kami [Ali bin Abdullah], telah mengabarkan kepada kami [Sufyan], berkata : [Al Walid bin Katsir], telah mengabarkan kepadaku, bahwa ia mendengar [Wahb bin Kaisan] bahwa ia mendengar [Umar bin Abu Salamah] berkata : Waktu aku masih kecil dan berada di bawah asuhan Rasulullah saw, tanganku bersileweran di nampan saat makan. Maka Rasulullah saw, bersabda : "Wahai Ghulam, bacalah Bismilillah, makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah makanan yang ada di hadapanmu." Maka seperti itulah gaya makanku setelah itu.(HR.Bukhari : 4957, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Babut Tasmiah ‘alat Tha’am wal akli bilyamiin,  Juz : 16, hal. 470)
وقال وكيع عن الأعمش عن أبي وائل عن ابن مسعود قال: مَن أَرَادَ أَنْ يُنْجِيَهُ اللهُ مِنَ الزَّبَانِيَة التِسْعَة عَشَرَ فَلْيقرأ: بِسْمِ الله الرَّحمنِ الرَّحِيمِ، لِيَجْعَلَ اللهُ لَهُ مِن كُلِّ حَرفٍ مِنهَا جِنَّةٌ مِنْ كُلِّ وَاحِدٍ. (تفسير ابن كثير)
Dan [Waki’] berkata : Dari [Al-A’masy], dari [Wa-il], dari [Ibn Mas’ud] ia berkata : Barangsiapa yang berkeinginan selamat dari malaikat zabaniah[18] yang sembilan belas, maka hendaklah membaca “Bismillaahir Rahmaanir Rahiim”, agar  Allah akan menjadikan setiap huruf yang terdapat pada basmalah sebagai perisai dari masing-masing mereka. (Tafsir Ibnu Katsir) [19]


[1].  Syamsuddin Al-Qurthuby (1204 – 1273 M / 600 – 671 H), Tafsiir Al-Qurthuuby, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab : 8, juz : 8, hal : 61-63
[2]   - فحدثناه أبو بكر محمد بن عبد الله الجنيد، حدثنا محمد بن زكريا بن دينار، حدثنا يعقوب بن جعفر بن سليمان الهاشمي، حدثني أبي، عن أبيه، عن علي بن عبد الله بن عباس، قال : سمعت أبي يقول : سألت علي بن أبي طالب رضي الله عنه : لِمَ لَمْ تُكْتَبْ فِيْ بَراءة بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ؟ قال : لِأَنَّ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ  أَمَانٌ وبراءة نُزِلَتْ بِالسَّيْفِ لَيْسَ فِيْهَا أَمَانٌ.(رواه الحاكم : 3231 – المستدرك على الصحيحين للحاكم– المكتبة الشاملة– باب تفسير سورة التوبة– الجزء : 7 –صفحة : 410)
Telah menceitakan kepada kami Abu Bakar Muhammad bin Abdillah Al-Junaid, telah meceritakan kepada kami Muhamma bin Zakaria bin Dinar, telah meceritakan kepada kami Ya’qub bin Ja’far bin Sulaiman Al-Hasyimy, telah meceritakan kepadaku ayahku, dari ayahnya, dari ‘Ali bin Abdillah bin Abbas, ia berkata : Saya pernah mendengar ayahku berkata : Saya bertanya kepada Ali bin Abi Thalib ra : Mengapa dalam surat Bara-ah tidak ditulis BISMILLAAHIR RAHMAANIR RAHIIM? Ali menjawab : (Dalam surat Bara-ah tidak ditulis basmalah) karena BISMILLAAHIR RAHMAANIR RAHIIM adalah keamanan, sedangkan surat Bara-ah diturunkan  dengan  bayang-bayang pedang (perang) yang di dalamnya tidak terdapat keamanan. (HR.Hakim : 3231, Al-Mustadrak Alash-Shahihain Lil-Hakim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab tafsir surat At-Taubah, juz : 7, hal. 410)
[3] . Sayid Sabiq, Fiqhussunnah, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab 1, juz 1, hal. 135 - 136
[4] . ibd,  hal. 135 - 136
[5] . Abul Fida’ Isma’il bin Umar bin Katsir ,  Op cit, Tafsir Ibnu Katsir, hal.117-118
[7]. Abu Abdillah Muhammad bin bin Al-Hasan bin Al-Husin At-Taimi Ar-Razi, Tafsir Al-Kabir, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab : 1, juz : 1, hal. 1
[8].  Muhmmad Asy-Syarbini Al-Khatib, Al-Iqna’, jilid 1, Dar Ihya Al-Kutub Al-‘Arabiyah, Isa Al-Baby Al-halaby, Mesir, tanpa yahun,  hal. 4
[9]. Abu Abdillah Muhammad bin bin Al-Hasan bin Al-Husin At-Taimi Ar-Razi, Tafsir Al-Kabir, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab : 1, juz : 1, hal. 1
[10].  Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib, Abu Ja;far Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab/juz : 1, hal. 115)
[11].  Jamaluddin Muhammad bin Abdullah bin Malik, Syarah Ibnu ‘Aqil ‘Alal Alfiyah, Syirkah wa Mathba’ah, Salim Nabhan, Indonesia, tanpa tahun, hal. 99
[12]. Syihabuddin Mahmud bin Abdillah Al-Husaini Al-Alusi, Tafsir Al-Alusi, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab : 1, juz : 1, hal. 14 
[13].  Lihat Fathul Bari oleh Ibnu Hajar, Al-Maktabah Asy-Syamilah,  juz : 12, hal. Hal, 412
[14] . Lihat kitab Faidlul Qadir (Syarah Al-Jamiush Shaghir) – Al-Manawi, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab : 5, juz : 5, hal. 18
[15]. Lihat kamus Arab – Indonesia oleh Prof. DR.H. Mahmud Yunus, Penerbit : PT. Hidakarya Agung, Jakarta, tahun 1990 M / 1411 H, hal. 63
[16].  Abu Fida’ Isma’il bin Umar bin Katsir Al-Qurasyi Ad-Damisyqy (700 – 774 H). Tafsir Ibnu Katsir, Al-Maktabah Asy-Syamilah, tahun 1999 M / 1420 H,  Juz : 1, hal. 119-120
[17]. Ibid, hal. 121
[18]. Malaikat Zabainiah (berjumlah 19 yang berarti sama dengan jumlah 19 huruf dalam Basmalah), yaitu malaikat dengan sosok yang sangat garang dan sadis yang bertugas menyiksa penghuni neraka.
[19]. Ibid, hal. 120

