Rabu, 26 Oktober 2016

Asbabun Nuzul surat At-Taubah ayat 122




وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (QS. At-Taubah : 122)
Asbabun Nuzul :
Dalam suatu riwayat dikemukakan,  bahwa ketika diturunkan firman-Nya berikut ini, yaitu, "Jika kalian tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kalian dengan siksa yang pedih." (Q.S. At-Taubah 39). Tersebutlah pada saat itu ada orang-orang yang tidak berangkat ke medan perang, mereka berada di daerah badui (pedalaman) karena sibuk mengajarkan agama kepada kaumnya. Maka orang-orang munafik memberikan komentarnya, "Sungguh masih ada orang-orang yang tertinggal di daerah-daerah pedalaman, maka celakalah orang-orang pedalaman itu." Kemudian turunlah firman-Nya yang menyatakan, "Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang)." (Q.S. At-Taubah 122).
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim yang bersumber dari Ikrimah)
Dalam suatu riwayat dikemukakan,  bahwa mengingat keinginan kaum Mukminin yang sangat besar terhadap masalah jihad, disebutkan bahwa bila Rasulullah saw. mengirimkan pasukan perang, maka mereka semuanya berangkat. Dan mereka meninggalkan Nabi saw. di Madinah bersama dengan orang-orang yang lemah. Maka turunlah firman Allah swt. yang paling atas tadi (yaitu surah At-Taubah ayat 122).
 (Diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim yang bersumber dari Abdullah bin Ubaid bin Umair)
Sumber :
Asbabun Nuzul oleh Imam  As-Suyuthi, Darul Fajr Lit-Turats, Kaero, 2002M, hal. 230

