Kamis, 16 Februari 2017

TAFSIR SURAT AL-BAQARAH AYAT 44



SURAT AL-BAQARAH AYAT 44
Ayat 44 surat Al-Baqarah ini mengandung teguran keras dari Allah  kepada Ahl-Kitab (Bani Israil), karena mereka hanya bisa memberikan nasehat kepada orang lain agar berpegang teguh kepada ajaran agama Allah, mereka menyuruh orang lain untuk berbuat baik, mengajak orang lain membaca kitab suci dengan benar, baik dan indah, memahami dan mengamalkan kandungannya, tetapi mereka melupakan dirinya sendiri. Ayat yang dimaksud  adalah sebagai berikut :
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
Mengapa kalian suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kalian melupakan (kewajiban) kalian sendiri, padahal kalian membaca Al-kitab (Taurat)? Maka tidakkah kalian berpikir?
Awal ayat 44 berbunyi : أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ  (Mengapa kalian suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan).  Maksud awal ayat ini menurut Ibnu Juraij, adalah bahwa orang-orang ahli kitab dan orang-orang munafik selalu memerintahkan orang lain untuk melakukan puasa dan shalat, tetapi mereka sendiri tidak melakukan apa yang mereka perintahkan kepada orang-orang untuk melakukannya. Maka Allah mengecam perbuatan mereka itu, karena orang yang memerintahkan kepada suatu kebaikan, seharusnya dia adalah orang yang paling getol dalam mengerjakan kebaikan itu dan berada paling depan daripada yang lainnya.[1]  Menurut Abu Kuraib dengan sanadnya yang bersumber dari Ibnu Abbas, maksud dari potongan awal ayat di atas adalah kalian (Ahli Kitab) menyuruh orang lain untuk masuk agama Muhammad saw (agama Islam) dan menyuruh mengerjakan perintah lainnya seperti shalat, sedangkan kalian melupakan diri kalian sendiri.[2]
Pertengahan ayat 44 berbunyi : وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ  (sedang kalian melupakan (kewajiban) kalian sendiri). Maksud pertengahan ayat ini, dalam tafsir Ar-Razi dikatakan, bahwa kalian sesungguhnya melupakan  atau meninggalkan hak kalian untuk mendapatkan manfaat (berupa kebaikan).[3] Dalam suatu riwayat yang bersumber dari Ibnu Abbas dikatakan, bahwa ayat ini diturunkan berkaitan dengan keadaan pendeta - pendeta di Madinah, mereka secara sembunyi-sembunyi menyuruh orang-orang untuk mengikuti agama Nabi Muhammad, namun mereka sendiri tidak mengikutinya. Dan juga ada pendapat lain, bahwa mereka menyuruh untuk bersedekah, namun mereka sendiri tidak bersedekah.[4]
Pertengahan ayat 44 berikutnya berbunyi : وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ (padahal kalian membaca Al-kitab [Taurat]). Maksud pertengahan ayat ini, dalam tafsir Ar-Razi dikatakan, bahwa kalian sebenarnya membaca taurat, mempelajarinya dan mengetahui isinya, yaitu dorongan untuk melakukan kebaikan dan berpaling dari perbuatan dosa.[5]  Dan di dalam tafsir An-Nasafi dikatakan, bahwa kalian sebenarnya membaca taurat, di dalamnya diterangkan sifat-sifat Nabi Muhammad saw, dan di dalamnya pula terdapat ancaman bagi orang yang curang dan meninggalkan kebaikan, serta berbeda antara ucapan dan perbuatannya. [6]