Jumat, 15 Maret 2013

PAWANG HUJAN MENURUT ISLAM



PAWANG HUJAN MENURUT ISLAM
Pawang hujan termasuk menentang rububiyah Allah di samping cara-cara yang digunakan sarat dengan syirik. Karenanya, barangsiapa yang mengklaim mengetahui waktu turunnya hujan atau mengklaim bisa menurunkan hujan atau mengklaim bisa menahan turunnya hujan (pawang hujan) maka dia telah terjatuh ke dalam sikap mengingkari, bahkan menantang ketentuan Allah,  berdasarkan dalil-dalil, antara lain:
إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (34)
“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Luqman: 34)
مَا يَفْتَحِ اللَّهُ لِلنَّاسِ مِنْ رَحْمَةٍ فَلَا مُمْسِكَ لَهَا وَمَا يُمْسِكْ فَلَا مُرْسِلَ لَهُ مِنْ بَعْدِهِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (2)
“Apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah maka tidak seorangpun yang sanggup melepaskannya sesudah itu. Dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Fathir: 2).
وَهُوَ الَّذِي يُنَزِّلُ الْغَيْثَ مِنْ بَعْدِ مَا قَنَطُوا وَيَنْشُرُ رَحْمَتَهُ وَهُوَ الْوَلِيُّ الْحَمِيدُ (28)
"Dan Dialah yang menurunkan hujan setelah mereka putus asa, dan Dia tebarkan rahmatNya, dan Dialah Maha Pemurah lagi Maha Pelindung". (QS.Asysyura:28)
Memohon Memberhentikan hujan berarti menolak rahmat Allah yang dibutuhkan oleh semua alam seperti: manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan bumi dan menghambat permohonan manusia yang sedang menjalankan Istisqo sesungguhnya hanya Allah yang dapat memberhentikan hujan.

