Selasa, 15 November 2016

SURAT AL-BAQARAH AYAT 39



AL-BAQARAH AYAT 39
وَالَّذِينَ كَفَرُوا وَكَذَّبُوا بِآَيَاتِنَا أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
Awal ayat berbunyi : وَالَّذِينَ كَفَرُوا وَكَذَّبُوا بِآَيَاتِنَا (Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami). Kata “kafir” makna asalnya adalah “tertutup”.[1] Dikatakan tertutup karena hatinya tidak bisa dimasuki oleh iman.[2] Kafir adalah lawan dari iman. Artinya, mereka mengingkari ayat-ayat Allah dan mendustakan para Rasul-Nya.[3]
Yang dimaksud dengan ayat-ayat Allah adalah kitab-kitab-Nya.[4] Dan sebagian Ulama mengatakan, bahwa yang  dimaksud dengan ayat-ayat Allah adalah Al-Qur’an[5]. Karena mereka mengingkari ayat-ayat Allah dan mendustakan para Rasul-Nya, maka mereka semua itu kelak akan diazab dalam api neraka, dan mereka kekal di dalamnya.
Akhir ayat berbunyi : أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (mereka itu penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya). Artinya, orang-orang yang kafir dan mendustakan kitab-kitab Allah, kelak akan menjadi penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya, mereka tetap tinggal di sana untuk selama-lamanya, tidak akan mati dan tidak pula akan keluar. [6]
Dalam ayat tersebut digunakan lafaz "Ash-Haab" jamak dari kata “shaahib” yang artinya "kawan", yakni mereka orang-orang kafir itu adalah kawan-kawan neraka yang selalu bersama dengannya sebagaimana bersamanya seseorang dengan kawannya.
Orang-orang kafir yang menjadi penghuni kekal dalam neraka, mereka tidak mati dan tidak hidup di dalamnya, karena mereka selamanya diazab terus menerus. Namun orang-orang  yang masuk neraka disebabkan oleh dosa-dosanya, maka matilah mereka karena api neraka, sehinggga tatkala mereka menjadi arang, diizinkanlah untuk mendapatkan syafa’at, dan pada akhirnya mereka akan dikeluarkan dari neraka. Hadits Nabi :
و حَدَّثَنِي نَصْرُ بْنُ عَلِيٍّ الْجَهْضَمِيُّ حَدَّثَنَا بِشْرٌ يَعْنِي ابْنَ الْمُفَضَّلِ عَنْ أَبِي مَسْلَمَةَ عَنْ أَبِي نَضْرَةَ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَمَّا أَهْلُ النَّارِ الَّذِينَ هُمْ أَهْلُهَا فَإِنَّهُمْ لَا يَمُوتُونَ فِيهَا وَلَا يَحْيَوْنَ وَلَكِنْ نَاسٌ أَصَابَتْهُمْ النَّارُ بِذُنُوبِهِمْ أَوْ قَالَ بِخَطَايَاهُمْ فَأَمَاتَهُمْ إِمَاتَةً حَتَّى إِذَا كَانُوا فَحْمًا أُذِنَ بِالشَّفَاعَةِ فَجِيءَ بِهِمْ ضَبَائِرَ ضَبَائِرَ فَبُثُّوا عَلَى أَنْهَارِ الْجَنَّةِ ثُمَّ قِيلَ يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ أَفِيضُوا عَلَيْهِمْ فَيَنْبُتُونَ نَبَاتَ الْحِبَّةِ تَكُونُ فِي حَمِيلِ السَّيْلِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ الْقَوْمِ كَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ كَانَ بِالْبَادِيَةِ. (رواه مسلم : 271 – صحيح مسلم– المكتبة الشاملة – باب ا ثبات الشفاعة واخراج الموجدين من النار- الجزء : 1  – صفحة :  430)
Telah menceritakan kepadaku Nashr bin Ali Al-Jahdhamy, telah menceritakan kepada kami Bisyr, yakni Ibnu Al-Mufadhdhal, dari  Abi Maslamah, dari Abi Nadhrah, dari Abi Sa’id, ia berkata : Rasulullah saw bersabda : Adapun ahli neraka yang menjadi penghuni kekalnya, maka mereka tidak mati di dalamnya dan tidak hidup. Akan tetapi orang-orang yang ditimpa oleh siksa neraka karena dosa-dosanya –atau Rasul bersabda, karena kesalahan-kesalahannya-, maka Allah akan mematikan mereka dengan suatu kematian. Sehingga apabila mereka telah menjadi arang, Nabi diizinkan untuk memberikan syafa’at (kepada mereka). Lalu mereka di datangkan berkelompok-kelompok secara terpisah-pisah, lalu dimasukkan ke sungai-sungai di surga. Selanjutnya dikatakan (oleh Allah): “Wahai penghuni surga, kucurkanlah air kehidupan kepada mereka”. Maka tumbuhlah mereka laksana tumbuhnya benih-benih tetumbuhan di larutan lumpur yang dihempaskan arus air. Seseorang di antara sahabat berkata : Seakan-akan Rasulullah saw berada di padang gembalaan di suatu perkampungan. (HR.Muslim : 271, Shahih Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Itsbatus-Syaf’ah wa ikhrajul muhidin minan naar, juz 1, hal : 430)
Dalam ayat ini (ayat 38 – 39) dan ayat-ayat yang semisalnya terdapat dalil tentang pengelompokan makhluk dari jin dan manusia kepada kelompok bahagia dan kelompok sengsara, juga terdapat penjelasan tentang sifat-sifat kedua kelompok tersebut, serta amalan-amalan yang menjadi sebabnya. Dan bahwasanya jin itu seperti manusia dalam hal pahala dan hukuman sebagaimana mereka juga sama dengan manusia dalam hal perintah maupun larangan.[7]
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ (الذاريات :56)
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.