Rabu, 19 Oktober 2016

SURAT AL-BAQARAH AYAT 38



SURAT AL-BAQARAH AYAT 38
Ayat 38 surat Al-Baqarah ini masih membicarakan soal kisah Adam, Hawa dan setan. Setelah setan berhasil menggoda Adam dan Hawa’ untuk tidak mematuhi perintah Allah, maka mereka semua diperintah untuk turun dari surga ke bumi. Allah menegaskan dan sekaligus memberi peringatan bahwa jika nanti datang petunjuk dari-Nya, lalu petunjuk itu diikuti, dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, maka mereka tidak akan ada kekhawatiran dan tidak pula akan bersedih hati, mereka akan hidup damai, tenang dan bahagia dunia akhirat. Firman Allah :
قُلْنَا اهْبِطُوا مِنْهَا جَمِيعًا فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنْ تَبِعَ هُدَايَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Kami berfirman : "Turunlah kalian semuanya dari surga itu! kemudian jika datang petunjuk-Ku kepada kalian, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati"
Pada pertengahan ayat 36 surat Al-Baqarah telah terdapat perintah turun dari surga ke bumi kepada Adam, Hawa’ dan Setan yang menggelincirkan keduanya. Kemudian dalam ayat 38 ini terdapat pula perintah yang sama, yaitu : Turunlah kalian semuanya dari surga itu! Pengulangan perintah ini  adalah untuk mengokohkan atau menguatkan serta penegasan terhadap perintah tersebut.[1] 
Awal ayat 38 :  قُلْنَا اهْبِطُوا مِنْهَا جَمِيعًا Kami berfirman : "Turunlah kalian semuanya dari surga itu!” -  Allah telah memerintahkan Adam, Hawa’ dan Iblis  agar turun dari surga ke bumi karena mereka telah melakukan pelanggaran terhadap aturan Allah. Hal ini terjadi, setelah kedua insan tersebut digoda oleh setan supaya memakan buah dari pohon kekekalan  (Syajaratul Khuldi),[2] dan mereka berdua memakanny, karena menurut setan, orang yang memakan buahnya akan kekal, tidak akan mati.  Sedangkan Iblis, dia yang menggoda, memperdayakan keduanya sehingga mereka berdua melakukan pelanggaran itu.
Perintah “turun” kepada Adam, Hawa dan Iblis di dalam tafsir Al-Baghawi disebutkan, bahwa dua kali perintah itu berbeda antara perintah yang pertama dan perintah yang kedua. Perintah yang pertama adalah turun dari surga ke langit dunia; sedangkan perintah turun yang kedua adalah turun dari langit dunia ke bumi.[3]
Ayat ini menunjukkan, bahwa orang yang melakukan maksiat dengan melanggar larangan Allah akan kehilangan nikmat yang dimilikinya.[4] Mereka hidup senang dan tenang di dalam surga, lalu semua disuruh turun dari surga itu, yaitu tempat yang mulia, tempat yang penuh kenikmatan, tempat yang penuh kebahagian dalam naungan rahmat dan ridha Allah. Mereka tidak boleh lagi tinggal di sana, karena melanggar larangan Allah. Artinya, orang yang melakukan suatu perbuatan maksiat, ia akan mendapatkan balasannya, dan demikian pula orang yang mengajaknya atau menjadi penyebabnya, semuanya akan mendapatkan akibat dari perbuatannya.
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ
Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Tuhan-mu menganiaya hamba-hambaNya. (QS. Fushshilat : 46)
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا ثُمَّ إِلَى رَبِّكُمْ تُرْجَعُونَ
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, maka itu adalah untuk dirinya sendiri, dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, maka itu akan menimpa dirinya sendiri, kemudian kepada Tuhanmulah kamu dikembalikan. (QS. Al-Jaatsiyah : 15)
Pertengahan ayat 38 :  فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى  kemudian jika datang petunjuk-Ku kepada kalian”  - yaitu kapan pun petunjuk-Ku datang kepada kalian wahai sekalian makhluk, berupa seorang Rasul dan sebuah kitab yang menunjukkan kalian kepada perkara yang mendekatkan kalian kepada-Ku dan kepada ridha-Ku, فَمَنْ تَبِعَ هُدَايَ “maka barangsiapa di antara kalian yang mengikuti petunjukKu”, yaitu dengan beriman kepada Rasul-Ku dan kitab-Ku lalu mengambil petunjuk dari mereka, dan hal tersebut direaliasikan dengan membenarkan segala kabar-kabar para Rasul dari kitab-kitab, dan menunaikan perintah-perintah serta menjauhi larangan-larangan فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ “Niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak pula mereka bersedih hati”.[5]  
Yang dimaksud dengan kata “kalian”  pada pertengan ini yaitu anak keturunan Adan dan Hawa’, bahwa Allah akan menurunkan kitab-kitab dan akan mengutus para Nabi dan Rasul. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Abu Al-‘Aliyah, bahwa yang dimaksud dengan “petunjuk” adalah para Nabi, Rasul, serta penjelasan dan keterangan. Menurut Muqatil bin Hayyan, yang dimaksud dengan “petunjuk” adalah Nabi Muhammad saw. Sedangkan menurut Al-Hasan adalah Al-Qur’an.[6]
Akhir ayat 38 : فَمَنْ تَبِعَ هُدَايَ فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ “maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati" - Allah memberitahukan bahwa bila kalian mengikuti petunjuk-Nya dalam kitab-kitab-Nya yang diturunkan dan menyambut para Nabi dan Rasul-Rasul-Nya yang diutus; “niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka”, yaitu dalam hal urusan akhirat yang akan mereka hadapi, “dan tidak (pula) mereka bersedih hati", yaitu atas berbagai urusan dunia yang tidak mereka peroleh.[7]  
Dalam ayat yang lain, yaitu Al-Qur’an Surat Thaahaa ayat 123 Allah menegaskan  :
فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى
Lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. (QS. Thaahaa: 123)
Allah juga akan menghilangkan kesesatan dan penderitaan dari orang-orang yang mengikuti petunjuk-Nya. Kemudian akan muncul dua hal yang menjadi kebalikannya, yaitu hidayah dan kebahagiaan (yaitu kebahagiaan dunia maupun akhirat).
Pelajaran atau hikmah yang dapat diambil dari surat Al-Baqarah ayat 38 ini, adalah sebagai berikut :
1.     Siapapun yang melanggar larangan-larangan Allah bisa berakibat kepada keadaan yang sangat tidak menyenangkan, hidup menjadi sengsara, susah dan menderita. Kehidupan yang semula senang, enak dan nyaman berubah menjadi kehidupan yang sangat tidak disukainya.
2.     Allah mengutus Rasul-Rasul-Nya dengan membawa kitab-kitab suci. Rasulullah  Muhammad saw adalah utusan Allah yang terakhir yang dianugerahi kitab suci Al-Qur’an dan juga membawa sunnah yang merupakan petunjuk kepada manusia seluruhnya yang harus diterima dan diamalkan. Ketaatan dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah akan menjadikan manusia selamat dan bahagia di dunia dan akhirat.




[1]. Baca tafsir Al-Alusi, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz: 1, hal. 282; dan tafsir Al-Qurthuby, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz: 1, hal.  
[2]. Baca Al-Qur’an surat Thaahaa ayat 120
[3]. Baca tafsir Al-Baghawi, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz: 1, hal. 86
[4]. Baca tafsir Bahrul ‘ulum Lis-Samarqandi, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz: 1, hal. 44
[5]. Baca tafsir As-Sa’di, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz: 1, hal. 50
[6]. Baca tafsir Ibnu Katsir, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz : 1, hal. 240
[7]. Baca tafsir Al-Maisir, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz : 1, hal. 52

Selasa, 11 Oktober 2016

ASBABUN NUZUL AL-MAIDAH AYAT 51



ASBABUN NUZUL AL-MAIDAH AYAT 51

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi auliyaa (auliyaa jamak dari kata Wali : berarti pemimpin, juga berarti teman yang akrab, pelindung atau penolong); sebahagian mereka adalah auliyaa bagi sebahagian yang lain.....” (QS. Al-Maidah :51). 
 


Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Abdullah bin Ubay bin Salul dan ‘Ubadah bin Shamit terikat oleh suatu perjanjian untuk saling membela dengan Yahudi Bani Qainuqa’.