4261 - حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ سَالِمِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ  مَفَاتِحُ الْغَيْبِ  خَمْسٌ  إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنْزِلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ. (رواه البخاري- المكتبة الشاملة)
Telah menceritakan kepada kami 'Abdul 'Aziz bin 'Abdullah Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa'ad dari Ibnu Syihab dari Salim bin 'Abdullah dari Bapaknya bahwa Rasulullah saw, bersabda : "Kunci-kunci hal yang ghaib itu ada lima, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah Ta'ala: Sesungguhnya hanya Allah lah yang mengetahui datangnya hari kiamat, dan Dia lah Dzat yang menurunkan hujan, yang mengetahui janin yang ada dalam kandungan, dan jiwa manusia tidak mengetahui apa yang akan dapat diperbuatnya esok hari, dan ia juga tidak tahu di bumi mana dia akan mati, Sesungguhnya Allah adalah Dzat yang Maha Mengetahui. (HR.Bukhari)

801 - حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ صَالِحِ بْنِ كَيْسَانَ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُتْبَةَ بْنِ مَسْعُودٍ عَنْ زَيْدِ بْنِ خَالِدٍ الْجُهَنِيِّ أَنَّهُ قَالَ صَلَّى لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الصُّبْحِ بِالْحُدَيْبِيَةِ عَلَى إِثْرِ سَمَاءٍ كَانَتْ مِنْ اللَّيْلَةِ فَلَمَّا انْصَرَفَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَقَالَ هَلْ تَدْرُونَ مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِي مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ وَأَمَّا مَنْ قَالَ بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا فَذَلِكَ كَافِرٌ بِي وَمُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ. (رواه البخاري – المكتبة الشاملة)
Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Maslamah dari Malik dari Shalih bin Kaisan dari 'Ubaidullah bin 'Abdullah bin 'Utbah bin Mas'ud dari Zaid bin Khalid Al Juhaini bahwasanya dia berkata, "Rasulullah saw,  memimpin kami shalat Shubuh di Hudaibiyyah pada suatu malam sehabis turun hujan. Setelah selesai Beliau menghadapkan wajahnya kepada orang banyak lalu bersabda: "Tahukah kalian apa yang sudah difirmankan oleh Rabb kalian?" Orang-orang menjawab, "Allah dan rasul-Nya lebih mengetahui." Beliau bersabda: '(Allah berfirman): 'Di pagi ini ada hamba-hamba Ku yang beriman kepada-Ku dan ada yang kafir. Orang yang berkata, 'Hujan turun kepada kita karena karunia Allah dan rahmat-Nya', maka dia adalah yang beriman kepada-Ku dan kafir kepada bintang-bintang. Adapun yang berkata, '(Hujan turun disebabkan) bintang ini atau itu', maka dia telah kafir kepada-Ku dan beriman kepada bintang-bintang'." (HR.Bukhari)

 Mendatangi para dukun dan tukang ramal jelas terlarang dalam islam karena akan menyebabkan rusaknya akidah, sebagaimana dijelaskan dalam hadits : 
9171 - حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عَوْفٍ قَالَ حَدَّثَنَا خِلَاسٌ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَالْحَسَنِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَتَى كَاهِنًا أَوْ عَرَّافًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. (رواه احمد – المكتبة الشاملة)
 Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id dari 'Auf berkata; telah menceritakan kepada kami Khilas dari Abu Hurairah dan Al Hasan dari Nabi saw,  beliau bersabda: "Barangsiapa mendatangi seorang dukun atau peramal kemudian membenarkan apa yang ia katakan, maka ia telah kafir terhadap wahyu yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam." (HR.Ahmad)

Jumat, 01 Maret 2013

KEHARUSAN BERLAKU ADIL DAN TIDAK MEMIHAK DALAM MENETAPKAN SESUATU




اِنَّآ اَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْن النَّاسِ ِبمَآ اَرَاكَ اللهُ وَلاَ تَكُنْ لِّلْخَآئِنِيْنَ خَصِيْمًا  (النساء : ٥.١)
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat”.  (QS. An-Nisa : 105)

