Rabu, 30 September 2015

HUKUM MENIKAH



Hukum Menikah
Berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, islam sangat menganjurkan kepada kaum muslimin yang mampu untuk melangsungkan pernikahan.  Dan untuk memahami hukum menikah,  perlu kita melihat dari dua aspek, yaitu (1) hukum asal pernikahan, (2) kondisi orang yang melaksanakan pernikahan.

Hukum Asal Pernikahan

Adapun hukum asal dari pernikahan, para ulama berbeda pendapat :
1.  Wajib.  Hukum asal pernikahan adalah wajib,  bagi seseorang yang mampu (jasmani dan ekonomi) untuk menikah, karena pada dasarnya perintah itu menunjukkan kewajiban. Dalil yang di kemukakan oleh mereka, antara lain :
a.  Zahirnya hadist Abdullah bin Mas’ud ra,  bahwasanya ia berkata[1] : 
حَدَّثَنَا عَبْدَانُ عَنْ أَبِي حَمْزَةَ عَنْ الْأَعْمَشِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ عَلْقَمَةَ قَالَ بَيْنَا أَنَا أَمْشِي مَعَ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقَالَ : كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : مَنْ اسْتَطَاعَ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ. (رواه البخاري: 1772صحيح   البخار – المكتبة الشاملة– باب الصوم لمن خاف على نفسه العزبة– الجزء :6– صفحة : 476)
Telah menceritakan kepada kami ['Abdan] dari [Abu Hamzah] dari [Al A'masy] dari [Ibrahim] dari ['Alqamah] berkata; Ketika aku sedang berjalan bersama ['Abdullah ra], dia berkata : Kami pernah bersama Nabi saw yang ketika itu beliau bersabda : "Barangsiapa yang sudah mampu (menafkahi keluarga), hendaklah dia kawin (menikah) karena menikah itu lebih bisa menundukkan pandangan dan lebih bisa menjaga kemaluan. Barangsiapa yang tidak sanggup (manikah) maka hendaklah dia berpuasa karena puasa itu akan menjadi benteng baginya". (HR. Bukhari : 1772, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Ash-Shaum liman khaafa ‘alaa nafsihii Al-‘Izbah,  juz : 6, hal. 476)
Dalam hadist di atas Rasulullah saw  memerintahkan para pemuda untuk menikah dengan sabdanya فَلْيَتَزَوَّجْ falyatazawwaj” (hendaklah dia  menikah),  kalimat tersebut mengandung perintah. Di dalam kaidah ushul fiqh disebutkan : أَلْأَصْلُ فِى الْأَمْرِ لِلْوُجُوْبِ al ashlu fi al amri  lil wujub” (Pada dasarnya perintah itu mengandung arti wajib).
b.    Hadist Anas Bin Malik Radhiyallahu Ta’ala :  
و حَدَّثَنِي أَبُو بَكْرِ بْنُ نَافِعٍ الْعَبْدِيُّ حَدَّثَنَا بَهْزٌ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ ثَابِتٍ عَنْ أَنَسٍ أَنَّ نَفَرًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَأَلُوا أَزْوَاجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ عَمَلِهِ فِي السِّرِّ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا أَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا آكُلُ اللَّحْمَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَا أَنَامُ عَلَى فِرَاشٍ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ فَقَالَ مَا بَالُ أَقْوَامٍ قَالُوا كَذَا وَكَذَا لَكِنِّي أُصَلِّي وَأَنَامُ وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي. (رواه مسلم : 2487 – صحيح مسلم – المكتبة الشاملة – باب استحباب النكاح لمن تاقت نفسه اليه ووجد – الجزء : 7 صفحة : 175)
