Jumat, 26 September 2014

TIDAK MEMOTONG KUKU DAN TIDAK MENCUKUR RAMBUT BAGI YANG HENDAK BERKURBAN



TIDAK MEMOTONG KUKU DAN TIDAK MENCUKUR RAMBUT  BAGI YANG HENDAK BERKURBAN
1.    Sekh Abu Bakar dan Abu Al-Hasan mengatakan : Sunah bagi orang yang hendak berkurban tidak memotong kuku dan tidak mencukur rambut, apabila telah melihat hilal (sepuluh) Dzul Hijjah, hingga ia selesai berkurban.  (Al-Muntaqi, Syarah Al-Muwatha’, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz : 4, hal. 106)
1.    Asy-Syafi’I dan Sahabat-sahabatnya berpendapat hal itu (memotong kuku dan mencukur rambut) dimakruhkan dengan makruh tanzih tidak sampai haram. (‘Aunul Ma’but, Al-Maktabah As-Syamilah, juz : 6, hal. 248)
2.    Waktunya adalah sejak melihat hilal 10  Dzul Hijjah, yaitu mulai awal 10 dzul hijjah hingga ia selesai berkurban. (Al-Muntaqi, Syarah Al-Muwatha’, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz : 4, hal. 106)
3.    Tidak memcukur rambut dan tidak memotong kuku bagi yang hendak berkurban disyariatkan setelah masuk 10 dzul hijjah hingga selesai pemotongan hewan kurban. (‘Aunul Ma’but, Al-Maktabah As-Syamilah, juz : 6, hal. 248)
4.    Landasanya hadits berikut :

و حَدَّثَنِي حَجَّاجُ بْنُ الشَّاعِرِ حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ كَثِيرٍ الْعَنْبَرِيُّ أَبُو غَسَّانَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا رَأَيْتُمْ هِلَالَ ذِي الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ . (رواه مسلم : 3655- صحيح مسلم – المكتبة الشاملة – الجزء : 10 – صفحة :  171)
Dan telah menceritakan kepadaku [Hajjaj bin Sya'ir] telah menceritakan kepadaku [Yahya bin Katsir Al 'Anbari Abu Ghassan] telah menceritakan kepada kami [Syu'bah] dari [Malik bin Anas] dari [Umar bin Muslim] dari [Sa'id bin Musayyab] dari [Ummu Salamah] bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika kalian telah melihat hilal (sepuluh) Dzul Hijjah, dan salah seorang dari kalian hendak berkurban, hendaknya ia tidak mencukur rambut dan tidak memotong kuku terlebih dahulu." (HR.Muslim : 3655, Shahih Muslim, Al-Maktanah Asy-Syamilah, juz : 10, hal. 171)
و حَدَّثَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُعَاذٍ الْعَنْبَرِيُّ حَدَّثَنَا أَبِي حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو اللَّيْثِيُّ عَنْ عُمَرَ بْنِ مُسْلِمِ بْنِ عَمَّارِ بْنِ أُكَيْمَةَ اللَّيْثِيِّ قَالَ سَمِعْتُ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيَّبِ يَقُولُ سَمِعْتُ أُمَّ سَلَمَةَ زَوْجَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَ لَهُ ذِبْحٌ يَذْبَحُهُ فَإِذَا أُهِلَّ هِلَالُ ذِي الْحِجَّةِ فَلَا يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلَا مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّيَ. (رواه مسلم : 3656- صحيح مسلم – المكتبة الشاملة – الجزء : 10 – صفحة : 172)
Dan telah menceritakan kepadaku [Ubaidullah bin Mu'adz Al 'Anbari] telah menceritakan kepada kami [ayahku] telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin 'Amru Al Laitsi] dari [Umar bin Muslim bin 'Ammar bin Ukaimah Al Laitsi] dia berkata; saya mendengar [Sa'id bin Musayyab] berkata; saya mendengar [Ummu Salamah] isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa memiliki hewan kurban, hendaknya ia berkurban jika hilal (sepuluh) Dzul Hijjah telah terlihat jelas, janganlah ia mencukur rambut dan memotong kuku terlebih dahulu walau sedikit hingga ia selesai berkurban." (HR.Muslim : 3656, Shahih Muslim, Al-Maktanah Asy-Syamilah, juz : 10, hal. 172)


(إذا رأيتم هلال ذي الحجة) بكسر الحاء أفصح من فتحها أي علمتم بدخوله (وأراد أحدكم أن يضحي فليمسك عن شعره وأظفاره) أي فليجتنب المضحي إزالة شعر نفسه ليبقى كامل الجزاء فيعتق كله من النار (فيض القدير - المكتبة الشاملة - الجزء : 1 - صفحة : 465)