Akhir ayat 44 berbunyi : أَفَلَا تَعْقِلُونَ (Maka tidakkah kalian berpikir). Maksud akhir ayat ini dalam tafsir An-Nasafi dikatakan, tidakkah kalian berpikir akan akibat buruk dari perbuatan yang kalian tampilkan, sehingga kalian dapat mencegah atau menahan diri untuk melakukannya; akibat buruk itu adalah celaan dan teguran keras dari Allah? [7] 
Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan As-Suyuthi dalam tafsir Jalalain memberikan penafsiran sebagai berikut : Mengapa kalian menyuruh orang lain untuk berbuat baik, yaitu menyuruh beriman kepada kerasulan Nabi Muhammad saw, sedang kalian melupakan diri kalian sendiri, kalian mengabaikannya dan tidak mau menyuruh beriman kepadanya; padahal kalian membaca Kitab suci, yakni Taurat. Di dalam kitab suci itu jelas tercantum ancaman atau siksaan terhadap orang yang tidak sesuai antara perkataan dengan perbuatannya! Tidakkah kalian berpikir akan akibat buruk dari perbuatan kalian, yang nantinya akibat buruk itu akan kembali kepada diri kalian sendiri? [8]
Dalam ayat tersebut, Allah swt bertanya : “Wahai sekalian Ahlul-Kitab, apakah kalian pantas menyuruh manusia berbuat berbagai macam kebaikan, sedang kalian melupakan diri sendiri. Kalian tidak melakukan apa yang diperintahkan itu, padahal kalian membaca Al-Kitab dan mengetahui kandungannya yang berisi ancaman terhadap orang yang mengabaikan perintah Allah? Apakah kalian tidak memikirkan apa yang kalian lakukan untuk diri kalian sendiri itu, sehingga kalian terjaga dari tidur kalian dan terbuka mata kalian dari kebutaan?[9]  
Pertanyaan dalam ayat tersebut dikenal dengan Istifham Inkari (pertanyaan retorik), pertanyaan yang sebenarnya tidak memerlukan jawaban, tetapi mengandung penegasan, bahwa sesungguhnya sangatlah buruk, tercela dan hina mereka yang menyuruh atau mendorong orang lain untuk mengerjakan kebaikan, sementara mereka sendiri tidak menjalankannya, mereka melupakan dirinya sendiri untuk memperoleh kebaikan.  Hanya mulut mereka yang keras mempertahankan agama untuk dipakai oleh orang lain, adapun untuk dirinya sendiri, tidak usahlah dipersoalkan; padahal mereka membaca kitab suci, hafal nomor ayatnya, bahkan salah titik dan salah baris sedikit-pun, mereka tahu. Namun, apa isi dan maksud yang sejati dari kitab suci itu, mereka tidaklah mau mengetahui dan tidak pula mau  memikirkannya, apalagi mengamalkannya.
Ada ayat yang senada dengan ayat di atas, yaitu dalam surat Ash-Shaaf  (61) ayat 2 dan 3 sebagai berikut  :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ  -    كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kalian mengatakan apa-apa yang tidak kalian kerjakan. (QS. Ash-Shaaf  : 2 dan 3)
Sungguh sangat dibenci oleh Allah  orang yang meminta orang lain untuk selalu berbuat kebaikan dan tetap dalam ketaatan serta menghindari kemaksiatan, sedangkan dirinya sendiri tidak melaksanakan apa yang  dikatakan dan tidak berpegang teguh kepada apa yang  dia minta.
