Rabu, 04 Januari 2017

BERBILANGAN ISTERI (POLIGAMI)



POLIGAMI ATAU MONOGAMI
Ayat Al-Qur’an yang mengizinkan poligami hanya terdapat satu ayat, yaitu dalam surat An-Nisa’ ayat 3 sebagai berikut :
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا
Dan jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kalian mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kalian miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. An-Nisa’ : 3)
 Ayat 3 surat An-Nisa’ ini sebagai kelanjutan dari ayat 2 sebelumnya yang membicarakan tentang tata cara memelihara anak yatim, agar tidak terdapat kecurangan dan kezaliman terhadap hak-hak si yatim itu. Curang atau aniaya terhadap anak yatim sungguh sangat berat dosanya. Boleh jadi terbersit dalam hati kita : “Si Yatim ini lebih baik aku nikahi biar tetap berada dalam rumahku, kecantikannya dapat aku persunting, hartanya akan tetap aman dalam genggamanku dan maskawinnya dapat aku bayar dengan murah atau bahkan aku cukup menyebut dengan angka-angka saja.” Sunggah amat nista bila kita mempunyai pikiran seperti itu. Bila pemikiran kotor itu telah terlukis dalam dada, biar si yatim tidak menjadi korban, lebih baik mencari saja wanita lain yang disenangi : dua, tiga atau empat.
Untuk mendapatkan pengetahuan yang lebih jelas, baiklah kita cermati goresan pena imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya yang menyinggung penjelasan ‘Aisyah, salah seorang isteri Rasulullah saw. Suatu ketika Urwah bin Zubair bertanya kepada ‘Aisyah tentang asal mula datangnya ayat ini. ‘Aisyah menjawab : Wahai keponakanku! Ayat ini berkenaan dengan seorang anak perempuan yatim yang berada dalam asuhan walinya, hartanya bercampur dengan harta sang wali. Dan sang wali tergiur akan harta dan kecantikannya, sehingga timbul hasrat hendak menikahinya, tanpa membayar maskawin secara adil sebagaimana pembayaran yang diberikan terhadap perempuan lainnya. Oleh karena niat yang buruk itu, maka dilaranglah sang wali melangsungkan pernikahan dengan sang anak asuhnya itu, kecuali jika dia dapat membayar maskawinnya secara adil, dan sampai kepada tingkatan yang layak seperti yang diberikan kepada perempuan lain. Dan daripada berbuat seperti niatnya yang buruk itu, dia dianjurkan menikahi perempuan lain yang disenangi walaupun sampai empat.[1] Ayat ini membatasi poligami sampai empat orang saja.
Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu, antara lain yang tegas dan sangat berat langsung disebutkan oleh Allah dalam Al-Qur’an yaitu “ADIL”. Sebelum kita melakukan poligami, coba kita merenung sejenak, seberapa besar kemampuan kita untuk berbuat “ADIL”, kemudian renungkan secara mendalam firman Allah surat An-Nisa’ ayat 129 berikut ini :
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (kalian), walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kalian terlalu cenderung (kepada yang kalian cintai), sehingga kalian biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kalian mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa’ : 129)
Sebelum turun ayat ini, poligami sudah ada, dan bahkan masyarakat Jahiliyah berbangga diri bila mempunyai isteri banyak, karena pintu memperoleh anak banyak-pun terbuka lebar. Dan mempunyai anak banyak merupakan kebanggan tersendiri bagi mereka. Poligami pernah pula dijalankan oleh para Nabi sebelum Nabi Muhammad saw. Akan tetapi, pantaslah kita merenung, kenapa Rasulullah saw, tidak suka putrinya yang bernama Fathimah di madu. Perhatikan sabda Nabi saw berikut ini :