[1]. Baca tafsir An-Nukatu wal-‘Uyun, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab 6, juz 1, hal. 14
[2].  Baca tafsir Ibnu ‘Arafah, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab 6, juz 1, hal. 16
[3]. Baca tafsir  Ath-Thabariy, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz 1, hal. 552
[4]. Baca tafsir  Jalalain, Al-Maktabah Asy-Syamilah,  juz 1, hal. 45
[5]. Baca tafsir Ibnu Abi Hatim,  Al-Maktabah Asy-Syamilah,  juz 1, hal. 110
[6]. Baca tafsir  Jalalain, Al-Maktabah Asy-Syamilah,  juz 1, hal. 45
[7].  Baca tafsir  As-Sa’dy,  Al-Maktabah Asy-Syamilah,  juz 1, hal. 50

Minggu, 13 November 2016

MENYAMPAIKAN MATERI DA'WAH, LISAN DAN TULISAN




 MENYAMPAIKAN MATERI DA’WAH, LISAN DAN TULISAN
  
 Dengan :
1.   Kata-kata yang baik
2.   Perkataan yang benar
3.   Perkataan yang baligh (dewasa), yaitu mengandung nasehat yang berbekas pada jiwa
4.   Perkataan yang mulia
5.   kata-kata yang lemah lembut

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ (فصلت :33)
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang muslim (yang menyerahkan diri kepada Allah?"
وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا (النساء :5، 8)
dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.
فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا (النساء :9)
dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.
وَقُلْ لَهُمْ فِي أَنْفُسِهِمْ قَوْلًا بَلِيغًا (النساء :63)
dan Katakanlah kepada mereka Perkataan yang baligh (berbekas pada jiwa sebagai nasehat)
وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا (الإسراء : 23 )
dan ucapkanlah kepada mereka Perkataan yang mulia
فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى (طه :44)
Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, Mudah-mudahan ia ingat atau takut".