Terdapat banyak hadits Nabi yang senada dengan makna ayat tersebut, yang mengandung teguran keras bagi orang yang menyuruh orang lain berbuat baik, padahal dirinya tidak melaksanakan, antara lain sebagai berikut  :
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بن الْمُعَلَّى الدِّمَشْقِيُّ، وَالْحَسَنُ بن عَلِيٍّ الْمَعْمَرِيُّ، قَالا : حَدَّثَنَا هِشَامُ بن عَمَّارٍ ، حَدَّثَنَا عَلِيُّ بن سُلَيْمَانَ الْكَلْبِيُّ، حَدَّثَنِي الأَعْمَشُ، عَنْ أَبِي تَمِيمَةَ، عَنْ جُنْدُبِ بن عَبْدِ اللَّهِ الأَزْدِيِّ صَاحِبِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ .....، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَثَلُ الْعَالِمِ الَّذِي يُعَلِّمُ النَّاسَ الْخَيْرَ ويَنْسَى نَفْسَهُ كَمَثَلِ السِّرَاجِ يُضِيءُ لِلنَّاسِ ويُحْرِقُ نَفْسَهُ. (رواه الطبرني : 1659 – المعجم الكبير للطبرني – المكتبة الشاملة – الجزء: 2 – صفحة : 227)
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Al-Mu’alla Ad-Damisyqi dan Al-Hasan bin Ali Al-Ma’mary, mereka berdua berkata :  Telah menceritakan kepada kami Hisyam bin ‘Ammar, telah menceritakan kepada kami Ali bin Sulaiman Al-Kalby, telah menceritakan kepadaku Al-A’masy, dari Abu Tamimah, dari Jundub bin Abdillah Al-Azdy sahabat Nabi saw, ia berkata : Rasulullah saw bersabda : “Perumpamaan seorang berilmu yang mengajarkan kebaikan kepada manusia, tetapi melupakan dirinya, seperti lampu yang menyinari manusia, tetapi membakar dirinya sendiri” (HR. Thabrani : 1659, Al-Mu’jam Al-Kabir Lith-Thabrany, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz : 2, hal. 227)
حَدَّثَنَا عَلِيٌّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي وَائِلٍ قَالَ قِيلَ لِأُسَامَةَ ..... قَالَ سَمِعْتُهُ يَقُولُ يُجَاءُ بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُهُ فِي النَّارِ فَيَدُورُ كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ بِرَحَاهُ فَيَجْتَمِعُ أَهْلُ النَّارِ عَلَيْهِ فَيَقُولُونَ أَيْ فُلَانُ مَا شَأْنُكَ أَلَيْسَ كُنْتَ تَأْمُرُنَا بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَانَا عَنْ الْمُنْكَرِ قَالَ كُنْتُ آمُرُكُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَلَا آتِيهِ وَأَنْهَاكُمْ عَنْ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ. رَوَاهُ غُنْدَرٌ عَنْ شُعْبَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ - (رواه البخاري : 3027- صحيح البخاري– المكتبة الشاملة – الجزء:  11 – صفحة :  46)
Telah menceritakan kepada kami Ali, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Wail, ia berkata, dikatakan kepada Usamaah, .....Usamah berkata; aku mendengar beliau (Rasulullah saw) bersabda : Pada hari kiamat akan dihadirkan seseorang yang kemudian dia dilempar ke dalam neraka, isi perutnya keluar dan terburai hingga dia berputar-putar bagaikan seekor keledai yang berputar-putar menarik mesin gilingnya. Maka penduduk neraka berkumpul mengelilinginya seraya berkata : ‘Wahai si Fulan, apa yang terjadi denganmu? Bukankah kamu dahulu orang yang memerintahkan kami berbuat kebaikan dan melarang kami berbuat munkar?’ Orang itu berkata : ‘Aku memang memerintahkan kalian agar berbuat kebaikan, tapi aku sendiri tidak melaksanakannya dan melarang kalian berbuat munkar, namun malah aku mengerjakannya’. Ghundar meriwayatkannya dari Syu’bah dari al-A’masy. (HR. Bukhari, 3027, Shahih Bukhari,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz : 11, hal. 46)
Hadits shahih di atas menunjukkan akibat atau azab bagi orang yang menyuruh orang lain berbuat baik padahal dirinya sendiri tidak melaksanakannya.  Hadits berikut juga memiliki pesan yang sama :