Asbabun Nuzul
                                    Di dalam keluarga Bani Ubairiq terdapat seorang munafik bernama Busyair yang tingkat sosial ekonominya sangat lemah. Dia tinggal serumah dengan Bisyrin dan Mubasyir. Orang munafik itu pada suatu waktu pernah menggubah syi’ir (puisi) yang isinya mencaci maki Rasulullah SAW dan para sahabat. Dan dia memutarbalikkan fakta dengan mengatakan bahwa syi’ir itu gubahan orang lain. Sementara makanan mereka orang-orang yang lemah ekonominya adalah kurma dan sya’ir (sejenis gandum) yang didatangkan dari Madinah. Sedangkan makanan pokok orang-orang yang mampu pada saat itu adalah tepung terigu.
                                    Pada suatu waktu Rifa’ah bin Zaid—paman Qatadah—membeli beberapa karung terigu yang kemudian disimpan di gudang miliknya, di mana di dalam gudang itu biasa untuk menyimpan alat-alat perang, baju besi, pedang dan lain-lain. Di tengah malam yang gelap gulita gudang tersebut dibongkar orang dan seluruh isinya dicuri. Keesokan harinya Rifa’ah datang kepada Qatadah seraya berkata: “Wahai anak saudaraku, semalam gudang kita dibongkar orang, makanan yang ada dan seluruh senjata yang ada dicuri habis-habisan”. Kemudian kaum muslimin melakukan pelacakan dan penelitian siapa pelaku pencurian itu. Kepada penduduk di sekitar kampung tersebut ditanyakan tentang pelaku pencurian di gudang. Dari keterangan mereka ada yang mengatakan, bahwa semalam Bani Ubairiq mengadakan pestapora, menyalakan api dan memakan tepung terigu  yang dimasak dengan lezat.
                                    Mendengar keterangan yang seperti ini, Bani Ubairiq  mengelak dari tuduhan seraya berkata: “Kami telah mengadakan penyelidikan di sekitar kampung ini, demi Allah, bahwa pencurinya adalah Labid bin Sahlin”. Padahal Labid bin Sahlin adalah seorang muslim yang sangat taat kepada Allah SWT dan jujur, kemuliaan akhlaknya  telah masyhur di kalangan mereka. Ketika Labid bin Sahlin mendengar perkataan Bani Ubairiq ini, mukanya menjadi merah padam, sangat marah. Dengan pedang yang terhunus di tangannya dia pergi menemui Bani Ubairiq seraya berkata: “Kamu telah menuduh aku melakukan pencurian. Demi Allah, pedangku ini akan ikut  berbicara, sehingga dengan jelas dapat ditemukan siapa sebenarnya  pelaku pencurian itu”.  Bani Ubairiq berkata: “Janganlah engkau mengatakan kami menuduhmu, wahai Labid. Bukankah sebenarnya engkau yang melakukan pencurian!”.  
                                    Sementara Rifa’ah dan Qatadah berangkat mencari data yang lebih kongkrit lagi, dan akhirnya dapat diambil kesimpulan berdasarkan fakta dan data, bahwa pelaku pencurian itu adalah Bani Ubairiq. Setelah diketahui secara pasti, Rifa’ah langsung berkata: “Wahai anak saudaraku, bagaimana kalau sekiranya engkau pergi menghadap Rasulullah SAW untuk menceritakan kejadian ini?”. Tanpa menawar lagi Qatadah langsung berangkat menghadap Rasulullah SAW, yang dengan tegas menerangkan bahwa di kampung itu ada satu keluarga yang tidak baik, yaitu mau mencuri makanan dan senjata milik pamannya. Qatadah menyampaikan kepada Rasulullah SAW , bahwa pamannya bernama Rifa’ah hanya menghendaki agar senjatanya saja yang dikembalikan, sedangkan bahan makanannya diikhlaskan untuk dimakan oleh mereka. Sehubungan dengan itu Rasulullah bersabda: “Aku akan mengadakan penelitian lebih dahulu tentang masalah ini”.