Ketika Bani Qainuqa’ memerangi Rasulullah saw, Abdullah bin Ubay bin Salul (tokoh Munafiq Madinah) berpihak dan membela mereka; sedangkan ‘Ubadah bin Shamit (salah seorang tokoh Islam dari kalangan Bani ‘Auf bin Khazraj) berpihak kepada Rasulullah saw. ‘Ubadah bin Shamit berangkat menghadap kepada Rasulullah saw, untuk menyatakan berlepas diri (membersihkan diri) kepada Allah dan Rasul-Nya dari ikatan perjanjian dengan orang-orang kafir dan tidak mau lagi berteman dengan mereka.  Dan berkenaan dengian dia dan Abdullah bin Ubay, ayat ini (QS. Al-Maidah ayat 51) diturunkan : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi auliyaa; (auliyaa jamak dari kata Wali : berarti pemimpin, juga berarti teman yang akrab, pelindung atau penolong) sebahagian mereka adalah auliyaa bagi sebahagian yang lain (QS. Al-Maidah :51).
 (Diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq, Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, Baihaqi, dari ‘Ubadah bin Shamit)
Sumber : Lubabun Nuzul, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz : 1, hal. 81
أخرج ابن إسحق وابن جرير وابن ابي حاتم والبيهقي عن عبادة بن الصامت قال : لما حاربت بنو قينقاع تشبث بأمرهم عبد الله بن أبي بن سلول وقام دونهم ومشى عبادة بن الصامت إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم وتبرأ إلى الله والى رسوله من حلفهم وكان أحد بني عوف بن الخزرج وله من حلفهم مثل الذي لهم من عبد الله بن أبي فحالفهم إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم وتبرأ من حلف الكفار وولايتهم قال ففيه وفي عبد الله بن أبي نزلت القصة في المائدة يا أيها الذين آمنوا لا تتخذوا اليهود والنصارى أولياء الآية. (لباب النزول – المكتبة الشاملة – الجزء: 1 – صفحة : 81)

Ketika Bani Qainuqa’ memerangi Rasulullah saw, Abdullah bin Ubay bin Salul (tokoh Munafiq Madinah) berpihak dan membela mereka; sedangkan ‘Ubadah bin Shamit (salah seorang tokoh Islam) berpihak kepada Rasulullah saw. Dia (‘Ubadah bin Shamit) adalah salah seorang dari kalangan Bani ‘Auf bin Khazraj yang merupakan teman Bani Qainuqa’, sama seperti Abdullah bin Ubay yang terikat perjanjian untuk saling membela dengan Yahudi Bani Qainuqa’.  ‘Ubadah bin Shamit menyerahkan perkara mereka kepada Rasulullah saw. Lalu ia mengatakan : Saya berlepas diri (membersihkan diri) kepada Allah dan Rasul-Nya dari ikatan perjanjian dengan Bani Qainuqa’, dan sekarang saya berpihak kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang mukmin; dan saya-pun menyatakan lepas dari perjanjian saya dengan orang-orang kafir dan tidak mau lagi berteman dengan mereka.  Dan berkenaan dengan dia dan Abdullah bin Ubay ayat-ayat ini (QS. Al-Maidah ayat 51 - 56) diturunkan : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi auliyaa; (auliyaa jamak dari kata Wali : berarti pemimpin, juga berarti teman yang akrab, pelindung atau penolong) sebahagian mereka adalah auliyaa bagi sebahagian yang lain (QS. Al-Maidah :51). sampai dengan firman-Nya :  Dan barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka sesungguhnya pengikut (agama) Allah Itulah yang pasti menang. (QS. Al-Maidah : 56)
(Diriwayatkan oleh Muhammad bin Ishaq, telah menceritakan kepadaku, Abu Ishaq bin Yasar, dari Ubadah bin Al-Walid bin ‘Ubadah bin Shamid)
Sumber : Tafsir Ibnu Katsir, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz : 3, hal. 134)
قال محمد بن إسحاق: فحدثني أبو إسحاق بن يَسار، عن عبادة بن الوليد بن عبادة بن الصامت قال: لما حاربت بنو قَيْنُقَاع رسول الله صلى الله عليه وسلم، تشبث بأمرهم عبد الله بن أبيّ، وقام دونهم، ومشى  عبادة بن الصامت إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم، وكان أحد بني عَوْف بن الخزرج، له من حلفهم مثل الذي لعبد الله بن أبي، فجعلهم إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم وتبرأ إلى الله ورسوله صلى الله عليه وسلم من حلفهم، وقال: يا رسول الله، أتبرأ إلى الله وإلى رسوله من حلفهم، وأتولى الله ورسوله والمؤمنين، وأبرأ من حلف الكفار وولايتهم. ففيه وفي عبد الله بن أبي نزلت الآيات في المائدة: { يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ } إلى قوله: {وَمَنْ يَتَوَلَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالَّذِينَ آمَنُوا فَإِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْغَالِبُونَ } [المائدة: 56]. (تفسير ابن كثير - المكتبة الشاملة – الجزء:  3 – صفحة :  134)