Dan telah menceritakan kepadaku [Abu Bakar bin Nafi' Al Abdi] telah menceritakan kepada kami [Bahz] telah menceritakan kepada kami [Hammad bin Salamah] dari [Tsabit] dari [Anas] bahwa sekelompok orang dari kalangan sahabat Nabi saw  bertanya kepada isteri-isteri Nabi saw  mengenai amalan beliau yang tersembunyi. Maka sebagian dari mereka pun berkata : "Saya tidak akan menikah." Kemudian sebagian lagi berkata : "Aku tidak akan makan daging." Dan sebagian lain lagi berkata : "Aku tidak akan tidur di atas kasurku." Mendengar ucapan-ucapan itu, Nabi saw memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian beliau bersabda : "Ada apa dengan mereka? Mereka berkata begini dan begitu, padahal aku sendiri shalat dan juga tidur, berpuasa dan juga berbuka, dan aku juga menikahi wanita. Maka siapasaja yang membenci sunnahku, berarti bukan dari golonganku. (HR.Muslim : 2487, Shahih Muslim, Al-Maktabah Asyamilah, bab istihbaabun nikah liman taaqa nafsyhuu ilahih wa wajada, juz : 7, hal. 175)
Makna kalimat : “......, berarti bukan dari golonganku adalah “tidak berada atas agamaku”.[2] Ketika Rasulullah saw, menyatakan : “tidak berada atas agamanya”, maka keyakinan yang demikian itu termasuk satu jenis atau sifat dari kekafiran. Karena dengan meninggalkan nikah, padahal ia mampu, berarti telah memiliki sifat kekafiran, yang sifat itu tidak disukai Allah dan Rasul-Nya, bahkan pelakunya diancam dengan azab. Untuk itu, wajib meninggalkan kekafiarn tersebut dengan cara menikah, sehingga menikah hukumnya wajib.
c.     Tidak menikah itu merupakan bentuk penyerupaan terhadap orang-orang Nashara (cara hidup biarawan/biarawati atau kependetaan), sedang menyerupai mereka di dalam masalah ibadat adalah haram. Karena dengan meninggalkan nikah, padahal ia mampu, merupakan bentuk penyerupaan dengan orang-orang Nashara yang meninggalkan nikah sebagai bentuk peribadatan mereka. Sedangkan menyerupai ibadat non muslim hukumnya adalah haram. Karena menyerupai mereka haram, maka wajib meninggalkan penyerupaan tersebut dengan cara menikah, sehingga menikah hukumnya wajib.[3]
d.    Rasulullah saw  melarang untuk membujang sebagaimana dalam sabdanya :
حَدَّثَنَا أَبُو هِشَامٍ الرِّفَاعِيُّ وَزَيْدُ بْنُ أَخْزَمَ الطَّائِيُّ وَإِسْحَقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْبَصْرِيُّ قَالُوا حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ هِشَامٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ سَمُرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ   نَهَى عَنْ التَّبَتُّلِ. (رواه الترمذي:  1002 – سنن الترمذي – المكتبة الشاملة – باب ما جاء فى النهي عن التبتل - – الجزء : - 4- صفحة :  257)
Telah menceritakan kepada kami [Abu Hisyam Ar Rifa'i] dan [Zaid bin Akhzam Ath Tha`i] dan [Ishaq bin Ibrahim Al Bashri] mereka berkata; Telah menceritakan kepada kami [Mu'adz bin Hisyam] dari [Bapaknya] dari [Qatadah] dari [Al Hasan] dari [Samurah] bahwa Nabi  saw melarang membujang. (HR.Tirmidzi : 1002,  Sunan Tirmidzi, Al-Maktabah Asyamilah, bab maa jaa-a fin-Nahyi ‘anit Tabattul,  juz : 4, hal. 257)
Abu Isa berkata; "Zaid bin Akhzam menambahkan dalam haditsnya, lalu Qatadah membaca ayat Al-Qur’an surat Ar-Ra’du ayat 38 Yang menjelaskan bahwa menikah itu merupakan perilaku para utusan Allah swt sebagaimana dalam firman-Nya :
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً وَمَا كَانَ لِرَسُولٍ أَنْ يَأْتِيَ بِآيَةٍ إِلا بِإِذْنِ اللَّهِ لِكُلِّ أَجَلٍ كِتَابٌ (الرعد :38)
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan. Dan tidak ada hak bagi seorang Rasul mendatangkan sesuatu ayat (mukjizat) melainkan dengan izin Allah. Bagi tiap-tiap masa ada kitab (yang tertentu). (QS.Ar-Ra’du : 38)
2.  Sunnah. Hukum asal dari pernikahan adalah “sunnah”, bukan wajib. Ini merupakan pendapat mayoritas ulama.  Adapun dalil-dalil yang dikemukan oleh mereka, antara lain sebagai berikut :  
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا. (النساء : 3)
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