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَرَرْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي عَلَى قَوْمٍ تُقْرَضُ شِفَاهُهُمْ بِمَقَارِيضَ مِنْ نَارٍ قَالَ قُلْتُ مَنْ هَؤُلَاءِ قَالُوا خُطَبَاءُ مِنْ أَهْلِ الدُّنْيَا كَانُوا يَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَيَنْسَوْنَ أَنْفُسَهُمْ وَهُمْ يَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا يَعْقِلُونَ. (رواه احمد : 11766– مسند احمد - المكتبة الشاملة – الجزء:  24 – صفحة : 312)
Telah menceritakan kepada kami Waki’ telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Ali bin Zaid bin Jud’an dari Anas berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Ketika malam isra’, aku melewati suatu kaum yang lidahnya dipotong dengan gunting dari api. Aku (Rasulullah saw) bertanya, ‘kenapa mereka dihukum seperti itu?’ (Malaikat) berkata : ‘Mereka adalah para ahli khutbah dari umatmu di dunia, mereka memerintahkan kebaikan pada orang-orang, namun melupakan diri mereka sendiri padahal mereka membaca Al-Qur’an. Mengapakah mereka tidak menggunakan akal sehatnya?’ (HR. Ahmad : 11766, Musnad Ahmad,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz : 24, hal. 312)
Terdapat pendapat yang paling shalih dari dua golongan ulama’, yaitu ulama’ salaf dan khalaf, bahwa, “Amar ma’ruf (menyuruh berbuat baik)  dan mengamalkan apa yang disuruhkan itu hukumnya adalah wajib.” - Imam Malik meriwayatkan dari Rabi’ah, ia berkata : Aku pernah mendengar Sa’id bin Jubair mengatakan, “Jika tidak ada seseorang-pun yang menyuruh berbuat kebaikan dan tidak ada yang mencegah kemungkaran sampai pada dirinya tidak terdapat sesuatu apapun, maka tidak akan ada seorang pun yang melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar.” Sedang melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar hukumnya wajib. Oleh karena itu, orang alim hendaknya menyuruh berbuat baik, meskipun ia tidak mengamalkannya atau mencegah kemungkaran, meskipun ia sendiri mengerjakannya.[10]
Dalam sebuah hadits Nabi saw, beliau memerintahkan untuk menyampaikan apa yang datang darinya walaupun hanya satu ayat :
حَدَّثَنَا أَبُو عَاصِمٍ الضَّحَّاكُ بْنُ مَخْلَدٍ أَخْبَرَنَا الْأَوْزَاعِيُّ حَدَّثَنَا حَسَّانُ بْنُ عَطِيَّةَ عَنْ أَبِي كَبْشَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَا حَرَجَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ. (رواه البخاري :  3202- صحيح البخاري– المكتبة الشاملة – الجزء:  11 – صفحة :  277)
Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Ashim Adl-Dlahhak bin Makhlad, telah mengabarkan kepada kami Al-Auza’i,  telah menceritakan kepada kami Hassan bin ‘Athiyyah, dari Abi Kabsyah, dari Abdullah bin ‘Amr, bahwa Nabi saw, bersabda : Sampaikanlah apa yang datang dariku walaupun satu ayat, dan ceritakanlah apa yang kamu dengar dari Bani Isra’il, dan hal itu tidak ada Salahnya, dan barang siapa berdusta atas namaku maka bersiap-siaplah untuk menempati tempatnya dineraka. (HR. Bukhari, 3202, Shahih Bukhari,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz : 11, hal. 277)


[1]. Baca Tafsir Ibnu Katsir, Al-Maktabah As-Syamilah, juz 1, hal. 246   
[2]. Baca Tafsir  Ath-Thabari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz 1, hal. 7
[3]. Baca Tafsir  Ar-Razi, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz 2, hal. 71  