قال التوربيشي : كأن سر ذلك أن المضحي يجعل أضحيته فدية لنفسه من العذاب حيث رأى نفسه مستوجبة العقاب وهو القتل ولم يؤذن فيه ففداها وصار كل جزء منها فداء كل جزء منه فلذلك نهى عن إزالة الشعر والبشر لئلا يفقد من ذلك قسط ما عند تنزل الرحمة وفيضانالنور الإلهي لتتم له الفضائل وينزه عن النقائص والرذائل.(فيض القدير - المكتبة الشاملة - الجزء : 1 - صفحة : 465-466)


Kamis, 18 September 2014

PUASA SUNNAH KETIKA MENGHADIRI UNDANGAN


PUASA SUNNAH KETIKA MENGHADIRI UNDANGAN
Menghadiri undangan jamuan makan atau walimah merupakan suatu kewajiban bagi setiap Muslim, berdasarkan hadits : 
و حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ نَافِعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ يَقُولُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا دَعَا أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيُجِبْ عُرْسًا كَانَ أَوْ نَحْوَهُ. (رواه مسلم :2578- صحيح مسلم – المكتبة الشاملة – باب الامر باجابة الداعي الى دعوة– الجزء : 7 – صفحة : 281)
Dan telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Rafi', telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah mengabarkan kepada kami Ma'mar, dari Ayyub, dari Nafi', bahwasannya Ibnu Umar pernah berkata, dari Nabi saw, (beliau bersabda) : "Jika salah seorang dari kalian mengundang saudaranya, hendaknya ia penuhi undangan tersebut, baik undangan perniakahan atau semisalnya." (HR.Muslim : 2578, Shahih Muslim,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab  Al-Amri bi-ijabatid Daa’ii ilaa da’wah,   juz : 7, hal. 281)
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا يَحْيَى عَنْ سُفْيَانَ قَالَ حَدَّثَنِي مَنْصُورٌ عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ أَبِي مُوسَى عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : فُكُّوا الْعَانِيَ وَأَجِيبُوا الدَّاعِيَ وَعُودُوا الْمَرِيضَ.(رواه البخاري : 4776- صحيح البخاري – المكتبة الشاملة – باب حق اجابة الوليمة والدعوة– الجزء :16 – صفحة : 164)
Telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Yahya, dari Sufyan, ia berkata : telah menceritakan kepadaku Manshur, dari Abu Wa`il, dari Abu Musa, dari Nabi saw,  beliau bersabda : "Lepaskanlah tawanan, penuhilah undangan dan jenguklah orang sakit." (HR.Bukhari : 4776,  Shahih Bukhari,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Haqqu ijaabatil walimah wadda’wah,   juz : 16, hal. 164)
Namun boleh memilih antara makan dan tidak makan makanan yang dihidangkan, berdasarkan hadits berikut :
و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ ح و حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ نُمَيْرٍ حَدَّثَنَا أَبِي قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى طَعَامٍ فَلْيُجِبْ فَإِنْ شَاءَ طَعِمَ وَإِنْ شَاءَ تَرَكَ. (رواه مسلم :  2583- صحيح مسلم – المكتبة الشاملة – باب الامر باجابة الداعي الى دعوة– الجزء : 7 – صفحة :  286)
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna, telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Mahdi. Dan diriwayatkan dari jalur lain, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah bin Numair, telah menceritakan kepada kami ayahku, dia berkata; telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abu Az Zubair, dari Jabir, dia berkata; Rasulullah saw,  bersabda : "Jika kalian diundang ke jamuan makan, hendaknya ia mendatanginya, jika ia menghendaki, silakan makan, dan jika ia tidak menghendaki, ia boleh meninggalkannya." (HR.Muslim : 2583, Shahih Muslim,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab  Al-Amri bi-ijabati d Daa’ii ilaa da’wah,   juz : 7, hal. 286)
Hadits di atas mengandung perintah wajib menghadiri undangan. Tidak ada perbedaan tentang wajibnya menghadiri undangan antara orang yang berpuasa atau tidak. Akan tetapi diperbolehkan bagi orang yang sedang berpuasa untuk menghadirinya saja tanpa menyantap hidangan yang disediakan. Orang yang menjalankan puasa sunnah lebih berhak atas dirinya untuk menyempurnakan puasanya atau membatalkannya, yaitu  “boleh memilih” antara keduanya berdasarkan hadits :
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ كُنْتُ أَسْمَعُ سِمَاكَ بْنَ حَرْبٍ يَقُولُ أَحَدُ ابْنَيْ أُمِّ هَانِئٍ حَدَّثَنِي فَلَقِيتُ أَنَا أَفْضَلَهُمَا وَكَانَ اسْمُهُ جَعْدَةَ وَكَانَتْ أُمُّ هَانِئٍ جَدَّتَهُ فَحَدَّثَنِي عَنْ جَدَّتِهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَخَلَ عَلَيْهَا فَدَعَى بِشَرَابٍ فَشَرِبَ ثُمَّ نَاوَلَهَا فَشَرِبَتْ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَمَا إِنِّي كُنْتُ صَائِمَةً فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّائِمُ الْمُتَطَوِّعُ أَمِينُ نَفْسِهِ إِنْ شَاءَ صَامَ وَإِنْ شَاءَ أَفْطَرَ. (رواه  الترمذي :  664 – سنن الترمذي – المكتبة الشاملة – باب ما جاء في  افطار الصائم المتطوع-الجزء :    3 – صفحة : 182)
Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Ghailan, telah menceritakan kepada kami Abu Daud, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dia berkata : Saya pernah mendengar Simak bin Harb berkata : Salah seorang cucu Ummu Hani' yang bernama Ja'dah, telah menceritakan kepadaku dan Ummu Hani' adalah neneknya, maka neneknya telah menceritakan kepadaku, bahwasanya Rasulullah saw, datang ke rumahnya dan meminta air lalu meminumnya, kemudian beliau menyodorkan kepadanya, lalu dia meminumnya, dia (Ummu Hani' ra) berkata : Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya sedang berpuasa, maka Rasulullah saw,  bersabda : " Orang yang berpuasa sunnah lebih berhak atas dirinya, jika ia ingin, maka boleh ia berpuasa (menyempurnakan puasanya) dan jika ia ingin, maka boleh ia berbuka (membatalkan puasanya).”  (HR.Tirmidzi : 664, Sunan Tirmidzi, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab maa jaa-a fii iftharis shaim Al-Mutathawwi’,   juz :3,  hal. 182)
Bahkan untuk orang yang berpuasa sunah ketika menghadiri undangan dibolehkan untuk tetap mempertahankan puasanya, berdasarkan hadits Nabi :
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَمْرٌو النَّاقِدُ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ قَالُوا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ أَبِي الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ رِوَايَةً و قَالَ عَمْرٌو يَبْلُغُ بِهِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ و قَالَ زُهَيْرٌ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ إِلَى طَعَامٍ وَهُوَ صَائِمٌ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ. (رواه مسلم : 1940- صحيح مسلم – المكتبة الشاملة – باب الصائم اذا دعي لطعام  فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ – الجزء :  6 – صفحة : 11)
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah dan Amru An-Naqid dan Zuhair bin Harb, mereka berkata : Telah menceritakan kepada kami Sufyan bin Uyainah, dari Abu Zinad, dari Al-A'raj, dari Abu Hurairah ra,  -Abu Bakr bin Abu Syaibah berkata- dan telah berkata Amru hingga sampai kepada Nabi saw,  -sementara Zuhair berkata- dari Nabi saw,  beliau bersabda : Apabila salah seorang dari kalian diundang makan padahal ia sedang berpuasa, maka hendaklah ia mengatakan : Sesungguhnya saya sedang berpuasa. (HR.Muslim : 1940, Shahih Muslim,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, babushaim idzaa du’iyua ilaa thaamin,  juz : 6, hal. 11)
Dari  kalimat : “hendaklah ia mengatakan : Sesungguhnya saya sedang berpuasa“ dalam matan hadits di atas juga dapat dipahami, bahwa menampakkan ibadah sunah itu boleh (tidak termasuk riya’ dalam ibadah), bila ada hajat; dan bila tidak ada hajat adalah sunah merahasiakannya (merahasiakan ibadah lebih utama). Kemudian mengenai yang lebih utama antara berbuka dan tetap  berpuasa; dijelaskan dalam kitab Syarhun Nawawi ‘Alaa Muslim  : Jika seandainya tetap berpuasa (tidak makan) itu dapat menimbulkan keadaan yang tidak baik bagi pemilik makanan (orang yang mengundang), maka yang lebih utama bagi orang yang berpuasa sunah adalah berbuka (menghentikan puasa).[1]
Dianjurkan Mendo’akan Orang Yang Mengundang
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ عَنْ هِشَامٍ عَنْ ابْنِ سِيرِينَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا دُعِيَ أَحَدُكُمْ فَلْيُجِبْ فَإِنْ كَانَ صَائِمًا فَلْيُصَلِّ وَإِنْ كَانَ مُفْطِرًا فَلْيَطْعَمْ.  (رواه مسلم : 2584- صحيح مسلم – المكتبة الشاملة – باب الامر باجابة الداعي الى دعوة– الجزء : 7 – صفحة :  287)
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah, telah menceritakan kepada kami Hafsh bin Ghiyats, dari Hisyam, dari Ibnu Sirin, dari Abu Hurairah, dia berkata; Rasulullah saw, bersabda : "Jika salah seorang dari kalian diundang, hendaknya ia penuhi undangan tersebut, jika ia sedang berpuasa, maka hendaklah ia mendo'akannya, dan jika ia sedang tidak berpuasa, hendaknya ia memakannya."  (HR.Muslim : 2584, Shahih Muslim,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Al-Amru bi ijabati daa’I ilaa da’watin,   juz : 7, hal. 287)
Sementara mayoritas ‘ulama berpendapat,  bahwa makna  shalat dalam hadis di atas adalah mendo’akan orang yang mengundang dengan memohonkan ampunan atau keberkahan atau semacamnya. Dan makna kata shalat menurut bahasa  adalah do’a.[2]
 Orang yang bertamu juga dibolehkan untuk tetap mempertahankan puasa sunahnya ketika disuguhi makanan, berdasarkan hadits :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى قَالَ حَدَّثَنِي خَالِدٌ هُوَ ابْنُ الْحَارِثِ حَدَّثَنَا حُمَيْدٌ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ  دَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى أُمِّ سُلَيْمٍ فَأَتَتْهُ بِتَمْرٍ وَسَمْنٍ قَالَ أَعِيدُوا سَمْنَكُمْ فِي سِقَائِهِ وَتَمْرَكُمْ فِي وِعَائِهِ فَإِنِّي صَائِمٌ. (رواه البخاري : 1846 - صحيح البخاري – المكتبة الشاملة – باب من زار قوما فلم يفطر عندهم– الجزء : 7 – صفحة :   100)
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Mutsanna, ia berkata : Telah menceritakan kepada saya Khalid, dia adalah anak Al-Harits, telah menceritakan kepada kami Humaid, dari Anas ra;  Nabi saw,  datang menemui Ummu Sulaim, kemudian Ummu Sulaim menyuguhkan kurma dan mentega untuk Beliau. Beliau berkata : "Simpanlah mentega-mentega kalian untuk suguhan minuman dan kurma-kurma kalian untuk makanannya karena aku sedang berpuasa". (HR.Bukhari : 1846,  Shahih Bukhari,  Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Man Zaara Qauman Falam yufthir ‘Indahum,   juz : 7, hal. 100)