Imam Al-Maziri Berkata : “Ayat di atas merupakan dalil mayoritas ulama bahwa menikah hukumnya “sunnah”, karena Allah swt, memberikan pilihan antara menikah atau mengambil budak secara sepakat. Seandainya menikah itu wajib, maka Allah tidaklah memberikan pilhan antara menikah atau mengambil budak. Karena menurut ulama ushul fiqh bahwa memberikan pilihan antara yang wajib dan yang tidak wajib, akan menyebabkan hilangnya hakikat wajib itu sendiri, dan akan menyebabkan orang yang  meninggalkan kewajiban tidak berdosa.[4]
Imam Nawawi dalam syarah Muslim berkata : Perintah menikah bagi orang yang mampu dan jiwanya bersemangat untuk menikah seperti dalam hadis ini (hadist Abdullah bin Mas’ud ra),  menurut kami dan banyak ulama, bahwa perintah tersebut sifatnya anjuran, dan bukan wajib. Karena itu, tidak wajib harus menikah atau memiliki budak wanita, baik khawatir zina atau tidak. Inilah madzhab umumnya ulama, dan saya tidak mengetahui seorangpun yang mengatakan wajib nikah kecuali Daud Azh-Zhahiri dan orang yang mengikuti madzhab Zahiriyah, serta salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Mereka berpendapat, seorang lelaki wajib nikah atau memiliki budak wanita jika khawatir terjerumus ke dalam zina.[5]
Kondisi Orang Yang Melaksanakan Pernikahan
 Kalau kita melihat dari segi kondisi orang yang melaksanakan pernikahan dan tujuan dari pernikahan itu,  maka  Ibnu Daqiq Al-Ied berkata : “Para Fuqaha membagi hukum nikah menjadi lima, yaitu : wajib, haram, makruh, sunah dan mubah.” [6]
1. Wajib
Nikah hukumnya wajib, bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk menikah dan dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina seandainya tidak menikah. Hal ini didasarkan pada pemikiran hukum bahwa setiap muslim wajib menjaga diri untuk tidak berbuat yang terlarang. Jika penjagaan diri itu harus dengan melakukan pernikahan, sedang menjaga diri itu wajib, maka hukum melakukan pernikahan itupun wajib.
2. Haram
Nikah  hukumnya haram, bagi orang yang tidak mempunyai kemauan dan kemampuan untuk menikah serta tidak dapat bertanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga sehingga apabila melangsungkan pernikahan akan terlantarlah dirinya dan istrinya. Termasuk juga hukumnya haram bila pernikahan dilakukan dengan maksud untuk menzalimi atau menelantarkan orang lain. Misalnya hak-hak wanita yang dinikahi itu tidak diberikan, atau hanya karena ingin menguasai harta kekayaan wanita dll.
3. Makruh
Nikah hukumnya makruh, bagi orang yang tidak mempunyai kemauan atau keinginan untuk menikah, (umpama : lemah syahwat) dan tidak pula mempunyai kemampuan untuk menikah. Dikatakan makruh, karena dia tidak membutuhkan wanita untuk dinikahi, tetapi dia harus mencari harta untuk menafkahi istri yang sebenarnya tidak dibutuhkan olehnya. Dalam keadaan seperti ini, kemungkinan besar adalah isterinya tidak akan mendapatkan nafkah batin, kecuali sedikit sekali, karena sebenarnya suaminya tidak membutuhkannya dan tidak terlalu tertarik dengan wanita. Begitu juga seseorang yang mempunyai keinginan untuk menikah,  tetapi tidak punya harta untuk memberikan nafkah. 
4. Sunnat
Nikah  hukumnya sunnat, bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk melangsungkan pernikahan, tetapi kalau tidak menikah tidak dikhawatirkan akan berbuat zina. Alasannya adalah dalam surah An-Nuur ayat 32 dan hadits Nabi yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud yang dikemukakan dalam menerangkan sikap agama Islam terhadap pernikahan. Baik ayat Al-Quran maupun As Sunnah tersebut berbentuk perintah, tetapi berdasarka qorinah-qorinah yang ada, perintah Nabi tidak memfaedahkan hukum wajib, tetapi hukum sunnat saja.