[4]. Baca Tafsir  Al-Baidlawi, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz 2, hal. 81  
[5]. Tafsir  Ar-Razi, Op cit,  hal. 71   
[6]. Baca Tafsir  An-Nasafi, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz 2, hal. 45  
[7]. Ibid, Tafsir  An-Nasafi, hal. 45  
[8]. Baca Tafsir Jalalain,  Al-Maktabah As-Syamilah, juz 1, hal. 50   
[9]. Tafsir Ibnu Katsir, Op cit, hal. 246  
[10].  Tafsir Ibnu Katsir, Op cit, juz 1, hal. 247

Rabu, 01 Februari 2017

NUSYUZ

 

N U S Y U Z
Secara kebahasaan, nusyuz berasal dari akar kata an-nasyz atau an-nasyaaz yang berarti ”tempat tinggi”. [1] Berarti ”sikap tidak patuh dari salah seorang diantara suami dan isteri”, atau ”perubahan sikap suami atau isteri”. Berikut ini kita tampilkan beberapa penegrtian Nusyuz :
النُّشُوزِ وَهُوَ الْخُرُوجُ عَنْ الطَّاعَةِ، وَأَصْلُهُ الِارْتِفَاعُ، وَقَدْ يَكُونُ مِنْ الزَّوْجِ كَمَا يَكُونُ مِنْ الزَّوْجَةِ
Nusyuz adalah Keluar dari ketaatan (meninggalkan kewajiban bersuami isteri). Dan makna asalnya adalah ketinggian atau merasa lebih tinggi. Nusyuz terkadang datang dari pihak suami, sebagaimana juga terkadang datang dari pihak isteri.[2]  
وَالنُّشُوْزُ:هُوَ الْاِرْتِفَاعُ.فَالْمَرْأَةُ النَّاشِزُ هِيَ الْمُرْتَفِعَةُ عَلَى زَوْجِهَا،التَّارِكَةُ لِأَمْرِهِ،الْـمُعْرِضَةُ عَنْهُ،الْـمُبْغِضَةُ لَهُ
An-Nusyuz adalah merasa lebih tinggi. Berarti wanita yang nusyuz adalah wanita yang merasa tinggi di atas suami-nya dengan meninggalkan perintahnya, berpaling dan membencinya. [3]
أَصْل النُّشُوز الِارْتِفَاع وَنُشُوز الْمَرْأَة هُوَ بُغْضهَا لِزَوْجِهَا وَرَفْع نَفْسهَا عَنْ طَاعَته وَالتَّكَبُّر عَلَيْهِ
Makna asal kata Nusyuz adalah ketinggian. Wanita yang nusyuz adalah wanita yang marah terhadap suaminya, meninggikan diri dengan meninggalkan ketaatan terhadap suaminya, serta sombong kepadanya.[4]
Pemakaian kata an-nusyuuz kemudian berkembang menjadi ”Al-’Ishyaan” yang berarti ”durhaka”. Sikap ”durhaka” atau sikap tidak patuh adalah terjadi karena tidak menunaikan hak dan kewajiban dari salah seorang diantara suami dan isteri. Dan salah satu contoh nusyuz dari pihak suami ialah bersikap keras atau kasar terhadap isterinya; tidak mau menggaulinya dan tidak mau memberikan haknya; sedangkan nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya, dll.
Ketika nusyuz itu datang dari pihak isteri, maka Allah memerintahkan kepada suami untuk memberi pelajaran kepada isteri yang dikhawatirkan pembangkangannya. Dan yang pertama sekali harus dilakukan oleh suami adalah memberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat, barulah dipisahkan dari tempat tidur, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas, pukulan yang tidak berbahaya. Bila cara pertama telah ada manfaatnya, janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya. Firman Allah :
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا
wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. (QS. An-Nisa : 34)
Wanita yang nusyuz adalah wanita yang merasa tinggi di atas suami-nya dengan meninggalkan perintahnya, berpaling dan membencinya. Ketika tanda-tanda nusyuz itu timbul dari seorang isteri, maka segeralah sang suami memberikan nasehat dan mengingatkan sang isteri dengan azab Allah, jika durhaka kepada suaminya. Karena Allah telah mewajibkan atas isteri untuk memenuhi hak suami, dengan ketaatan kepada suami, serta mengharamkan durhaka kepadanya, karena keutamaan dan kelebihan yang dimiliki seorang suami atas isterinya.