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يُونُسَ وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ كِلَاهُمَا عَنْ اللَّيْثِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ ابْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا لَيْثٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ الْقُرَشِيُّ التَّيْمِيُّ أَنَّ الْمِسْوَرَ بْنَ مَخْرَمَةَ حَدَّثَهُ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ وَهُوَ يَقُولُ إِنَّ بَنِي هِشَامِ بْنِ الْمُغِيرَةِ اسْتَأْذَنُونِي أَنْ يُنْكِحُوا ابْنَتَهُمْ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ فَلَا آذَنُ لَهُمْ ثُمَّ لَا آذَنُ لَهُمْ ثُمَّ لَا آذَنُ لَهُمْ إِلَّا أَنْ يُحِبَّ ابْنُ أَبِي طَالِبٍ أَنْ يُطَلِّقَ ابْنَتِي وَيَنْكِحَ ابْنَتَهُمْ فَإِنَّمَا ابْنَتِي بَضْعَةٌ مِنِّي يَرِيبُنِي مَا رَابَهَا وَيُؤْذِينِي مَا آذَاهَا.(رواه مسلم :4482- صحيح مسلم– المكتبة الشاملة– الجزء : 1- صفحة:202)   
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Abdillah bin Yunus dan Qutaibah bin Sa’id, keduanya dari Al-Laits bin S’ad. Ibnu Yunus berkata : Telah menceritakan kepada kami Laits, telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Ubaidillah bin Abi Mulaikah Al-Qurasyi At-Taimy, bahwa  Miswar bin Makhramah telah menceritakannya, bahwa ia mendengar Rasululah saw, bersabda pada saat beliau sedang berada di atas mimbar : Sesungguhnya Bani Hisyam bin Mughirah telah meminta izin kepadaku untuk menikahkan putri-putrinya dengan Ali bin Abi Thalib, maka saya tidak memberikan izin kepada mereka, kemudian saya tidak memberikan izin kepada mereka, kemudian saya tidak memberikan izin kepada mereka (beliau mengulangi sampai tiga kali), kecuali Ibnu Abi Thalib mau menceraikan putriku (Fathimah), lalu silahkan menikahi putri-putri mereka. Maka sesungguhnya putriku itu adalah bagian dariku, dapat menggelisahkan aku apa yang menggelisahkan dia, dan dapat menyakiti aku apa yang menyakiti dia. (HR. Muslim : 4482, shahih Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz : 1, hal. 202).
 Kita kembali kepada surat An-Nisa’ ayat 3 yang berada pada bagian ujung yang tidak boleh kita lupakan : “Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. Sangat jelas bagi kita, jika takut tidak adil lebih baik satu saja. Artinya, sebelum menambah isteri kita disuruh berpikir matang terlebih dahulul. Dan dibagian paling ujung sangat jelas pula, bahwa Allah memberikan pujian bagi orang yang beristeri satu, karena lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Dengan kata lain, beristeri lebih dari satu berpotensi terjadinya penganiayaan, dan penganiayaan itu sangat dibenci oleh Allah. Kita tinggal memilih, mau mendekat kepada pujian Allah atau sebaliknya.
Pernikahan yang ideal adalah monogamy, bukan poligami. Pernikahan yang mendapatkan pengesahan dari Allah sebagai perjanjian yang kuat (mitsaaqan ghalizhan) antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan agar “supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang” (Baca QS. Ar-Ruum ayat 21). Ketenteraman sulit untuk dirasakan dengan hanya sibuk menyelesaikan masalah isteri-isteri yang banyak itu.
Tidak pantaslah kita berdalih karena hendak mengikuti “Sunnah” Rasulullah saw dan para sahabatnya yang umumnya beristeri lebih dari satu. Kalau hendak mengikuti sunnah Rasulullah saw, ikutilah tata cara beliau berlaku adil dalam banyak hal,  sebab beliau ternyata tidak suka putrinya di madu.
Rangkaian kata sebagai bahan renungan : Menceburkan diri dalam poligami tanpa pemikiran yang matang, bagaikan seekor kambing jantan yang digembalakan diantara dua ekor kambing betina. Bagaikan seekor kambing jantan yang berkeliling di antara dua ekor serigala. Keridlaan yang satu akan memicu kemarahan lainnya. Satu malam untuk yang ini dan satu malam untuk yang itu. Pada kedua malam, celaan akan selalu menerpa.
Lain lagi bila keadaan yang menghendaki terjadinya “poligami”, misalnya : isteri tidak dapat memenuhi kewajiban terhadap suami, isteri sakit yang berlarut-larut tak kunjung sembuh, atau isteri mandul, apa boleh buat, “Pintu Cadangan” boleh kita buka. Namun perlu adanya kejujuran dan sikap ridla sama ridla antara keduanya.