5. Mubah
Nikah hukumnya mubah, bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk menikah, tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak akan menelantarkan istri. Pernikahan orang tersebut hanya didasarkan untuk memenuhi kesenangan bukan dengan tujuan menjaga kehormatan agamanya dan membina keluarga sejahtera. Hukum mubah ini juga ditujukan bagi orang yang antara pendorong dan penghambatnya untuk menikah itu sama, sehingga menimbulkan keraguan orang yang akan menikah seperti mempunyai keinginan tetapi belum mempunyai kemampuan, mempunyai kemampuan tetapi belum mempunyai kemauan yang kuat.



[1]. Baca tafsir Ibnu Katsir, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz : 6, hal. 51
[2]. Baca Fathul Bari oleh Ibnu Hajar, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab At-Targhib Fin-Nikah, juz : 14, hal. 290  
[3]. Baca Fathul Bari oleh Ibnu Hajar, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab At-Targhib Fin-Nikah, juz : 14, hal. 290 - 283
[4]. Baca Syarhun Nawawi ‘alaa Muslim,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab istihbaabun nikah liman taaqa nafsyhuu ilahih wa wajada, juz : 5, hal. 70
[5].Ibid, hal. 70
[6].  Baca  Fathul Bary Libni Hajar, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz : 14, hal. 293

Rabu, 16 September 2015

AL-QUR'AN SURAT AL-BAQARAH AYAT 26



AL-BAQARAH AYAT 26
 Setelah  pada ayat terdahulu Allah menampilkan perumpamaan  berupa “orang yang menyalakan api”  dan “orang yang ditimpa hujan lebat dari langit”, maka pada ayat berikut ini Allah menampilkan  pula perumpamaan berupa “seekor nyamuk” :
إِنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَحْيِي أَنْ يَضْرِبَ مَثَلًا مَا بَعُوضَةً فَمَا فَوْقَهَا فَأَمَّا الَّذِينَ آَمَنُوا فَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَأَمَّا الَّذِينَ كَفَرُوا فَيَقُولُونَ مَاذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهَذَا مَثَلًا يُضِلُّ بِهِ كَثِيرًا وَيَهْدِي بِهِ كَثِيرًا وَمَا يُضِلُّ بِهِ إِلَّا الْفَاسِقِينَ
Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka. Dan adapun mereka yang kafir mengatakan : "Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?." dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik. (QS.AlBaqarah : 26)
Mungkin banyak di antara kita yang menganggap nyamuk sebagai serangga yang biasa saja, atau bahkan menjengkelkan karena suka mengganggu orang yang sedang tidur. Akan tetapi kenyataan yang ada : Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu”, semestinya mendorong kita untuk memikirkan keajaiban binatang yang satu ini.  
Nyamuk dalam ayat tersebut, Allah menggunakan kata “Ba’uudlah” (بَعُوضَةً) yang berarti “nyamuk betina”, (hanya sekali disebutkan dalam Al-Qur’an). Ternyata kebanyakan nyamuk betina perlu menghisap darah agar mendapatkan protein yang diperlukan untuk perkembanan dan pembentukan telur nyamuk.[1] Dengan kata lain, nyamuk betina mengisap darah untuk mempertahankan kelangsungan hidup spesiesnya. Hanya nyamuk betina yang mengisap darah, bukan yang jantan. Keduanya (jantan dan betina) sebenarnya hidup dengan memakan “nectar”, yaitu cairan manis yang diperoleh dari bunga tanaman (sari madu bunga).[2]
Dari sekian banyak makhluk Allah, fakta empirik menunjukkan, nyamuk merupakan serangga yang paling banyak membunuh manusia, meskipun ukurannya tergolong sangat kecil. Menurut suatu riwayat, raja superdiktator,  Namrud juga mati karena telinganya dipenuhi dan digigit nyamuk. Hampir setiap hari ada saja manusia meninggal akibat terkena penyakit DBD. Fakta tersebut setidaknya menjadi pelajaran yang sangat bernilai tinggi bagi manusia. Siapa pun yang ingin terbebas dari bahaya nyamuk tentu harus menjaga kebersihan lingkungan. 