Rasulullah saw menuturkan dalam sabdanya tentang kewajiab isteri untuk taat kepada  suaminya, antara lain : 
أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ قَالَ حَدَّثَنَا اللَّيْثُ عَنْ ابْنِ عَجْلَانَ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ . (رواه النسائي : 3179 – سنن النسائي– المكتبة الشاملة – الجزء  10  صفحة : 333)
Telah mengabarkan kepada kami Qutaibah, ia berkata : Telah menceritakan kepda kami Al-Laits, dari Ibnu ‘Ajlan, dari Sa’id Al-Maqbari, dari Abi Hurairah, ia berkata : Rasulullah saw ditanya : Wanita yang bagaimanakah yang terbaik? Beliau menjawab yang menyenangkan suami tatkala melihatnya, taat tatkala suami memerintah, tidak menyalahi suaminya dalam mengurus diri dan harta, hingga melakukan yang tidak disenangi. (HR. An-Nasai : 3179, Sunan. An-Nasai, Al-Maktabah Asyamilah, juz 10, hal. 333)
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ حَدَّثَنَا النَّضْرُ بْنُ شُمَيْلٍ أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا. (رواه الترمذي :1079 – سنن الترمذي – المكتبة الشاملة – الجزء 4  صفحة :386)
Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Ghailan, telah menceritakan kepada kami An-Nadlar bin Syumail, telah mengabarkan kepada kami Muhammad  bin ‘Amr, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah, dari Nabi saw, beliau bersabda : Seandainya aku boleh menyuruh seorang sujud kepada seseorang, maka aku akan perintahkan seorang wanita sujud kepada suaminya. (HR. Tirmidzi : 1079, Sunan Tirmidzi, Al-Maktabah Asyamilah, juz 4, hal. 386)
Sujud merupakan bentuk ketundukan, sehingga hadits tersebut di atas mengandung makna bahwa suami mendapatkan hak terbesar atas ketaatan isteri kepadanya. Sedangkan kata : “Seandainya aku boleh…,” menunjukkan bahwa sujud kepada manusia tidak boleh (dilarang) dan hukumnya haram.
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ. (رواه  البخاري : 2998 صحيح البخاري– المكتبة الشاملة – الجزء  11  صفحة : 14)
Telah menceritakan kepad kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awanah dari Al-A’masy, dari Abu Hazim, dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Rasulullah saw telah bersabda : Apabila seorang lelaki memanggil istrinya ke tempat tidur, kemudian si istri enggan  mendatanginya (menolak), lalu suaminya semalaman marah terhadapnya, maka para malaikat melaknatinya sampai pagi hari. (HR. Bukhari :  2998, shahih Bukhari, Al-Maktabah Asyamilah, juz 11, hal. 14)
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ حَدَّثَنَا أَبُو الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لَا يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَلَا تَأْذَنَ فِي بَيْتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ نَفَقَةٍ عَنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَإِنَّهُ يُؤَدَّى إِلَيْهِ شَطْرُهُ. (رواه البخاري :  4796 -صحيح البخاري– المكتبة الشاملة – الجزء   16  صفحة :  199)
Telah menceritakan kepada kami Abu Al-Yaman, telah mengabarkan  kepada kami Syu’aib,  telah menceritakan kepada kami Abu Az-Zinad, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah ra. Bahwa Rasulullah saw bersabda : Tidak halal bagi seorang wanita untuk berpuasa (puasa sunnah),   sedangkan suaminya ada,  kecuali dengan izinnya. Tidak halal bagi seorang wanita untuk mengizinkan orang lain masuk ke rumahnya, kecuali dengan izinnya.  Apa yang wanita nafqahkan tanpa perintah  suaminya, maka setengahnya mesti dibayar pada suaminya. (HR. Bukhari : 4796, shahih Bukhari, Al-Maktabah Asyamilah, juz 16, hal. 199)
Suami yang nusyuz adalah suami yang menampakkan sikap tak acuh hingga berpisah ranjang daripadanya dan melalaikan pemberian nafkahnya, adakalanya karena marah atau karena matanya telah terpikat kepada wanita  lain, maka boleh bagi keduanya mengadakan perdamaian, perbaikan dan pendekatan secara baik-baik. Perhatikan firman Allah berikut :
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحَّ وَإِنْ تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. An-Nisa :128)
Asbabun Nuzul surah An-Nisa ayat 128
Suatu ketika  Saudah binti Zam’ah setelah berusia lanjut dan dalam hatinya timbul keragu-raguan dan khawatir diceraikan oleh Rasulullah Saw, dia berkata : “Wahai Rasulullah, hari giliranku aku hadiahkan kepada Aisyah”. Sehubungan dengan hal itu Allah Swt menurunkan ayat ke 128 sebagai ketegasan, bahwa seorang istri boleh menghadiahkan gilirannya kepada istri yang lain, sebagimana yang telah dilakukan Saudah binti Zam’ah istri Rasulullah Saw. (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Hakim dari Aisyah. Imam Tirmidzi meriwayatkan pula yang bersumber dari Ibnu Abbas).
