Sabtu, 05 Oktober 2013

PERBUATAN ALLAH DAN MANUSIA


PERBUATAN ALLAH  DAN MANUSIA.
Teori Asy’ariyah menyatakan :
الكسب هوتعلق قدرة العبد وارادته بالفعل المقدور المحدث من الله على الحقيقة
 Kasb adalah tergantungnya kudrat dan iradah (kehendak) manusia kepada perbuatan yang terjadinya itu ditakdirkan oleh Allah  pada hakekatnya.
 Menurut Al-Asy’ari dalam kitabnya Al-Ibanah An Ushul Ad Diyanah ia membedakan antara khaliq dan kasb. Menurutnya Allah adalah pencipta  (Khaliq)  perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri mengupayakannya  )muktasib). Hanya Allahlah yang mampu menciptakan segala sesuatu termasuk keinginan manusia.[1]  
            Argumen yang diajukan oleh Al-Asy’ari untuk membela keyakinannya adalah firman Allah:
وَاللَّهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu. (QS.Ash-Shaffat : 96)
Dengan demikian ayat ini mengandung arti Allah menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatanmu. Dengan kata lain, dalam paham Asy’ari, yang mewujudkan kasb atau perbuatan manusia sebenarnya adalah Allah  sendiri.[2] 
Menurut irfat abd. al-Hamid dalam kitab dirasat fi Al Firaq wa Al-Aqoid al-Islamiyah Pada prinsipnya, Aliran Asy’ariyah berpendapat bahwa  perbuatan manusia diciptakan Allah,  sedangkan daya manusia tidak mempunyai efek untuk mewujudkannya. Allah menciptakan perbuatan untuk manusia dan menciptakan pula pada diri manusia- daya untuk melahirkan perbuatan tersebut. Jadi perbutan disini adalah ciptaan Allah dan merupakan kasb (perolehan) bagi manusia. Dengan demikian kasb mempunyai pengertian penyertaan perbuatan dengan daya manusia yang baru.[3]  
Menurut Harun Nasution ”Teori al-kasb (perolehan) dapat dijelaskan sebagai berikut, ”Segala sesuatu terjadi dengan perantara daya yang diciptakan, sehingga menjadi perolehan bagi muktasib yang memperoleh kasab untuk melakukan perbuatan.[4]    
Menurut Imam al-Asy’ari : ”Sesungguhnya manusia itu berusaha untuk melakukan suatu perbuatan. Namun sering terjadi bahwa hasil perbuatannya itu bukan seperti apa yang dikehendaki dan apa yang diusahakan. Ini berarti bahwa manusia itu tidak menciptakan perbuatannya”.
Asy’ariyah mengkaitkan perbuatan manusia dengan hasil yang diperolehnya. Dalil-dalil naqli yang diungkapkan  Asy’ariyah hampir semuanya mengarah kesana. Diantaranya ayat yang menyatakan :
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآَمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا
Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. (QS.Yunus : 99)
Menurut Al-Asy’ari, manusia punya kudrah dan iradah untuk berbuat, hanya saja ia bergantung kepada takdir dari Allah. Orientasi perbuatan manusia al-Asy’ari adalah hubungan antara perbuatan manusia dengan hasilnya: keberhasilannya atau kegagalannya. Apa yang dikerjakan manusia kepastian hasilnya tidak ditentukan oleh manusia melainkan oleh ”perbuatan” Allah.[5]
IMAM AL-BAQILANI BERBEDA DENGAN AL-ASY’ARI
Sementara Itu Imam al-Baqilani tidak sepaham dengan al-Asy’ari mengenai Paham perbuatan manusia. Kalau bagi al-Asy’ari perbuatan manusia adalah diciptakan Allah seluruhnya, menurut al-Baqillani manusia mempunyai sumbangan yang efektif dalam perwujudan perbuatannya. Yang diwujudkan Allah  ialah gerak yang terdapat dalam diri manusia, adapun bentuk atau sifat dari gerak itu dihasilkan oleh manusia itu sendiri. Dengan lain kata, gerak dalam diri manusia mengambil berbagai bentuk, duduk,  berdiri, berbaring, berjalan dan sebagainya. Gerak sebagai genus (jenis)  adalah ciptaan Allah,  tetapi duduk, berdiri, berbaring, berjalan dan sebagainya yang merupakan species (نوع) dari gerak, adalah perbuatan manusia. Manusialah yang membuat gerak, yang diciptakan Allah itu, mengambil bentuk sifat duduk, berdiri dan sebagainya. Dengan demikian kalau bagi Al-Asy’ari daya manusia dalam kasb tidak mempunya efek, bagi al-Baqillani daya itu mempunyai efek.[6]  