[1].  Baca Syarah An-Nawawi ‘Alaa Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Ash-Shaim Yud’aa litha’aamin Falyaqul “Innii Shaaim”, juz : 4, hal. 150
[2]. Baca Syarah An-Nawawi ‘Alaa Muslim, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab  Al-Amru bi ijabati daa’I ilaa da’watin, juz : 5, hal. 154

Kamis, 04 September 2014

AL-QUR'AN SURAT AL-BAQARAH AYAT 4

Setelah selesai  membahas tiga sifat orang-orang yang bertakwa pada ayat 3 surat  Al-Baqarah di atas, yaitu beriman kepada yang ghaib dan iman  kepada yang ghaib itu diikuti  dengan menegakkan ibadah shalat, kemudian setelah shalat itu ditegakkan diikuti pula dengan kebiasaan berinfaq, memberi, berderma, bersedekah, membantu dan tolong menolong, karena adanya kesadaran yang mendalam,  bahwa orang bertakwa itu tidak mungkin hidup sendiri-sendiri (nafsi-nafsi) di dunia ini.  Setelah itu, maka selanjutnya kita bahas lagi 2 (dua) sifat orang yang bertakwa, yaitu iman kepada kitab suci (sifat yang ke-4) dan iman kepada hari akhir (sifat yang ke-5), seperti yang termaktub pada ayat 4 berikut ini :

        وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآَخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ
Dan mereka yang beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-Kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. (QS.Al-Baqarah : 4)

4. Beriman Kepada Kitab Suci

Awal ayat 4 berbunyi : وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ   (Dan mereka yang beriman kepada apa  yang telah diturunkan kepadamu). Kalimat yang berbunyi : “apa yang telah diturunkan kepadamu”, maksudnya  adalah kitab suci Al-Qur’an.[1] Jadi, sifat orang yang bertakwa pada bagian yang ke-4 (empat) adalah beriman kepada kitab suci Al-Qur’an.  

Kata “Al-Qur’an” menurut bahasa, antara lain  :  (1)  berarti “bacaan”; (2) berarti “mengumpulkan atau menyusun”  dan (3) berarti “menyampaikan”.[2]  Dan menurut istilah, banyak definisi yang dikemukana oleh para ‘ulama,  diantaranya  oleh Muhammad Sayyid Thanthawi dalam tafsir Al-Wasith :  “Al-Qur’an adalah firman Allah yang mengandung kemukjizatan, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, ditulis dalam mushaf, disampaikan secara mutawatir, dan membacanya memiliki nilai ibadah”.[3]

Dalam Al-Qur’an itu sendiri, surat Asy-Syu’araa’ ayat 192-195, Allah menegaskan, bahwa Al-Qur’an itu diturunkan oleh Allah, dibawa oleh malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw, dengan bahasa Arab yang jelas :

وَإِنَّهُ لَتَنْزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ  - نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ - عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ - بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ
Dan sesungguhnya Al-Quran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam,- Dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), - ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, - dengan bahasa Arab yang jelas. (QS.Asy-Syu’araa’ : 192 -195)