Dalam riwayat yang lain, ada seorang wanita datang kepada suaminya seraya berkata : “Aku ridla mendapat nafkah lahiriah saja darimu, sekalipun tidak mendapat giliran nafkah batin, asalkan tidak diceraikan. Sehubungan dengan kata-kata seorang istri itu Allah Swt menurunkan ayat ini sampai akhir ayat, yang dengan tegas memberikan keterangan bahwa seorang istri diperbolehkan memberikan gilirannya kepada istri yang lain atau mempersilahkan suaminya menikah lagi, sekiranya si istri sudah tidak mampu melayani hubungan seksual, dengan mengajukan permohonan agar tidak diceraikan. Sebagai suami seharusnya mengabulkan permohonan istrinya untuk tidak menceraikan. (Diriwayatkan  Ibnu Jarir yang bersumber dari Sa’id bin Jubair)[5]
Suami Nusyuz Kepada Istri
Perilaku durhaka (nusyuz) suami  kepada istri sangat banyak bentuknya, antara lain sebagai berikut : Tidak mau melunasi hutang mahar (mas kawin), menarik kembali mahar tanpa keridloan istri, menelantarkan belanja istri, tidak menyediakan tempat tinggal buat istri/menelantarkan istri, tidak memberi kebutuhan seksual istri, memperlakukan istri dengan kasar, mengajak istri berbuat dosa,  membebani kerja istri diluar kemampuannya, tidak adil dalam memberikan nafkah lahir dan bathin  istri–istrinya (bagi yang berpoligami), mengusir istri dari rumahnya, melimpahkan tanggungjawab suami kepada istri, menuduh istri berbuat zina tanpa bukti sah, menceraikan istri dengan sewenang-wenang, tanpa alasan yang dibenarkan oleh Syar’i, menyebarkan rahasia hubungan suami istri kepada orang lain (membeberkan kelemahan istri kepada orang lain), mencari-cari kesalahan istri, melupakan jasa baik istri, membanding-bandingkan istri dengan orang lain (merendahkan martabat istri di depan orang), tidak memberi nafkah istri saat dalam masa iddah, dan lain sebagainya.[6] Perilaku durhaka (Nusyuz) suami terhadap istri diatas sudah sering kita saksikan dalam kehidupan sehari-hari atau bahkan secara tidak sadar, mungkin kita pernah khilaf melakukannya. Masih ada waktu untuk memperbaiki diri,  menjadikan keluarga kita sebagai sarana ibadah demi mencari ridha Allah.
KESIMPULAN
Nusyuz yaitu meninggalkan kewajiban bersuami istri. Jika terjadi nusyuz suami-istri sebaiknya menempuh langkah yang terbaik, yaitu diadakan perdamaian diantara keduanya. Karena memberi maaf dan perdamaian itu adalah perbuatan yang lebih baik. Kita merujuk dari ajaran islam yang menjunjung tinggi ajaran yang penuh kasih sayang, damai, tanpa ada kekerasan. Kalau pasangan suami istri menyadari hal itu akan terwujud keluarga yang sejahtera seperti apa yang diidam-idamkannya, yaitu keluarga yang sakinah, mawadah wa rahmah.



[1]. Kamus Arab – Indonesia oleh Prof. DR. H. Mahmud Yunus, PT.Hidakarya Agung Jakarata, tanpa tahun, hal. 452
[2]. Baca kitab Syarai’ul Islam fi mk asailil halal, Imamiyyah, ,  Al-Maktbah Asy-Syamilah, juz 2, hal. 499   
[3]. Baca tafsir Ibnu Katsir, Al-Maktbah Asy-Syamilah, juz 2, hal. 294  
[4]. Baca Syarah hadits ‘Awnul Ma’buud,  Al-Maktbah Asy-Syamilah, juz 5, hal. 30  
[5]. Baca kitab Asbabun Nuzul oleh Imam As-Suyuthy, Darul Fajr Lit-Turats, Kairo Mesir, 2002M,hal. 146
[6]. https://hermanaalwi.wordpress.com/2013/05/28/30-ciri-suami-durhakanusyuz-kepada-istri/