Hikmah di balik penciptaan nyamuk itu sungguh luar biasa. Tidak hanya mendorong kita selalu menjaga kebersihan lingkungan, melainkan juga menginspirasi kita untuk mengembangkan riset ilmiah untuk memajukan ilmu pengetahuan. Nyamuk juga mengilhami aneka ragam produk obat anti nyamuk. Hal ini tentu menguntungkan bagi para produsen, pekerja, pegawai, dan sebagainya. [3]  
Sebab Turun Ayat
Ibnu Abbas berkata dalam riwayat Abu Shalih : Setelah  Allah swt  memberikan dua perumpamaan untuk orang-orang munafik, yaitu (1) firman Allah yang artinya : Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api....[4] (QS.Al-Baqarah ayat 17), dan (2)  firman Allah yang artinya : Atau seperti orang-orang yang ditimpa hujan lebat dari langit....[5] (QS.Al-Baqarah ayat 19), maka orang-orang Munafiq berkata : Allah adalah Maha Tinggi dan Maha Mulia ketimbang sekedar memberikan perumpamaan- perumpamaan seperti ini. Berkaitan dengan peristiwa tersebut, lalu Allah menurunkan ayat 26 surat Al-Baqarah.[6]
Abdur Razaq meriwayatkan dari Ma’mar, dari Qatadah, menurutnya, setelah Allah swt menyebutkan laba-laba[7] dan lalat[8], orang-orang musyrik bertanya : “Untuk apa laba-laba dan lalat itu disebut?. Berkenaan dengan peristiwa tersebut, lalu Allah menurunkan ayat 26 surat Al-Baqarah. [9]
Perkataan orang-orang musyrik itu tidak ditujukan kepada Allah yang menurunkan Al-Qur’an, tetapi ditujukan kepada Nabi, : Jika engkau benar sebagai Rasulullah coba jelaskan, apa maksud dan tujuan Allah membuat perumpamaan ini.[10] Mereka melakukannya tentu hendak meremehkan Rasulullah saw, tetapi Allah sendiri menjelaskan bahwa apa yang dikatakan Rasulullah saw itu bukanlah kata dia,  dan perumpamaan yang dikemukakannya, bukanlah perumpamaan yang dia buat sendiri. Itu adalah perumpamaan yang dibuat oleh Allah. Allah menegaskan dalam firmna-Nya :
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى    - إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى  
Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (QS.An-Najm : 3-4)
Orang-orang munafik, orang-orang musyrik atau orang-orang kafir, mereka tidaklah memperhatikan isi, tetapi hendak mencari kelemahan pada perumpamaan yang dikemukakan itu. Kata mereka perumpamaan-perumpamaan itu adalah perkara kecil dan remeh. Menjadikan laba-laba dan lalat sebagai perumpamaan, apalah artinya semua itu. Peremehan yang beginilah yang dibantah keras oleh Allah dalam ayat 26 surat Al-Baqarah  ini.
Dalam Al-Qur’an Allah membuat perumpamaan  yang amat banyak untuk memberikan keterangan kepada umat manusia agar lebih mudah dipahami. Misalnya, Allah mengumpamakan orang yang mempersekutukan Allah dengan laba-laba membuat sarang. Sarang laba-laba adalah sangat rapuh. (QS.Al-Ankabut ayat 41). Allah juga  membuat  perumpamaan dengan lalat. (QS.Al-Haj ayat 73). Bahwa sesungguhnya segala sesuatu yang  diseru atau disembah selain Allah,  jangankan membuat semesta alam, membuat seekor lalatpun mereka tidak akan bisa. Demikian juga perumparnaan- perumparnaan yang lain.
Awal ayat 26 : “Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu....”