                                    Ketika Bani Ubairiq mengetahui bahwa Rasulullah SAW akan mengadakan penelitian tentang kasus pencurian itu, maka Bani Ubairiq segera mendatangi saudaranya yang bernama Asir bin Urwah untuk menceritakan dan mengadukan permasalahan tersebut. Sehubungan dengan itu seluruh masyarakat di kampung  Bani Ubairiq mengadakan perkumpulan untuk bermusyawarah, dan memutuskan untuk menghadap Rasulullah SAW. Setelah mereka berada di hadapan Rasulullah SAW, langsung berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Qatadah bin Nu’man dan pamannya yang bernama Rifa’ah telah menuduh seorang di antara kami yang berakhlak budi pekerti baik telah melakukan pencurian. Padahal orang yang dituduh itu seorang yang baik hati lagi jujur. Dia menuduh tanpa disertai fakta dan data yang kuat”.
                                    Oleh karena kata-kata Bani Ubairiq tersebut, maka sewaktu Qatadah menghadap Rasulullah SAW beliau langsung bersabda: “Kamu telah menuduh seorang muslim yang baik budi dan jujur melakukan pencurian tanpa dengan fakta yang kuat!”. Kemudian Qatadah pulang dan menyampaikan apa yang terjadi di hadapan Rasulullah SAW kepada pamannya Rifa’ah. Mendengar berita itu Rifa’ah langsung berkata: “Allahul-musta’an = Allah tempat berlindung bagi kita”. Sesaat kemudian Allah SWT langsung menurunkan ayat ke-105 sebagai teguran kepada Rasulullah SAW yang mengadakan pembelaan terhadap Bani Ubairiq yang ternyata berada dalam posisi yang salah.
 إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا (النساء : ٥.١)
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat”.  (QS. An-Nisa : 105)
روى الترمذي والحاكم وغيرهما عن قتادة ابن النعمان قال كان أهل بيت منا يقال لهم بنو أبيرق بشر وبشير ومبشر وكان بشير رجلا منافقا يقول الشعر يهجو به أصحاب رسول الله ثم ينحله بعض العرب يقول قال فلان كذا وكانوا أهل بيت حاجة وفاقة في الجاهلية والإسلام وكان الناس إنما طعامهم بالمدينة التمر والشعير فابتاع عمي رفاعة ابن زيد حملا من الدرمك فجعله في مشربه له فيها سلاح ودرع وسيف فعدي عليه من تحت فنقبت المشربة وأخذ الطعام والسلاح فلما أصبح أتاني عمي رفاعة فقال يا ابن أخي إنه قد عدي علينا في ليلتنا هذه فنقبت مشربتنا وذهب بطعامنا وسلاحنا فتجسسنا في الدار وسألنا فقيل لنا قد رأينا بني ابيرق استوقدوا في هذه الليلة ولا نرى فيما نرى إلا على بعض طعامكم فقال بنو أبيرق ونحن نسأل في الدار والله ما نرى صاحبكم الا لبيد بن سهل رجل منا له صلاح وإسلام فلما سمع لبيد اخترط سيفه وقال أنا أسرق والله ليخالطنكم هذا السيف أو لتبينن هذه السرقة قالوا إليك عنا أيها الرجل فما أنت بصاحبها فسألنا في الدار حتى لم نشك أنهم أصحابنا فقال لي عمي يا ابن أخي لو أتيت رسول الله صلى الله عليه وسلم فذكرت ذلك له فأتيته فقلت أهل بيت منا أهل جفاء عمدوا إلى عمي فنقبوا مشربه له وأخذوا سلاحه وطعامه فليردوا علينا سلاحنا وأما الطعام فلا حاجة لنا فيه فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم سأنظر في ذلك فلما سمع بنو ابيرق أتوا رجلا منهم يقال له أسير بن عروة فكلموه في ذلك فاجتمع في ذلك أناس من أهل الدار فقالوا يا رسول الله إن قتادة بن النعمان وعمه عمدا إلى أهل بيت منا أهل إسلام وصلاح يرمونهم بالسرقة من غير بينة ولا ثبت قال قتادة فأتيت رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال عمدت إلى أهل بيت ذكر منهم إسلام وصلاح ترميهم بالسرقة على غير ثبت وبينة فرجعت فأخبرت عمي فقال الله المستعان فلم نلبث أن نزل القرآن إنا أنزلنا إليك الكتاب بالحق لتحكم بين الناس بما أراك الله ولا تكن للخائنين خصيما. (النساء : 105)
(لباب النقول- جلال الدين السيوطي – المكتبة الشاملة - الكتاب : لباب النزول – الجزء : 1 – صفحة : 71)