Allah menurunkan wahyu mungkin langsung seperti yang terjadi kepada Nabi Musa as, atau mungkin  dibelakang tabir, yaitu seorang dapat mendengar firman Allah akan tetapi dia tidak dapat melihat-Nya, atau mungkin Allah menurunkan wahyu dengan mengutus seorang utusan (malaikat). Hal ini ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya :

وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ
Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. (QS.Asy-Syuura : 51)

Kandungan Al-Qur’an sangat luar biasa, di dalamnya ada kisah tentang peristiwa terdahulu sebelum kita,  ada kisah peristiwa yang akan datang setelah kita,  ada hukum untuk perkara yang sedang terjadi diantara kita. Ia adalah firman yang memisahkan antara yang hak dan yang bathil,  ia adalah jalan yang lurus, ia adalah petunjuk, dan ia tidak akan pernah usang meski sering diulang-ulang. Hal tersebut tergambar dalam sebuah hadits  yang diriwayatkan oleh imam Tirmidzi berikut ini :

حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ الْجُعْفِيُّ قَال سَمِعْتُ حَمْزَةَ الزَّيَّاتَ عَنْ أَبِي الْمُخْتَارِ الطَّائِيِّ عَنْ ابْنِ أَخِي الْحَارِثِ الْأَعْوَرِ عَنْ الْحَارِثِ قَالَ مَرَرْتُ فِي الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ يَخُوضُونَ فِي الْأَحَادِيثِ فَدَخَلْتُ عَلَى عَلِيٍّ فَقُلْتُ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ أَلَا تَرَى أَنَّ النَّاسَ قَدْ خَاضُوا فِي الْأَحَادِيثِ قَالَ وَقَدْ فَعَلُوهَا قُلْتُ نَعَمْ قَالَ أَمَا إِنِّي قَدْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَلَا إِنَّهَا سَتَكُونُ فِتْنَةٌ فَقُلْتُ مَا الْمَخْرَجُ مِنْهَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ كِتَابُ اللَّهِ فِيهِ نَبَأُ مَا كَانَ قَبْلَكُمْ وَخَبَرُ مَا بَعْدَكُمْ وَحُكْمُ مَا بَيْنَكُمْ وَهُوَ الْفَصْلُ لَيْسَ بِالْهَزْلِ مَنْ تَرَكَهُ مِنْ جَبَّارٍ قَصَمَهُ اللَّهُ وَمَنْ ابْتَغَى الْهُدَى فِي غَيْرِهِ أَضَلَّهُ اللَّهُ وَهُوَ حَبْلُ اللَّهِ الْمَتِينُ وَهُوَ الذِّكْرُ الْحَكِيمُ وَهُوَ الصِّرَاطُ الْمُسْتَقِيمُ هُوَ الَّذِي لَا تَزِيغُ بِهِ الْأَهْوَاءُ وَلَا تَلْتَبِسُ بِهِ الْأَلْسِنَةُ وَلَا يَشْبَعُ مِنْهُ الْعُلَمَاءُ وَلَا يَخْلَقُ عَلَى كَثْرَةِ الرَّدِّ وَلَا تَنْقَضِي عَجَائِبُهُ هُوَ الَّذِي لَمْ تَنْتَهِ الْجِنُّ إِذْ سَمِعَتْهُ حَتَّى قَالُوا : إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا يَهْدِي إِلَى الرُّشْدِ فَآمَنَّا بِهِ  : مَنْ قَالَ بِهِ صَدَقَ وَمَنْ عَمِلَ بِهِ أُجِرَ وَمَنْ حَكَمَ بِهِ عَدَلَ وَمَنْ دَعَا إِلَيْهِ هَدَى إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ خُذْهَا إِلَيْكَ يَا أَعْوَرُ.(رواه الترمذي : 2831- سنن الترمذي – المكتبة الشاملة – باب ما جاء في فضل القرآن – الجزء : 10 – صفحة : 147)
Telah menceritakan kepada kami Abdu bin Humaid, telah menceritakan kepada kami Husain bin Ali Al Ju'fi, ia berkata : Aku mendengar Hamzah Az-Zayyat, dari Abu Al- Mukhtar Ath-Tha`I, dari Ibnu Akhi Al-Harits Al-A'war, dari Al-Harits, ia berkata : "Aku pernah lewat masjid, sedangkan orang-orang tengah larut dalam pembicaraan yang bathil, lalu aku menemui ‘Ali, aku berkata : "Wahai Amirul Mukminin, apa anda tidak melihat orang-orang tengah larut dalam pembicaraan yang bathil (dengan mengabaikan membaca Al-Qur'an)?, " Ali bertanya; "Apakah mereka telah melakukannya?" Aku menjawab; "Ya." Ali berkata; "Ingatlah, aku pernah mendengar Rasulullah saw,  bersabda : "Ingatlah, sesungguhnya akan terjadi fitnah." Lalu aku bertanya; "Bagaimana solusinya wahai Rasulullah?" beliau menjawab: "Kitab Allah, di dalamnya ada kisah tentang peristiwa sebelum kalian, dan setelah kalian, hukum perkara diantara kalian, ia adalah (firman) yang memisahkan (antara yang hak dan yang bathil), bukan senda gurau, barangsiapa meninggalkannya karena bersikap sombong, maka Allah akan membinasakannya, dan barangsiapa mencari petunjuk pada selainnya, maka Allah akan menyesatkannya, ia adalah tali Allah yang kokoh, ia adalah peringatan yang bijaksana, ia adalah jalan yang lurus, dengannya keinginan-keinginan tidak akan menyimpang dan dengannya lisan-lisan tidak akan samar, ulama tidak pernah puas darinya, tidak usang meski sering diulang-ulang dan keajaiban-keajaibannya tidak kunjung habis, ia juga yang menyebabkan jin-jin tidak berhenti mendengarnya hingga mereka berkata; "Sesungguhnya kami telah mendengarkan Al-Qur`an yang menakjubkan, (yang) memberi petunjuk kapada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya." (Al-Jinn: 1-2), barangsiapa berkata dengannya, maka ia benar, barangsiapa mengamalkannya, maka ia diberi pahala, barangsiapa memutuskan perkara dengannya, maka ia adil dan barangsiapa menyeru kepadanya, maka ia diberi petunjuk menuju jalan yang lurus, ambillah ia untukmu, wahai A'war."  (HR.Tirmidzi : 2831, Sunan Tirmidzi, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab maa jaa-a fii fadlil Qur’an, juz : 10, hal. 147)