Imam Thabary dalam tafsirnya menuturkan, firman Allah yang artinya : “Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu....” adalah memberikan informasi bahwa Allah tidak segan-segan membuat perumpamaan-perumpamaan tentang yang hak (kebenaran), baik yang kecil maupun yang besar sebagai ujian dan cobaan dari Allah untuk membedakan antara orang yang beriman dan orang kafir, antara orang yang sesat dan orang yang mendapat hidayah dari Allah.[11]
Ar-Rabi’ bin Anas berkata tentang firman Allah yang artinya : “Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu....” ini adalah perumpamaan yang dibuat oleh Allah untuk menggambarkan dunia. Sesungguhnya nyamuk itu akan tetap hidup selama ia lapar, tetapi jika sudah kekenyangan ia akan mati.[12] Demikain pula jika seseorang telah kekenyangan di dunia, maka hatinya akan mati, sehingga sukar untuk menerima nasehat dan tuntunan yang menuju akhirat, kemudian ia membaca surah Al-An’am ayat 44 berikut :
فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوا بِمَا أُوتُوا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُونَ
Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa. (QS.Al-An’am : 44)[13]
Tengah ayat 26 : “…..Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka.....”
Qatadah berkata tentang firman Allah yang artinya : “…..Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka.....”, mereka orang-orang yang beriman betul-betul mengetahui bahwa perumpamaan itu adalah firman Allah yang Mahaksih, dan berasal  dari sisi-Nya. [14]
Sebagian ulama’ Salaf berkata : Apabila aku mendengar perumpamaan di dalam Al-Qur’an, lalu aku tidak memahaminya, maka aku menangisi diriku, karena Allah telah berfirman :
وَتِلْكَ الأمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلا الْعَالِمُونَ
Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu. (QS.Al-‘Ankabut : 43)[15]
Ulama’ Salaf sampai menangisi dirinya bila tidak dapat memahami perumpamaan yang datang dari Allah. Artinya, perumpamaan yang dibuat oleh Allah itu adalah sesuatu yang sangat penting, kalau tidak, tidaklah mungkin Allah akan mengambilnya menjadi perumpamaan. Sebab semua perhitungan Allah itu adalah sangat teliti.  
Tengah ayat 26 : “ ....Dan adapun mereka  yang kafir mengatakan : "Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?."
Abu Ja’far berkata : Orang-orang kafir adalah mereka yang menyangkal ayat-ayat Allah, mengingkari apa yang mereka ketahui dan menutupi kebenaran yang mereka ketahui, itulah sifat orang-orang munafik.[16] Mereka mengatakan :   Apa kehendak Allah mengemukakan perumpamaan dengan binatang yang hina seperti  laba-laba, binatang tidak ada arti seperti lalat, dan kadang-kadang juga keledai yang buruk,[17] kadang-kadang anjing yang mengulurkan lidah;[18] adakah pantas wahyu mengemukakan hal yang demikian itu?  
Tengah ayat 26 : “.....dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah.....”
  Disesatkan Allah berarti : bahwa orang itu sesat berhubung keingkarannya dan tidak mau memahami petunjuk-petunjuk Allah. Dalam ayat ini, karena mereka itu ingkar dan tidak mau memahami apa sebabnya Allah menjadikan nyamuk sebagai perumpamaan, maka mereka itu menjadi sesat.
Tengah ayat 26 : “.....dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk.....
Orang-orang yang beriman mendapatkan petunjuk Allah dari perumpamaan-perumpamaan yang dibuat-Nya, karena mereka beriman dan mau memahaminya. Pada waktu turunnya surat Al-Hajj ayat 73 yang di dalamnya Allah menerangkan bahwa berhala-berhala yang mereka sembah itu tidak dapat membuat lalat, sekalipun mereka kerjakan bersama-sama, dan turunnya surat Al-‘Ankabuut ayat 41 yang di dalamnya Allah menggambarkan kelemahan berhala-berhala yang dijadikan oleh orang-orang musyrik itu sebagai pelindung sama dengan lemahnya sarang laba-laba.
Akhir ayat 25 : “...dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik.....”