Jumat, 04 November 2016

MAHRAM



MAHRAM
Tidak sedikit kaum muslimin yang belum mengerti  tentang Mahram, bahkan mengucapkan istilahnya-pun masih sering keliru, misalkan mereka menyebut dengan kata “Muhrim”, padahal muhrim itu artinya adalah orang yang sedang berihram untuk haji atau umrah. Sedangkan arti “Mahram” adalah semua orang yang haram untuk dinikahi.[1] Ada  yang haram untuk dinikahi selamanya (muabbad), dan ada pula yang haram dinikahi untuk sementara (muaqqat). Dalil tentang mahram antara lain adalah firman Allah dalam surat An-Nisa’ ayat 23  sebagai berikut :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُوَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
Diharamkan atas kalian (mengawini) ibu-ibu kalian, anak-anak kalian yang perempuan, saudara-saudara kalian yang perempuan, saudara-saudara bapak kalian yang perempuan, saudara-saudara ibu kalian yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudara kalian yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudara kalian yang perempuan, ibu-ibu yang menyusukan kalian, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu isteri kalian (mertua), anak-anak isteri kalian yang dalam pemeliharaan kalian dari isteri yang kalian campuri, tetapi jika kalian belum campur dengan isteri kalian itu (dan sudah kalian ceraikan), maka tidak berdosa kalian  mengawininya, (dan diharamkam bagi kalian) isteri-isteri anak kandung kalian (menantu), dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masalampau, sesunggguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. An-Nisa’ : 23)
Para pakar hukum Islam mengelompokkan wanita yang haram dinikahi ke dalam tiga kelompok, yaitu  :
1.  Kelompok yang haram dinikahi karena pertalian Nasab (keturunan),
2.  kelompok yang haram dinikahi karena pertalian Radha’ah (persusuan),
3.  Kelompok yang haram dinikahi karena pertalian Mushaharah (perkawinan).
Tiga kelompok tersebut masuk dalam mahram Muabbad, yaitu golongan mahram yang tidak boleh dinikahi untuk selamanya secara terus menerus. Dan  ditambah satu lagi, yaitu haram “menghimpunkan dua perempuan yang bersaudara” dalam pernikahan, dan masuk dalam mahram Muaqqat, yaitu golongan mahram yang tidak boleh dinikahi pada kondisi tertentu saja. Bila kondisi itu telah hilang; umpama isterinya sudah  meninggal atau sudah bercerai, maka diperbolehkan menikahi adik atau kakak dari mantan isterinya.   
Wanita yang haram dinikahi menurut ketentuan nash ada  14 (empat belas)[2] dengan perincian sebagai berikut :
A.   Pertalian Nasab (keturunan)
Wanita yang haram dinikahi karena pertalian nasab (keturunan)  ada 7 (tujuh), yaitu :
1.  Ibu, dan seterusnya menurut garis lurus ke atas,  
2.  Anak perempuan, dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah,
3.  Saudara perempuan,
4.  Bibi (saudara perempuan ayah)
5.  Bibi (saudara perempuan ibu)
6.  Anak perempuan saudara laki-laki (ponakan),
7.  Anak perempuan saudara perempuan (ponakan).
Tujuh wanita yang haram dinikahi karena pertalian nasab (keturunan) di atas berdasarkan firman Allah pada awal surat An-Nisa’ ayat 23  :
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ.....
Diharamkan atas kalian (mengawini) ibu-ibu kalian, anak-anak kalian yang perempuan, saudara-saudara kalian yang perempuan, saudara-saudara bapak kalian yang perempuan, saudara-saudara ibu kalian yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudara kalian yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudara kalian yang perempuan..... (QS. An-Nisa’ : 23)
B.   Pertalian Radha’ah (persusuan)
Wanita yang haram dinikahi karena pertalian Radha’ah (persusuan) ada 2 (dua)  yaitu :
1.  Wanita yang menyusukan dan seterusnya menurut garis lurus ke atas
2.  Wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah.
Dua wanita yang haram dinikahi karena pertalian Radha’ah (persusuan) di atas berdasarkan firman Allah pada pertengahan surat An-Nisa’ ayat 23  :
..... وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ.....
.....ibu-ibu yang menyusukan kalian, saudara perempuan sepersusuan.....(QS.An-Nisa’ : 23)
C.   Pertalian Mushaharah   (Perkawinan)
Wanita yang haram dinikahi karena pertalian Mushaharah (perkawinan)  ada 4 (empat), yaitu :
1.  Ibu dari isteri (mertua), dan seterusnya menurut garis lurus ke atas,
2.  Anak isteri (anak tiri), bila ayah telah bercampur dengan ibu,
3.  Isteri ayah, dan seterusnya menurut garis lurus ke atas,
4.  Isteri anak laki-lakai (menantu), dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah.
Wanita yang haram dinikahi karena pertalian mushaharah (perkawinan) di atas pada nomor urut 1, 2 dan 4 berdasarkan firman Allah pada pertengahan surat An-Nisa’ ayat 23.
.....وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُوَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ.....
ibu-ibu isteri kalian (mertua), anak-anak isteri kalian yang dalam pemeliharaan kalian dari isteri yang kalian campuri, tetapi jika kalian belum campur dengan isteri kalian itu (dan sudah kalian ceraikan), maka tidak berdosa kalian  mengawininya, (dan diharamkam bagi kalian) isteri-isteri anak kandung kalian (menantu). (QS. An-Nisa’ : 23)
Sedangkan nomor urut 3 tentang wanita yang haram dinikahi karena pertalian mushaharah (perkawinan) di atas berdasarkan firman Allah surat An-Nisa’ ayat 22  :
وَلَا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آَبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتًا وَسَاءَ سَبِيلًا
Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh). (QS. An-Nisa’ : 22)
D.   Mengumpulkan Dua Wanita Bersaudara
Dan terdapat satu lagi wanita yang haram dinikahi, yaitu menghimpunkan atau mengumpulkan dua wanita bersaudara. Diharamkan  dalam Islam, menikahi dua wanita sekaligus yang masih bersaudara, baik adik ataupun kakak isteri (ipar), baik wanita itu saudara senasab ataupun saudara sepersusuan. Dan diperbolehkan bila sudah bercerai. Keharaman menghimpunkan atau mengumpulkan dua wanita bersaudara dalam pernikahan berdasarkan firman Allah pada akhir  surat An-Nisa’ ayat 23 :
وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
dan (diharamkan atas kalian) menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masalampau, sesunggguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. An-Nisa’ : 23)
  