Beriman kepada kitab suci Al-Qur’an harus dibuktikan dengan cinta membaca, memahami (mentadabburi) dan mengamalkan kandungannya.  Perintah membaca Al-Qur’an banyak terdapat  dalam Al-Qur’an dan hadits Nabi, antara lain :

اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ
Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al-kitab (Al-Quran)….(Qs.Al-‘Ankabut : 45)
وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلا
 Dan bacalah Al-Quran itu dengan perlahan-lahan.(Tartil). (QS. Al-Muzammil : 4)
Hadits Nabi antara lain :

حَدَّثَنِي الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْحُلْوَانِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو تَوْبَةَ وَهُوَ الرَّبِيعُ بْنُ نَافِعٍ حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ يَعْنِي ابْنَ سَلَّامٍ عَنْ زَيْدٍ أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا سَلَّامٍ يَقُولُ حَدَّثَنِي أَبُو أُمَامَةَ الْبَاهِلِيُّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لِأَصْحَابِهِ - اقْرَءُوا الزَّهْرَاوَيْنِ الْبَقَرَةَ وَسُورَةَ آلِ عِمْرَانَ فَإِنَّهُمَا تَأْتِيَانِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَأَنَّهُمَا غَمَامَتَانِ أَوْ كَأَنَّهُمَا غَيَايَتَانِ أَوْ كَأَنَّهُمَا فِرْقَانِ مِنْ طَيْرٍ صَوَافَّ تُحَاجَّانِ عَنْ أَصْحَابِهِمَا - اقْرَءُوا سُورَةَ الْبَقَرَةِ فَإِنَّ أَخْذَهَا بَرَكَةٌ وَتَرْكَهَا حَسْرَةٌ وَلَا تَسْتَطِيعُهَا الْبَطَلَةُ. (رواه مسلم : 1337- صحيح مسلم – المكتبة الشاملة – باب فضل قراءة القرآن وسورة البقرة – الجزء : 4 – صفحة : 231)
Telah menceritakan kepadaku Al Hasan bin Ali Al Hulwani, telah menceritakan kepada kami Abu Taubah, ia adalah Ar-Rabi' bin Nafi', telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah, yakni Ibnu Sallam, dari Zaid, bahwa ia mendengar Abu Sallam berkata, telah menceritakan kepadaku Abu Umamah Al-Bahili, ia berkata; Saya mendengar Rasulullah saw, bersabda : "Bacalah Al-Qur`an, karena ia akan datang memberi syafa'at kepada para pembacanya pada hari kiamat nanti. Bacalah Zahrawain, yakni surat Al-Baqarah dan Ali Imran, karena keduanya akan datang pada hari kiamat nanti, seperti dua tumpuk awan menaungi pembacanya, atau seperti dua kelompok burung yang sedang terbang dalam formasi hendak membela pembacanya. Bacalah Al-Baqarah, karena dengan membacanya akan memperoleh barokah, dan dengan tidak membacanya akan menyebabkan penyesalan, dan pembacanya tidak dapat dikuasai (dikalahkan) oleh tukang-tukang sihir." (HR. Muslim : 1337, Shahih Muslim,Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab Fadlu Qiraa-ati Al-Qur’an wa suuratil Baqarati, juz : 4, hal. 231)

حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ يَعْنِي ابْنَ عَطَاءٍ أَنْبَأَنَا أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ اللَّيْثِيُّ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ الْمُنْكَدِرِ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ دَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَسْجِدَ فَإِذَا فِيهِ قَوْمٌ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ قَالَ اقْرَءُوا الْقُرْآنَ وَابْتَغُوا بِهِ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ قَوْمٌ يُقِيمُونَهُ إِقَامَةَ الْقِدْحِ يَتَعَجَّلُونَهُ وَلَا يَتَأَجَّلُونَهُ. (رواه احمد : 14326– مسند احمد - المكتبة الشاملة –– باب مسند جابر بن عبد الله  – الجزء :29 – صفحة :  375)
Telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab bin 'Atha' yaitu Ibnu'Atha', telah memberitakan kepada kami Usamah bin Zaid Al-Laitsi, dari Muhammad bin Al-Munkadir, dari Jabir bin Abdullah, ia berkata; Nabi saw, masuk masjid dan ternyata ada sekelompok orang yang membaca Al-Qur'an. (Rasulullah saw) bersabda : Bacalah Al Qur'an dan carilah ridha Allah Azza wa Jalla sebelum datangnya suatu  kaum yang membacanya sebagaimana dia menegakkan bejana, mereka mengharapkan pahala yang disegerakan (materi-duniawi) dan tidak mengharapkan pahala yang ditangguhkan (akhirat). (HR. Ahmad : 14326, Musnad Ahmad, Al-Maktabah Asy-Syamilah, , bab Musnad Jabir bin Abdillah,  juz : 29, hal. 375)

حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ هِشَامٍ يَعْنِي الدَّسْتُوَائِيَّ قَالَ حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ أَبِي كَثِيرٍ عَنْ أَبِي رَاشِدٍ الْحَبْرَانِيِّ قَالَ قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ شِبْلٍ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ اقْرَءُوا الْقُرْآنَ وَلَا تَغْلُوا فِيهِ وَلَا تَجْفُوا عَنْهُ وَلَا تَأْكُلُوا بِهِ وَلَا تَسْتَكْثِرُوا بِهِ. (رواه احمد :  14981– مسند احمد - المكتبة الشاملة –– باب زيادة عبد الرحمن بن شبل – الجزء : 31 – صفحة :   109)
Telah menceritakan kepada kami Isma'il bin Ibrahim, dari Hisyam yaitu Ad-Dastuwa'i, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Yahya bin Abu Katsir, dari Abu Rasyid Al-Habrani, ia berkata : Abdur Rahman bin Syibl berkata : Saya telah mendengar Rasulullah saw, bersabda : "Bacalah Al-Qur'an, janganlah berlebihan di dalamnya, jangan terlalu kaku, janganlah makan dari bacaannya dan jangan pula memperbanyak (harta) dengannya." (HR. Ahmad : 14981, Musnad Ahmad, Al-Maktabah Asy-Syamilah, , bab Ziyadah Abdurahman din Syibel,   juz : 31, hal. 109)

Bersamaan dengan perjuangan memperbaiki bacaan Al-Qur’an, agar mampu membacanya dengan Tartil, terdapat juga perjuangan melaksanakan perintah “memahami”, mentadabburi serta  merenungkan makna kandungan Al-Qur’an. Dan memahami Al-Qur’an hukumnya adalah wajib berdasarkan ayat berikut :
كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آَيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَابِ
Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan (mentadabburi) ayat-ayat-Nya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran. (QS. Shad : 29)

Menafsirkan ayat ke-29 surat Shad di atas, imam Al-Qurthubi mengatakan :  “Ayat ini menjadi dalil kewajiban mengetahui makna-makna Al-Qur’an, dan juga menjadi dalil bahwa membaca secara tartil (perlahan-lahan dengan penuh penghayatan) itu lebih utama dari membaca secara sangat cepat, sebab membaca secara sangat cepat tidak mungkin bisa bertadabbur .” [4]

Secara halus, Allah mengisyaratkan bahwa hanya orang-orang yang hatinya terkunci oleh gembok-gembok penghalang petunjuk sajalah yang tidak mau mentadabburi Al-Qur’an. Firman Allah :
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآَنَ أَمْ عَلَى قُلُوبٍ أَقْفَالُهَا
Maka mengapakah mereka tidak mau mentadabburi Al-Qur'an? Apakah karena hati mereka terkunci mati? (QS Muhammad : 24)

Setelah memahami kandungan Al-Qur’an, maka kewajiban kita berikutnya adalah  “mengamalkan” dalam kehidupan sehari-hari. Al-Qur’an  merupakan pedoman utama, sumber hidayah, kunci keselamatan, dan penjaga dari kesesatan. Hampir tidak terhitung banyaknya dalil-dalil dari Al-Qur’an dan hadits yang mewajibkan untuk mengamalkan kandungan  Al-Qur’an. Firman Allah :

اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ
Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya). (QS. Al-A’raf : 3)