Hanya orang-orang fasiklah yang selalu berada dalam kesesatan. Kata “Fasiq” menurut bahasa adalah orang yang keluar dari ketaatan. Tikus juga disebut Fasiq karena selalu keluar dari tempat persembunyiannya untuk melakukan perusakan.[19] Dalam sebuah hadis terdapat lima binatang yang disebut Fasiq (berbahaya), yaitu :
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ حَدَّثَنَا مَعْمَرٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فِي الْحَرَمِ الْفَأْرَةُ وَالْعَقْرَبُ وَالْحُدَيَّا وَالْغُرَابُ وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ. (رواه البخاري : 3067- صحيح البخاري – المكتبة الشاملة – الجزء : 11 – صفحة : 92)
Telah bercerita kepada kami [Musaddad] telah bercerita kepada kami [Yazid bin Zurai'] telah bercerita kepada kami [Ma'mar] dari [Az Zuhriy] dari ['Urwah] dari ['Aisyah RA] dari Nabi saw   bersabda : "Ada lima jenis hewan fasiq (berbahaya) yang boleh dibunuh ketika sedang ihram, yaitu tikus, kalajengking, burung rajawali, burung gagak dan anjing galak". (HR.Bukhari : 3067, Shahih Bukhari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz : 11, hal. 92)
Dengan merenungkan ayat 26 surat Al-Baqarah ini, timbul dalam hati pertambahan iman bahwa Al-­Qur'an memang diturunkan oleh Allah untuk seluruh masa dan untuk orang yang berpikir dan mencintai ilmu pengetahuan. Dan orang yang beriman itu selalu tunduk kepada Allah dengan segala kerendahan hati, dia mendengar dan dia taat. Kalau ilmunya belum luas, cukup dia menggantungkan keyakinannya, bahwa kalau tidak penting, tidaklah Allah akan membuat perumpamaan  dengan nyamuk, lalat, laba-laba dan lain-lain itu. Meskipun dia belum tahu apa pentingnya. Akan tetapi orang yang lebih dalam ilmunya, dia akan benar-benar kagum akan kebesaran Allah. Sedangkan orang-orang kafir dan fasiq itu menjadi sesat karena bodohnya, tetapi mereka tidak sadar akan kebodohannya. Janganlah kita menjadi orang fasik yang tersesat karena kebekuan hati dan kesombongan. Berlagak tahu padahal tidak tahu.


[1].  http://umexpert.um.edu.my/file/publication/00002851_84309.pdf
[2]. https://www.wattpad.com/183036-nyamuk-pemakan-darah-oleh-harun-yahya
[3]. http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/13/03/30/mkgznc-belajar-dari-nyamuk
[4]. Orang-orang munafik itu tidak dapat mengambil manfaat dari petunjuk-petunjuk yang datang dari Allah, karena sifat-sifat kemunafikkan yang bersemi dalam dada mereka. Keadaan mereka digambarkan Allah seperti dalam ayat 17 surat Al-Baqarah.
[5]. Keadaan orang-orang munafik itu, ketika mendengar ayat-ayat yang mengandung peringatan, adalah seperti orang yang ditimpa hujan lebat dan petir. Mereka menyumbat telinganya karena tidak sanggup mendengar peringatan-peringatan Al-Quran.
[6]. Baca Kitab Asbabun Nuzul, oleh Al-Wahidi (الواحدي), Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz 1, hal.1 – Dan baca pula tafsir Ibnu Katsir, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz 1, hal. 206
[7]. Baca QS. Al-‘Ankabut ayat 41
[8]. Baca QS. Al-Hajj ayat 73
[9]. Baca tafsir Ibnu Katsir,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz 1, hal.206
[10]. Baca tafsir Al-Hawari – Iyadly,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz 1, hal. 15
[11]. Baca tafsir Ath-Thabary,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz 1, hal. 401
[12]. Baca tafsir Al-Bahrul Muhith, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz 1, hal. 145
[13]. Baca tafsir Ath-Thabary,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz 1, hal. 399
[14]. Baca tafsir Ibnu Katsir,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz 1, hal.208
[15]. Ibid, tafsir Ibnu Katsir,  hal.208
[16]. Baca tafsir Ath-Thabary,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz 1, hal. 407
[17]. Baca Al-Qur’an surat Al-Jumu’ah ayat 5
[18]. Baca Al-Qur’an surat Al-A’raaf ayat 176
[19]. Baca tafsir Ibnu Katsir,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz 1, hal.209