Keadilan Dalam Poligami
Seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seseorang wajib menjaga keadilan antara isteri-isterinya dengan seadil-adilnya, terutama menurut lahiriyahnya, berdasarkan firman Allah surat An-Nisa’ ayat 129 berikut ini :
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (kalian), walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kalian terlalu cenderung (kepada yang kalian cintai), sehingga kalian biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kalian mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa’ : 129)
Apabila  kecintaan itu cenderung ditampakkan kepada salah seorang isteri, tentu isteri yang lain akan disia-siakan, apalagi sampai tidak dikunjungi.  Nasib isteri yang tidak dikunjungi itu  seperti perempuan yang digantung tidak bertali. Dikatakan bersuami, tidak  ada  suami, dikatakan janda ternyata masih bersuami. Oleh karena itu, jika berdamai, karena takut melanggar, itulah yang lebih baik.[2] Hadits Rasulullah saw menyatakan :
حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ الطَّيَالِسِيُّ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ النَّضْرِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ بَشِيرِ بْنِ نَهِيكٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ فَمَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَشِقُّهُ مَائِلٌ. (رواه ابو داود : 1821- سنن ابو داود – المكتبة الشاملة – الجزء : 6 – صفحة : 33)
Telah menceritakan kepada kami Abu Al-Walid Ath-Thayalisi, telah menceritakan kepada kami Hammam, telah menceritakan kepada kami Qatadah, dari An-Nadlr bin Anas, dari Basyir bin Nahik, dari Abu Hurairah, dari Nabi saw, beliau bersabda : “Barangsiapa yang beristeri dua orang, lalu ia cenderung kepada salah seorang antara keduanya (tidak adil), ia datang di hari kiamat dengan badan miring.” (HR. Abu Dawud : 1821, Sunan Abu Dawud, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz : 6, hal.33)
Dalam tafsir Al-Maraghi dapat disimpulkan mengenai keadilan berpoligami yang terkandung dalam Surat An-Nisa’ ayat 129, bahwa diwajibkan bagi suami memelihara keadilan semaksimal mungkin diantara para isterinya. Meskipun merupakan hal yang mustahil ditegakkan tetapi hendaklah berusaha bersikap adil semaksimal mungkin sehingga tidak membuat para isteri diabaiakan. Keadilan yang dibebankan oleh Allah disesuaikan dengan kemampuan suami yaitu memperlakukan para isteri dengan baik dan tidak mengutamakan sebagian yang lain dalam hal-hal yang termasuk dalam ikhtiar, seperti pembagian giliran dan nafkah. Dan Allah swt akan mengampuni dalam selain hal tersebut seperti kecintaan, kelebihan penyambutan dan lain sebagainya.[3]  
Yang dimaksud dengan pembagian yang seadil-adilnya, ialah dalam hal pembagian giliran dan pemberian nafkah. Nafkah sendiri meliputi : biaya hidup (nafaqah), pakaian (kiswa), dan tempat tinggal (maskan).[4]   Dalam hal ini Allah swt berfirman :
.....وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ.....
“…Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf…” (QS. Al-Baqarah : 228)
Adapun perkara membagi kecintaan dan kasih sayang, tidak seorangpun dibebani, sebab soal menjatuhkan cinta dan kasih sayang di dalam hati, bukanlah urusan manusia, tetapi urusan Allah. Oleh sebab itu, soal cinta dan kasih sayang boleh berlebih bagi yang lain, sebab berada diluar kekuasaan manusia. Maka apa yang dinyatakan Allah dalam ayat di atas :  Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (kalian)”, yaitu dalam perkara cinta, dan cinta itu bukanlah keadilan lahiriah. Hadits Rasulullah saw menyebutkan sebagai berikut :  
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَعِيلَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ أَبِي قِلَابَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يَزِيدَ الْخَطْمِيِّ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْسِمُ فَيَعْدِلُ وَيَقُولُ اللَّهُمَّ هَذَا قَسْمِي فِيمَا أَمْلِكُ فَلَا تَلُمْنِي فِيمَا تَمْلِكُ وَلَا أَمْلِكُ. (رواه ابو داود : 1822  - سنن ابو داود – المكتبة الشاملة – الجزء : 6 – صفحة : 34)
Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma’il, telah menceritakan kepada kami Hammad, dari Ayyub, dari Abu Qilabah, dari Abdullah bin Yazid Al-Khathmi, dari ’Aisyah, ia berkata : Rasulullah saw selalu membagi (sesuatu) terhadap para istrinya dengan adil. Beliau bersabda : "Ya Allah, inilah pembagianku sesuai dengan yang aku miliki, maka janganlah Engkau mencela dengan apa yang Engkau miliki (kecintaan di daam hati), dan aku tidak memiliknya. (HR. Abu Dawud : 1822, Sunan Abu Dawud, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz : 6, hal. 34)
Adil Dalam Pembagian Giliran
Salah satu pembagian yang penting dilakukan oleh suami terhadap para isterinya ialah pembagian giliran. Hadits Rasulullah saw menyatakan :
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ يَعْنِي ابْنَ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَتْ عَائِشَةُ يَا ابْنَ أُخْتِي كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُفَضِّلُ بَعْضَنَا عَلَى بَعْضٍ فِي الْقَسْمِ مِنْ مُكْثِهِ عِنْدَنَا وَكَانَ قَلَّ يَوْمٌ إِلَّا وَهُوَ يَطُوفُ عَلَيْنَا جَمِيعًا فَيَدْنُو مِنْ كُلِّ امْرَأَةٍ مِنْ غَيْرِ مَسِيسٍ حَتَّى يَبْلُغَ إِلَى الَّتِي هُوَ يَوْمُهَا فَيَبِيتَ عِنْدَهَا وَلَقَدْ قَالَتْ سَوْدَةُ بِنْتُ زَمْعَةَ حِينَ أَسَنَّتْ وَفَرِقَتْ أَنْ يُفَارِقَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ يَوْمِي لِعَائِشَةَ فَقَبِلَ ذَلِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهَا. (رواه ابو داود :  1823 - سنن ابو داود – المكتبة الشاملة – الجزء : 6 – صفحة :  35)
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus, telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Abu Az-Zinad, dari Hisyam bin 'Urwah dari ayahnya, ia berkata; Aisyah berkata : Wahai anak saudariku, Rasulullah saw  tidak melebihkan sebagian kami atas sebagian yang lain dalam membagi waktu tinggalnya bersama kami. Setiap hari beliau mengelilingi kami semua dan mendekat kepada seluruh isteri tanpa menyentuh hingga sampai kepada rumah isteri yang hari itu merupakan bagiannya, kemudian beliau bermalam padanya. Sungguh Saudah binti Zam'ah ketika telah berusia lanjut dan takut ditinggalkan Rasulullah saw, ia berkata : Wahai Rasulullah, hariku untuk Aisyah. Dan Rasulullah saw  menerima hal tersebut. (HR. Abu Dawud : 1822, Sunan Abu Dawud, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz : 6, hal. 35
Bahkan apabila Rasulullah  saw hendak bepergian, beliau mengundi antara isteri-isterinya, dan siapa yang undiannya keluar, maka beliau keluar bersamanya, sebagaimana tertuang dalam hadits :
  حَدَّثَنَا حِبَّانُ بْنُ مُوسَى أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ أَخْبَرَنَا يُونُسُ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ سَفَرًا أَقْرَعَ بَيْنَ نِسَائِهِ فَأَيَّتُهُنَّ خَرَجَ سَهْمُهَا خَرَجَ بِهَا مَعَهُ. (رواه البخاري : 2404 – صحيح البخاري – المكتبة الشاملة – الجزء : 9 – صفحة : 48)
Telah menceritakan kepada kami Hibban bin Musa, telah mengabarkan kepada kami Abdullah, telah mengabarkan kepada kami Yunus, dari Az-Zuhri, dari 'Aisyah ra,  berkata : Rasulullah saw bila ingin bepergian, beliau mengundi antara istri-istrinya, maka siapa yang undiannya keluar, beliau keluar bersamanya. (HR. Bukhari : 2404, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz : 9, hal. 48)
Adil Atas Biaya Hidup Dan Pakaian
Kewajiban menafkahi bagi seorang suami selanjutnya ialah dalam hal biaya untuk kebutuhan hidup dan pakaian bagi isteri. Allah swt berfirman :
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا
“Dan kewajiban seorang ayah memberi makan dan pakaian kepada ibu (isteri) dengan cara yang baik. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadarnya.” (QS. Al-Baqarah: 233)
Memeberikan nafkah menurut kadar kemampuannya, sesuai dengan yang diisyaratkan oleh Al-Qur’an :
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آَتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (QS.Al-Thalaq : 7).






[1]. Baca tafsir Ibnu Katsir, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz 2, hal. 209
[2]. Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin S. Fiqih Madzhab Syafi’i (Edisi lengkap) Buku 2, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007, Hal. 327  
[3]. Ahmad  Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Toha Putra: Semarang, 1993, hal. 289-290.
[4]. Syekh Abu Bakar Syatho al-Dimyathiy, I’anatu al-Tholibin Juz 3, Beirut: Dar al-Fikr, 1422 H/2002 M, hal. 421.