Daya yang ada pada manusia dalam pendapat al-Juwaini juga mempunyai efek. Tetapi efeknya serupa dengan efek yang terdapat antara sebab dan musabab. Wujud perbuatan tergantung pada daya yang ada pada manusia,  wujud daya ini bergantung pula pada sebab lain, dan wujud sebab ini bergantung pula pada sebab lain lagi dan demikianlah seterusnya sehingga sampai kepada sebab dari segala sebab yaitu Allah.[7]
Secara umum Perbuatan manusia menurut faham Asy’ariyah adalah diciptakan Tuhan, bukan diciptakan oleh manusia itu sendiri. Untuk mewujudkan suatu perbuatan, manusia membutuhkan dua daya, yaitu daya  Allah dan daya manusia. Hubungan perbuatan manusia dengan kehendak Allah yang mutlak dijelaskan melalui teori Kasb,  yakni berbarengnya kekuasaan manusia dengan perbuatan Allah. Al-Kasb mengandung arti keaktifan. Karena itu, manusia bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya.[8]    
Menurut faham Asy’ariyah, bahwa segala sesuatu itu dijadikan Allah, tetapi Allah juga menciptakan IKHTIAR dan KASAB bagi manusia. Sesuatu yang diperbuat manusia  adalah PERTEMUAN IKHTIAR MANUSIA DENGAN TAKDIRNYA.  Ikhtiar dan kasab adalah sebagai sebab saja, bukan yang mengadakan atau menciptakan sesuatu. Umpamanya, kalau sesuatu benda disentuh api, maka ia terbakar. Bila orang makan maka kenyanglah.  Tetapi bukan api yang membakarnya dan bukan nasi yang mengenyangkannya, semua adalah Allah semata. Kadang-kadang terjadi sebaliknya bila Allah menghendakinya.  Banyak benda yang disentuh api tetapi tidak terbakar. Banyak orang berusaha sekuat tenaga tetapi sial dan kemalangan yang diperoleh. Kalau obat itu mesti dapat menyembuhkan penyakit, tentu tidak ada orang yang mati. Kenyataan menunjukan banyak penyakit tidak dapat disembuhkan.[9] 
Manusia memperoleh hukuman karena ikhtiar dan kasabnya yang tidak baik dan akan diberi pahala atas ikhtiar dan kasabnya yang baik. Firman Allah :
لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ
Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.(QS.Al-Baqarah : 286)   
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia. (QS.Ar-Ruum : 41)  


[1]. Rozak & Anwar,   Ilmu Kalam,  122
[2].  Nasution,  Teologi Islam,  107
[3].  Rozak & Anwar,   Ilmu Kalam,    165
[4].  Nasution,  Teologi Islam,  106
[5].  Bisri Affandi, et.al.  Dirasat Islamiyah I Pengantar Ilmu Tauhid dan Pemikiran Islam. Surabaya: CV. Anika Bahagia Offet,1993   54
[6].  Nasution, Teologi Islam, 71-72
[7]. Ibid
[8].  Ahmad,  Tauhid Ilmu, 180
[9].  Nasir,  Pengantar, 135