Dalam Tafsir Al-Qurthubi dijelaskan, bahwa yang dimaksud dengan : “Apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu” adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah.[5] Kemudian di dalam Tafsir Ath-Thabari dijelaskan, bahwa kata “Ikutilah” pada ayat di atas, maksudnya adalah “mengamalkan” semua keterangan, petunjuk yang datang dari Allah.[6] Dalam ayat yang lain Allah berfirman :

وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ بَغْتَةً وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ 
Dan ikutilah Sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya,(QS. Az-Zumar  : 55)

Tidak diragukan lagi bahwa Al-Qur’an adalah sebaik-baik apa yang telah diturunkan Allah kepada kita. Allah  mengancam siapa saja yang enggan mengikuti (mengamalkan) Al-Qur’an dengan firman-Nya, “…sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya,(QS. Az-Zumar  : 55)

 Semoga kita dikaruniai kesungguhan dan keistiqamahan untuk senantiasa membaca, mentadaburi, memahami dan mengamalkan Al-Qur’an.
Pertengahan ayat 4 berbunyi : وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ (dan kitab-Kitab yang telah diturunkan sebelummu). Maksudnya adalah orang yang bertakwa itu juga wajib beriman kepada kitab-Kitab yang telah diturunkan kepada para Nabi sebelum Nabi Muhammad saw, seperti Taurat, Injil, Zabur dan shuhuf-shuhuf yang diturunkan kepada para Nabi.[7]

Adapun cara beriman kepada kitab-kitab dapat kita kelompokkan menjadi dua bagian, yaitu :

1.    Cara Beriman Kepada Kitab-Kitab Sebelum Al-Qur'an
Beriman kepada kitab-Kitab sebelum Al-Qur'an adalah meyakini, bahwa kitab-kitab itu benar-banar wahyu Allah, bukan karangan rasul-rasul-Nya dan meyakini isi kandungannya adalah benar (haq), sebelum terjadi penyelewengan.

2.    Cara Beriman Kepada Al-Qur'an
Beriman kepada Al-Qur’an adalah meyakini Al-Qur'an sebagai wahyu Allah, bukan karangan Nabi Muhammad saw, meyakini kebenaran Al-Qur'an, tanpa ada keraguan sedikit pun, dan keyakinan itu diikuti dengan mempelajari cara membaca, memahami, menghayati dan mengamalkan isi kandungannya dalam kehidupan sehari-hari.

Perbedaan cara beriman tersebut disebabkan karena masa berlaku kitab-kitab sebelum Al-Qur'an sudah selesai. Kitab-kitab sebelum Al-Qur'an hanya berlaku pada suatu umat , masa, dan wilayah tetentu. Dan kandungan pokok kitab-kitab sebelum Al-Qur'an telah tercantum dalam Al-Qur;an, yang meliputi ajaran keesaan Allah (Tauhid), tuntunan keimanan (aqidah), hukum, perintah, larangan, imbalan, janji dan ancaman, dan sejarah.

5. Yakin  Kepada Hari Akhir
 Akhir ayat 4 berbunyi : وَبِالْآَخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ  (serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat). Sifat orang bertakwa yang ke 5 (lima) adalah beriman kepada adanya hari akhir. “Akhirat” lawan dari "Dunia". "Negeri akhirat" ialah Negeri tempat manusia berada  setelah dunia ini lenyap. "Yakin akan adanya negeri akhirat" ialah benar-benar yakin akan adanya hidup yang kedua setelah dunia ini berakhir. Yakin akan adanya hari ba’ats, kiamat, surga, neraka, hisab dan mizan.[8]

Orang-orang yang mempunyai sifat-sifat yang lima (5) di atas adalah orang orang yang disebut “Muttaqin”, yaitu orang-orang yang bertakwa. Mereka oleh Allah, dinyatakan telah mendapatkan petunjuk dan bimbingan-Nya, yang firman-Nya diabadikan dalam ayat berikutnya, yaitu surat Al-Baqarah ayat 5.


[1]. Lihat Tafsir Jalalain oleh Imam Jalaluddin Al-Mahalli/Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Maktabah Asy-Syamilah, juz : 1, hal. 10

[2]. Lihat Kamus Arab - Indonesia oleh Prof. DR. H.Mahmud Yunus, PT.Hidakarya Agung, Jakarta, 1990,  hal. 335

[3]. Lihat Tafsir Al-Wasith oleh Muhammad Sayyid Thanthawi, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab :183, juz : 1, hal. 305

[4]. Lihat Tafsir Al-Qurthubi, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab : 15, juz : 15, hal.  152 

[5]. Lihat Tafsir Al-Qurthubi, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab : 7, juz : 7, hal. 161

[6]. Lihat tafsir Ath-Thabari, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab : 2, juz : 12, hal. 298

[7]. Lihat Tafsir Al-Khazin, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab : 4, juz : 1, hal. 11

[8]. Lihat Tafsir Fathul Qadir, Al-Maktabah Asy-Syamilah, bab : 4, juz : 1, hal. 27