Mahram Dalam Makna Haram Menikahi Semata
Selain yang tersebut di atas, ada keadaan wanita tertentu yang menjadi haram dengan sendirinya untuk dinikahi, bukan disebabkan adanya hubungan seseorang dengannya, melainkan disebabkan oleh keadaan wanita itu sendiri secara individu. Keharaman ini bersifat bersifat Mu’aqqat atau sementara. Di antaranya:
1.  Istri orang lain, tidak boleh dinikahi tapi juga tidak boleh melihat auratnya.
2.  Saudara ipar, atau saudara wanita dari istri. Tidak boleh dinikahi tapi juga tidak boleh khalwat atau melihat sebagian auratnya. Hal yang sama juga berlaku bagi bibi dari istri.
3.  Wanita yang masih dalam masa ‘iddah, yaitu masa menunggu akibat dicerai suaminya atau ditinggal mati.
4.  Istri yang telah ditalak tiga.
5.  Menikah dalam keadaan Ihram, seorang yang sedang dalam keadaan berihram baik untuk haji atau umrah, dilarang menikah atau menikahkan orang lain.
6.  Menikahi wanita budak padahal mampu menikahi wanita merdeka.
7.  Menikahi wanita pezina.
8.  Menikahi istri yang telah dili`an, yaitu yang telah dicerai dengan cara dilaknat.
9.  Menikahi wanita non muslim yang bukan kitabiyah atau wanita musyrikah.




 Catatan : 

                       Dari daftar yang haram dinikahi di atas, kita pahami bahwa hubungan antara anak laki-laki seorang duda dengan anak wanita seorang janda atau sebaliknya, dibolehkan menikah,[1] karena keduanya “Bukanlah Termasuk Hubungan Mahram”, dimana orang tua masing-masing menikah.[2]  Artinya, saudara tiri bukan termasuk mahram”, sehingga berlaku semua hukum Bukan Mahram : Tidak boleh menampakkan aurat, tidak boleh berduaan, bersentuhan anggota badan, dan seterusnya. Mereka juga boleh menikah. Sehingga dalam satu keluarga, Ayah – ibunya menikah, boleh diikuti juga oleh pernikahan anak bawaan masing-masing.[3]


[1]. Baca kitab Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Masalah qaidah Al-Muaharramat finnikah nsaban, juz : 8, hal. 245
[2]. http://www.eramuslim.com/nikah/anak-janda-menikah-dengan-anak-duda-di-mana-orang-tua-mereka-menikah-bolehkah.htm#.WByPWvRszIU
[3]. https://konsultasisyariah.com/17866-hukum-menikahi-saudara-tiri.html  
 


[1]. https://id.wikipedia.org/wiki/Mahram
[2]. Baca kitab Kifayatul Akhyar oleh Imam Taqiyuddin,  juz 2, Darul ilmi, Surabaya, tanpa tahun, hal. 46 - 49  
[3]. http://www.eramuslim.com/nikah/anak-janda-menikah-dengan-anak-duda-di-mana-orang-tua-mereka-menikah-bolehkah.htm#.WByPWvRszIU
[4]. https://konsultasisyariah.com/17866-hukum-menikahi-saudara-tiri.html